16 (Revisi)
Siwi memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Sesekali dia melihat aplikasi g*jek yang masih mencari pengemudi. Rapat tim akreditasi selesai sangat larut seperti biasanya, Siwi agak cemas kalau-kalau dia tidak bisa mendapatkan driver.
"Siwi." Siwi menoleh pada suara itu. Arlan menghampirinya dengan senyuman yang melengkung di bibirnya.
"Ayo bareng, biar aku anter pulang," tawar Arlan.
Siwi menunjukkan smartphone-nya yang untung saja sudah mendapatkan driver. "Saya sudah pesan g*jek, Dok."
"Sudah malem begini apa nggak bahaya?" tanya Arlan dengan raut cemas.
Siwi mengembangkan senyuman. Dulu dia sempat berdebar jika Arlan mengatakan hal semacam itu. Tapi kini dia mengerti bahwa dokter itu memang selalu bersikap baik pada siapa saja tanpa terkecuali. Bukan karena dia memiliki perasaan padanya.
"Nggak kok, Dokter. Lagian kos saya nggak terlalu jauh dari sini," ucap Siwi.
"Siwi, apa kamu menghindari aku karena omongan orang-orang?" Pertanyaan Arlan itu membuat Siwi terdiam sejenak.
"Kamu nggak usah dengarkan omongan orang-orang. Aku sudah pernah bilang, kan, aku putus dengan Lana bukan gara-gara kamu."
"Saya punya telinga," tegas Siwi. "Meskipun saya tidak mau, tetap saja saya bisa mendengarkan perkataan orang-orang. Tolong Dokter jangan bersikap seperti ini. Saya tidak apa Dokter, saya bisa pulang sendiri."
Arlan tak mampu berkata-kata melihat Siwi yang mulai berkaca-kaca.
"Saya permisi dulu, Dokter," pamit Siwi. Sembari mengangguk dia melewati Arlan dan keluar dari ruang rapat. Mata Siwi awas melewati jalan-jalan rumah sakit yang gelap karena beberapa lampu dimatikan. Siwi menghela napas ketika mengecek aplikasi g*jek. Driver yang tadi membatalkan pesanannya. Memang jarak pengemudi itu terlalu jauh. Di depan rumah sakit, Siwi melihat sebuah taksi baru saja menurunkan penumpang di depan IGD. Tanpa pikir panjang, dia segera memanggil mobil itu dan menaikinya. Siwi menyebutkan tujuannya sembari menatap jalanan malam yang gelap. Dia berdoa dalam hati, agar dapat melewati malam ini dengan tenang.
***
Lana mengusap matanya dengan tisu. Sudah dua jam lamanya dia menangis. Baru saja putus, sekarang dia malah dipecat dari pekerjaannya. Lana memikirkan kembali apakah dia telah melakukan kesalahan? Hal macam apa yang sudah dia lakukan hingga kontraknya tidak diperpanjang. Apa mungkin karena image barat badannya ini tidak cocok untuk mempromosikan kesehatan? Ataukah mungkin dia dipecat karena buka pacar Arlan lagi? Dulu Lana mendapatkan pekerjaan di Puskesmas itu atas rekomendasi dari Bulek Arlan yang bekerja di Dinas Kesehatan.
Lana menanyakan pada teman-temannya dia grup kampus, apakah ada lowongan. Namun jawaban mereka yang hampir senada membuatnya frustrasi. Tidak ada lowongan. Lana akhirnya mengirim pesan pada Joan setelah sekian lama mengabaikan bestie-nya itu.
Lana_ Jo, ada lowongan nggak?
Joan_ Ada, warung baruku butuh tukang cuci piring nih. Lama nggak wa kok nanyain lowongan doang, Bestie. Nanya kabar dulu kek. Nyari lowongan buat siapa?
Lana memikirkannya. Tukang cuci piring. Kelihatan pekerjaan yang nggak butuh skill ataupun pendidikan khusus. Tapi kalau dia jadi tukang cuci piring di Surabaya berapa gajinua coba? Cukup nggak buat bayar uang kos? Lana lalu mengetikkan pesan balasan.
Lana_ Buat aku. Aku barusan dipecat.
Joan_ Hah? Kok bisa?
Ponsel Lana berdering. Joan ternyata meneleponnya. Suara cempreng khas Joan terdengar begitu Lana menggeser tombol jawab. Padahal Joan itu musisi tapi kok ya suaranya fals banget.
"Yang bener, Lan? Kamu dipecat? Kok bisa? Kenapa?" tanya Joan heboh.
"Nggak tahu. Mungkin karena aku gendut kali ya. Nggak cocok dengan konsep promkes yang tiap hari ngomongin soal diet GGL," jawab Lana sendu.
"Eh, nggak mungkinlah! Masa pekerjaan body shaming gitu!" elak Joan.
"Gaji jadi tukang cuci piring berapa Jo?"
"Hei, kamu sarjana masak mau jadi tukang cuci piring sih. Nggak kasian ibumu yang susah payah nyekolahin."
"Ya kamu juga sarjana tapi juga jadi tukang pukul drum nggak jelas," balas Lana.
Joan malah ketawa biarpun diejek. "Biar kata tukang pukul drum, saweranku banyak tahu!" katanya percaya diri.
"Ya, makanya gaji tukang cuci piring di warungmu berapa? Kali lima juta gitu. UMR Jakarta."
"Dih, itu mah gaji tukang cuci piring di Ameriki. Warungku baru buka, Sis. Aku pake sistem bonus tergantung banyak sedikitnya pelanggan. Gaji pokoknya cuman sejuta. Ini juga baru buka seminggu sepi banget. Aku malah bayarin orang buat duduk-duduk gitu biar kelihatan rame."
Mendengar keluh kesah Joan, Lana ikut prihatin. Menjadi wirausaha memang tidak mudah apalagi baru merintis. Kalau sejuta sih kayaknya kurang untuk uang kos dan biaya hidup di Surabaya.
"Semangat ya, Sis. Sabar aja dulu. Ntar juga ada lowongan. Kemarin kita kan daftar CPNS yak. Kelanjutannya gimana tuh? Kali aja lolos."
Lana jadi teringat akan kenangan pendaftaran tes CPNS beberapa bulan lalu. Saat itu dia masih pacar Arlan. Berempat dengan Arlan, Arkan, dan Joan mereka melakukan pendaftaran online di apartemen Arlan. Rasanya itu baru kemarin kejadiannya. Mengingat hal itu membuat perasaannya jadi gundah.
"Jangan terlalu berharap deh. Udah empat kali aku ikut tes CPNS sejak lulus. Saingannya satu banding 10.000 orang. Cuman orang beruntung aja yang bakal lolos," ucap Lana pesimis.
"Yah, kalau rejeki kan nggak ke mana, Lan. Eh, aku dipanggil abangku, katanya mau bikin strategi promosi biar warung rame tuh."
"Oh ya udah, makasih ya bestie udah dengerin curhatan aku. Kalau ada lowongan yang gajinya 100 juta sebulan gitu kasih tahu aku ya,"
"Dih! Sana balik jadi istri Arlan. Kalau dia diangkat jadi direkur P-Farma mungkin dia bisa kasih kamu uang segitu."
Lana tahu Joan hanya bercanda. Tapi entah mengapa air matanya malah mengalir mendengar kalimat itu. Seandainya saja dia bisa menjadi istri Arlan. Kenyataannya, dia malah diputusin. Namun Lana pura-pura tertawa karena tidak ingin terlihat lemah.
"Ogah! Makan ati doang!" ketusnya.
"Eh, kamu utang cerita sama aku ya! Aku mau denger cerita kenapa kalian bisa putus!" geger Joan.
"Iya, kapan-kapan aku ceritain. Sana deh, ntar disemprot abangmu."
"Okay, sampai jumpa, Bestie."
Lana mengusal lelehan air dari matanya setelah pembicaraan di telepon selesai. Lana teringat akan hari-harinya selama menjadi pengangguran dua tahun lalu. Saat itu, Lana melampiaskan stressnya pada makanan. Jika hal yang sama terjadi lagi, mau seberat apa badannya nanti? Nggak! Kali ini hal itu nggak boleh terulang. Lana harus menguruskan badannya. Sia harus kembali pada masa kejayaannya.
"Lan, ayo makan, ada martabak kesukaanmu nih." Suara Bang Agam yang terdengar dari luar menggugah selera Lana. Matabak spesial telur kesukaannya itu sangat gurih dan lezat, tapi Lana tidak boleh tergoda!
"Aku nggak makan, Kak!" seru Lana.
"Hah? Kok tumben nggak makan? Makanan kesukaanmu ini."
"Mau diet."
Terdengar suara tawa Bang Agam yang menggelegar dari balik pintu membuat Lana jengkel. Iya, dia memang sudah berkali-kali bilang ingin diet tapi selalu gagal, makanya wajar jika Bang Agam menertawakannya seperti itu. Tapi kali ini Lana sudah bertekad bulat. Dia harus berhasil. Tidak diacuhkannya kakaknya itu, Lana fokus melakukan browsing untuk metode diet dan mencatat semuanya.
***
Up! Votes dan komen ya guys.
Dalam rangka bulan timbang aku tiap hari bakal update tips seputar pemberian makanan tambahan pada bayi dan anak di instagramku dan instagram UPTD Puskesmas Pare. Minta love nya ya bunda-bunda dan calon bunda-bunda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top