Sah!
Setelah melakukan lamaran resmi beberapa minggu lalu ke rumah Pras, pagi ini Ganta dan Alfa melaksanakan ijab kabul di KUA. Tanpa pesta mewah dan tanpa ribuan undangan. Ijab kabul terlaksana dengan lancar, mereka sudah mendapatkan yang diinginkan, yaitu buku nikah. Tak berapa lama setelah mereka sah sebagai suami istri, Alfa langsung meminta Rafael membantunya untuk mengurus surat-menyurat Auriel dan Ganta, terutama surat pindah mereka.
"Aku seneng banget deh, akhirnya bisa bobo sama Papa, sama Mama," ujar Auriel sebelum mereka tidur.
Ganta dan Alfa saling pandang dan melempar senyum.
"Sudah malam, sekarang waktunya kita bobo," ujar Ganta menarik selimut, menutupi badan mereka.
"Selamat malam, Pa, Ma," ucap Auriel mencium pipi Ganta dan Alfa bergantian.
"Selamat malam, Sayang." Alfa membalas, mencium kening Auriel.
Auriel langsung memejamkan mata, senyum tak pudar dari bibir tipisnya. Setelah dirasa napas Auriel sudah teratur, Alfa pindah ke belakang Ganta dan memeluknya.
"Ih, kenapa pindah?" bisik Ganta menyenggol dada Alfa dengan sikunya.
"Ini kan, malam pertama kita, Sayang."
"Malam pertama apaan? Udah gede hasilnya," tunjuk Ganta kepada Auriel yang sudah tidur lelap.
"Maksudnya, malam pertama setelah kita sah. Masa terlewatkan gitu aja sih?"
"Aku lagi dapat, Sayang."
"Jangan bohong."
"Serius. Pegang aja kalau enggak percaya."
Alfa berdecak kecewa. "Berapa lama biasanya?"
"Paling enam sampai tujuh hari."
"Kok lama sih?"
"Lama mana selama kamu nahan delapan tahun?" Ganta menoleh ke belakang. "Apa jangan-jangan selama itu, kamu jajan, ya?"
"Eh, ngaco kalau ngomong! Sorry, ya, aku bersih. Cuma sama kamu! Pertama sama kamu, sampai kita ketemu lagi dan aku ngelakuin itu sama kamu. Enggak sama yang lain."
"Sumpah?"
"Sumpah! Demi Allah. Tanya Rafael kalau enggak percaya. Dia dua puluh empat jam deket aku terus."
Hati Ganta menghangat, dia tersenyum, lalu membalikkan badan dan memeluk Alfa.
"Makasih, ya, udah jaga diri baik-baik."
Alfa membalas pelukannya. "Sama-sama. Makasih kamu sudah menjaga Auriel dengan sangat baik. Maafin aku yang pernah menelantarkan kalian."
"Bukan kamu yang menelantarkan kami. Tapi, maaf, aku yang menjauh darimu."
"Jangan dibahas lagi, itu perjalanan masa lalu kita. Yang terpenting sekarang kita sudah berkumpul dan jangan ada lagi perpisahan."
Alfa melepas pelukan mereka, lalu mencium kening Ganta cukup lama.
"Kita bobo yuk! Besok pagi banyak hal yang harus aku urus," ajak Ganta menyingkirkan bantalnya supaya dia bisa tidur bantalan lengan Alfa. "Oh, iya, Sayang, pengganti kamu siapa di kantor Putra Jaya?"
"Aku ambil dari orang pusat, perusahaan sudah stabil, insyaallah aman."
Ganta mengangguk, Alfa memeluknya dari belakang dan mereka pun memejamkan mata. Akhirnya mereka bisa bersatu menjadi keluarga yang utuh setelah melewati berbagai arang melintang.
***
Selama di Jakarta, Carla dan Putri tinggal di apartemen Alfa yang Alfa pinjamkan untuk Galang dan Arista selama mereka menjaga Ani. Walau jarang ditempati karena Galang dan Arista lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit, tetapi sesekali Galang ataupun Arista datang sekadar mengambil baju atau beristirahat sebentar.
Rumah Rehan kosong, disegel karena menjadi salah satu barang bukti korupsi. Malam ini jatah Putri dan Arista yang berjaga. Sedangkan Galang dan Carla seharian tadi mencari tempat untuk usaha mereka yang akan dibuka di Jakarta.
"Tante, kalau cape istirahat dulu saja," kata Putri tak tega melihat mata Arista yang tampak berat.
"Enggak kok, Sayang, Tante sudah biasa. Kamu kalau sudah ngantuk tidur enggak apa-apa."
"Aku belum ngantuk kok, Tante."
Arista tersenyum sangat manis, dia menyelipkan rambut Putri ke belakang telinga. Kasih sayang dan ketulusan Arista sangat terasa dalam hati Putri. Akhirnya Putri dapat berdamai dengan keadaannya yang sekarang. Dia bisa menerima mama tirinya dan kini mereka sedang berjuang bersama untuk kesembuhan Ani. Putri duduk di samping tempat Ani berbaring. Dia genggam tangan Ani yang sudah bisa merespons. Putri mencium punggung tangannya cukup lama.
"Ma, cepet bangun. Aku punya banyak cerita yang pengin aku curhatin sama Mama," ujar Putri menangis lirih. "Papa sekarang ditahan, kalau Mama begini terus, Putri sama siapa? Mama enggak kasihan sama Tante Arista? Setiap waktu jagain Mama, malam selalu bergadang demi Mama. Mama juga enggak kasihan sama Kak Galang? Dia juga perlu fokus sama bisnisnya, Ma. Enggak cuma ngurusi Mama."
Arista mengelus punggung Putri. "Pelan-pelan, ya? Yang tabah kamu. Aku yakin, kamu wanita kuat."
"Makasih, ya, Tante? Maaf kalau kami merepotkan Tante."
"Tante sama sekali tidak merasa kerepotan kok. Justru sekarang Tante bersyukur, bisa dekat sama kamu dan mamamu. Sekarang kita fokus kesembuhan mama kamu dulu, ya? Jangan mikir macam-macam."
"Iya, Tante."
Putri memeluk Arista yang berdiri di sampingnya. Perasaan Arista sedikit lega, dia juga bahagia karena dapat diterima Putri dengan tangan terbuka. Sekarang Arista merasa memiliki dua anak, Galang dan Putri, yang harus dijaga. Pintu ruangan terketuk, Putri melepas pelukannya, juga menghapus air mata dia. Galang dan Carla masuk, mereka menjinjing plastik putih berisi kotak makanan.
"Ma, Put, makan dulu yuk!" ujar Galang meletakkan plastik itu di meja, depan sofa.
Putri dan Arista pun duduk di sofa. Dengan sabar dan telaten, Carla membukakan kotak makanan untuk Arista dan Putri. Dia juga memberikan teh hangat.
"Tante, kalau diperhatikan, Kak Galang sama Kak Carla itu cocok, ya?" kata Putri menatap Galang dan Carla bergantian.
"Iya, benar." Arista mengangguk.
Justru Galang dan Carla jadi salah tingkah. Mereka saling tatap, lalu mengalihkan pandangan lantaran sama-sama menutupi salah tingkahnya.
"Apaan sih kalian. Udah, kita makan aja. Enggak usah bicara aneh-aneh," ujar Galang lantas duduk di sofa single.
"Siapa juga yang bicara aneh-aneh. Aku kan bicara sesuai penglihatan. Bukan begitu, Tan?" tambah Putri sambil menyendokkan makanannya.
Arista manggut-manggut dan tersenyum. "Yaaa, kalau Mama sih seneng punya mantu kayak Carla gini. Sudah cantik, pintar merawat orang tua, mandiri, dan perhatian lagi! Pasti yang jadi suaminya nanti beruntung."
"Ah, Tante bisa aja! Aku enggak begitu kok, Tan. Berlebihan yang Tante ucapkan tadi," sahut Carla malu-malu.
"Udah, Ma, makan aja," tukas Galang sok bersikap santai, padahal dalam hati, dia senang mendapat dukungan dari Arista dan Putri.
Di tengah mereka menyantap makan malam, tiba-tiba alat pendeteksi jantung bunyi. Galang sigap, dia langsung berdiri melihat kondisi Ani.
"Mama!" pekik Putri melihat Ani membuka mata walaupun belum sempurna, tetapi dia kejang-kejang.
Semua panik mendekati Ani. Galang berulang kali memencet tombol untuk memanggil dokter. Mata Ani terbuka semakin lebar, dia masih dalam keadaan kejang-kejang. Putri menahannya dengan pelukan erat sambil menangis histeris.
"Mbak Ani, tolong bertahan. Kamu kuat, Mbak. Kami di sini menunggumu sadar," ujar Arista sudah sesenggukan sambil memegangi tangannya.
Dokter dan dua perawat masuk. Mereka bergegas mengambil tindakan. Salah satu suster meminta Galang, Carla, Putri, dan Arista keluar. Mereka menunggu di depan ruangan dengan perasaan kalut. Putri menangis dalam pelukan Arista. Tak dapat ditutupi ketakutan dan kekhawatirannya.
"Tante, Mama ..."
"Iya, Sayang, tenang. Kita berdoa, ya?" sahut Arista mendekap Putri erat.
Galang yang cemas dan cemas hanya bisa diam, bersandar di tembok. Carla menggenggam tangannya.
"Lang, kamu yang tenang. Apa pun yang terjadi, kamu harus bisa lebih tegar untuk menguatkan Putri dan Tante Arista. Aku akan selalu di samping kamu."
"Makasih, ya, La. Di saat seperti ini kamu adadi sampingku."
"Sekarang kamu menjadi satu-satunya pria yang bertanggung jawab melindungi mereka, Lang. Aku yakin kamu bisa. Selama ini kamu bisa menjagaku, Ganta, dan Ratna. Pasti sekarang kamu juga bisa menjaga Putri, Tante Arista, dan Tante Ani. Kita berdoa, semoga Tante Ani diberikan kekuatan melawan sakitnya, ya?"
Galang mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahu Carla. Hanya itu yang bisa Carla berikan kepada Galang saat ini, support dan tempat bersandar.
***
Hari ini terakhir Alfa di kantor Putra Jaya sebelum besok berangkat ke Jakarta. Setelah melakukan serah terima jabatan, Alfa meeting bersama perwakilan setiap divisi. Ganta yang sejak pagi ikut ke kantor, menunggu Alfa di ruang kerja Ratna. Sambil mengobrol dan bertukar cerita.
"Temenku sekarang jadi istri bos besar nih. Enggak nyangka, ya?" ujar Ratna terkikih kecil.
Ratna adalah salah satu saksi perjuangan Ganta berusaha sendiri merawat Auriel. Melihat kini kehidupannya jauh lebih baik, Ratna sangat bahagia.
"Kamu apa-apaan sih! Biasa aja." Ganta tersipu malu digoda seperti itu oleh Ratna.
Justru Ratna semakin terkekeh melihat wajah malu Ganta.
"Eh, iya, kamu jadi pindah ke Jakarta?"
"Iya. Jadi, Rat. Insyaallah besok kami berangkat."
"Yaaah, aku sendiri dong di sini. Galang sama Carla juga di Jakarta."
"Tapi aku akan sering ke sini kok, jenguk Bapak sama Ibu. Kita masih bisa ketemu, tenang saja."
"Oh, iya, aku mau tanya sesuatu sama kamu deh." Ratna tampak antusias.
"Tanya apa?" Ganta sampai penasaran dan mengerutkan dahi.
"Galang sama Carla lagi deket, ya?"
"Loh, bukannya mereka deket sejak dulu? Kita kan memang sudah dekat dari dulu. Gimana sih!"
"Bukan itu maksudku, Ta."
"Lalu?"
"Deket yang lebih intens dan ke arah cinta."
"Kalau itu aku enggak tahu malah. Emang apa yang kamu tahu? Cerita dong!"
"Berdosa sekali kita ini, Ta. Gibahin temen sendiri."
"Enggak dong. Kita bukan gibah, cuma bertukar informasi. Siapa tahu kita bisa bantu mereka. Iya, kan?"
"Iya juga sih."
"Makanya, cerita sama aku, kenapa kamu bisa bilang begitu? Soalnya Galang sama Carla enggak cerita apa-apa sama aku tentang yang terjadi di antara mereka."
"Ini sih dugaanku aja, Ta. Belum tahu kebenarannya. Masih butuh klarifikasi dari mereka."
"Iya. Apa? Ih, kamu bikin penasaran aja!"
"Jadi, sebelum mereka berangkat ke Jakarta, kami tuh makan siang bareng, Ta. Dari tatapan dan tingkah mereka itu beda pokoknya, enggak kayak biasa. Perhatiannya itu lebih dari teman, yang aku perhatiin loh. Terus pas Carla dapat telepon, tumben-tumbenan Galang tanyanya posesif banget."
"Masa sih?" Ganta masih belum percaya.
"Iya, Ta. Bener! Aku lihat sendiri. Terus pas kami jalan ke mal, biasanya, kan, Carla jalan nih di samping kita, Galang yang di belakang. Ya ampun, Ta, aku berasa jadi obat nyamuk ngawal mereka."
Ganta terkekeh. "Terus gimana?"
"Mereka jalan di depanku sambil cerita, pokoknya dunia kayak milik berdua. Udah enggak biasa deh mereka. Kayaknya sih bakalan ada sesuatu dengan mereka," ujar Ratna yakin.
"Kalau mereka beneran ada sesuatu, aku dukung kok. Galang baik anaknya, bertanggung jawab juga. Carla membutuhkan sosok lelaki kayak Galang."
"Iya, aku setuju sama kamu! Semoga beneran, ya?"
"Aamiin," pekik Ganta dengan suara cukup keras.
Orang-orang yang tadi sibuk bekerja langsung berhenti saat pimpinan tertinggi mereka masuk ke ruangan itu. Semuanya langsung menyapa, "Selamat siang, Pak Alfa."
"Iya, siang," balas Alfa dengan sikap santai dan wajah datar.
Dia menghampiri Ganta yang duduk di depan meja kerja Ratna.
"Udah selesai?" tanya Ganta menengadahkan wajahnya.
"Udah. Pulang yuk! Papa sama Auriel sudah perjalanan ke bandara."
"Pak Sugeng sama Rafael ikut kita hari ini juga?"
"Pak Sugeng iya, cuma Rafael aku suruh menyelesaikan beberapa urusan di sini dulu."
"Oh." Ganta manggut-manggut. "Rat, aku pamit, ya?" Ganta beranjak dari tempat duduknya, lalu memeluk Ratna dan cipika-cipiki.
"Kamu hati-hati, ya? Jaga kesehatan. Salam buat yang di sana, juga buat Genduk."
"Iya, insyaallah nanti aku sampaikan. Aku duluan, ya?"
Ratna mengangguk dan tersenyum lebar. Alfa langsung merengkuh pinggang Ganta, mereka berjalan keluar. Senyum Ratna tak pudar melihat pasangan sejoli yang kian menjauh itu.
Kamu berhak bahagia, Ta. Selamat, pengorbananmu selama ini dibayar lunas oleh Pak Alfa. Semoga kamu selalu bahagia, batin Ratna dengan senyuman tulus.
***
Hampir tiga bulan Rehan mendekam di penjara, terakhir keluarga yang menjenguk adalah Doni. Putri maupun Galang tak ada yang memperlihatkan batang hidungnya. Rehan meratapi nasibnya. Dia duduk sendiri di pojokan. Dalam tahanan itu dia sendirian. Tak ada fasilitas khusus yang diberikan, Rehan disamaratakan seperti tahanan yang lain.
"Ya Allah, kenapa nasibku jadi begini? Anak-anakku enggak ada yang peduli. Keluargaku satu per satu menjauh. Mas Doni, orang satu-satunya yang selama ini bisa aku andalkan sudah kecewa padaku."
Rehan menangis sesenggukan. Dia tidak bisa melihat dunia luar. Hanya penyesalan yang menemaninya sekarang. Seorang sipir membawakan sesuatu untuk Rehan.
"Pak Rehan!" serunya tanpa membuka pintu sel.
"Iya!" sahut Rehan mendongak, dia menghapus air manaya, lantas berdiri di depan pintu besi.
"Ini ada kiriman dari keluarga Anda." Sipir itu memberikan paper bag cokelat kepada Rehan.
"Terima kasih, Pak," ucap Rehan, setelah itu sang sipir pergi.
Rehan duduk lesehan di lantai keramik putih, dia buka paper bag itu. Ada empat kotak makanan yang tersusun rapi, dia keluarkan satu per satu. Rehan juga menemukan amplop cokelat. Dia lebih dulu membukanya. Sebuah foto berukuran sedang, sekitar 10 R. Terlihat dari gambar itu, semua berkumpul di sebuah rumah sakit.
Tampak di sana Ani sudah membuka mata bersanding dengan Arista. Galang merangkul Putri dari belakang, mereka tampak ceria dan bahagia. Di sebelah Galang ada Carla. Doni, Sugeng, Alfa, Ganta, dan Auriel berdiri di sisi lain, berseberangan dengan Galang. Hati Rehan membuncah, rasanya ingin sekali berada di tengah-tengah mereka. Rehan menangis hingga terisak-isak, dadanya sesak. Dia membalikkan foto itu, ada sebuah surat di sana.
Dear Om Rehan
Apa kabar, Om? Semoga Om dalam keadaan baik-baik saja. Kami di sini akan selalu mendoakan dan merindukan Om.
Jangan mengkhawatirkan kami, di sini kami baik-baik saja. Galang akan menjaga Putri, Tante Ani, dan Tante Arista. Jangan lupa jaga kesehatan. Kami sudah berkumpul di Jakarta sejak sebulan yang lalu. Saya dan Ganta sudah menikah, dengan restu Putri tentunya.
Sebulan sekali kami akan datang menjenguk Om Rehan ke Surabaya. Ada makanan sehat menu restoran calon menantu Om. Setiap hari akan ada kurir yang mengantar makanan untuk Om, dua kali sehari, pagi dan sore. Ini bentuk perhatian Galang untuk Om. Ada juga vitamin dari Ganta, agar Om selalu sehat.
Salam hangat,
Alfariel Pamungkas
Tangisan Rehan semakin pecah. Ternyata orang-orang yang selama ini dia benci justru yang paling perhatian kepadanya. Rehan tak menyangka, ternyata Alfa masih memperhatikannya walaupun Rehan sudah pernah hampir membunuhnya.
Sambil tangan gemetar, Rehan membuka kotak makanan itu satu per satu. Ada nasi, sayur, lauk, dan buah potong. Di paper bag juga ada vitamin-vitamin. Rehan hanya bisa menangis mengungkapkan perasaannya yang campur aduk.
"Terima kasih," ucap Rehan sambil memeluk foto keluarga besarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top