Pengacara Muda

Ganta tak main-main dengan kata-katanya. Dia melaporkan Putri ke polisi agar kasus beberapa tahun lalu dibuka kembali. Dia dibantu Fikri, teman SMA Ganta yang sekarang sudah menjadi pengacara.

"Makasih, ya, Fik," ucap Ganta sebelum turun dari mobil Fikri.

"Sama-sama. Kalau ada apa-apa telepon aja. Jangan sungkan."

"Iya. Beneran nih enggak mau mampir dulu?"

"Makasih, Ta. Aku langsung pulang aja, sudah ditunggu klien."

"Oke deh."

Bergegas Ganta keluar dari mobil Fikri. Sejak terlibat kerja sama, Ganta dan Fikri sering bertemu. Ganta menunggu mobil Fikri jalan, setelah tak terlihat, dia masuk ke rumah. Disambut senyum ceria Auriel.

"Mama, kok Om Alfa enggak pernah ke sini lagi sih? Padahal aku pengin loh ngajakin dia main," tanya Auriel membuntuti Ganta sampai kamar.

"Dia sedang sibuk, Sayang. Kan bisa main sama Mama," ujar Ganta mengambil pakaian santai di lemari, lalu pergi ke kamar mandi untuk ganti.

Wajah Auriel tertekuk, dia duduk di ranjang, menunggu Ganta kembali ke kamar. Setelah beberapa menit, akhirnya Ganta masuk kamar.

"Aku bosen, Ma, selalu di rumah. Kenapa sih aku enggak boleh keluar-keluar?"

"Sabar, ya, Sayang. Kondisinya belum aman," jelas Ganta mendekati Auriel dan duduk di sebelahnya.

"Mami Carla sekarang sibuk, Om Ganteng juga udah enggak pernah ke sini, Bunda Ratna ke sini kalau Minggu doang. Kenapa sih orang dewasa selalu sibuk, Ma?"

Ganta tersenyum mendengar pertanyaan polos putrinya. Dia mengelus rambut Auriel sambil menjelaskan, "Karena orang dewasa harus bekerja buat kebutuhan sehari-hari. Buat beli makan, biaya sekolah dan lain-lain."

"Oh, gitu, ya, Ma?"

"Iya, Sayang. Tadi di sekolah kamu belajar apa saja?"

Obrolan ibu dan anak siang itu mengalir begitu saja sampai tak terasa keduanya tertidur.

Di sisi lain, Putri sedang menangis sesenggukan di pelukan Alfa. Dia takut masuk penjara. Posisi Alfa tersudut, di satu sisi, dia harus melindungi Putri sebagai adik sepupunya, sisi lain, Putri memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alfa menghela napas dalam, dia memijat keningnya yang pening.

"Kak Alfa, tolong bilang sama Ganta untuk cabut laporannya," ujar Putri sambil sesenggukan memeluk erat perut Alfa.

Alfa tak bisa menjawab, dia juga bingung. Doni yang mengetahui masalah itu hanya bisa pasrah karena Ganta memang berhak menuntut.

"Pak Sugeng," panggil Doni.

"Iya, Pak." Sugeng mendekati Doni yang duduk di depan Alfa dan Putri.

"Tolong siapkan mobil. Saya mau pergi."

"Papa mau ke mana?" tanya Alfa cepat, sebelum Doni beranjak dari tempat duduknya.

"Papa mau ketemu Pak Guntur. Ada sesuatu yang mau Papa bicarakan dengannya. Kamu urus saja masalah Putri. Papa pusing," ujar Doni lantas meninggalkan Alfa dan Putri di ruang keluarga.

"Udah, jangan nangis terus. Aku akan pikirkan jalan keluarnya," ujar Alfa menegakkan tubuh Putri.

Dia menghela napas dalam, lalu menelepon pengacara kepercayaannya.

***

Sebelumnya Fikri sudah memiliki janji dengan Ganta. Dia malam ini datang ke rumahnya membawa berkas kasus kecelakaan orang tua Ganta. Mereka mengobrol di teras rumah.

Di tengah obrolan, mobil Alfa berhenti di depan rumah. Dia melihat Ganta sedang serius bersama lelaki lain, duduk berdekatan. Hati Alfa panas, dia tak rela ada lelaki lain dekat dengan Ganta. Alfa pun turun dari mobil, lantas menghampiri mereka.

"Eham!"

Fikri dan Ganta menoleh saat Alfa berdaham. Mereka melongo sesaat karena Alfa berdiri di depan teras sembari bersedekap seolah dari tatapan itu, dia sedang memergoki kekasihnya berselingkuh.

"Ta, ada tamu tuh!" ucap Fikri menutup berkas-berkas yang akan dibawa ke pengadilan besok.

"Dia sudah tidak diterima di rumah ini," ujar Ganta datar tak menatap Alfa.

"Enggak boleh gitu dong, Ta. Tamu itu membawa rezeki loh, enggak boleh ditolak," nasihat Fikri sangat lembut.

Alfa mengalihkan pandangannya, dia tidak suka memandang Fikri dan Ganta duduk berdekatan.

Lantaran Ganta tak merespons, Fikri berinisiatif berdiri dan berkata, "Silakan duduk, Pak."

"Enggak perlu! Dia lawan kita di pengadilan besok," sahut Ganta cepat sebelum Alfa yang menjawab.

Fikri menatap Alfa bingung, ada tanda tanya besar di kepalanya. Yang dituntut Ganta wanita, kok lawannya jadi laki-laki? Apa pria di depannya ini pengacara? Begitulah yang ada di pikiran Fikri saat ini.

"Ta, aku ke sini mau membicarakan tuntutanmu kepada Putri," tutur Alfa sangat lembut.

Dari tatapan Alfa, Fikri sudah dapat menilai bahwa antara Ganta dan orang berpenampilan rapi itu ada yang spesial. Namun, kenapa Ganta bersikap tak bersahabat? Lagi-lagi Fikri memendam pertanyaan dalam hati.

"Mmm ... Ta, lebih baik kamu bicarakan dulu berdua. Siapa tahu ada solusi terbaik. Aku pamit, ya?" kata Fikri mengambil tasnya di meja.

"Fik, nanti kita lanjut bahas lewat WA, ya?" Ganta beranjak, bersiap mengantar Fikri.

Mendengar Ganta mengatakan itu kepada Fikri, dada Alfa memanas, cemburu menguasainya saat ini. Ketika Ganta lewat di samping Alfa, akan mengantar Fikri sampai pelataran, cepat-cepat pergelangannya dicekal Alfa. Ganta dengan kasar menepis lengan Alfa.

"Lepasin!" pinta Ganta lantaran Alfa tak mau melepaskannya.

"Aku pernah bilang sama kamu, kan? Apa yang sudah aku dapatkan, enggak akan aku lepaskan. Termasuk kamu," kata Alfa menatap kedua netra Ganta sendu.

Fikri menoleh, melihat Alfa dan Ganta saling tatap. Senyum tersungging di bibir Fikri, dia sudah dapat menyimpulkan sendiri dari hal itu, sebenarnya mereka saling cinta, hanya saja ada sesuatu yang masih mengganjal, hal itu Fikri belum tahu. Tak ingin mengganggu, tanpa berucap apa pun Fikri pergi meninggalkan Ganta dan Alfa.

Setelah mendengar mobil Fikri nyala, barulah Ganta sadar dan memalingkan pandangan dari sorot sendu mata Alfa.

"Hati-hati, Fik!" pekik Ganta melambaikan tangan kepada Fikri, tetapi cepat-cepat Alfa menurunkan tangan Ganta dan kini dia memegang kedua pergelangannya.

"Pulang dulu, Ta." Fikri melambai sambil menjalankan mobilnya.

Selepas mobil Fikri pergi, Ganta menatap Alfa tajam dan berusaha melepaskan kedua tangannya yang masih Alfa pegang.

"Lepasin!" pinta Ganta mengayunkan kedua tangannya.

"Kamu apa-apa sih! Enggak menghargai perasaanku banget. Dadah-dadah sama cowok lain di depanku," tutur Alfa dengan tampang cemberut.

"Loh, emang kenapa? Apa salahnya? Saya wanita bebas yang tidak terikat dengan siapa pun. Boleh dong saya melakukan hal itu kepada semua orang. Kamu siapa ngelarang saya?"

"Kamu calon istriku, ibu dari anakku!" kata Alfa tegas.

"Kalau kamu masih berat sebelah, mending jangan! Saya tahu kamu masih belum bisa melepaskan Putri."

"Itu karena saat ini posisinya rumit, Ganta. Kamu paham enggak sih? Aku pengin bantuin kamu, tapi siapa yang akan mengurus dan mendampingi Putri? Dia enggak tahu masalah hukum dan ... ah!" Alfa melepas kedua tangan Ganta dan menyugar hingga rambutnya sedikit berantakan.

Jika begitu, ketampanannya malah bertambah. Rambut rapi saja dia tampan, apalagi sedikit tidak rapi, terlihat maskulin dan maco.

"Intinya kamu bingung memilih, kan? Makanya jangan sok-sokan menginginkan dua wanita."

"Siapa sih yang menginginkan dua wanita? Aku maunya kamu! Cuma kamu! Aku sama Putri sekadar untuk misi bisnis. Kalau aku sama kamu untuk pendamping hidup selamanya. Salahnya di mana, Ta?" Alfa merentangkan kedua tangannya, dia bingung dengan posisinya saat ini.

Alfa sangat ingin bersama Ganta, tetapi bagaimana dengan Putri? Alfa tak mungkin membiarkannya menghadapi tuntutan Ganta sendiri. Putri tak tahu apa-apa, selama ini hidupnya terlalu dimanjakan Rehan.

"Sudahlah, kamu mending pulang aja!" Ganta ingin masuk, dengan cepat Alfa menahannya.

"Aku ke sini mau melakukan nego sama kamu."

"Enggak ada nego-nego lagi! Sudah sana, pergi!" usir Ganta mendorong kecil tubuh kekar Alfa, sayangnya tak sedikit pun Alfa terdorong.

"Ta, please, cabut tuntutan kamu, ya? Kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Aku enggak mau kita berada di persimpangan jalan. Aku mau kita berjalan di satu arah." Alfa mengiba sambil memegang kedua tangan Ganta.

"Saya enggak bisa, Alfa. Saya sudah cukup lama diam. Coba kalau kamu di posisi saya, pasti akan melakukan hal yang sama, kan? Saya cuma minta keadilan, itu saja kok!"

"Iya. Aku tahu, Ta. Tapi apa harus dengan cara begini? Aku tersiksa lihat kamu dekat sama pengacaramu. Aku enggak bisa melihat kamu dekat dengan pria lain. Aku carikan pengacara baru, ya, yang cewek."

"Enggak! Aku sudah nyaman sama Fikri." Setelah berucap itu, Ganta ingin masuk ke rumah. Lagi-lagi Alfa menahannya. "Apa lagi sih?" sentak Ganta kesal berhenti di ambang pintu dan menghadap Alfa.

"Apa sih sebenarnya yang kamu mau, Ta?" tanya Alfa sangat lembut, dia masih sabar menghadapi keras kepalanya Ganta.

"Saya cuma mau menegakkan keadilan untuk orang tua saya dan hidup nyaman, aman bersama Auriel, Ibu, Bapak, seperti dulu sebelum kamu datang."

"Terus apa arti aku dalam hidup kamu, Ta?"

"Enggak ada!" dusta Ganta menahan nyeri di dadanya.

Jawaban Ganta mengiris hati Alfa. Sangat sakit dan pedih. Perlahan Alfa melepaskan tangan Ganta, matanya memanas, tak lepas memandang Ganta.

"Kamu sudah janji waktu itu sama aku, Ta! Setelah aku membebaskan Auriel, kamu mau menikah sama aku." Alfa meninggikan suaranya, dia sangat kecewa kepada Ganta.

"Aku berubah pikiran," ucap Ganta menunduk sambil menangis. Dia tak tahan melihat air mata Alfa yang menggantung di pelupuk.

"Semudah itu kamu bilang, Ta?" Suara Alfa merendah.

"Tolong, kamu sekarang pergi dari sini. Anggap kita enggak pernah punya hubungan apa pun dan jangan pernah kamu dekat-dekat keluarga saya lagi," pinta Ganta yang sejujurnya sangat berat.

Namun, dia melakukan itu demi Auriel. Air mata Ganta mengalir deras, tak terbendung.

"Mau kamu apa sih? Kamu enggak menghargai usahaku bertahun-tahun mencarimu? Ini balasan kamu? Iya!" sentak Alfa murka, wajahnya mengeras. "Oh, apa Auriel sebenarnya bukan anakku?" ucap Alfa walaupun nadanya rendah, tetapi sangat melukai hati Ganta.

Tamparan keras mendarat di pipi Alfa. Hal itu tak bisa membayar sakit hati Ganta. Kini Ganta berani mendongakkan kepala, menatap Alfa tajam dengan wajah basah air mata.

"Tutup mulut kamu! Saya rela menjatuhkan harga diri saya buat kamu! Kamu renggut kesucian saya saat kamu buta, saya terima! Sekali bajingan, tetap bajingan! Di mata saya, kamu tidak lebih seorang bajingan yang lari dari tanggung jawab! Sekarang saya minta, kamu pergi dari rumah saya! Jangan sekali-kali kamu menginjakkan kaki di sini lagi! Saya enggak ngemis tanggung jawab kamu! Saya enggak pernah meminta uang satu rupiah pun sama kamu! Jadi, saya enggak punya utang apa pun padamu! Saya sama Auriel enggak butuh lak-laki sepertimu!" Setelah mengatakan itu, Ganta menutup pintunya keras.

Alfa masih mematung di depan pintu sambil memegangi pipinya yang terasa panas dan perih. Ganta menangis sesenggukan bersandar di pintu, lalu merosotkan tubuhnya, duduk di lantai. Alfa memegangi mulutnya, dia baru sadar apa yang dikatakannya. Kenapa dia ragukan Auriel sebagai putrinya? Alfa mengacak rambutnya frustrasi.

"Ta, buka pintunya. Maaf, bukan maksudku bicara begitu. Aku percaya dan yakin Auriel anakku," kata Alfa menggedor-gedor pintu, suaranya pun parau.

"Pergi kamu dari sini! Auriel enggak butuh orang sepertimu! Aku bisa membesarkan dia tanpa kamu! Pergi!" pekik Ganta menangis sejadi-jadinya.

"Maafin aku, Ta."

"Saya minta kamu pergi!" sahut Ganta kekeh menginginkan Alfa pergi dari sana.

Alfa tak peduli, dia tetap menunggu di depan pintu. Tubuhnya lunglai, dia menjatuhkan harga dirinya, berlutut di depan pintu rumah Ganta.

"Aku enggak akan pergi sampai kamu mau keluar dan kita bicarakan semua ini dengan kepala dingin," ucap Alfa kali ini bernada rendah meski suaranya tetap parau.

Karena mendengar keributan, Carla berniat ingin melihat apa yang terjadi, dia malah mendapati Ganta menangis sesenggukan sambil menekuk lutut di depan pintu. Carla jongkok di depan Ganta.

"Ta," panggil Carla pelan, memegang bahunya.

Ganta mendongakkan kepala. "Aku bener-bener kecewa banget sama dia, La," ujar Ganta memeluk Carla erat.

"Ssssst, cup, jangan nangis lagi." Carla dapat merasakan kesedihan Ganta, dia mengusap punggung Ganta agar lebih tenang.

"Aku enggak mau lagi berhubungan dengan keluarga mereka, La. Entah Galang maupun Alfa. Aku enggak mau Auriel jadi korban lagi."

"Iya, aku paham, Ta. Sudah, kita ke kamar yuk! Hapus dulu air matamu. Jangan sampai Auriel tahu kamu habis nangis, nanti dia tanya-tanya malah kamu bingung jawab. Dia ketakutan denger kalian ribut." Carla membantu Ganta menghapus air matanya.

Ganta berdiri, dia menenangkan perasaannya sebelum masuk ke kamar. Setelah cukup tenang, Ganta berjalan gontai ke kamar. Sebelum menyusul Ganta, iseng-iseng Carla mengintip dari jendela. Dia terkejut melihat Alfa masih berlutut di depan pintu. Buru-buru Carla membuka pintunya.

"Pak Alfa, astagaaa, jangan seperti ini," ucap Carla membantu Alfa berdiri. "Sebaiknya sekarang Pak Alfa pulang dulu. Nanti saya bantu bicara sama Ganta, ya?"

"Tapi ..."

"Pak Alfa, tolong pahami perasaan Ganta saat ini. Kalau sudah tenang, nanti saya ajak dia bicara."

Alfa menghela napas dalam. Dia mengangguk. "Maaf sebelumnya sudah bikin keributan di sini."

"Enggak apa-apa, Pak Alfa. Kami memahami."

"Kalau begitu saya pamit. Salam buat Ibu Yuli, Pak Pras, sama Auriel."

"Baik, Pak. Nanti saya sampaikan. Kebetulan saat ini Bapak sama Ibu sedang menghadiri acara santunan anak yatim di masjid."

Alfa mengangguk lemas. "Kalau gitu, saya permisi dulu."

"Baik, Pak Alfa."

Lantas Alfa pergi. Setelah mobil Alfa tak terlihat, Carla menutup pintu. Dia menarik napas panjang. Urusan perceraiannya dengan Roy belum selesai, kini dia dihadapkan masalah Ganta dan Alfa. Sejujurnya Carla juga sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Namun, dia simpan sendiri, Carla tak mau menambah beban pikiran Ganta.

Di sisi lain, Alfa mengendarai mobil sambil memikirkan ucapannya tadi. Dia menyesal mengatakan hal itu.

"Bodoh! Kenapa aku bicara begitu! Ah, pasti Ganta marah besar padaku," ucap Alfa memukul setir dan menyugar, lalu membasahi bibirnya dengan lidah.

Ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Alfa melihat layar datarnya, dari Putri. Sejujurnya dia ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Putri. Namun, bagaimana caranya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top