Patah Hati

Sejak pulang kerja, Alfa di kamar, melewatkan makan malam, hingga pukul 20.30 WIB dia tak kunjung keluar. Padahal Putri sudah menunggunya untuk makan malam. Alfa malah sedang sibuk video call dengan Auriel dan Ganta. Hubungan Alfa dan Ganta beberapa hari terakhir mulai membaik.

"Udah malam, bobo, Sayang," ucap Alfa kepada Auriel.

"Papa juga mau bobo, ya?" kata Auriel yang sedang melendot di dada Ganta.

"Iya. Nanti Papa bobo. Auriel duluan."

"Papa, kapan kita bisa bobo bareng sama Mama juga?"

Bibir Alfa mengatup rapat, dia memandang Ganta yang tersenyum sambil membuang muka ke arah lain. Carla yang sedang duduk di kursi kayu dekat dengan jendela terkekeh mendengar pertanyaan Auriel.

"Auriel maunya kapan?" tanya Alfa.

"Enggak tahu. Terserah Mama." Auriel mendongak, menatap Ganta yang masih membuang wajah ke arah lain.

"Coba tanya sama Mama, kapan kita bisa bobo sekamar."

"Ma, Papa tanya, kapan kita bisa bobo sekamar?" tanya Auriel polos mengarahkan pipi Ganta supaya menatap layar flat yang menampakan wajah tampan Alfa sedang tersenyum lebar.

"Mmmm ... nanti," jawab Ganta lalu melengos lagi.

"Jangan nanti-nanti, keburu Auriel punya adik," ujar Alfa langsung mendapat pelototan Ganta.

"Auriel mau punya adik, Pa?" sahut Auriel cepat.

"Auriel mau punya adik?" Justru Alfa bertanya balik kepada Auriel sambil melirik Ganta yang wajahnya sudah merah.

"Mau, Pa! Adik bayi, kan?"

"Iya dong. Masa adik kucing."

"Mau, Pa! Mau!" sahut Auriel girang.

"Iya, nanti Papa buatin dulu sama Mama, ya?"

"Alfa!" sentak Ganta sambil menahan malu.

"Kenapa sih? Orang anak kita mau punya adik kok."

"Jaga ucapan kamu," ujar Ganta sambil melototkan matanya. Carla malah terkekeh geli sambil menggeleng.

"Genduk, ayo ikut Mami!" ajak Carla beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Auriel ke tempat tidur.

"Mau ke mana, Mi?" tanya Auriel sambil turun dari tempat tidur.

"Pipis dulu, gosok gigi, cuci tangan dan kaki, baru nanti bobo," ujar Carla menggandeng Auriel keluar dari kamar.

Selepas mereka keluar, Ganta langsung mengomeli Alfa. "Dia itu masih kecil, polos, Alfa. Jangan kamu kasih harapan-harapan palsu."

"Siapa sih, Ta, yang ngasih harapan palsu? Masa sih, aku tega ngasih harapan palsu sama anakku sendiri."

"Dia itu paling enggak bisa dijanji-janjiin, Alfa. Pasti nanti ditagih terus. Persis kamu. Enggak bisaan orangnya."

"Namanya juga anak, buah jatuh enggak jauh dari pohonnya, kan?"

"Iya, iya, iya. Tapi tolong, jangan bicara begitu lagi. Bicarain adik pula!"

"Emang kenapa sih? Emang salah?"

 "Iiiih, kamu tuh, ya ...!"

Alfa tertawa terbahak melihat wajah sebal Ganta.

"Kalau aku di situ, udah aku gigit kamu."

"Udah, ah, tidur aja."

"Jangan dulu. Aku masih kangen."

"Halah, setiap hari ketemu, kangen."

"Besok Sabtu nginep di hotel yuk!"

Lagi-lagi Ganta melototkan matanya.

"Eh, jangan salah paham dulu. Maksudku tuh, mau ngajak kamu sama Auriel nginep di hotel, buat nyantai, seneng-seneng, gitu aja. Enggak lebih."

"Yakin enggak lebih?" Ganta melirik.

Alfa menyengir. "Yakin. Kalau kita enggak khilaf." Lalu Alfa terkekeh.

Alfa tak sadar sedari tadi ternyata Putri mendengarkan obrolannya dengan Ganta dari pintu yang terbuka sedikit. Hatinya sangat sakit. Dia memegangi dadanya yang sesak, sambil menangis sesenggukan, Putri pergi dari depan kamar Alfa. Dia menjatuhkan diri di sofa ruang tengah sambil menangis terisak-isak.

"Kamu tega banget, Kak Alfa," ucap Putri di tengah tangisannya. "Di saat aku sedang menghadapi masalah, enggak ada Mama-Papa di sampingku, cuma kamu yang aku percaya saat ini, tapi kenapa kamu mengkhianatiku? Di belakangku kamu masih berhubungan dengan dia!"

Tangis Putri menyayat hati. Dadanya benar-benar sesak. Selama ini dia dengan setia menunggu Alfa. Sabar mendampinginya, bahkan Putri menutup hati untuk pria mana pun. Putri berpikir, Alfa adalah pelabuhan terakhirnya. Namun, apa yang Alfa lakukan padanya? Apakah kesetiaannya selama bertahun-tahun dibayar dengan pengkhianatan Alfa?

Setelah mengakhiri video call-nya, Alfa keluar dari kamar, berniat untuk mencari sesuatu yang bisa dia makan. Namun, saat sampai di ruang tengah, langkahnya terhenti.

"Putri," gumam Alfa, langsung mendekatinya. "Hei, kamu kenapa menangis?" tanya Alfa menangkup pipi Putri agar menegakkan kepalanya.

Wajahnya sudah basah air mata, Putri sesenggukan, menatap Alfa sayu.

"Kenapa Kak Alfa tega!" bentak Putri sangat keras hingga mengejutkan Alfa.

"Tega apa sih?" sahut Alfa mengerutkan dahinya bingung.

"Aku selama ini selalu menjaga hati buat Kak Alfa. Tapi kenapa Kak Alfa masih berhubungan dengan wanita itu!" Suara Putri sangat keras, dia berkata sambil menunjuk-nunjuk dadanya.

Doni, Sugeng, dan Rafael yang tadinya sudah istirahat sampai keluar dari kamar mereka masing-masing. Putri berdiri, dia mendorong bahu Alfa yang masih duduk di sofa.

"Kak Alfa anggap aku apa sih?" tanya Putri masih dengan suara tinggi.

Alfa mengusap tengkuknya, tiba-tiba kepalanya pening dan kedua bahu terasa berat. 

"Sini, duduk dulu." Alfa menggapai tangan Putri dan berbicara sangat lembut. Namun, tangannya ditepis kasar oleh Putri.

"Aku selama ini cuma percaya sama Kak Alfa. Bermimpi kita akan menikah dan memiliki keluarga yang utuh. Bukan seperti ini!" ujar Putri dengan suara serak dan sambil menangis.

"Maafin Kakak, Put. Ini kenyataannya. Aku sudah punya anak sama Ganta dan soal perasaan, enggak bisa dipaksa," ujar Alfa meski berat hati.

Kedua mata Putri membulat sempurna. Pasalnya, dia baru tahu jika Alfa memiliki anak dengan Ganta. Selama ini memang Alfa dan Doni menjaga rahasia itu hingga nanti waktu yang tepat, baru mereka akan menjelaskan pelan-pelan kepada Putri. Namun, sepertinya Alfa sudah tak bisa menahannya. Doni menarik napas dalam sambil menggeleng.

"Apa maksud Kak Alfa?" tanya Putri lirih, lututnya sudah lemas.

Sambil menunduk, Alfa berkata, "Aku memang belum menikah dengannya. Tapi, aku dan Ganta sudah memiliki anak. Aku enggak bisa meninggalkan dia, Put. Aku mencintai Ganta dan putriku."

"Terus aku bagaimana!" pekik Putri menjatuhkan diri di lantai, tangisnya semakin keras.

Alfa ingin membantunya berdiri, tetapi didorong Putri sampai terperenyak, punggungnya membentuk sofa.

"Buat apa aku hidup? Papa entah di mana, Mama juga enggak peduli sama aku lagi! Enggak ada orang yang peduli sama aku sekarang!" pekik Putri beranjak, lalu berlari ke arah dapur. 

Semua mengejarnya, Putri masuk ke kamar mandi dekat dengan dapur. Dia mengambil pembersih lantai, lalu menenggaknya seperti minum air putih. Rafael langsung menepis botol pembersih lantai itu sampai cairannya berceceran di lantai. Putri memegangi tenggorokannya terasa seperti terbakar, Rafael dengan sigap membungkukkan Putri agar memuntahkan cairannya, dia juga sengaja memasukkan jari ke mulut Putri supaya muntah, tetapi setelah muntah, Putri kejang-kejang. Alfa langsung berlari ke kamar mengambil kunci mobilnya. Semua kalang kabut.

"Pak Sugeng, sterilkan apartemen. Jangan sampai kabar ini bocor ke media," titah Doni yang langsung bergerak cepat menghubungi semua pihak keamanan dan rumah sakit agar menyiapkan tempat pertolongan pertama untuk Putri.

"Siap, Pak!" Sugeng detik itu juga bertindak.

Rafael membopong Putri keluar dari kamar mandi. Dia mengikuti Alfa keluar dari apartemen menggunakan lift yang langsung ke basement. Setelah masuk ke mobil, dengan kecepatan tinggi Alfa menuju rumah sakit. Putri sudah tak sadarkan diri.

***

Hingga tengah malam Arista tak bisa tidur, dia mengusap kening Ani menggunakan handuk kecil karena tubuhnya selalu berkeringat. Padahal di ruangan itu ber-AC, tetapi Ani seperti kegerahan.

"Lang." Sangat pelan Arista membangunkan Galang yang sedang tidur di sofa.

Tak butuh waktu lama, Galang terbangun. Sambil mengucek mata, Galang beranjak. "Ada apa, Ma?"

"Ini kenapa, ya, kok Tante Ani berkeringat terus dari tadi? Kayak orang gelisah."

"Galang panggilin dokter, ya?"

Setelah Arista mengangguk, Galang pun keluar. Arista menggenggam erat tangan Ani. Dia membisikkan doa-doa pendek di telinganya. Tak lupa, Arista juga beristigfar agar Ani tenang. Galang masuk bersama dokter dan suster. Arista mundur agar dokter leluasa memeriksa Ani. Dokter mengecek berbagai rangsangan Ani, menyoroti cahaya ke mata, ketukan dan tekanan pada bagian dada serta lengan, lanjut rangsang nyeri dengan mengetukkan alat kecil seperti palu di lututnya. Setelah semua dicek dan suster menyuntikkan sesuatu di infusnya, dokter menjelaskan mengenai kondisi Ani kepada Arista dan Galang.

"Jangan khawatir, ini salah satu respons baik dari Ibu Ani. Terus ajak dia berkomunikasi, pelan-pelan latih beliau dengan rangsangan-rangsangan kecil, seperti menggenggam tangannya, gerakkan kaki, atau hal-hal lain supaya memancing syaraf-syarafnya untuk bergerak," papar pria paruh baya dan berkacamata itu.

"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Arista mengangguk.

"Kalau begitu saya permisi dulu."

"Silakan, Dok," ucap Arista.

Galang mengantar dokter dan suster itu sampai pintu. Arista sedikit bernapas lega, dia duduk di kursi, lalu mengangkat tangan Ani. Berbagai alat menempel di badan Ani. Hati Arista teiris-iris melihatnya.

"Mbak, kalau nanti kamu sadar, aku sudah siap apa pun yang mau kamu lakukan padaku. Sekalipun kamu mau menghukumku, aku sudah siap. Aku mengakui salah sudah menjadi orang ketiga di rumah tanggamu sama Mas Rehan," ucap Arista menangis sambil mencium tangan Ani.

Galang mengusap punggung Arista. "Mama jangan bicara begitu. Aku percaya, Tante Ani orang baik. Dia akan memaafkan Mama," ucap Galang supaya Arista tak selalu menyalahkan dirinya sendiri. "Udah, ya, Ma. Jangan nangis lagi." Galang menghapus air mata Arista.

Ponsel Galang berdering, dia merogoh saku celananya dan melihat si penelepon. Tertera nama 'Pak Doni' di layar flat-nya. Segera Galang menjawab panggilan itu.

"Halo."

"Galang, maaf mengganggumu tengah malam begini."

"Iya, Pak. Tidak apa-apa. Ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Begini, kami membawa Putri ke rumah sakit. Tadi dia minum pembersih lantai."

"Hah! Kok bisa?"

"Ceritanya panjang. Jadi, maaf, besok saya tidak bisa ke Jakarta untuk menemuimu."

"Iya, Pak Doni. Tidak apa-apa."

"Kalau kamu bisa, tolong kamu temani Pak Sugeng saja, ya? Temui klien saya dari Jerman."

"Baik, Pak."

"Pak Sugeng tolak ke Jakarta besok subuh. Pertemuannya siang. Semua sudah diatur, kamu tinggal datang saja sama Pak Sugeng."

"Baik, Pak. Kalau ada kabar mengenai Putri, tolong saya diberi tahu, ya, Pak?"

"Iya, Lang. Pasti. Oh, iya, bagaimana dengan kondisi Ani?"

"Alhamdulillah, tadi dokter baru saja memeriksanya. Sudah ada rangsangan dan peningkatan dari kondisi sebelumnya."

"Alhamdulillah, syukur deh kalau begitu."

"Iya, Pak."

"Ya sudah, kamu jaga diri baik-baik di sana. Jaga mereka, ya?"

"Iya, Pak. Pasti."

Panggilan pun berakhir. Sementara Doni akan melatih Galang untuk terjun membantu menjalankan beberapa bisnis di Jakarta, selama Alfa sibuk di Surabaya. Secara tidak langsung, Doni menjerumuskan Galang masuk ke bisnis Group Pamungkas. Padahal dalam diri Galang, sejujurnya dia tidak tertarik dalam bisnis itu. Dia lebih nyaman menjalankan bisnisnya di bidang kuliner.

***

Di tempat persembunyiannya, gudang yang sudah lama tak terpakai dan terpencil dari pemukiman, Rehan mengumpat dan sering mengamuki anak buahnya. Dia tidak bisa keluar karena sudah menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang). Mau pergi ke luar negeri pun dia kesulitan. Rehan tidak bisa lagi menyuap orang-orang yang memiliki pengaruh di negara ini karena semua bank membekukan namanya. Rehan hanya punya uang tunai yang jauh hari ditimbun di ruang bawah tanah tempat itu.

"Bangsat! Ini semua gara-gara anak sialan itu!" ujar Rehan menyalahkan Galang dan Alfa.

Botol minuman berserakan di meja dan lantai. Penampilannya yang biasan perlente, kini seperti orang tak terawat. Rambut acak-acakan, baju tidak rapi, kumis dan jenggot tumbuh tebal. Di dalam pikiran Rehan saat ini hanya mencari cara untuk kabur agar tak tertangkap polisi. Tidak peduli keadaan Putri dan Ani. Yang Rehan tahu, Ani sudah tertembak, entah meninggal atau masih hidup, dia tak ambil pusing.

Salah satu anak buah Rehan berteriak sambil berlari masuk ke gudang itu, "Bos, saya dapat kabar gembira!" Orang itu berhenti di depan tempat duduk Rehan.

"Apa?" sahut Rehan tampak seperti orang tak sabaran.

"Nanti malam ada kapal peti kemas yang akan layar ke Malaysia. Mereka membawa pupuk dan orang-orang yang sengaja diselundupkan untuk menjadi TKI di sana. Bos bisa ikut kapal itu, mereka tidak lewat pemeriksaan karena muat langsung di pelabuhan."

"Kerja bagus!" pekik Rehan mengacungi jempol ke anak buahnya. "Atur semuanya!" kata Rehan yang setengah mabok.

"Tapi, Bos, mereka minta uang."

"Berapa?"

"Per kepala sepuluh juta."

Tanpa pikir panjang, Rehan membuka tas hitam yang ada di meja. Dia melempar tiga gepok uang ke anak buahnya itu.

"Kamu urus, pastikan semua aman."

"Siap, Bos!"

Anak buah Rehan itupun lantas pergi menjalankan tugas.

"Setelah ini aku akan bebas!" pekik Rehan merentangkan kedua tangan ke atas, lalu tertawa puas.

Malam harinya, Rehan menyamar, memakai topi, kacamata hitam, pakaian serba longgar, dan jaket kulit hitam sambil menjinjing tas besar berisi uang tunai. Dia beserta anak buahnya datang ke pelabuhan. Di sana sudah ada mafia besar yang sudah biasa menyelundupkan barang-barang dan orang-orang yang pergi ke negara seberang secara ilegal.

"Aman, kan, ini?" tanya Rehan kepada anak buahnya.

"Aman, Bos," katanya percaya diri. "Mereka sudah sering melakukannya."

Orang-orang yang akan menyeberang berkumpul di palka kapal, tempat memuat peti kemas. Pelabuhannya jauh dari keramaian, tempatnya gelap dan sangat sepi, tak ada orang umum kecuali para pekerja dan ABK kapal. Setiap muat, sengaja satu peti kemas dikosongkan untuk mengisi para penyelundup ilegal.

"Ayo, masuk! Masuk! Masuk!" pekik pria bertubuh kurus, badan banyak tato, dan gondrong, membukakan pintu peti kemas.

Mereka berbondong-bondong masuk ke ruang yang gelap, pengap, dan panas. Semua duduk lesehan, tanpa alas. Tak ada perbedaan di sana, semua dianggap sama. Saat pintu peti kemas itu ditutup, keadaan di dalam semakin pengap dan gelap. Hanya ada celah kecil, ukuran sekitar sepuluh kali sepuluh sebagai ventilasi. Bayangkan saja, di dalam situ ada sekitar lima puluh orang, keadaan minim oksigen, bagaimana sesaknya?

"Kapan ini berangkatnya?" kata Rehan mengibaskan tangan di depan wajah karena kekurangan pasokan oksigen. Dia mulai bengek.

"Sabar, Bos. Mendingan Bos istirahat dulu. Saya yang jaga."

"Kalau tidak kepepet, saya tidak mau seperti ini," keluh Rehan sebal.

Saat Rehan sedang mencari posisi nyaman, terdengar keramaian di luar. Semua yang di dalam peti kemas itu panik. Apalagi tiba-tiba pintunya terbuka, orang-orang berjaket kulit hitam, potongan rambut pendek mengepung di depan pintu. Semua terkejut, apalagi Heran. Dia sangat ketakutan. Rehan memeluk tasnya yang berisi uang.

"Keluar kalian semua!" pekik salah satu dari mereka.

Satu per satu orang-orang keluar sambil menunduk. Mau tak mau Rehan ikut keluar. Para mafia sudah diamankan, mereka jongkok sambil mendunduk di pojokan palka, ABK kapal juga diperiksa polisi.

"Sialan!" umpat Rehan yang sadar jika mereka telah terkepung polisi.

Mata elang Rehan melirik sana sini, mencari celah. Namun, sepertinya kali ini dia tak bisa kabur. Polisi tersebar di sana, bahkan akses keluarnya dijaga ketat. Dalam hatinya mengumpat dan marah setengah mati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top