Chapter 21
Dari daun, kita dapat belajar bahwa hidup sejatinya hanyalah perihal memberi manfaat secara luas tanpa menantikan sebuah imbalan. Itu makna hidup sebenarnya.
~Bisma Arya putra~
🌻🌻🌻
Setelah beberapa jam menunggu pesan dari Bisma, akhirnya yang dia tunggu diterimanya juga. Bisma mengajak Naura bertemu sore ini karena sepulang sekolah tadi, Naura mengiriminya banyak pesan pertanyaan yang harus dia jawab sekarang.
Gadi itu berkata pada Bisma kalau tidak perlu menjemputnya karena taman yang mereka tuju tidak jauh dari rumahnya. Taman yang mana menjadi tempat peristirahatan raganya saat joging di pagi hari.
Naura memilih berjalan kaki sekaligus menikmati pemandangan sore hari yang lumayan cerah ini. Senyum manis terukir di wajah tirusnya. Angin sore kali ini berembus lumayan kencang, menyapu anak rambutnya yang berjatuhan. Sayangnya, udara sore sudah tidak lagi alami karena polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan dan beberapa hal lainnya.
Tinggal beberapa langkah lagi untuk Naura sampai di tempat itu. Tempat awal di mana dia melihat sosok masa lalunya itu kembali ke Jakarta.
Naura menyunggingkan senyumnya saat melihat seorang lelaki yang tak asing lagi duduk di bangku taman membelakanginya. Tanpa melihat parasnya terlebih dahulu, Naura sudah mengetahui siapa pemilik punggung itu kalau bukan Bisma Arya Putra.
"Sori, Kak, lama," ucapnya sambil mendudukkan diri di samping Bisma.
Bisma yang menyadari keberadaan Naura pun menoleh, tatapannya menyiratkan rasa rindu teramat dalam. Lelaki itu menyunggingkan seulas senyum demi menutupi kerapuhannya akan semesta.
"Kenapa enggak di kafe atau restoran aja gitu ketemuannya?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Bisma membuat Naura terkekeh kecil. Senyumnya mengembang seiring dengan kerutan samar yang timbul di dahi milik lelaki itu. Aneh! Kenapa harus ke tempat mewah jika di tempat sederhana seperti ini saja sudah bisa membuatnya berpikir lebih jernih dari sebelumnya? Terlebih mereka bisa menghirup udara segar dengan sangat bebas tanpa perlu berebut dengan siapa pun.
"Kenapa harus di tempat mewah kalau tempat seperti ini lebih nyaman?" Naura balik melempar pertanyaan yang tentu saja membuat Bisma ikut terkekeh.
"Bukan tempatnya yang bikin nyaman," ledek Bisma.
Kedua alis Naura berhasil dibuat menukik oleh perkataan Bisma barusan.
"Ha?"
"Orangnya. Gue yang bikin nyaman," ucapnya penuh percaya diri.
Naura bedecih, lalu membuang muka dari Bisma. "Pede bener," sindirnya.
Bisma hanya mendengkus geli sendiri saat Naura menanggapi ucapannya dengan begitu serius, padahal 'kan dia hanya bercanda. Dia juga tidak tau, apakah kehadirannya membuat gadis itu nyaman atau tidak. Entahlah, biarkan saja. Bisma juga tidak mau ambil pusing masalah ini.
Naura berdeham untuk menghilangkan rasa kecanggungan yang baru saja ditimbulkannya.
"Kak Bisma tau beberapa filosofi daun?" tanya Naura mencoba mencari topik lain agar mereka memiliki obrolan sebelum dia melemparkan beberapa pertanyaan untuk Bisma.
Bisma menggeleng sembari menjawab, "Enggak. Memang ada?"
"Ada dong," balas Naura terdengar angkuh, seakan-akan hanya dirinyalah yang mengetahui jika daun memiliki filosofi. "Dengerin, nih, ya," lanjutnya. Gadis itu menghela napas terlebih dahulu sebelum mulai menjelaskan satu per satu filosofi daun.
Suara Naura terdengar begitu bersemangat hingga dia melupakan tujuan awalnya ingin bertemu dengan Bisma. Nada bicaranya sekali-kali terdengar begitu ketus saat menyinggung tentang penebangan hutan secara liar, raut wajahnya pun ikut menyiratkan akan kekesalannya.
Bisma sebagai pendengar menatapnya kagum. Merasa lelah dengan posisinya, Bisma hampir saja mengubah cara duduk, dan pandangnya sebanyak lima kali. Mulai dari menoleh, menyerongkan badan, lengan kanan bertumpu pada sandaran kursi, hingga yang terakhir dia lakukan adalah menyangga kepalanya dengan satu tangan. Dia terlihat begitu antusias, apalagi ketika melihat cara pembawaan Naura.
Tidak sia-sia Naura berceloteh panjang lebar karena Bisma dapat menyerap hampir keseluruhan filosofi daun yang dijelaskannya. Mulai dari melambangkan keteduhan, mengajarkan tentang adaptasi, kemandirian, bahkan daun tahu makna akan kerja sama untuk saling mendukung dengan dedaunan lainnya—tidak egois. Kata terakhir yang paling membekas dalam ingatan seorang Bisma adalah daun itu indah, tetapi pemurah. Hal itu jelas saja bermakna akan cinta kasih tanpa batas, seperti memberi kesejukan lingkungan sekitar, memberi oksigen dengan cuma-cuma.
Selesai bercerita panjang lebar, Naura membasahi tenggorokannya yang terasa begitu kering dengan saliva. Manik matanya terkunci ke arah Bisma.
"Dari daun, kita dapat belajar bahwa hidup sejatinya hanyalah perihal memberi manfaat secara luas tanpa menantikan sebuah imbalan. Itu makna hidup sebenarnya."
Bisma tersenyum bangga pada Naura. Bagaimana bisa gadis di hadapannya ini tanpa sadar memberinya semangat tersendiri untuk terus selalu bangkit, padahal detik ini juga dia ingin lenyap dari dunia berusaha menindasnya.
"Makasih, Ra."
Perkataan Bisma yang baru saja terdengar begitu tulus nan lembut sopan memasuki gendang telinganya.
"Untuk apa, Kak?" tanya Naura merasa heran.
Bisma mengembuskan napas, ingin rasanya dia menertawai diri sendiri. Naura tidak tahu akan kehidupannya, dan mendadak dia mengucapkan kata terima kasih pada gadis itu karena tanpa sadar telah memberinya pencerahan. Wajar saja jika Naura merasa heran dan malah bertanya. Akan tetapi, seharusnya mengucapkan terima kasih tidak perlu disertai alasan bukan? Semua orang bebas mengucapkan kata terima kasih, bahkan kalau bisa setiap detik orang-orang perlu mengucapkannya terlebih kepada diri sendiri.
"Buat apa yang barusan lo jelasin."
"Oh ... sama-sama, Kak."
Keadaan mendadak menjadi hening. Untuk sementara, pandangan keduanya menatap ke lingkungan sekitar, melihat-lihat orang yang berlalu-lalang. Ada yang berjalan sendirian, dengan sang kekasih, juga keluarga kecil yang saling mengamit tangan satu sama lain. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.
Darahnya berdesir ketika melihat seorang anak lelaki berada di tengah-tengah kedua orang tuanya. Tawa lelaki kecil itu menghisai setiap derap langkah mereka, sesekali suara cekikikan terdengar jelas di telinga Bisma, ternyata bocah kecil itu sedang bersenda gurau bersama sang papa.
Andai saja kedua orang tuanya masih ada, pasti Bisma tidak akan merasa iri akan lelaki kecil itu. Setidaknya semesta menyisakan satu saja orang tersayang untuk menemani perjalanan hidupnya.
Naura yang sebelumnya ingin menyerbu dengan berbagai macam pertanyaan dia urungkan. Wajah Bisma mendadak berubah menjadi sendu, tentu saja Naura tidak tega jika harus membombardir lelaki itu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Jujur saja, Naura baru mengetahui seorang Bisma dengan mood yang berbeda. Sebenarnya ada apa dengan lelaki itu?
Naura mengalihkan pandangan sebelum lelaki itu memergokinya.
"Hm ... Kak Bisma? Kalau boleh tahu, waktu terakhir jalan sama Naura Kam Bisma kenapa?" tanya Naura takut-takut masih dengan tatapan lurus ke depan.
"Kapan?"
"Kemarin, pas pulang sekolah, lanjut ke toko buku, terus ke kafe. Muka Kak Bisma," Naura menjeda kalimatnya. "Nggak enak banget dilihat," lanjutnya berhati-hati.
"Oh, itu." Bisma tidak berselera untuk membahas perihal dia berubah karena hal itu membuatnya teringat akan sang nenek.
Setelah menimang-nimang cukup lama, akhirnya Bisma mulai memercayakan seluruh cerita hidupnya pada Naura. Sebelumnya Bisma tidak semudah ini dalam berbagi masalah kehidupannya, tetapi Naura sudah membuatnya menaruh rasa kepercayaan penuh untuknya.
"Maaf, ya, Ra, kalau sebelumnya gue bikin lo bingung atau merasa bersalah," lirih Bisma menatap manik mata indah milik gadis di depannya lekat-lekat. "Jujur, Ra. Gue nggak setegar yang lo lihat. Kehidupan gue nggak sebahagia ini." Bisma menjeda kalimatnya, menarik napas untuk menyelami rongga dada yang mulai terasa sesak. "Semesta gue hancur, Ra."
Pupil mata milik Naura melebar seketika. Namun, dia masih ragu untuk mengeluarkan sepatah kata karena mendengar Bisma bercerita terlebih dahulu jauh lebih baik daripada menyelanya.
"Nenek gue meninggal sore itu," ucapnya sedikit gemetar. Bisma menahan diri agar tidak tumbang di depan Naura.
"Inna lillāhi wa inna ilaihi rājiūn. Kak Bisma yang sabar, ya."
"Gue udah cukup sabar buat ngadepin semesta, Ra. Sampai kemarin gue bener-bener ada di titik terendah buat nyerah."
"Kak—"
"Semesta nggak adil, Ra. Semesta mengambil paksa semua orang baik dalam hidup gue! Orang yang gue sayang! Mama, papa, dan nenek." Bisma mulai terisak.
Naura jadi tidak tega melihatnya, tangannya naik ke atas bahu Bisma. Dia mengusapnya dengan begitu lembut, berusaha menyalurkan kehangatan agar Bisma tahu Naura memedulikannya. Naura takut kehilangannya. Jujur saja, Naura juga terkejut karena ini terlalu tiba-tiba untuknya—mendengar dan mengetahui segala hal tentang kehidupan lelaki itu.
"Maaf, Kak. Orang tua Kak Bisma udah meninggal atau—" Naura takberniat melanjutkan kalimatnya karena takut menyakiti hati Bisma secara tidak langsung.
Bisma membersit hidungnya, lalu membalas pertanyaan Naura yang sempat menggantung. "Mama, dan papa gue udah meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan, Ra. Cuma nenek yang gue punya satu-satunya, tapi ... semesta kembali mengambil hal berharga dalam hidup gue untuk kesekian kalinya."
"Kak Bisma di sini sama siapa?"
Sesak di dalam dada yang sebelumnya berat kini kian mereda—terasa sedikit lebih ringan. Seharusnya dari dulu dia mempunyai teman curhat, agar tidak merasa terlalu terbebani akan kehidupan.
"Sama Bi Inah, orang yang ngerawat gue sejak kelas lima," tuturnya.
"Naura cuma mau bilang sama Kak Bisma. Jangan pernah ngerasa sendirian karena Kak Bisma punya Naura." Gadis itu memandang Bisma lekat, lalu melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda, "Dan jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup karena merasa lelah akan semesta. Kak Bisma boleh kok istirahat kalau semisal capek. Kak Bisma boleh teriak sekencang-kencangnya kalau itu bisa melepas rasa kesal dalam diri Kak Bisma. Bisa melepas semua beban yang selama ini Kak Bisma pikul." Naura tersenyum. "Yang terpenting ... Kak Bisma nggak boleh nyerah. Naura selalu ada buat Kak Bisma. Dalam kondisi apa pun." Sebisa mungkin Naura menyalurkan semangat dalam diri Bisma lewat kata-katanya
"Makasih, banyak, Ra."
Bisma tertegun akan perkataan Naura. Gadis itu cukup pandai dalam menyikapi semesta, meski Bisma tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupannya.
Tidak pernah sedikit pun ada penyesalan dalam hidup Bisma menaruh rasa pada Naura. Dia bahkan sangat beruntung bisa mengenal gadis itu. Kalau bukan karena semesta yang mempertemuaknnya, tidak mungkin gadis itu bersama dengannya sekarang. Jadi, tidak ada alasan lebih untuk dirinya membenci semesta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top