Rehan Si Culas

Habis makan malam, Rehan memberikan hadiah kepada istri dan anaknya. Mereka berkumpul di ruang tengah.
"Makasih, ya, Pa," ucap Ani tersenyum lebar sambil mengangkat tas merah mahal yang baru dibelikan Rehan.
Putri beranjak dari tempat duduknya, dia pindah duduk di sebelah Rehan lantas memeluk papanya sambil berucap, "Papa selalu tahu yang aku mau. Makasih, Pa."
"Iya dong," sahut Rehan bangga membalas pelukan putrinya.
"Papa emang kepala keluarga terbaik. Sayang sama keluarga dan Mama salut sama Papa. Sudah cerdas, bertanggung jawab, dan mengutamakan keluarga," ujar Ani membanggakan suaminya.
Mendengar ocehan istrinya, Rehan hanya tersenyum lebar. Rehan membelikan mobil keluaran terbaru untuk Putri. Keluarga mereka terkenal dengan hidup mewah. Barang-barang yang dipakai pun serba bermerek.
Ponsel Rehan berdering tanda panggilan masuk. Dia mengeceknya, tetapi dihiraukan. Rehan tak mengangkat telepon itu.
"Dari siapa, Pa?" tanya Putri.
"Biasa, rekan bisnis Papa. Paling juga minta jatah. Jangan dihiraukan!" ujar Rehan dibalas anggukan Putri.
Selama ini Putri tak ambil pusing dengan pekerjaan papanya. Dia tahunya apa pun yang dimau harus keturutan. Keluarga mereka kebal hukum karena Rehan bisa mengurus itu semua dengan uang dan kekuasaan yang dipunya. Putri terlalu meremehkan semuanya. Dia tak mau susah payah.
***
Di rumah mewah yang hanya ditempat dua orang dan beberapa ART, pemuda tampan usia sekitar dua puluh tiga tahun, baru lulus kuliah, bersama wanita paruh baya sedang makan malam. Wanita itu tampak masih cantik meski usianya sudah kepala empat. Pembawaannya yang kalem menenangkan hati, kali ini dia terlihat gelisah.
"Kenapa sih, Ma? Kok dari tadi kayak enggak tenang begitu," tanya pria bertubuh proposional dan berpakaian santai duduk di meja makan menikmati nasi ayam goreng dan sayur supnya.
"Papa dari kemarin ditelepon kok enggak diangkat."
"Udah deh, Ma. Enggak usah mikirin Papa. Pikirin aja kesehatan Mama."
Setiap mengingat papanya, pemuda itu selalu tersulut emosi. Bukannya dia tak menghormati orang tua, hanya saja hatinya dipenuhi kekecewaan yang mendalam kepada sang papa.
"Galang, maafin Mama, ya? Kamu seperti ini gara-gara Mama," ucap Arista memegang lengan Galang dengan wajah sedih.
"Aku enggak pernah menyalahkan Mama. Memang begini garis hidup kita. Selalu disembunyikan dan enggak pernah dianggap. Papa bisa hidup bebas di luar sana, orang-orang membanggakan kehebatannya dalam berbisnis. Keluarga Papa juga dikenal publik. Sedangkan kita hanya bisa membisu berpuluh-puluh tahun. Galang cuma kasihan sama Mama. Enggak pernah Papa mikirin perasaan Mama."
"Ini salah Mama. Kenapa Mama mau dijadikan istri kedua. Seandainya Mama dulu enggak termakan janji palsu Papa, mungkin kita enggak akan hidup dalam kegelisahan begini." Arista menyesali keputusannya menikah dengan pria yang sudah beristri.
Karena dulu keluarganya terlilit utang dan pria itu sanggup melunasinya. Dengan catatan Arista mau jadi istri kedua. Tak berapa lama utang lunas, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat. Miris, kan? Itulah gambaran hidup Arista.
"Jangan menyalahkan diri sendiri, Ma. Aku enggak pernah menyesal lahir dari rahim Mama. Hanya saja kenapa Papa enggak bisa adil sama kita?"
Nafsu makan Galang hilang, dia meletakkan sendoknya lalu minum air putih.
"Aku mau ke kamar dulu, Ma. Enggak usah nunggu Papa datang," ucap Galang beranjak dari tempat duduknya lalu mencium pelipis Arista. "Mama jangan tidur larut malam. Jaga kesehatan Mama," pesan Galang, dia kasihan kepada mamanya, setiap malam selalu menunggu sang suami yang tak tentu kapan datangnya.
Apa yang bisa Galang lakukan sekarang? Dia diam bukan berarti tak punya nyali. Galang hanya ingin melindungi mamanya. Dia dan Arista puluhan tahun menutup rapat-rapat keberadaannya agar tidak diketahui istri pertama papanya. Sakit? Tentu saja Galang sakit hati. Merasa disisihkan dan tak dianggap papanya.
Di kamar yang cukup luas, Galang menjatuhkan diri di tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamar. Memang segala sesuatu yang dia butuhkan dengan mudah didapat sebagai tutup mulut. Namun, sampai kapan? Galang ingin memiliki keluarga yang normal. Papa dan mamanya tinggal satu atap serta tanpa menyembunyikan rahasia.
Sepertinya mustahil diwujudkan. Galang menghela napas berat, dia bangkit lalu mengambil gitarnya. Hiburan satu-satunya saat dia sedih hanya memetik gitar dan bernyanyi sebisanya. Yang penting hati lega.
Ketika dia sedang asyik bermain gitar, samar-samar Galang mendengar keributan dari luar kamarnya. Suara pria dengan nada tinggi. Dia keluar dan melihat ke lantai bawah.
"Kamu itu hanya jadi beban pikiranku! Tidak pernah bisa membuatku tenang!" sentak pria dewasa berdiri gagal dengan wajah keras dan mata melotot kepada Arista.
"Maaf, Mas. Apa aku salah menghubungi suamiku dan menanyakan keadaannya?" Arista masih dengan sikapnya yang tenang.
"Tapi enggak begitu caranya! Kamu itu mengancam keutuhan rumah tanggaku."
"Kalau aku ancaman bagimu, kenapa dulu kamu menikahiku?"
"Apa dulu orang tuamu bisa mengembalikan uang ratusan jutaku yang dipakai untuk menutup utang-utangnya? Kamu itu secara tidak langsung dijual orang tuamu!" Pria itu menunjuk-nunjuk kepala Arista.
Tak ada sedikit pun perasaan menghargainya kepada Arista. Sakit hati Arista mendengar ucapan sang suami. Sejak menikah, dia selalu dianggap tak bisa melakukan apa pun. Tak pernah dihargai sebagai istri. Galang yang sering melihat keributan itu hanya bisa menahan emosi. Jika dia memberontak, papanya bisa menyakiti Arista.
"Begini saja. Kamu dan Galang sudah waktunya pergi jauh dari hidupku. Kalian ancaman buat keluarga dan karierku. Aku enggak mau sampai Ani apalagi Putri tahu tentang kalian. Pasti mereka sangat kecewa padaku. Apalagi jika Mas Doni tahu, mau ditaruh mana image-ku," ucapnya terkesan egois hanya memikirkan dirinya sendiri.
Galang yang mendengar itu mengepalkan kedua tangan. Andai dia bukan papanya, Galang sudah menghabisinya pasti.
"Mas Rehan, kamu sadar yang tadi Mas bicarakan?" Air mata yang sedari tadi Arista tahan pecah. Dia menatap wajah Rehan sendu. "Mas, aku sama Galang berpuluh-puluh tahun diam. Kami menjaga nama baik kamu. Dengan mudahnya kamu mau menyingkirkan kami, Mas?"
"Masih beruntung aku menyingkirkan kalian di dunia. Daripada aku singkirkan kalian ke akhirat," ujar Rehan membuat Arista mengurut dada.
"Kesalahan apa yang aku dan Galang lakukan, Mas? Kenapa kamu tega menginginkan kami pergi?"
"Aku tidak mau direpotkan kalian lagi. Bagiku kalian hanya beban. Kalau masih ada kalian, aku terus mengeluarkan uang yang enggak seharusnya dikeluarkan. Aku juga enggak sudi membagi warisan kepadamu dan Galang. Selama ini kalian hanya benalu, tidak ikut kerja, tapi maunya menikmati fasilitasnya saja."
"Mas, berikan kami kesempatan." Arista menjatuhkan diri bersujud di depan Rehan.
Kali ini Galang tak bisa hanya diam. Harga dirinya dan Arista sudah cukup diinjak-injak Rehan. Galang turun menghampiri Rehan dan Arista. Dia menarik Arista agar berdiri.
"Mama enggak pantas bersujud dan mengiba seperti itu," ucap Galang sambil menyeka air mata Arista. Dengan tatapan menyalang, Galang menghadapi Rehan. "Mau Papa kami pergi dari sini, kan? Malam ini juga kami akan pergi, Pa! Galang juga enggak sudi menerima warisan hasil kerja kotor Papa."
"Apa kamu bilang!" Rehan sudah mengangkat tangannya siap menampar Galang, tetapi dengan gesit Arista menghalangi, memasang badan untuk melindungi Galang.
"Bertahun-tahun aku membesarkan Galang dengan kasih sayang dan kelembutan, aku enggak terima kalau kamu memukulnya, Mas. Dia darah dagingmu, sama seperti Putri. Bedanya dia lahir dariku." Arista menatap Rehan berani. Dia sudah marah karena Rehan hampir menyakiti anaknya.
"Sudahlah, Ma, percuma Mama bicara kasih sayang sama Papa. Dia enggak akan paham. Hatinya sudah beku, mana mungkin dia bisa merasakan itu." Galang merengkuh bahu Arista.
"Kalian sama saja! Enggak berguna dan hanya bisa merepotkanku saja! Pergi kalian dari rumah ini! Tinggalkan fasilitas yang aku beri. Dasar, tidak tahu diuntung kalian!" Rehan meninggikan suaranya sambil menatap Galang dan Arista tajam.
"Oke! Aku sama Mama akan pergi dari sini. Siapa juga yang mau terus-terusan hidup dengan uang haram!" Galang menggenggan tangan Arista erat.
"Kamu ...." Lagi-lagi Rehan akan menampar Galang, tetapi Arista menahan lengannya.
"Mas, aku selama ini diam karena menghargaimu, biarpun kamu enggak pernah sedikit pun menghargaiku dan menganggapku. Tapi tolong, anggaplah Galang karena dia darah dagingmu," ujar Arista lembut dengan air mata deras mengaliri pipinya.
"Ma, aku enggak rugi kok selama ini enggak dianggap anak sama Papa. Malah beruntung karena aku enggak nanggung malu punya Papa bermuka dua seperti dia," sahut Galang langsung mendapat tatapan tajam dari Rehan. "Ayo, Ma, kita sudah enggak punya tempat di sini." Rehan menarik tangan Arista.
Tanpa membawa apa pun mereka keluar dari rumah megah itu. Melepaskan beban yang selama ini menahan mereka untuk bebas adalah jalan terbaik. Berpuluh-puluh tahun mereka hidup seperti di sangkar, saatnya kali ini mereka mengepakkan sayap, terbang bebas di luar sana. Mengembangkan bakat dan karier.
Mereka duduk di halte setelah cukup jauh berjalan dari rumah. Galang merogoh kantong celana pendeknya, dia menemukan uang dua ratus ribu dan pecahan sepuluh ribu serta dua puluh ribu. Perasaannya sedikit lega, setidaknya mereka punya harapan untuk menyambung hidup.
"Ma, kita mau ke mana?" tanya Galang kasihan melihat wajah sedih Arista bercampur lelah karena berjalan jauh.
"Tujuan satu-satunya kita ke rumah almarhum kakek di Surabaya, Lang."
"Kita butuh uang berapa buat ongkos ke sana, Ma?"
Arista memegang lehernya, perhiasan yang menempel di tubuhnya hanya kalung, anting, dan cincin. Kalau dijual lumayan untuk mereka pergi ke Surabaya dan memulai hidup baru di sana.
"Kita tunggu besok, ya? Mama mau jual perhiasan dulu baru kita pergi. Malam ini kita bertahan dulu di sini, ya?" Arista berusaha tersenyum agar menenangkan perasaan Galang.
Rasa bersalah menjalar menguasai hati Galang. Dia memeluk Arista erat.
"Maafin Galang, ya, Ma. Sampai sekarang belum bisa membahagiakan Mama."
"Mama sudah bahagia kamu jadi anak baik dan menyelesaikan pendidikan dengan baik. Mulai hari ini kita berusaha bersama memperbaiki hidup, ya?" Arista mengelus rambut Galang dan membalas pelukannya erat.
"Iya, Ma. Aku janji akan mencukupi kebutuhan Mama. Tanpa Papa kita bisa hidup, Ma."
Arista menangis, dia mengangguk dan percaya putranya akan menepati janji. Selama ini hanya Galang yang bisa dia andalkan.

Nah, kan, ternyata Pak Rehan punya rahasia besar yang bisa dipakai untuk senjata menjatuhkan namanya. Ayooo Alfa, cari tahu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top