Chapter 33 : The Good in You
Sikap Praya mungkin sedingin es. Bicaranya super irit. Dia juga memaksa diri untuk tidak tersenyum apalagi tertawa di depan Prabu. Namun, keadaan kurang lebih dua minggu ini tidak menghentikan wanita itu memperhatikan gerak-gerik suaminya.
Sejak dari kamar, sepanjang perjalanan ke rumah sakit, bahkan di rumah sakit, berkali-kali Praya melihat Prabu mengernyitkan kening. Tangannya juga berkali-kali memukul punggungnya atau kadang memijat tengkuknya. Hal yang sebenarnya gatal ingin sekali membuat wanita itu menanyakan keadaan prianya.
Meski tampak kesakitan, tapi senyum Prabu tidak pernah pudar. Pria itu selalu melontarkan pertanyaan yang selalu dibalas seadanya. Terkadang dia juga memutar ulang kenangan saat mereka bersahabat. Momen masa lalu itu menimbulkan iri di hati Praya, hubungan hangat dan manis mereka kini berubah 180 derajat.
"Bu Praya, dengarkan penjelasan saya?"
Seketika Praya tersentak. Perhatiannya pada Prabu yang terus memijat tengkuknya pun buyar. Dokter kandungannya, Ida melempar ekspresi bertanya. Praya meringis, lalu berbohong, "Dengar kok, Dok."
Ida mendesah panjang. "Saya ulangi aja ya, Bu. Tumbuh kembang anak Ibu dan Bapak normal. Sekarang pelan-pelan porsi makan Ibunya ditambah, banyakin juga asupan proteinnya. Untuk Ibunya saya rasa harus mulai dikurangi tingkat stress-nya. Intinya hanya itu saja. Untuk obat-obatan nanti saya tulis di resep saja."
Praya mengangguk.
Sedangkan Prabu malah bersuara. Dia bertanya, "Dok, aneh nggak ya kalau istri saya nggak pernah ngidam?"
Pertanyaan Prabu sukses membuat Praya mendelik. Seingatnya dia pernah ngidam sekali dan berakhir menyedihkan. Sejak saat itu, dirinya seolah tak lagi menginginkan sesuatu.
Reaksi Ida terkekeh pelan. "Nggak ngidam itu normal, Pak Prabu. Banyak kasus ngidam malah dijadikan alat untuk istri mendapatkan apa yang dia mau, tapi mengatasnamakan anak yang di kandungan. Dan nggak diturutin ngidam istri itu nggak apa-apa. Bukannya menyenangkan, istri hamil, tapi nggak ngidam? Nggak repot buat Bapak."
Ekspresi Prabu tampak tidak senang. "Sejujurnya, saya ingin istri saya ngidam, Dok. Istri saya itu orangnya terlalu mandiri, jadi kalau dia ngidam, saya bisa manjain dia."
Ucapan Prabu berhasil membuat Praya berdebar kencang. Buru-buru dia membuang muka. Berkali-kali dia meyakini diri sendiri untuk tidak boleh luluh. Sikap Prabu memang mulai baik. Sayangnya, itu tidak cukup untuk mempertahankan hubungan mereka yang timpang.
"Beruntungnya Ibu Praya punya suami Pak Prabu. Eh salah, dua-duanya beruntung punya satu sama lain." Ida terkekeh. Fokusnya kembali pada kertas resep di meja. Dia menulis sesuatu di sana, sebelum menyodorkannya pada Prabu. "Jangan lupa minum obat-obatannya yang teratur ya, Bu Praya. Nanti kontrol lagi sesuai jadwal yang ada di buku kehamilannya."
"Makasih, Dok," ucap Prabu dan Praya berbarengan.
Begitu selesai mendapatkan kembali buku kehamilan, keduanya bergegas keluar dari poli kandungan. Mereka berjalan beriringan, tapi tidak cukup dekat. Keheningan canggung menyelimuti mereka.
"Ay, kamu kenapa nggak pernah ngidam?"
Pertanyaan Prabu membuat Praya menghela napas dalam. Ingatan malam itu berputar di kepala. Biasanya dia berusaha menguburnya dalam-dalam, tapi hari ini dia malah ingin menceritakan sedikit kejadian itu.
"Pernah," jawab Praya pelan. "Saat itu kamu nggak ada dan aku ... berangkat sendirian malam-malam. Padahal aku kirim kamu pesan malam itu, jadi harusnya kamu tahu aku pernah ngidam."
Langkah Prabu tiba-tiba terhenti. Praya yang bingung ikut berhenti. Kening wanita itu berkerut, tapi tidak berkata apa-apa.
"Malam itu? Kapan, Ay? Jangan bilang malam sebelum aku datangi kamu ke apartemen Eva?"
Praya mengangguk lambat-lambat. Kemudian, dia menyindir, "Jangan bertindak tidak tahu apa-apa, Prab, karena besoknya kamu menemukanku di apartemen Eva."
Tahu-tahu saja Prabu mengerang frustrasi. Pria itu meraih tangan Praya. Dan kali ini wanita itu membiarkan prianya berbuat sesukanya.
"Ay, hari itu ponselku jatuh di pabrik. Karena jatuhnya cukup parah, ponselku rusak, jadi asiustenk terpaksa beliin ponsel lagi dan risikonya semua chat yang masuk dan belum sempat kubaca nggak selamat. Karena saat itu sedang ada pemeriksaan pabrik secara keseluruhan, aku terlalu sibuk mengurus ponsel, jadi aku nggak tahu kamu kirim pesan." Prabu menghela napas dalam. "Masalah aku tahu kamu di apartemen Eva itu dari sopir kamu, Ay. Awalnya, aku nggak sadar kamu nggak di rumah saat aku sampai rumah tengah malam karena tidur ... di kamar Aruna. Tapi, pas pagi, asisten rumah tangga bilang kamu nggak ada, aku panik, Ay."
Sebuah fakta baru terungkap. Hari itu, Prabu tidak sengaja menghindarinya, tapi memang karena kesibukan yang tak berujung. Hanya saja, saat ini Praya merasa fakta itu tidak lagi cukup membuat hubungan ini bekerja.
"Aya, aku minta maaf," ucap Prabu pelan. Ada kesungguhan dalam sorot matanya. "Rasanya pasti sedih banget berangkat sendiri buat beli makanan yang kamu inginkan. Aku janji, itu terakhir kali aku biarin kamu sendirian."
Praya menghela napas dalam. Sambil menarik tangannya, dia berkata, "Udah berlalu, Prab."
Setelahnya, Praya mencoba menyunggingkan senyum. Dia bersikap tegar dan baik-baik saja, sekalipun hatinya remuk redam karena mengetahui malam itu bukan sepenuhnya salah Prabu.
Pertahanan Praya juga mulai goyah. Hanya saja, wanita itu berusaha untuk tetap bertahan. Keinginannya sekarang bukan lagi pernikahan yang aman dengan pria yang dia cintai. Dia mulai egois, ingin menikah dengan pria yang dia cintai dan mencintainya juga.
Baca kelanjutan kisah Prahara Pernikahan Praya hanya di Karyakarsa. Link akan saya bagikan di beranda wattpad ya.
***
Minggu 17 juli 2022
Terima kasih untuk dukungan kalian! Selalu ditunggu ya!
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top