Ruang Introgasi
Pagi buta ponsel Ganta berdering, karena takut mengganggu tidur Auriel dan Carla, cepat-cepat dia mengangkatnya.
"Halo," jawab Ganta masih setengah malas bangun dengan suara serak, khas orang bangun tidur.
"Sayang, kamu bisa enggak sekarang ke kantor polisi?" tutur Alfa terdengar panik.
Mata Ganta yang tadi berat, tiba-tiba terbuka lebar saat mendengar suara Alfa seperti itu.
"Kamu kenapa? Kok kayak lagi panik gitu sih?" tanya Ganta bangun dan bersandar di kepala ranjang.
"Aku sekarang di rumah sakit. Putri minum pembersih lantai."
"Loh, kok bisa?" pekik Ganta sangat terkejut, sampai membangunkan Carla.
"Ceritanya panjang, Sayang. Udah, sekarang tolong kamu ke kantor polisi, nanti aku nyusul kalau urusan di sini sudah beres."
"Terus aku ngapain ke kantor polisi? Ini jam tiga, Alfa."
"Om Rehan sudah ketangkap."
"Kamu yakin?"
"Yakin! Rafael sudah di sana. Aku, Papa, sama Pak Sugeng lagi ngurusi Putri di sini. Dia sedang mendapat pertolongan pertama di UGD."
"Oke, oke, oke. Aku ganti baju dulu."
"Auriel jangan diajak."
"Iya. Enggak kok. Aku bangunin Ibu sama Bapak dulu, biar nemenin dia bobo."
"Ya dah. Jangan lupa pakai jaket."
"Iya."
Lepas itu panggilan terputus. Ganta bergegas ganti baju. Carla yang terganggu, lalu bangun langsung menatap Ganta bingung.
"Ta, kenapa?" tanya Carla beranjak dari tempat tidur sambil mengucek mata.
"La, tolong antarin aku ke kantor polisi yuk! Pak Rehan sudah ketangkap," kata Ganta seraya memakai celana panjangnya.
"Oke." Mata Carla yang tadi sepet, ketika mendengar kabar baik itu langsung terbuka. Dia semangat mengganti bajunya.
"Aku bangunin Bapak sama Ibu dulu, ya? Biar nemenin Auriel tidur."
"Iya," ujar Carla sambil menyisir rambutnya.
Setelah Pras dan Yuli pindah ke kamar Ganta, menemani Auriel tidur, mereka pun lantas berangkat ke kantor polisi. Sampai di sana, Rafael sudah menunggu di depan pintu.
"Eh, kalian duluan masuk. Aku mau ngabari Galang dulu," kata Carla saat mereka ingin masuk.
"Ya dah, nanti kamu nyusul, ya?" ujar Ganta dibalas anggukan Carla.
Rafael dan Ganta langsung masuk mencari Nico. Rehan diintrogasi di ruangan privat. Carla duduk di kursi stainless yang ada di teras kantor polisi. Dia menghubungi Galang.
"Halo, Lang. Kamu udah tidur?" tanya Carla dengan suara lembut.
"Belum, La. Ini gantian sama Mama, lagi jagain Tante Ani. Jam segini kok kamu belum tidur sih?"
"Tadi aku udah tidur, kebangun karena Ganta minta antar ke kantor polisi."
"Hah! Ngapain?" sahut Galang terdengar shock.
"Tenang dulu. Papa kamu sudah ketangkap, Lang. Aku belum lihat sih. Tapi Ganta sama Pak Rafael sudah masuk."
Terdengar helaan napas lega di ujung telepon Carla. "Syukur deh. Aku sedikit lega, setidaknya orang berbahaya itu sudah ketangkap."
"Iya, Lang. Eh, iya, kapan kamu balik ke Surabaya?"
"Kenapa? Udah kangen, ya?" goda Galang lalu terkekeh.
"Enak aja! Enggak gitu, insyaallah dalam waktu dekat ini, restoranku dibuka."
"Wow, serius? Restoran yang investornya Kak Alfa itu, kan?"
"Iya."
"Aku enggak janji, tapi aku usahain. Soalnya keadaannya lagi begini."
"Iya, aku maklumi kok. Semoga semuanya cepat berlalu. Tante Ani lekas siuman dan kamu bisa kembali ke Surabaya."
"Aamiin. Eh, gimana perasaan kamu selama jauh dariku?"
"Kesepiaaaaan," ujar Carla sambil merengek manja. "Aku enggak punya temen main. Nanti kita bisa belanja bahan dapur bareng, Lang."
"Iya. Emang Ganta enggak bisa nemenin kamu main?"
"Beda dong, Lang. Kalau main sama Ganta itu enggak los, ada buntut yang minta jajan sana, jajan sini. Aduuuh, apalagi sekarang hidupnya banyak aturan, pusing aku sekarang kalau mau beliin dia jajan."
"Emang kenapa?"
"Papanya over protektif. Kakeknya apalagi. Seminggu sekali cek selaganya ke dokter, yang gigilah, inilah, itulah. Untung Auriel anaknya penurut."
Terdengar tawa kecil dari seberang, menenangkan hati Carla. "Wajar dong, La. Namanya anak sultan. Kamu ini ada-ada aja!"
"Tapi aku seneng sih. Lihat Auriel sekarang lebih bahagia. Walaupun dia selalu bertanya sesuatu yang sulit dijawab Pak Alfa sama Ganta."
"Emang tanya apa dia?"
"Banyak deh pokoknya. Katanya, kapan mereka bisa tinggal serumah? Bisa bobo bareng sama papa-mamanya. Anak itu memang cerdas."
Lagi-lagi Galang terkikih. "Jadi kangen aku sama Auriel."
"Makanya cepet pulang dong!"
"Iya, sabar. Minimal nunggu Tante Ani siuman, ya?"
"Iya."
"Eh, kamu ini di kantor polisi, kan?"
"Iya."
"Nanti kalau ada info, hubungi aku, ya?"
"Pasti dong."
"Aku mau siap-siap salat Subuh dulu, terus bersihin Tante Ani. Kamu jaga diri baik-baik di sana. Jangan galau mulu!"
"Iya, bawel! Siapa yang Galau? Enggak! Biasa aja tuh!"
"Good! Ini baru Carla yang aku kenal. Cewek tangguh, kuat, pintar, dan ... dan ... dan ..."
"Dan apa?" sahut Carla tak sabar mendengar ucapan Galang selanjutnya.
"Dan cantiklah!"
"Ciyeeee, tumben muji aku. Ada apa nih?"
"Itu tandanya aku minta ditraktir."
"Makanya cepet balik ke Surabaya dong. Entar aku traktir es krim."
"Halah, kok es krim sih! Emang aku Auriel? Dibeliin es krim udah girang."
Carla terkikih. "Terus apa dong?"
"Apa gitu kek, yang mengenyangkan."
"Nasi pecel lele Lamongan. Gimana?"
"Wah, ini baru cocok!"
"Ya udah, ah! Aku mau nyusul Ganta sama Pak Rafael dulu, ya? Kamu hati-hati di sana."
"Oke, La. Kamu juga, ya?"
Panggilan pun diakhiri Carla. Dia tersenyum sambil memasukan ponselnya di tas. Entah mengapa setiap setelah berbicara dengan Galang, perasaannya jauh lebih tenang. Bagi Carla, Galang merupakan penawar sakit hatinya. Carla segera masuk, dia bertanya polisi yang berjaga di depan, tentang keberadaan Nico. Setelah diantar ke ruang introgasi, Carla masuk, suasananya tegang. Ganta berdiri di belakang Rafael, Carla mendekatinya. Nico dan anak buahnya sedang bertanya-tanya kepada Rehan.
***
Setelah mendapat pertolongan pertama, Alfa dan Doni dapat bernapas lega, tidak terjadi hal buruk kepada Putri. Untung saja dia langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung mendapat pertolongan. Sekitar pukul 08.00 WIB, Putri selesai mendapat penanganan dan dipindahkan ke ruang rawat. Dia masih istirahat, tubuhnya sangat lemas. Alfa, Doni, dan Sugeng terlihat lelah dan ngantuk karena semalaman belum tidur. Mereka duduk di sofa sambil menjaga Putri.
"Alfa, kamu enggak ke kantor?" tanya Doni menyentuh punggungnya.
"Enggak dulu, Pa. Aku sudah bilang sama Anita untuk membatalkan semua pertemuan hari ini. Rafael juga enggak bisa gantiin aku."
"Oh, iya, belum ada kabar dari Rafael, ya?"
"Belum, Pa."
"Coba telepon dia," titah Doni yang sebenarnya juga mengkhawatirkan keadaan adiknya.
Alfa lantas mengambil ponselnya di saku celana, dia mencari nomor Rafael, tetapi belum sempat menggeser tombol hijau untuk menelepon, pintu ruangan itu terbuka. Rafael datang bersama Ganta dan Carla.
"Asalamualaikum," ucap mereka pelan karena melihat Putri masih memejamkan mata.
"Wa 'alaikumus-salam," jawab Alfa, Doni, dan Sugeng bersamaan.
Ganta menyalami Doni dan mencium punggung tangannya, diikuti Carla. Alfa berdiri, memberikan tempat duduknya untuk Ganta. Sugeng pun ikut berdiri agar Carla bisa duduk.
"Bagaimana keadaan Putri?" tanya Ganta pelan, mendongak, menatap Alfa yang berdiri di sebelahnya.
"Enggak apa-apa, cuma butuh perawatan aja. Gimana kabar Om Rehan?"
"Biar Pak Rafael yang jelasin, kepalaku pusing," ujar Ganta memijat pelipisnya dan bersandar.
"Jadi, sementara Pak Rehan akan diamankan dulu di kantor polisi, Mas. Sambil semua berkas dan bukti-bukti disiapkan untuk persidangan. Sepertinya kita butuh Bi Murni, Mas, untuk saksi."
"Bi Murni aman, dalam pengawasan Pak Surya dia. Kapan pun dibutuhkan, siap," ujar Alfa yakin.
"Jadi, sekarang posisi Rehan di dalam sel?" tanya Doni kepada Rafael, sekadar memperjelas posisi adiknya saat ini.
"Iya, Pak." Rafael mengangguk.
"Enggak mungkin! Papaaaaaa!"
Semua langsung menoleh ke arah Putri yang menangis histeris. Ternyata Putri sedari tadi hanya pura-pura tidur. Dia mendengar percakapan mereka. Alfa berlari ingin memeluknya agar Putri tenang, tetapi didorong kuat hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.
"Pergi kamu! Aku enggak mau lihat Kak Alfa! Pergi!" teriak Putri menangis histeris sambil menjambak rambutnya yang berantakan.
"Put, tenang dulu, Sayang." Doni mendekat, dia langsung memeluk Putri dan mengelus kepalanya.
"Papa, Om ...," ujar Putri dengan suara serak dan lirik, menangis dalam dekapan Doni.
"Iya, iya, iya. Om tahu. Kamu tenang dulu, ya?" ujar Doni mengelus punggung Putri.
Alfa yang melihat kondisi Putri justru merasa bersalah. Dia sampai marah kepadanya, disentuh saja Putri tidak mau. Alfa berjalan gontai keluar dari ruangan itu. Melihat wajah sedih Alfa, Ganta mengikutinya keluar. Alfa duduk di depan ruang rawat. Dia mendongakkan wajahnya menghadap langit-langit sambil memejamkan mata. Ganta mengelus bahunya. Tak kuasa menahan sesak di dadanya, Alfa pun memecahkan tangisannya di bahu Ganta.
Beberapa saat Ganta membiarkan Alfa dalam posisi menempelkan keningnya di bahu dia sambil menangis. Lama-lama, Ganta tak tega. Dia memeluk Alfa, memberikan dada dan dekapan hangat untuk menumpahkan air matanya.
"Aku yang salah," ucap Alfa terisak.
"Sssssst, jangan menyalahkan diri sendiri." Ganta menghapus air mata Alfa dengan tangannya.
"Seandainya aku mau bersabar sebentar saja, ini enggak akan terjadi."
"Memangnya apa yang kamu katakan sama Putri? Kenapa dia sampai semarah itu sama kamu?"
Alfa menegakkan kepalanya, dia menatap kedua mata Ganta sambil bercerita. Ganta terpaku, dia tak menyangka, Alfa membuktikan ucapannya saat mereka di rooftop itu. Ganta teringat kata-kata Doni, benar katanya, Alfa tak pernah main-main dengan ucapannya. Ganta juga tak habis pikir, ternyata Putri bisa senekat itu.
"Ssssst, udah, jangan menangis lagi. Mungkin sekarang Putri sedang butuh waktu buat menenangkan diri." Ganta menghapus air mata Alfa, dia menyugar rambut Alfa yang berantakan. "Kita masuk yuk!"
"Tapi ..."
"Setidaknya kita memperlihatkan, kalau kita peduli sama Putri. Misalkan dia enggak mau lihat kita, sementara kita menyingkir dulu. Biarkan dia tenang. Entar kalau hatinya sudah tertata, kondisinya lebih baik, kita datang lagi, ya?" ujar Ganta sangat lembut sambil menangkup kedua pipi Alfa.
Alfa mengangguk. Mereka lantas beranjak dan masuk lagi ke ruang rawat Putri. Alfa menggenggam erat tangan Ganta, tak peduli Putri terus melihat ke arah tangan mereka. Sebenarnya Ganta merasa tak enak hati, ingin melepas tautan tangannya dengan Alfa, tetapi Alfa telanjur mengunci jari-jarinya ke jari-jari Ganta.
"Ngapain aku hidup, Om? Papa sudah di penjara, Mama koma, terus sebentar lagi aku juga akan masuk penjara. Aku enggak mau, Om." Lagi-lagi Putri menangis di dalam pelukan Doni.
"Tenang dulu, kamu harus hadapi masalah ini, selesaikan satu per satu. Enggak ada masalah tanpa penyelesaian," ujar Doni pelan-pelan.
"Aku mau menghadapinya sama siapa, Om? Orang yang aku percaya sudah berpihak dengan penggugatku!" kata Putri sambil menatap Alfa dan Ganta.
Hati Ganta berdesir mendengar hal itu, dadanya seperti tertusuk sembilu, nyeri. Alfa semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Ganta.
"Dia lebih memilih wanita yang enggak punya hati! Memanfaatkan kelemahanku," omel Putri sambil menangis sesenggukan.
Alfa masih menunduk, menahan emosinya. Jika Putri menjelek-jelekkannya, Alfa masih bisa menerima, tetapi jika Putri sudah menyinggung Ganta, hati Alfa tidak rela.
"Ayo!" ajak Alfa menarik tangan Ganta keluar dari ruangan itu.
"Pergi kalian! Manusia tidak punya hati!" kata Putri mengiringi Alfa dan Ganta yang melangkah keluar dari ruangan tersebut.
Sejujurnya hati Alfa sudah memanas, dia marah mendengar ucapan Putri, tetapi Alfa tahan. Alfa berjalan menggandeng tangan Ganta erat, dia tak sedikit pun menoleh, wajahnya mengeras, dan tatapannya menyalang merah padam. Ganta hanya bisa diam, mengikuti langkah Alfa. Sampai di samping mobilnya, baru Alfa melepaskan tangan Ganta.
"Masuk!" ucap Alfa lirih sambil membukakan pintu mobil untuk Ganta.
Tak ingin menambah Alfa marah, Ganta pun menurut. Dia masuk dan duduk. Alfa mengitari mobil, lalu duduk di belakang kemudi. Dia menancap gasnya, keluar dari parkiran rumah sakit. Sampai di jalan raya yang cukup lengang, Alfa melajukan mobilnya. Di dalam mobil itu sunyi, mereka sama-sama membisu. Hingga mobil masuk ke basement apartemen dan berhenti. Alfa lebih dulu keluar, dia membukakan pintu untuk Ganta. Meski ragu, tetapi Ganta ikut turun. Alfa menggandengnya masuk ke lift. Sepanjang berjalan, Alfa hanya diam, akhirnya sampailah mereka di depan apartemen Alfa. Lantas mereka masuk.
"Kamu pasti cape, kan?" tanya Alfa sembari berjalan ke dapur diikuti Ganta.
"Dikit."
"Kamu mau makan enggak?"
"Enggak. Kamu laper?"
Alfa menggeleng lamah. Dia menuang air putih dingin ke gelas dan meminumnya. Setelah itu dia tuang lagi, kali ini diberikan kepada Ganta.
"Biar pikiran kamu tenang," ucap Alfa sambil menyodorkan gelas ke depan Ganta.
Ganta mengambilnya dan minum sampai habis. Setelah itu, dia meletakkan gelasnya di meja bar, Alfa menariknya, diajak ke kamar.
"Alfa," seru Ganta sedikit takut sambil menahan lengan Alfa. Dia berhenti di depan pintu.
"Enggak usah takut. Aku enggak akan ngapa-ngapain kamu. Janji," ucap Alfa menatap Ganta sendu. "Aku cape, ngantuk, cuma mau ditemenin tidur, tanpa kita ngapa-ngapain."
"Janji?"
"Iya. Janji."
"Ya sudah."
Alfa dengan cepat menarik Ganta masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Dia menjatuhkan diri di kasur yang empuk dan lebar itu.
"Hah!" Alfa membuang napasnya kasar. "Sini, Ta, temenin aku tidur," pinta Alfa menepuk sampingnya.
Sambil terus menatap Alfa ragu, pelan-pelan Ganta meletakkan tasnya di nakas, lalu duduk di tepi ranjang. Alfa mendengkus sebal karena Ganta lelet, dia menarik baju Ganta sampai Ganta terjatuh di sampingnya. Alfa memeluk Ganta sambil memejamkan mata. Jantung Ganta berdegup-degup tak keruan. Sudah lama dia tidak satu ranjang dengan Alfa, tubuhnya kaku. Jika dulu mereka tidur seranjang saat kondisi Alfa buta, sekarang Alfa bisa melihat dan tak menutup kemungkinan mereka bisa melakukan itu lagi dengan sensasi yang berbeda.
Ganta menggeleng cepat, dia membuang pikiran kotornya. Tak ingin berpikir macam-macam, Ganta pun ikut memejamkan mata. Napas Alfa sudah teratur. Tak berapa lama karena juga sudah sangat mengantuk, Ganta akhirnya terlelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top