Putus Persaudaraan

"Ta, apa hal yang bikin kamu menerima Alfa sekarang?" tanya Carla ketika mereka berbaring di kamar, beranjak ingin tidur.

Sambil menatap langit-langit, Ganta menjawab, "Banyak hal yang aku pertimbangkan selain aku masih mencintainya, La. Pertama, karena Auriel sudah sangat dekat sama Alfa. Mereka seperti tidak mau dipisahkan. Kedua, janjiku kepada Bu Lisa, dia memintaku untuk membantu Alfa dalam kondisi apa pun. Ketiga, aku melihat kesungguhannya. Bertahun-tahun mencariku, setia sampai rela tidak menikah, bahkan dia berani melakukan sesuatu yang mungkin orang sulit melakukannya."

"Apa itu, Ta?"

"Memilih satu di antara dua pilihan. Itu hal yang terlihat mudah, tapi jika dijalani sangat sulit."

"Iya, aku setuju denganmu. Seperti yang aku alami kemarin, memilih bertahan karena mertuaku yang sangat baik atau melepaskan Roy yang sejujurnya aku masih mencintainya. Sulit, Ta, pengorbanan kami selama bertahun-tahun pupus hanya karena orang lain. Rasanya sakit banget," ucap Carla dengan suara parau, menahan tangis.

"Sabar, La. Aku yakin, suatu saat akan ada pria yang mau berjuang buat kamu. Memang sakit jika kita berjuang sendiri. Keputusanmu tepat, bukan kamu yang ingkar janji, tapi Roy yang sudah berkhianat."

"Aku enggak habis pikir, kenapa dia tega melakukan itu, Ta? Dulu sebelum kami menikah, dia seperti pahlawan di mataku. Berjuang bersama meyakinkan keluarganya kalau aku ini tulus mencintai dia bukan karena harta. Setelah semua dapat terlewati, dia berkhianat begitu saja, apa dia lupa perjuangan kami dulu?"

Air mata Carla pecah, ternyata meskipun dia selama ini terlihat baik-baik saja, tetapi Carla menyembunyikan kesedihannya sendiri. Malam ini dia akan keluarkan semua unek-uneknya yang menyesakkan dada.

"Udah, La. Kamu yang sabar. Semua sudah terjadi, sekarang yang kamu lakukan adalah move on. Jangan menyesali sesuatu yang telah lewat. Itu malah bikin kita terjebak dan enggak bisa melanjutkan hidup. Udah, ya? Sekarang kita fokus sama keadaan saat ini dan untuk masa depan." Ganta mengelus lengan Carla yang menangis terisak-isak.

"Iya, Ta. Maaf kamu malah dengerin keluh kesahku," ucap Carla menghapus air matanya.

"Enggak apa-apa, La. Kapan pun kamu mau cerita, aku siap menjadi pendengar setia. Kalau kamu butuh bantuan, aku akan lakuin semampuku. Sekarang kamu sudah lega, kan?"

Carla mengangguk. "Iya, perasaanku sudah lumayan lega, Ta. Setidaknya aku sudah mengeluarkan unek-unek yang selama ini aku simpan sendiri. Makasih, ya, sudah jadi pendengar setia."

Ganta mengangguk dan tersenyum manis. Terkadang kita hanya butuh seseorang mendengarkan keluh kesah kita, tanpa dia melakukan sesuatu buat kita, itu cukup melegakan hati.

"Tidur yuk! Besok pagi kamu kan, harus siap-siap opening." Ganta menarik selimut, menyelimuti tubuhnya sebatas perut. Auriel tidur di tengahnya dan Carla.

"Besok kamu datang, kan?" tanya Carla menatap Ganta penuh harapan.

"Insyaallah. Eh, kamu enggak telepon Galang?"

"Sudah."

"Terus apa katanya?"

"Dia enggak bisa janji, soalnya kondisi Tante Ani belum ada perkembangan. Galang enggak bisa ninggalin Tante Arista sendiri di sana. Siapa yang akan gantiin Tante Arista jagain Tante Ani kalau Galang pergi?"

"Iya juga sih. Ya sudah, seenggaknya kamu sudah kabari dia. Udah yuk, tidur!" Ganta mengubah posisinya miring menghadap Auriel, lalu memeluknya.

Sebenarnya di dalam hati Carla paling dalam, dia berharap Galang datang. Namun, mengingat situasi saat ini, itu sulit. Carla lantas menutup mata, sejenak dia menghempaskan beban pikirannya.

***

Sunyi senyap, pencahayaan ruangan itu temaram, Putri berbaring sambil melihat boneka beruang yang Auriel tinggalkan untuknya. Malam ini Alfa yang menjaganya bersama Rafael. Doni dan Sugeng beristirahat di apartemen. Mereka bergantian menjaga Putri.

Sejak tadi Alfa sibuk mengotak-atik laptopnya. Beberapa hari dia tidak ke kantor lantaran mengurus Putri. Walhasil, Alfa membawa pekerjaannya ke rumah sakit. Sudah beberapa hari Putri mendiamkan Alfa. Dia tak bicara apa pun kepadanya. Putri masih marah kepada Alfa.

"Mas Alfa, besok opening restoran Nona Carla. Mas Alfa hadir tidak?" tanya Rafael pelan, dia duduk di sebelah Alfa.

"Iya, El. Saya besok datang. Soalnya ada beberapa hal yang mau saya bahas sama Nona Carla. Sekalian mau ke kantor dan menghadiri meeting yang sudah tertunda berhari-hari. Enggak enak sama klien kalau mengundur terus. Kamu di sini saja, jagain Putri."

"Iya, Mas. Kalau perlu bantuan, kabari saya, Mas."

Alfa tersenyum dan mengangguk. Untung dia punya Rafael yang bisa diandalkan.

"Saya ambil dokumen di mobil dulu. Ada yang ketinggalan," kata Alfa beranjak dari sofa.

"Biar saya ambilin, Mas." Rafael ikut berdiri.

"Enggak perlu. Kamu di sini saja, jagain Putri."

Lantas Alfa keluar. Selepas kepergian Alfa, Rafael mendekati Putri, dia duduk di kursi sebelah tempat tidur Putri.

"Mbak Putri kenapa belum tidur?" tanya Rafael pelan-pelan.

"Aku enggak bisa tidur, El. Aku memikirkan keadaan Papa, Mama. Kenapa keluargaku jadi berantakan begini sih!" ujar Putri sebal.

"Sabar, Mbak. Ini ujian yang harus dihadapi untuk mendewasakan diri."

"El, aku mau tanya sesuatu."

"Apa, Mbak? Tanya saja."

"Harusnya kan, kemarin persidangan keduaku. Kenapa enggak ada kabar apa pun? Apa itu ditunda sampai aku sembuh?" Dalam hati Putri ada kecemasan dan ketakutan.

"Loh, Mas Alfa enggak ngasih tahu Mbak Putri?"

"Ngasih tahu apa, El? Dia enggak bicara apa-apa."

"Kan, Mbak Ganta sudah mencabut laporannya."

"Ah, kamu jangan bohong. Mana mungkin dia lakukan itu? Dia itu dendam banget sama aku. Sudah lama mau masukin aku ke penjara."

"Mbak, saya serius. Mbak Ganta waktu itu, kan, ke sini sama pengacaranya. Ingat, kan, pas mereka datang ngajak Nona Muda? Nah, itu mereka mencabut tuntutannya."

Terperangah. Putri benar-benar tak yakin Ganta bisa mengampuninya begitu saja. Pasti setelah dia sembuh, Ganta akan melakukan hal lain untuk membalas dendam.

"Ah, itu hanya sementara, kan, sampai aku sembuh. Entar juga kalau aku sudah sehat, dia akan memproses lagi."

"Mbak, saya percaya, Mbak Ganta enggak akan melakukan itu. Sebenarnya dia baik kok. Mungkin kemarin dia tertutup amarah saja karena mengingat hal yang Mbak Putri lakukan kepada orang tuanya yang sudah melewati batas."

Ingatan Putri berputar beberapa tahun lalu, saat dia mabok, mengendarai mobil sendiri, tanpa sadar menginjak gas terlalu dalam, akhirnya menabrak pengendara sepeda, sampai menewaskan mereka.

"Ganta pantas marah padaku, El. Aku yang keterlaluan. Rasanya berpisah dari Mama sama Papa saja, sangat berat bagiku. Apalagi Ganta, dia sampai kehilangan orang tuanya gara-gara aku," ujar Putri menangis sambil memeluk boneka beruang milik Auriel.

Tadinya Alfa ingin masuk, tetapi ketika mendengar ucapan Putri, dia berhenti dan sengaja menguping.

"Itu takdir, Mbak. Memang jalannya seperti itu. Sabar, Mbak. Pasti Mbak Putri bisa menghadapi semua ini." Rafael memberanikan diri mengusap lengan Putri yang memeluk erat boneka beruang.

"Aku pengin seperti dulu lagi, El. Berkumpul sama Papa, Mama. Sekarang aku merasa sendiri menghadapi cobaan ini. Kak Alfa sudah ninggalin aku. Itu salahku juga, aku terlalu memaksakan keinginanku. Aku egois dan terlalu berharap lebih tentang pertunanganku sama Kak Alfa. Padahal aku tahu, selama ini yang Kak Alfa lakukan kepadaku, bukan selayaknya kekasih, tapi kakak ke adiknya. Tapi aku menutup mata, berusaha menyangkal kenyataan itu," ujar Putri sambil sesenggukan.

"Masalah perasaan memang rumit, Mbak. Tapi, kita enggak bisa memaksakan. Lebih baik sekarang Mbak Putri fokus sembuh dulu. Nanti kita pikirkan lagi langkah selanjutnya."

Rafael membenarkan selimut Putri, dia naikkan hingga menutup setengah badannya.

"El, apa ada kabar tentang Mama?"

"Mbak Putri tenang saja. Di sana ada Ibu Arista dan Mas Galang."

"Oh, iya, ngomong-ngomong soal mereka ...," ucapan Putri terhenti, dia menatap Rafael serius, "benar dia istri kedua Papa?"

Rafael mengangguk. "Iya, Mbak. Buktinya ada. Pak Rehan sama Ibu Arista punya buku nikah. Akta kelahiran Mas Galang juga sudah dicek keasliannya, dari tes DNA memang benar dia putra kandung Pak Rehan."

"Papa," gumam Putri menekan dadanya yang terasa sesak, "kenapa Papa tega mengkhianati Mama? Aku pikir keluarga kita harmonis, Papa adalah orang yang sayang keluarga. Kenapa ini bisa terjadi?" Putri kembali menangis hingga terisak-isak.

Lagi-lagi Putri harus menerima kenyataan, dia memiliki ibu tiri dan saudara tiri. Memang sulit menerima kenyataan, tetapi Putri tak punya pilihan lain. Semua sudah terjadi.

Pintu terbuka lebar, Alfa masuk. Rafael dan Putri menolehnya. Alfa bersikap cuek, seolah dia tidak mendengar apa pun dari percakapan Putri dan Rafael. Dia kembali duduk di sofa, melanjutkan pekerjaannya.

***

Siang yang terik tak menghalangi Doni untuk membesuk adik kesayangannya. Di ruangan khusus dengan penjagaan ketat, Doni menemui Rehan yang kini mengenakan baju tahanan.

"Mas Doni, tolong bebaskan aku," ujar Rehan mengiba, memasang wajah memelas.

"Bagaimana lagi aku membantu kamu, Han? Kejahatan kamu sudah menggunung. Semua bukti memberatkanmu. Yang bisa kamu lakukan saat ini menjalani dan mempertanggungjawabkan perbuatanmu."

"Tapi, Mas, kamu bisa mencarikan pengacara terhebat yang bisa membelaku!" Rehan masih kekeh dengan keinginannya.

"Sehebat apa pun pengacara yang aku sewa, enggak akan bisa menangguhkan hukumanmu. Percobaan pembunuhan yang kamu rencanakan kepada Alfa beberapa tahun lalu, kenapa kamu tega melakukannya, Han? Apa salah Alfa kepadamu?" Mata Doni berkaca-kaca. "Aku percaya padamu, semua aku berikan untuk kamu. Tapi, kenapa kamu tega mencelakai keponakanmu?" ujar Doni sambil menahan emosi, rahangnya mengeras, dia juga mengepalkan kedua tangan.

"Karena Mas Doni memberikan Group Pamungkas kepadanya! Selama ini aku yang bantuin Mas membangun bisnis. Tapi, apa? Hah! Mas mewariskan Group Pamungkas kepada Alfa. Sedangkan aku, cuma dapat dua puluh persen saham Group Pamungkas. Apa itu adil?" sentak Rehan membuat Doni shock sampai memegangi dadanya.

Sugeng yang sejak tadi berdiri di sebelah Doni langsung mengusap-usap punggung Doni supaya perasaannya tenang. Dia khawatir Doni serangan jantung. Apalagi napas Doni terdengar berat sambil dia memegangi dadanya.

"Jadi, itu masalahnya?" tanya Doni tak habis pikir dengan isi kepada adiknya.

"Iya! Alfa juga sudah menggantung Putri bertahun-tahun. Apa Mas tidak kasihan sama Putri? Dia perempuan, butuh kepastian!"

"Sejak awal yang menginginkan pertunangan itu kamu, bukan Alfa. Dia hanya melakukan apa yang kita minta. Untuk keputusan sepenting itu, aku tidak bisa memaksanya. Menikah adalah hal yang penting dan sekali seumur hidup, bagiku, bukan main-main. Jika Alfa selama ini menggantung Putri, aku mewakili Alfa meminta maaf padamu. Tapi Alfa punya alasan untuk itu," ujar Doni tegas, rasa simpatinya kepada Rehan menguap saat tahu alasan dia mencelakai putranya.

"Alasan apa? Hah! Jangan bilang Alfa lebih memilih jalang itu, Mas!" Suara Rehan meninggi.

"Tutup mulut kamu, Han!" sahut Doni dengan mata menyalang amarah.

"Ternyata serendah itu selera anakmu. Aku sodorkan berlian, dia malah memungut kerikil di jalanan." Rehan tersenyum miring, menghina Doni dan Alfa.

"Jaga ucapanmu!" Doni menunjuk wajah Rehan.

"Benar, kan? Mana ada wanita baik-baik hamil di luar nikah? Masih mending anakku, bertahun-tahun menjadi tunangan anakmu, tapi dia bisa menjaga diri. Itu membuktikan kalau anakku bisa menjaga kehormatannya. Enggak seperti jalang itu! Seperti itukah menantu idaman kamu?" ujar Rehan sarkartis.

Amarah Doni meninggi, dia ingin sekali memukul Rehan supaya sadar dengan ucapannya. Namun, Doni tidak tega. Bagaimanapun, Rehan adalah adik satu-satunya.

"Aku enggak nyangka, ternyata begini sifat aslimu, Han. Aku bersyukur, Tuhan membuka topengmu hingga menyadarkanku kalau kamu tidak pantas aku anggap adik. Aku enggak punya adik tamak, jahat, dan egois seperti kamu. Aku didik kamu dengan sepenuh hati, ternyata balasanmu begini. Aku tidak menyesal, hanya saja aku sedih." Setelah berucap, Doni berdiri. Sebelum dia pergi, Doni menambah ucapannya, "Bagaimana pun sifat kamu, aku tetap menyayangimu karena darahmu sama seperti darahku. Tapi, mulai hari ini, aku memutuskan hubungan kekerabatan denganmu. Maafkan keputusanku ini jika melukai hatimu."

Rehan terbelalak, matanya membulat sempurna sambil menatap Doni. Saat Doni sudah melangkah ingin keluar dari ruangan itu, tiba-tiba Rehan mengejar.

"Mas Doni! Maafin aku," ucap Rehan bersimpuh sambil menahan kaki Doni.

Sebenarnya Doni tidak tega melakukan itu kepada Rehan. Bagaimanapun, dia tetaplah adiknya. Hanya saja, perkataan Rehan sudah melukai hatinya. Doni sambil menangis tersedu-sedu membalikkan badan dan menuntun Rehan agar berdiri. Setelah mereka saling berhadapan, Doni menepuk pipi Rehan tiga kali.

"Di mataku, kamu tetap adik kecil yang butuh perlindunganku. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu sebagai adikku. Tapi maaf, kamu harus dihukum. Kenakalan kamu sudah melewati batas."

Hati Rehan tersentuh, dia teringat semua yang Doni lakukan kepadanya. Tak pernah sekali pun Doni dulu memarahinya, bahkan Doni selalu berjuang untuk menuruti semua keinginannya. Sejak ayah mereka meninggal, Doni menjadi tulang punggung keluarga. Sesulit apa pun keadaan mereka dulu, Doni berusaha mengabulkan semua keinginan Rehan.

Sampai ibu mereka meninggal pun, kasih sayang Doni kepada Rehan tak berkurang, malah semakin besar. Doni mendidik dan menyayanginya sepenuh hati. Rehan menangis histeris setelah kepergian Doni. Air mata Doni tak terbendung, dia menangis, menyayangkan keputusannya. Namun, Doni berharap, dengan ini Rehan sadar.

Maafin Mas, Han. Maaf, batin Doni setelah sampai di mobil.

Dia memecahkan tangisannya sampai kedua bahunya naik turun. Sugeng tak berani mengganggu. Dia membiarkan Doni menangis sepuasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top