06 | Minggu Pagi yang Ramai
Amitha terbiasa menikmati waktu sendiri di kamarnya. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu seharian tanpa keluar kamar. Malam ini pun, harusnya Amitha bisa rileks seperti biasanya. Namun ternyata, hening kali ini menciptakan sepi yang kentara.
Cewek itu bangkit dari ranjang. Meraih ponsel yang semula di-charge, lalu memutar sebuah lagu untuk menemani malamnya. Ia kembali berbaring. Menarik selimut sampai dada lantas pandangannya menerawang pada langit-langit kamar.
Amitha bernapas panjang sekali. Kost-nya belum selesai ia benahi. Masih ada pakaian yang belum pindah ke dalam lemari, lantai yang beliau sempat dipel, juga peralatan kamar mandi serta dapur yang belum ditata.
Ternyata mengerjakan semuanya sendiri cukup melelahkan untuk Amitha. Ia sudah terbaring bahkan saat jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Ia sedikit menyesal karena membiarkan Eva pulang tanpa mengiakan tawaran beliau untuk membantu Amitha berbenah.
Tapi, tidak apa-apa. Masih ada hari esok untuk menyelesaikan sisanya.
Baru saja ia terpejam, dering di telepon membuat Amitha kembali membuka matanya. Melihat layar ponsel tertera nama 'Mami', segera saja ia mengangkat panggilan.
"Halo, Mi."
"Ami, kamu lagi ngapain sayang? Udah makan? Beres-beresnya udah selesai? Kamu sendirian sekarang? Udah malem, pintunya jangan lupa dikunci, Sayang. Gordennya digerai, jendela harus ketutup semua. Kamu baik-baik aja, 'kan?"
Netra Amitha perlahan berkaca. Belum sehari ia berpisah dengan mami, ia nyaris goyah saat mendengar suara wanita itu hanya melalui telepon.
Rasanya, Amitha ingin berteleportasi ke rumah Eva dan memeluk maminya itu sekarang.
"Ami udah makan kok. Ini lagi rebahan udah mau tidur. Pintu udah dikunci juga."
Layaknya seorang ibu, Eva lantas menyadari suara berbeda dari Amitha. "Suara kamu kok geter, kamu beneran nggak papa?"
Sedetik saja, kristal bening meluruh menetes ke bantal. Amitha merasa lemah saat Eva mengetahui dirinya hanya berpura-pura baik-baik saja.
"Kamu mau pulang aja, nggak? Biar mami jemput besok. Soal prakerin, nanti mami bicarain lagi sama pihak sekolah. Katanya di sekolah ada bank mini. Nggak papa, kamu prakerin di sana aja, Sayang. Mami nggak mau kalo--"
"Ami nggak papa, Mi," sela Amitha. "Ami cuma kangen sama mami aja."
Sejujurnya Amitha ingin pulang. Ia yakin tinggal di sini tak akan kerasan. Entah berapa air mata lagi yang harus ia keluarkan. Salahnya karena bersikeras untuk PRAKERIN di Tasikmalaya sedari awal. Seharusnya ia tak terlalu memikirkan Tama yang nyaris tiap hari datang ke rumah. Toh, Eva tetap tidak akan menikah jika Amitha belum mengizinkan.
Tetapi, Amitha sudah memulai, maka ia harus mau menjalankan. Amitha hanya perlu beradaptasi dengan kehidupannya yang baru, serba asing. Meski akan sangat sulit, Amitha harus bisa melakukannya. Setidaknya, agar cewek itu tak menghabiskan setiap malam hanya dengan air mata saja.
***
Minggu pagi, Amitha disibukkan dengan pekerjaan rumah yang belum tuntas. Setelah membereskan sisa pakaian kemarin, ia lekas menyihir kost agar lebih nyaman, semampunya. Meski membutuhkan niat dan kekuatan yang ekstra, Amitha selesai mengerjakan semua pada pukul sepuluh pagi.
itu keluar dari kamar kost. Melewati pagar menghirup udara segar seraya mengerling. Pagi tadi, Amitha dibangunkan oleh suara bising yang seeprtinya berasal dari lapang voli. Dan ternyata benar, di sisi kanan kost, ia mendapati beberapa orang tengah bertanding bola voli.
Sebenarnya ia agak ragu untuk keluar lebih dari selangkah dari pagar kost. Namun, perut yang belum diisi sedari pagi menjadi motivasinya saat ini.
"Permisi, Bu."
Amitha menyapa wanita yang pernah terlibat obrolan dengan bu Mety tempo hari. Terlihat wanita itu mengalihkan diri dari aktivitas sebelumnya, memaku es batu untuk dimasukkan ke dalam termos.
"Eh, Neng," sapanya, "Palay naon?" (Mau apa?)
Amitha masih tak berkutik di balik etalase berisi bermacam lauk tersebut. Beberapa pembeli yang duduk seraya menonton pertandingan voli mulai mencuri pandan ke arahnya.
Amitha bukan orang sunda asli. Ia terkadang hanya mengerti orang lain berkata, tanpa bisa mengucapkan seperti mereka.
Elin mulai membuka penutup lauk satu persatu. "Ada ayam goreng, tahu, tempe, tempe orek, pepes ikan, cumi, tahu buncis, bihun, sayur sop, banyak, Neng. Coba liat."
Netra Amitha menelusuri seisi etalase. Lalu pilihannya jatuh pada ayam goreng beserta tahu dan tempe. Sebenarnya ia ingin sekali memakan pepes ikan. Tapi jujur, ia agak kesulitan untuk memisahkan daging ikan dari tulangnya. Biasanya ia disuapin mami jika menu makannya merupakan ikan.
Amitha menggeleng sekali karena ia justru mengingat Eva lagi.
"Ayam goreng sama tahu tempe aja Bu."
Elin menimpali, "Siap. Pake nasinya juga nggak, Neng?"
Amitha mengangguk. Ia mengedarkan pandang sekali. Minggu yang sangat ramai. Ia merasa lingkungannya sekarang cukup aktif.
"Neng teh aslinya ti mana?" (Neng aslinya dari mana?)
Atensi Amitha beralih pada Elin. Cewek dicepol dengan anak rambut yang berjatuhan itu menggaruk pelipisnya sekali. "Ami dari Cisayong, Bu."
"Oh namanya Ami, ya."
Amitha mengangguk seraya menerbitkan senyuman ramah.
"Terus, Ami ngapain kost di sini?" Terlihat Elin meraih kertas nasi lantas mengisinya dengan nasi pada rice cooker.
"Ami prakerinnya di sini, Bu. Jadinya sewa kost biar nggak harus pulang-pergi dari Cisayong."
Elin ber-oh ria. Wanita itu menyelesaikan pesanan Amitha lantas menyerahkannya.
"Semuanya jadi berapa, Bu?"
"Dua belas ribu."
Amitha menyerahkan selembar dua puluh ribu. Seraya menunggu kembalian, ia mulai memperhatikan sekitar. Ia melongokkan kepala ke depan sedikit agar bisa melihat aktivitas di lapang yang baru dicat itu.
"Kalo mau lihat, lihat aja Neng."
Amitha tersentak, "Eh, nggak, Bu."
Elin menyerahkan kembalian seraya berkata, "Sing betah di dieu nya, Neng. Tenang, di dieu mah teu pernah sepi," Yang kerasan di sini ya, Neng. Tenang, di sini nggak pernah sepi,) kekehnya, "Kalo butuh bantuan, jangan segan buat minta tolong ke Ibu, ya."
***
Halooo.
Kenapa, ya, belakangan jadi sering gampang ngantuk. Bahkan sekarang sering pelor (nempel, molor), heran sama diri sendiri.
Untung sayang, sama dirj sendiri.
Nggak jelas, ah. Efek ngantuk kali, ya.
Yowes, makasi buat yang udah mampir! Lopyu tuing-tuing, deh, pokoknya.
Gutnait!
Salam,
Rismacakap
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top