Tante Sakit Apa?
Sudah tiga hari Putri dirawat. Ganta semalam suntuk mempertimbangkan keputusannya yang ingin menuntut Putri. Dia terus terngiang-ngiang memikirkan ucapan Putri kemarin lusa. Apa benar dia manusia tak punya hati?
"Ta, kenapa kamu ngelamun di situ?" tanya Carla yang sudah rapi, siap ingin pergi, saat keluar rumah mendapati Ganta melamun di teras rumah.
"Aku kepikiran ucapan Putri kemarin lusa, La," jawab Ganta menoleh Carla dengan wajah berat.
Carla ikut duduk di sebelah Ganta. Mereka menghadap pelataran yang cukup panas siang ini. "Kasihan sebenarnya dia, Ta. Yang dikhawatirkan, kalau Putri terus-terusan tertekan, dia bisa sakit jiwa."
"Itu juga yang aku takutkan, La. Mungkin menurut kita cobaan hidup dia tak seberapa. Tapi kalau ditilik ke belakang, dia anak manja, yang segala sesuatu tahunya beres. Sekali menghadapi masalah, bertubi-tubi. Mamanya koma, papanya masuk penjara, terus Alfa begitu juga. Ah, aku jadi ikut stres, La." Ganta mengacak rambut sebahunya.
"Ngapain kamu ikut stres, Ta? Apa hubungannya sama kamu?"
"Ada dong, La. Kan, aku gugat dia."
"Oh, iya. Lupa."
"Terus, enaknya gimana, La?"
"Kalau dipikir-pikir sih, memang kamu benar menuntut keadilan atas meninggalnya orang tuamu. Tapi, dari sisi kemanusiaan, apa kamu tega melihat Putri cacat mental karena enggak kuat hadapi ini semua?"
Ganta menoleh Carla yang ternyata sedang melihatnya. "Aku akan hubungi Fikri. Coba membicarakan ini dengannya."
"Nah, itu lebih baik lagi!" ujar Carla sumringah. "Aku percaya, kamu punya hati dan rasa kemanusiaan." Carla menepuk-nepuk bahu Ganta.
"Makasih, ya, La? Kamu selalu membantuku, ada setiap saat."
"Iya. Sama-sama. Namanya teman, saling membantu, kan? Walau semampuku sih."
"Bantuan kamu lebih dari cukup, La. Aku yang minta maaf enggak bisa bantu kamu apa-apa."
"Haduh, kamu itu udah bantu aku banget! Dengan menampungku di sini aja, aku udah bersyukur banget. Kalau enggak ada kamu, jadi apa aku, Ta? Gelandangan mungkin!"
"Enggak mungkinlah!" sahut Ganta cepat. "Oh, iya, ini kamu mau ke mana?"
"Aku mau lihat persiapan opening restoran besok Minggu. Kamu mau ikut?"
"Enggak dulu deh. Aku mau ngobrol sama Fikri dulu."
"Oh, oke. Aku pinjam mobilnya, ya?"
"Pakai aja, sesuka hatimu. Orang aku juga enggak bisa pakai kok. Cuma kamu yang bisa nyetir di rumah ini."
"Terus nanti Auriel gimana pulang sekolahnya?"
"Gampang itu, entar aku jemput sama Fikri. Sekalian kami mau ke rumah sakit, besuk Putri sekalian ngobrol sama Om Doni dan Alfa."
"Oh, ya sudah kalau gitu. Aku pergi dulu, ya? Dadah, Ta," pamit Carla melambaikan tangan sambil berjalan ke pelataran.
"Hati-hati," ucap Ganta melambai, mengiringi kepergian Carla.
Selepas mobil tak terlihat, Ganta pun masuk ke rumah. Dia menelepon Fikri dan mengobrol sebelum mereka pergi ke rumah sakit.
***
Sampai di rumah sakit, Auriel yang membopong boneka beruang berbulu cokelat kesayangannya berlari ke arah Alfa yang sudah menunggunya di koridor ruang rawat Putri. Dia sangat girang bertemu Alfa setelah sekitar dua hari tidak bertemu.
"Kok tumben bawa boneka?" tanya Alfa setelah Auriel berada di gendongannya.
"Iya," jawab Auriel singkat sambil melihat bonekanya.
"Selamat siang, Pak Alfa," sapa Fikri setelah sampai di dekat Alfa.
"Iya, siang," balas Alfa dengan sikapnya yang dingin. "Auriel udah makan belum?" tanya Alfa kepada Ganta, lalu mencium pelipisnya.
"Belum, baru pulang sekolah langsung aku ajak ke sini. Soalnya di rumah enggak ada orang. Bapak sama Ibu lagi pergi pengajian. Carla ke restoran, ngecek persiapan opening."
"Oh, ya sudah. Biar nanti dibeliin Rafael makanan di luar. Ayo, Papa udah nungguin." Alfa berjalan lebih dulu sambil membopong Auriel, diikuti Ganta dan Fikri.
Sampai di ruang rawat Putri, Alfa menurunkan Auriel dari gendongannya. Putri menoleh ke arah pintu, Ganta tersenyum menyapa Putri, tetapi Putri malah melengos.
"El," seru Alfa memanggil Rafael yang sedang duduk di kursi dekat tempat Putri berbaring.
"Iya, Mas?" Rafael mendekat.
"Tolong belikan chiken karage sekalian nasinya buat Auriel, ya?" Alfa berucap sambil mengulurkan uang kepada Rafael.
"Siap, Mas!" Rafael bergegas pergi.
"Sayang, kamu di sini dulu, ya, sama Pak Sugeng? Om Rafael lagi beliin kamu makan. Papa mau ngobrol sebentar di luar sama Kakek, Mama, dan Om Fikri," ujar Alfa sangat lembut, terpancar aura kebapakannya.
"Iya, Pa," jawab Auriel patuh, dia duduk di sofa.
"Ayo!" ajak Alfa kepada Fikri dan Ganta.
"Kakek tinggal sebentar, ya?" ucap Doni mencium pucuk kepala Auriel, lalu dia keluar menyusul Alfa yang sudah lebih dulu keluar bersama Ganta dan Fikri.
Dari tempatnya berbaring, Putri terus memperhatikan Auriel. Wajahnya sangat mirip Kak Alfa, batin Putri, hatinya seperti tertusuk-tusuk, sakit menerima kenyataan.
Auriel banyak berbicara dengan Sugeng sambil memainkan bonekanya. Sementara Alfa, Ganta, Fikri, dan Doni pergi ke restoran terdekat, membahas tuntutan Ganta kepada Putri. Sekitar tiga puluh menit berlalu, Rafael datang membawa makan siang untuk Auriel.
"Nona Muda, ini makan siangnya," ucap Rafael meletakkan plastik putih di meja, depan Auriel duduk.
"Terima kasih, Om Rafael," ucap Auriel dengan suaranya yang khas, kecil, sopan, lugu, dan menggemaskan.
"Mainnya nanti lagi, ya? Sekarang Nona Muda makan dulu," ujar Sugeng mengambil boneka Auriel dari pangkuannya.
Auriel menatap Putri, dia merasa kasihan melihatnya. Saat Rafael membukakan kotak makanannya, Auriel justru mendekati Putri. Dia duduk di kursi samping tempat Putri berbaring.
"Tante sakit apa?" tanya Auriel polos memegang tangan Putri.
Bukannya menjawab, Putri malah menangis tersedu-sedu sambil menatap wajah polos Auriel yang sangat mirip Alfa. Gadis sekecil itu sudah memiliki rasa kepedulian, nyatanya dia bertanya walaupun Auriel belum mengenal Putri.
"Tante jangan nangis. Kata Papa, kalau kita nangis, nanti enggak dapat hadiah loh." Dengan lugunya Auriel menghapus air mata Putri. "Papa juga bilang, kalau kita lagi sedih, mending makan es krim. Tante suka es krim rasa apa? Auriel beliin, ya?"
Putri mengulum bibir, menahan tangis juga menahan senyum, dia menggeleng lemah. Air matanya terus mengalir melewati ekor matanya. Sugeng dan Rafael yang melihat hal itu hanya tersenyum, bangga melihat gadis sekecil Auriel berani melakukan itu kepada orang yang baru pertama dia temui.
"Nona Muda, maem dulu yuk!" kata Sugeng mendekati Auriel, ingin menurunkannya, tetapi Auriel menggeleng. "Loh, kenapa enggak mau?" Sugeng mengerutkan kening.
"Aku mau maem sama Papa," kata Auriel menunduk.
"Loh, tadi dengar, kan, Papa bilang apa? Nona Muda harus makan." Sugeng dengan sabar merayu Auriel supaya mau makan.
"Ini ada pesawat terbang, Ngeeeeeeeng ... ayooo buka terowongannya biar pesawatnya masuk," ujar Rafael menerbangkan sendok berisi nasi dan lauk. Sekejap, sesuap nasi masuk ke mulut Auriel.
Melihat hal itu, hati Putri tersentuh. Dia teringat masa kecilnya saat dulu Rehan menyuapi dengan cara seperti yang Rafael lakukan kepada Auriel. Air matanya mengalir semakin deras. Dia merindukan masa-masa itu, di mana keluarganya masih utuh dan tampak baik-baik saja. Tidak seperti sekarang, terpisah belah, tak keruan nasibnya.
Sesuap demi sesuap akhirnya Rafael dan Sugeng berhasil merayu Auriel untuk makan. Biarpun tidak habis karena porsi yang Rafael beli untuk orang dewasa. Setelah minum air putih, Auriel kembali fokus melihat Putri.
"Tante jangan nangis lagi." Auriel menarik tisu di nakas, lalu menghapus air mata Putri.
Pintu ruang rawat terbuka, Alfa dan Ganta muncul bersama Doni serta Fikri. Melihat orang tuanya datang, Auriel langsung berlari menghampiri mereka. Dia menubruk Alfa dan memeluknya.
"Papa, Tante itu sakit apa?" tunjuk Auriel kepada Putri, sambil menengadahkan wajahnya menuntut jawaban Alfa.
"Namanya Tante Putri, Sayang. Tante sakit tenggorokan," jawab Alfa sambil tersenyum.
"Oh." Auriel manggut-manggut.
Alfa berlutut menyamakan tingginya dengan Auriel. "Sayang, pulang dulu sama Mama, ya?" tukas Alfa sangat lembut sambil mengusap kepalanya.
"Papa?" Auriel memiringkan kepala, wajahnya sangat menggemaskan.
"Papa masih ada urusan di sini. Besok Papa datang ke rumah, ya? Mau dibawain apa?"
"Cokelat."
"No. Ingat, kan, kata dokter? Gigi Auriel sering sakit, Sayang, dokter menyarankan agar mengurangi makanan yang manis. Gimana kalau stroberi aja?"
"Stroberi sama anggur."
"Oke, Tuan Putri. Siap! Papa besok belikan. Tapi, sekarang pulang dulu sama Mama, ya?"
"Oke, Papa!"
"Pintar," puji Alfa mengacak rambut Auriel pelan lalu mencium kedua pipinya. Dia berdiri, menatap Ganta. "Kamu pulang diantar Rafael aja, ya?"
"Tapi Fikri gimana?" Ganta menujuk ke arah Fikri. Alfa langsung memasang wajah tak suka. Tidak ingin merusak suasana hati Alfa, akhirnya Ganta mengalah. "Iya sudah. Aku mau diantar Pak Rafel."
"El, antar Ganta pulang, ya?" titah Alfa memberikan kunci mobilnya kepada Rafael.
"Siap, Mas!"
Sebelum pulang, Auriel mendekati Putri. Dia meletakkan boneka beruangnya di samping Putri.
"Kamu temenin Tante Putri, ya? Jangan nakal," kata Auriel kepada boneka beruang kesayangannya.
Sambil menangis, Putri tersenyum. Melihat kepolosan cucunya itu, Doni terkikih seraya menggeleng. Alfa dan Ganta saling pandang dan melempar senyum.
"Tante, aku pulang dulu, ya? Cepat sembuh. Nanti Auriel kasih es krim kalau Tante sudah sembuh." Auriel mengangkat tangan Putri, lalu menciumnya.
Air mata Putri semakin deras mengalir. Saat bibir mungil itu menyentuh punggung tangannya, ada sesuatu seperti menyirami hatinya, sejuk dan terasa damai. Putri mengelus pipi Auriel.
"Makasih, ya, anak cantik," ucap Putri serak.
"Sama-sama, Tante."
Keceriaan Auriel seperti listrik yang menyengat hati Putri. Semangat gadis kecil itu mengingatkannya saat dia masih kecil. Auriel kembali memeluk Alfa. Terekam jelas dari mata Putri, Auriel seperti tak ingin jauh dari Alfa. Gadis kecil itu sudah mencuri seluruh hati Alfa, hingga tak tersisa lagi untuk Putri. Apakah Putri tega memisahkan Alfa dan Auriel? Lagi-lagi Putri hanya bisa menangis.
"Pa, aku antar mereka sampai parkiran dulu, ya?" kata Alfa kepada Doni. "Salim dulu sama Kakek, Nak," imbuh Alfa mengulurkan tangan Auriel ke arah Doni.
"Auriel pulang dulu, ya, Kek?" ucap Auriel sangat lembut mencium punggung tangan Doni.
"Iya, Sweety. Jangan lupa belajar yang rajin, ya?" kata Doni mengelus pipinya dan mencium kening Auriel.
"Pak Doni, saya permisi dulu," pamit Fikri menyalami Doni.
"Silakan, Pak Fikri. Terima kasih," ucap Doni membalas jabatan tangan Fikri.
Alfa keluar sambil merangkul Auriel dan Fikri di belakangnya. Ganta mencium tangan Doni sebagai tanda berpamitan. Dia tersenyum kepada Putri, tetapi Putri malah melengos. Doni mengelus punggung Ganta agar dia sabar dan memahami kondisi Putri. Ganta hanya tersenyum kepada Doni.
"Pulang dulu, ya, Pa?" pamit Ganta.
"Iya. Hati-hati," ucap Doni mengantar sampai pintu.
Ganta menyusul Alfa dan Auriel yang sudah sedikit jauh darinya. Sampai di parkiran, Rafael sudah menunggu di dalam mobil.
"Mampir beli makan dulu," kata Alfa mengingatkan Ganta sambil membukakannya pintu.
"Enggak usah. Tadi aku masak kok."
"Oh. Kalau sudah sampai rumah telepon, ya?"
"Iya."
Alfa menutup mata Auriel, dengan cepat dia mencium bibir Ganta. Pipi Ganta blushing, dia mencubit perut Alfa sambil tersenyum malu.
"Papa, kenapa mataku ditutup?" tanya Auriel memegang tangan Alfa yang masih menahan matanya.
"Cilup ba!" Alfa tersenyum manis setelah membuka mata Auriel. Dia mencium pucuk kepalanya. "Masuk mobil, Sayang," ujar Alfa kepada Auriel.
"Iya, Pa."
Auriel lalu masuk lebih dulu. Saat Ganta akan menyusul masuk, Alfa menahan pergelangannya.
"Makasih, ya? Aku percaya, kamu memiliki hatimu bagaikan malaikat," ucap Alfa, lantas mencium kening Ganta cukup lama.
Hati Ganta bergetar hebat, tangannya menyentuh dada bidang Alfa, matanya terpejam, merasakan kehangatan kecupan di keningnya. Dari jarak yang tak begitu jauh, Fikri melihatnya sambil tersenyum.
"Kamu memang baik hati, Ta." Setelah itu dia pergi mengendarai mobilnya.
Alfa melepas bibirnya dari kening Ganta. Mereka saling tatap, Ganta tersenyum sangat manis kepada Alfa.
"Jangan lupa minum vitamin. Pasti kamu kurang istirahat karena jagain Putri."
"Iya. Masuk sana. Kasihan anaknya nungguin."
Ketika Ganta naik ke mobil, tangan Alfa spontan menghalang di atas kepalanya, jaga-jaga supaya Ganta tidak terbentur.
"Dadah, Papa." Auriel melambaikan tangan.
"Dadah, Sayang." Alfa membalas lambaian Auriel. "Hati-hati, ya, El."
"Iya, Mas Alfa."
Setelah Alfa menutup pintu, Rafael pun menginjak gasnya. Mobil berjalan, semakin jauh. Setelah tak terlihat, Alfa kembali ke ruang rawat Putri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top