4. Pucuk Surat dan Ulang Tahun
Akhirnya bisa memperbaharui cerita ini.
Kalian yang masih bertahan menanti kelanjutan kisah ini (pede maksimal, semoga ada yang menanti hihiii), aku sangat mengapresiasi dan thank you thank you.... 😂
Tempo lalu sempat ada revisi mengenai status kerajaan Demak ternyata di masa Pakubuwana IV kerajaan Demak sudah tidak berjaya, statusnya menjadi kadipaten biasa.
Terima kasih Pak Guru atas bantuan sumbernya 😁😁😁
Mulai part ini rangkaian katanya cukup panjang semoga nggak bikin bosan, ya. 😂😂😂
Ini semakin mendekati waktu Aksara dan Diajeng bermuara bersama.
Maafkeun kalo ada yang luput kalian bisa informasikan ke aku ya
Hepi reading
😊😊😊
Demak, 1789
Gayatri Kembang Mekarku,
Buncahan rindu meronta ganas mencabik hatiku
Bunga tidurku terus menghadirkan dirimu
Aku tidak mampu menahannya, Sayangku
Meski ukiran bulan sabit pada bibirmu sangat kuhapal
Belaian jemarimu melekat di kulitku, hangat napasmu menguasai tubuhku,
Tidak cukup membahagiakan tanpa kehadiranmu
Gayatri Sayangku,
Jangan lelah menjaga hatimu, jangan putus asa menanti datangku
Jangan patahkan bingkai diriku di dalam sanubarimu
Sebuah kebetulan yang indah tatkala aku berkunjung ke Kadipaten, seorang punggawa hendak bertandang menuju Keraton Mataram
Maka tiada salahnya bila aku sisipkan pula sepucuk rinduku untukmu, Gayatri
Sampaikan salam hormatku kepada ayah serta ibumu
Yang merindumu, Kumara
Sepucuk surat dari Kumara baru saja aku terima tadi pagi, dititipkan oleh seorang punggawa Kadipaten Demak sekaligus penyampaian pesan dari Adipati kepada Susuhunan. Kudekap surat dari Kumara erat. Entah mendapat dukungan daya magis darimana setiap hal yang berhubungan dengan Kumara selalu berhasil menghangatkan kalbuku. Lelaki itu telah menitipkan separuh jiwanya kepadaku. Sesuai permintaanmu Kumara, senantiasa kujaga seluruh diriku untukmu. Sepenuh jiwaku hingga segalanya adalah milikmu.
Semenjak kedatangan Ki Manggar, penampilan waranggana Karti, dan bergabungnya Jenar menjadi murid KRA Mangkupraja sebagai pujangga keraton tempo lalu, menghangatkan perasaanku sebab persaudaraan kami kian mengerat. Hanya Jenar yang bersedia tinggal di dalam keraton, Ki Manggar dan Karti tetap melanjutkan pengembaraan mereka dari daerah satu ke daerah lainnya untuk mbarang. Terlebih lagi keberadaan Jenar di sini berperan penuh membantuku merangkai kata untuk membalas surat-suratku kepada Kumara.
Keraton Mataram. 1789
Dimas Kumara,
Selayang rindumu telah aku terima beserta sapaan hangat salam teruntuk ayah dan ibu. Hanya ibu turut membalaskan salam hormat kepadamu jua sebab masih terngiang ketidakpantasan kami menjalin ikatan dengan pemilik golongan priyayi seperti engkau, Kumara. Tentang ayah, nyaliku belum tersampaikan mengungkap ikatan kita, Kumara.
Ketahuilah, kini sepupuku Jenar juga bermukim di dalam Keraton Mataram. Ia berguru kepada KRA Mangkupraja, pujangga kenamaan di lingkungan keraton. Jangan berprasangka kenapa aku mampu mengukir kata semerdu ini. Tak lain sepupuku Jenar turut berkecimpung merangkaikannya untukmu.
Begitu pula aku, rinduku kepadamu tiada berbatas tiada terkikis meskipun terpaut bentangan jarak. Tanpa kamu minta aku sudah membentengi hatiku terlarang untuk siapa pun terkecuali kepadamu. Tapi aku takut, Kumara. Berhembus kabar bahwa Susuhunan hendak menjadikan aku bagian dari selirnya konon diriku adalah pilihan dari Kanjeng Ratu Kidul. Bila memang rindumu tiada terbendung lagi, Kumara, bergegaslah bertandang menuju Keraton Mataram. Jemput aku supaya kita bisa bersenandung mencapai kebahagiaan seutuhnya. Jiwaku, tubuhku, segalanya tentangku sudah aku serahkan padamu. Aku hanya menanti engkau mengambilnya saja, Kumara.
Keadaan di sini sedang tak tentu. Susuhunan merupakan pemeluk Islam yang taat. Titah yang diberlakukan beliau membuat pertentangan antara pejabat terdahulu. Susuhunan dianggap menentang kepercayaan yang dipertahankan para pejabat terdahulu. Juga kebencian Susuhunan kepada VOC menimbulkan ketegangan di Keraton Mataram. Ah, rupanya aku terlalu banyak bercerita. Padahal niatku hanya menyampaikan kerinduan terpendam.
Sekarang, nanti, bahkan sampai abad berganti, kucanangkan bahwa ruh kita, hati kita, semuanya senantiasa terhubung meskipun menyebrangi dimensi dunia yang berbeda.
Yang mencintaimu, Gayatri
"Mengapa pipimu bersemu merah, Gayatri? Tanpa bertatap muka dengannya saja kau sudah berlagak malu-malu apalagi kalau lelaki itu berdiri di hadapanmu. Bisa-bisa kau malah menutup wajahmu dengan selendang," goda Jenar ketika aku tersipu membaca ulang pesan rindu dari Kumara.
"Kau ini, Jenar, seperti tak pernah merasakan kepincut sama lawan jenis saja. Jangan-jangan memang kamu tidak pernah, ya, " berbalik aku menggoda sepupuku itu.
Jenar tertawa sambil menyentil daguku. "Rupanya sepupuku yang dulu bau kencur ini sudah beranjak dewasa. Sudah paham urusan asmara. Dulu aku pernah punya dhemenan, Gayatri. Seorang gadis salah satu waranggana, tapi dia keburu dijodohkan sebelum sempat aku ketuk hati orang tuanya."
"Benarkah?"
Jenar mengangguk. Sepupuku Jenar terpaut lima tahun usianya denganku. Kini pemuda dewasa itu usianya berada di angka dua puluh satu. Jenar mendekatkan tubuhnya padaku. Raut mukanya menunjukkan kemisteriusan luar biasa.
Dia berbisik di telingaku. Kalimatnya membuat dahiku berkerut. "Kemarin aku mendapat tugas besar dari Guru Mangkupraja. Menyusun kumpulan serat menjadi sebuah kitab. Aku baru tahu Susuhunan rupanya raja yang menaruh minat besar pada bidang sastra. Ingin pula aku berguru padanya. Namun mengingat diriku hanya kaum rendahan aku jadi ciut nyali."
"Kenapa kamu berbisik-bisik, Jenar?"
"Ssstt, karena kumpulan serat milik Guru Mangkupraja ini sangat istimewa. Kau bisa menjaga rahasia, kan, Gayatri?"
Aku mengangguk.
***
Yogyakarta, 2017
"Happy birthday to you...happy birthday to you..."
Gema nyanyian beserta sorak sorai mengagetkanku. Aku terpana tidak menyangka seluruh karyawan kantor SAI menyusun intrik memberikanku kejutan begini. Masih dalam posisi duduk di kursi, kulayangkan tatapan berbinar kepada satu-persatu manusia di depanku. Terutama kepada Mas Dhanu yang berada di barisan terdepan dengan sebuah kue tart di tangan. Ia tersenyum padaku.
"Make a wish, Di!" seru Pak Winarno, sang pimpinan.
Kuhela napas perlahan sebelum meniup lilin dari kue tart yang diarahkan Mas Dhanu padaku. Mataku terpejam saat berucap doa dalam hati. Sorak sorai makin meriah begitu lilin sudah padam. Kupotong kue itu beberapa bagian supaya tersalur untuk semua para penghuni kantor.
Aku kembali ke kursiku bersama Mas Dhanu yang mengambil duduk di hadapanku sembari menikmati kue tart. Sungguh aku tidak tahu menahu kalau bentakan Pak Winarno tadi pagi merupakan bagian dari konspirasi. Lucunya aku sendiri lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku sehingga memuluskan rencana teman-temanku untuk mengerjaiku.
"Dua puluh tiga ya, Di," sahut Mas Dhanu.
Aku nyengir. "Tambah tua ya, Mas."
"Nggak, kok. Masih kelihatan imut. Jadi kita mau ditraktir dimana, nih?"
Tawaku tercipta. "Ntar dulu deh, Mas. Nunggu gajian dulu, ya."
Gantian Mas Dhanu tertawa. "Oke, oke. Kamu juga ulang tahun tanggalnya pas tanggal tua."
"Ya gimana, aku kan nggak bisa request mau dilahirkan tanggal berapa."
Aku meraih sepotong tisu lantas membersihkan jemariku dari sisa-sisa ekstrak kue tart. Bukannya kembali bekerja Mas Dhanu malah bengong memperhatikanku. Sunggingan senyumnya juga tetap terkembang sejak tadi tak berkurang sedikit pun.
"Kamu kenapa, Mas?" tanyaku.
"Aku tidak tahu kamu sukanya apa, Di. Kamu juga tidak menjawab pertanyaanku tempo hari jadi aku belum menyiapkan kado apapun buatmu. Kamu mau aku kasih kado apa?"
"Memangnya Mas Dhanu pernah bertanya padaku?"
"Ah, sudah abaikan saja. Kamu juga nggak paham. Sekarang kamu tinggal minta saja mau aku kasih kado apa." Mas Dhanu melipat kedua tangannya di meja sementara pandnagannya tak lepas dariku.
"Eum, nggak usah repot-repot. Mas Dhanu mau berteman denganku saja sudah termasuk kado indah, kok." Aku mengedikkan bahu.
"Yakin cuma mau berteman aja, Di?" Mas Dhanu menaik turunkan alis.
"Apaan, sih, Mas." Aku memukul lengan Mas Dhanu membuatnya mengaduh.
Biasanya aku bawa motor sebagai alat transportasi andalan. Berhubung tadi pagi sebelum berangkat terdapat masalah pada mesinnya, terpaksa aku berangkat diantar Papa. Mengetahui kondisiku, Mas Dhanu menyambutku dengan sukacita mengantarku pulang naik mobilnya. Aku tidak mengerti kenapa Mas Dhanu terlihat riang.
Sepanjang perjalanan dia tak hentinya mengoceh menawarkan jokes yang menurutku tak ada lucunya sama sekali. Untuk menghormatinya sesekali aku menanggapinya dengan kekehan kecil biar dia tidak merasa candaannya sia-sia.
"Udah sampai, Di. Besok mau dijemput, nggak?" tawar Mas Dhanu.
"Nggak usah, Mas. Kalau motorku belum beres aku berangkat sama Papa aja. Makasih udah nganterin aku, Mas." Aku menyopot sabuk pengaman.
"Baiklah, tapi pulangnya bareng aku ya."
"Siap."
"Tunggu, Di," Mas Dhanu menahan lenganku praktis aku menoleh padanya.
Ekspresi Mas Dhanu sangat aneh. Kelihatannya dia tersiksa berusaha mengatakan sesuatu. Cukup lama dia terpaku tapi tak kunjung ada kata terlontar dari mulutnya.
"Nggak jadi, deh," dia melepaskan cekalannya kemudian tersenyum.
"Yah, Mas Dhanu gimana, sih." Aku mengerucutkan bibir.
Dia tertawa lantas mengacak rambutku. Khas Mas Dhanu banget. Kulambaikan tangan pada Mas Dhanu sebelum mobilnya melesat dari pekarangan rumahku. Segera aku masuk rumah tak sabar ingin membasuh diri menghilangkan efek lengket di kulit.
Kebiasaanku sebelum tidur adalah memutar musik klasik sebagai pengantarnya. Mataku sudah mengatup sempurna namun tiba-tiba benakku mempersilakan potret seorang lelaki asing singgah tanpa permisi. Lelaki berhidung mancung, ujung rambutnya mencuat menjatuhi dahi, berpakaian urakan, telinga kirinya ditindik sedang duduk termenung dengan satu kakinya ia angkat. Sebatang rokok di tangan kirinya disesap berkali-kali hingga ia berhasil menghembuskan asapnya membentuk pola bundar.
Aku menegakkan badan lalu mengambil kertas dan pena yang tersedia di meja. Jemariku lincah bermain menggoreskan sketsa ekspresi mimik muka lelaki asing itu. Aku tidak tahu kenapa tanganku melejit selincah ini. Menuangkan visualisasi lelaki itu seakan terlatih untukku. Padahal aku tidak ada riwayat bakat menggambar. Selesai. Kesadaranku sepenuhnya kembali. Kupandang sketsa itu penuh keraguan.
Siapa dia? Kenapa aku bisa begitu lancar melukiskannya di atas kertas? Kuperhatikan detailnya lagi, dia cukup rupawan. Sebentar, kucoba menggambar sketsa orang lain. Apakah hasilnya juga sebagus ini. Huft, aku tidak bisa melakukannya. Ini aneh. Menggambar lelaki asing ini tanganku lihai sekali, namun kucoba objek lainnya mengapa gagal? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?
Waranggana : sindhen
Mbarang : mengamen
Kepincut : tertarik, jatuh cinta
Dhemenan : seseorang yang ditaksir, pacar
Serat : karya tulis
Khusus pola surat menyurat pada masa kerajaan mataram masih dalam proses riset. Secara visual anggap saja komunikasi antara Kumara dan Gayatri seperti itu. Hihiiii
Kalau kalian ada yang tahu mungkin bisa kabari aku, yah. :D :D :D
Yogyakarta, 2 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top