Kumpulan Keluarga
Setelah melewati terapi dan berbagai pengobatan untuk pemulihan, kini Ani diperbolehkan pulang. Walaupun belum sembuh total karena masih harus bolak-balik kontrol, setidaknya dia sudah bisa menjadi saksi di persidangan besok.
Pagi tadi mereka sudah sampai di Surabaya. Mereka berkumpul di rumah Arista. Carla belum resmi berpacaran dengan Galang, tetapi sudah dekat dengan keluarga besarnya. Saat ini dia ikut serta membantu Ganta dan Arista memasak untuk makan malam.
"Sayang!" pekik Alfa terdengar sampai dapur.
"Tuh, dipanggil pangeranmu," goda Carla ditimpali tawa kecil Arista.
"Apaan sih," ujar Ganta senyum malu-malu. "Nitip ini, ya? Kalau udah kering tolong dibalik," pesan Ganta menyerahkan spatula kepada Carla. Dia sedang menggoreng ikan. "Iya, apa, Sayang?" pekik Ganta sambil menghampiri Alfa yang berdiri di ruang makan.
"Besok tolong siapkan makanan di kotak, ya?"
"Buat apa?"
"Sebelum persidangan, kita jenguk Om Rehan dulu."
"Iya. Besok aku siapin pagi. Itu aja?"
"Sama siapin camilan atau sesuatu yang bisa awet disimpan untuk dimakan."
"Iya. Nanti aku siapin juga."
Setelah mengatakan itu, Alfa kembali ke depan, bergabung di ruang tengah bersama yang lain. Ganta melanjutkan memasaknya bersama Carla dan Arista.
"Mama mau sesuatu?" tanya Putri kepada Ani yang duduk di kursi roda karena syaraf kakinya belum berfungsi sempurna.
"Enggak, Sayang." Ani membelai wajah Putri.
"Tante Putri, ayo kita main ini!" seru Auriel memperlihatkan mainan barunya yang dibelikan Doni.
"Siap, Cantik!" sahut Putri, jika sudah bersama Auriel sisi kekanak-kanakannya muncul. Putri bisa menemaninya bermain.
"Putri, Putri, sudah gede masih aja main Barbie," gumam Ani tersenyum sambil menggeleng. "Oh, iya, Alfa, untuk persidangan besok, apa yang harus Tante siapkan?"
"Tante cukup menceritakan yang Tante tahu aja. Jangan dilebih-lebihin dan jangan dikurangi." Alfa mengelus tangan Ani.
"Beruntungnya Ganta dapat suami kamu. Sayang keluarga, pintar, dan hatimu tulus," puji Ani mengusap bahu Alfa.
"Saya yang beruntung dapat istri seperti dia, Tan. Sabar, mandiri, dan berhati malaikat."
"Kalian memang pasangan yang cocok. Saling melengkapi."
Putri yang duduk di ruang tamu bersama Auriel mendengar obrolan Ani dan Alfa. Dia hanya tersenyum. Hatinya perlahan mulai bisa menerima kenyataan, bahwa Alfa ditakdirkan untuk menjadi kakaknya, bukan suami. Hatinya pun mulai terbiasa, luka itu sedikit demi sedikit tertutup.
"Oh, iya, Tante, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Alfa sangat hati-hati saat berbicara.
"Boleh dong. Tanya saja."
"Tante tahu dari siapa, Om Rehan punya istri kedua?"
Sebelum menjawab, Ani menghela napas panjang. "Jadi, waktu Tante sedang mencari KK di ruang kerja Om Rehan ...."
Ingatan Ani berputar beberapa bulan lalu saat penembakan itu terjadi.
"Bi Murni, tolong bantu saya nyari KK di ruang kerja Bapak dong," pinta Ani kepada kepala asisten rumah tangganya.
"Baik, Bu."
Murni dan Ani pun masuk ke ruang kerja Rehan. Mereka mengecek laci satu per satu sampai tak sengaja Ani menemukan buku nikah.
"Loh, kok bisa di sini? Bukannya buku nikahku sama Mas Rehan tersimpan di kamar? Kapan pindah ke sini?" gumam Ani sambil membukanya.
Mata Ani membulat sempurna saat melihat foto Rehan bersanding bukan dengannya melainkan wanita lain. Nama yang tertulis pun bukan namanya.
"Astaga," ucap Ani seketika kepalanya pusing dan dadanya sesak.
"Ada apa, Bu?" tanya Murni panik mendekati Ani yang menangis dan menjatuhkan diri di kursi kebesaran Rehan.
"Bi Murni lihat ini," kata Ani menunjukan buku nikah Rehan dan Arista kepada Murni. "Ternyata selama ini aku sudah dikhianati Mas Rehan, Bi." Ani menangis sesenggukan, kecewa dan sangat sedih.
"Ibu tenang dulu, mending Ibu tanyakan langsung kepada Bapak. Biar tidak terjadi salah paham."
"Iya, Bi. Benar. Aku nanti akan tanya sama dia. Oh, iya, KK-nya sudah ketemu?"
"Belum, Bu. Masih saya cari."
"Tolong, ya, Bi, cari lagi."
"Iya, Bu."
Murni melanjutkan mencari. Karena terdorong rasa penasaran, Ani yang dulu sangat percaya kepada Rehan, mulai curiga. Dia tak pernah mengecek barang-barang Rehan, dari ponsel sampai komputer di ruang kerjanya.
Kali ini dengan tekad bulat, Ani memberanikan diri membuka komputer di ruangan itu. Dia mengecek semuanya, dari folder satu ke folder lainnya. Banyak yang Ani tidak tahu tentang suaminya, malam ini semua terbongkar. Ani juga menemukan file penting, video CCTV.
Dia memperhatikan sangat teliti video tersebut. Lagi-lagi Ani tercengang. Dia memang tahu rencana Rehan yang ingin menyingkirkan Alfa, tetapi Ani tak pernah tahu cara Rehan.
"Mas Rehan, kenapa kamu setega ini sama ponakanmu?" gumam Ani sambil menangis dan bibirnya bergetar. "Aku pikir kamu cuma menculiknya, kenapa kamu tega mencelakai dia?" Ani menangis terisak-isak.
Dia berinisiatif mengopi semua file yang ada di komputer Rehan ke flashdisk. Selesai memindahkan file itu, Ani menyimpannya di kotak bekas jam tangan. Saat itu juga Ani memesan tiket pesawat ke Surabaya untuk Murni, lewat online.
"Bi, Murni, sini!" titah Ani.
"Iya, Bu?" Murni berdiri di depan meja.
"Saya punya tugas buat kamu. Ini!" Ani memberikan kotak jam tangan berisi flashdisk itu ke Murni.
"Ini apa, Bu?"
"Itu barang penting. Kamu harus ke Surabaya, malam ini juga berangkat. Saya sudah belikan kamu tiket pesawat. Jangan ada orang di rumah ini tahu kalau kamu pergi ke Surabaya. Ngerti kamu?"
"Iya, Bu. Ngerti."
"Sampai di sana, langsung temui Mas Alfa. Saya akan menelepon Mas Alfa untuk menjemput kamu di bandara. Paham?"
"Iya, paham, Bu."
"Ini ongkos buat kamu." Ani memberikan uang satu bundel kepada Murni.
"Bu, banyak sekali ini."
"Sudah, kamu jangan banyak bicara. Lakukan tugas kamu."
"Baik, Bu. Malam ini juga saya berangkat ke bandara."
Setelah Ani mengangguk, Murni pergi dari ruangan itu. Dia mengambil tasnya di kamar. Tanpa pamit dengan Ani, Murni pergi dari rumah, hanya membawa tas cangklong agar tidak menimbulkan kecurigaan pegawai yang lain. Murni menyewa taksi online. Sekitar satu jam setelah murni pergi dari ruangan itu, dengan perasaan kecewa dan sakit hati, Ani memberanikan diri menelepon Rehan.
"Halo," sahut Rehan bersuara tegas.
"Mas, kamu di mana?" Ani masih bisa mengontrol suaranya, hingga terdengar biasa saja di ujung telepon Rehan.
"Di apartemen. Ada apa?"
"Aku mau tanya. Siapa Arista?"
"Kenapa kamu tanya itu? Mana aku tahu!"
"Siapa Galang Pamungkas?"
"Enggak kenal!" sahut Rehan terdengar gugup.
Ani tersenyum miring, dia masih bisa duduk santai di kursi kerja Rehan sambil menahan perih di dadanya. Air matanya terus mengalir deras.
"Aku pikir kamu pria setia dan sayang keluarga, Mas. Ternyata kamu tidak beda dengan bajingan yang mengkhianati janji pernikahan!" Sudah tidak bisa ditahan lagi, Ani memuntahkan amarah dan kekecewaannya.
"Kamu bicara apa sih?" Rehan di seberang sana masih berusaha mengelak.
"Sudahlah, Mas. Aku sudah tahu semuanya! Kamu ternyata punya simpanan, kan? Istri keduamu, kamu nikahi sebulan setelah kita menikah. Tega kamu, ya, Mas?"
"Kamu tahu dari siapa? Apa wanita jalang itu menemuimu?"
"Aku tahu sendiri dari buku nikah kalian yang kamu simpan di ruang kerjamu. Aku juga sudah melihat semua isi di komputermu, Mas. Kenapa kamu tega, Mas?" Ani menangis terisak-isak.
"Apa kamu lihat CCTV itu?"
"Iya! Aku melihat semuanya! Kenapa kamu tega melakukan itu, Mas? Selama ini Mas Doni kurang baik apa sama kita? Aku pikir kamu hanya ingin menculiknya, kita bermain halus, ternyata kamu melakukan di luar dugaanku, tega kamu, Mas!"
"Kamu tahu apa, hah! Jangan ikut campur urusanku!"
"Mas!" pekik Ani masih ingin bicara, tetapi Rehan sudah menutup teleponnya.
Suara sepatu mendekati ruang kerja Rehan. Firasat Ani tidak enak. Pasti Rehan memerintah anak buahnya untuk melakukan sesuatu kepadanya. Untung Ani tadi mengunci pintunya sesaat setelah Murni keluar dari ruangan itu. Buru-buru Ani menekan nomor telepon Alfa. Sambil bersembunyi di bawah meja, dia meneleponnya.
Di tengah percakapan, pintu berhasil didobrak, langsung seseorang melepas tembakannya tanpa ampun ke arah Ani. Kabel telepon diputus saat Ani sudah dilumpuhkan. Aroma anyir menusuk indra penciuman, orang itu menyeret Ani yang sudah lemas ke kamarnya. Dia mengunci Ani tanpa memedulikannya yang kesakitan di tempat tidur.
"Dengan sisa energi yang Tante punya, sekuat tenaga Tante ikat bagian yang tertembak dengan seprai biar darahnya berhenti mengalir. Saat itu Tante pasrah, Alfa. Pikiran Tante cuma Putri, enggak ada yang lain. Tante berusaha bertahan karena teringat Putri."
Air mata Ani mengalir tak henti-hentinya saat bercerita. Orang yang ada di ruang tengah itu terdiam mendengarkan cerita Ani. Alfa meraup wajahnya, dia menghela napas panjang. Doni menggeleng, hatinya sangat sakit, dia tak menyangka adiknya setega itu.
"Ani, maafkan Rehan, ya? Saya sangat menyesal dan sedih dengan kelakuan adik saya itu," ucap Doni merasa bersalah.
"Mas Doni, saya sudah memaafkan dia. Tapi, maaf, sepertinya saya sudah tidak bisa mendampingi dia. Saya sama Mbak Arista sudah mengambil keputusan, kami akan menceraikan Mas Rehan. Maaf, bukan karena sekarang dia sudah tidak memiliki apa-apa, hanya saja kami sudah terlalu kecewa padanya. Kami tidak bisa memberikannya kesempatan lagi," papar Ani yang didengar oleh Putri.
Putri bisa memaklumi dan menerima keputusan Ani. Dia juga tidak bisa memaksakan mamanya untuk tetap bersama Rehan setelah mengetahui perbuatan papanya seperti itu.
"Iya, saya bisa mengerti itu," ujar Doni.
"Maaf, ngobrolnya bisa kita lanjutkan di meja makan saja? Makan malam sudah siap," sela Arista yang tak mendengar obrolan tadi. Dia terlalu sibuk di dapur bersama Carla dan Ganta.
"Wah, ini yang ditunggu-tunggu. Ayo, kita makan malam dulu!" ajak Doni mencairkan suasana yang terasa tegang.
Arista mendorong kursi roda Ani ke ruang tamu, diikuti Doni, Galang, Sugeng, dan Rafael.
"Auriel," panggil Alfa menghampiri mereka di ruang tamu.
"Iya, Papa?" sahut Auriel dengan suara lembut.
"Kita makan malam dulu, yuk! Mainnya nanti lagi. Ajak Tante Putri, Nak," titah Alfa bernada halus.
"Iya, Pa." Auriel meletakkan boneka Barbie-nya. "Ayo, Tante!" ajak Auriel menggandeng tangan Putri.
"Yuk!" sahut Putri, mereka berjalan ke ruang makan sambil bergandengan tangan.
Malam ini suasana di rumah Arista sangat ramai. Semua membaur di ruang makan. Carla dan Ganta sibuk menjamu mereka, menyiapkan alat makan yang kurang ataupun mengambilkan makanan yang belum ada di meja makan. Setelah semua dapat, mereka menikmatinya sambil mengobrol ringan diiringi candaan.
"Oh, iya, Pak Doni, jadi rencananya saya, Mama, Tante Ani sama Putri akan tinggal di Surabaya," ujar Galang di tengah obrolan mereka sambil menikmati makan malam itu.
"Putri bagaimana? Mau?" tanya Doni menatap Putri yang duduk di dekat Ani dan Arista.
"Iya, Om. Aku mau. Selain pengin nerusin kuliah S2, aku juga pengin punya usaha sendiri. Kemarin aku sudah ngobrol sama Kak Galang."
"Kalau kamu sudah memutuskan, Om tidak bisa menahan. Kalau kamu memang mau ambil S2, insyaallah Om akan meng-cover semua kebutuhan kamu selama kuliah."
"Beneran, Om?" sahut Putri dengan mata berbinar.
"Iya dong, benar. Rencananya kamu mau kuliah di mana?"
"Besok setelah persidangan Papa, Kak Carla sama Kak Galang akan mencarikanku kampus terbaik di Surabaya."
"Bagus kalau begitu. Om senang melihat semangatmu."
"Terima kasih, Om," ucap Putri diangguki Doni.
"Ngomong-ngomong, gimana ini kelanjutan Galang sama Carla? Sepertinya perlu kita bahas sekalian di meja makan ini." Ganta melirik Galang dan Carla yang duduk bersebelahan.
"Ih, kok aku sih," sahut Carla salah tingkah.
"Yaaa, biar jelas aja, La. Kalian itu mau ke arah mana? Jangan bikin keluarga bingung. Kalian dekat, tapi enggak jelas mau dibawa ke mana hubungannya. Bukan begitu, Tante Arista?" tanya Ganta menoleh pada Arista.
"Iya, benar kata Ganta. Mama kan juga pengin tahu, sebenarnya sampai mana hubungan kalian. Kalau memang sudah cocok dan serius, langsung saja nikah."
Galang langsung tersedak, dia batuk, dengan cepat meraih gelas dan minum air putih. Semua mata tertuju kepadanya.
"Kok pada lihatin aku kayak gitu?" tanya Galang sambil mengelap bibirnya dengan tisu.
"Gimana, Galang? Carla? Jangan mengambil jalur kayak Alfa sama Ganta. Hasilnya udah besar, nikahnya belakangan," ujar Doni ditimpali kikihan kecil dari semua yang ada di sana.
"Papa apa-apaan sih? Insiden," sahut Alfa membela diri.
Doni tertawa, dia mengacak rambut Alfa. Makan malam pun dilanjutkan sambil mengobrol santai. Galang dan Carla malah terlihat canggung, mereka saling melirik. Sebenarnya keduanya sudah saling menyadari perasaan masing-masing. Hanya saja belum ada keberanian dari pihak Galang, dia masih mengira jika perhatian dan kebaikan Carla selama ini sewajarnya sahabat. Padahal dalam hati, Carla sudah menunggu Galang mengungkapkan perasaannya lebih dulu.
***
Semua sudah siap di pelataran rumah Arista. Pagi ini mereka akan berangkat ke pengadilan. Sejak subuh, Ganta sudah menyiapkan makanan dan keperluan untuk Rehan atas permintaan Alfa. Walau bagaimanapun, Alfa tetap menghargai Rehan. Sugeng memarkirkan Alphard silver di depan teras. Rafael membopong Ani masuk ke Alphard itu, disusul Arista. Kursi rodanya dilipat dan diletakkan di bagasi.
"Auriel mau sama siapa? Ikut Kakek apa Papa?" tawar Doni sebelum naik ke mobil.
"Sama Papa," jawab Auriel manja sambil memeluk Alfa.
"Ya sudah, sampai ketemu di sana, ya?" pamit Doni masuk di depan, duduk di samping Sugeng.
"Hati-hati, Pak Sugeng," pesan Alfa sebelum Sugeng menginjak gasnya.
"Iya, Mas." Setelah itu Sugeng menjalankan mobilnya keluar dari pelataran.
"Ayo, El!" ajak Alfa.
Bergegas Rafael masuk ke mobil sedan hitam mengkilat, dia jalankan sampai di depan teras. Rafael keluar, dia buru-buru ingin membukakan pintu untuk Alfa, tetapi malah Alfa sudah lebih dulu membuka pintu untuk Ganta dan Auriel. Lalu Rafael ingin membukakan pintu depan untuk Putri, malah tangan mereka bersamaan memegang door handle.
"Eh, maaf," ucap Rafael segera menurunkan tangannya.
Putri hanya tersenyum manis dan membuka pintunya sendiri. Entah mengapa tiba-tiba saja jantung Rafael berdegup kencang saat tadi menyentuh tangan Putri. Rafael mengontrol debaran jantungnya, dia menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Setelah itu Rafael masuk ke mobil.
"Lang, sampai ketemu di sana, ya?" pamit Alfa kepada Galang saat dia sudah duduk manis di mobil.
"Iya, Kak," sahut Galang mengacungkan jempol.
"Ayo, El!" ajak Alfa, lantas Rafael pun menjalankan mobilnya.
Galang dan Carla naik ke mobil Avanza hitam, mereka segera menyusul. Tak ada obrolan di antara mereka. Dalam diam, Galang menyusun kata-kata. Sekitar sepuluh menit perjalanan, Galang sudah mengumpulkan keberaniannya.
"La," seru Galang tanpa menoleh, karena dia fokus menatap jalanan yang cukup padat.
"Apa, Lang?" Carla yang menoleh pada Galang.
"Soal tadi malam, menurutmu gimana?"
"Yang mana?" Carla mengerutkan dahinya.
"Ituuu, mmm ... yang Ganta tanya. Hubungan kita mau dibawa ke mana?"
"Menurut kamu enaknya gimana?"
"Kok malah balik tanya sih?"
"Ya, aku minta pendapat kamu. Kan, selama ini kalau ada apa-apa sama aku, orang yang pertama aku mintai pendapat kamu. Sekarang, aku sedang meminta pendapatmu."
Sesaat Galang terdiam, dia menoleh Carla sekilas dan ternyata Carla sedang memandanginya sambil tersenyum manis.
"Kalau menurutku sih, kita perjelas statusnya. Naikan satu level. Yang tadinya sahabat jadi pacar."
"Jujur sih, Lang, sebenarnya aku sudah cape pacaran, menjajaki dan memilih. Apalagi dengan statusku yang janda, salah gerak sedikit, menjadi buah bibir. Aku pengin cari yang serius, mau mendampingiku dan menerimaku apa adanya. Kamu sudah tahu banyak hal tentangku, Lang, masa sih aku harus jelasin lagi?"
"Iya, aku tahu itu, La. Tapi, apa kamu siap menikah denganku yang bukan anak orang kaya seperti Roy. Sebenarnya aku minder, La, tahu seleramu tinggi."
"Iiiih, kamu apaan sih, Lang." Carla mencubit lengan Galang manja.
Galang terkekeh sambil mengusap lengan bekas cubitan Carla. "Aku ini jujur, La. Dari dulu sebenarnya aku sudah naksir kamu, cuma aku minder, seleramu tinggi, anak bos. Sedangkan aku anak kemarin sore yang lagi belajar bisnis."
"Mendingan kamu, mau berusaha dan bertanggung jawab. Maaf, bukan mau membandingkan, tapi aku bicara sesuai kenyataannya. Aku lebih menghargai usahamu, Lang. Dia menang di status anak pengusaha kaya."
"Jadi, gimana kelanjutan kita?"
"Mmmm ... gimana, ya?" Carla pura-pura berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu.
"Kamu mau menerima keadaanku yang begini? Berat loh jadi pendampingku. Aku punya dua ibu dan satu adik perempuan. Mereka menjadi tanggung jawabku. Kamu bakalan sering mengalah sama mereka."
"Aku enggak masalah kok, Lang. Aku sudah mengenalmu lama, aku sudah tahu kamu orangnya bagaimana. Untuk urusan itu, kita bisa bekerja sama. Aku akan membantu kamu, kita akan mencukupinya bersama."
"Ini yang aku suka darimu, La. Kamu itu mandiri, enggak mau nyusahin orang. So, secepatnya, aku akan bicara sama Mama soal kelanjutan hubungan kita, ya?"
Hati Carla bungah, dia tersenyum dan mengangguk. Penantiannya tak sia-sia, akhirnya Galang mengungkapkannya dan ada kejelasan tentang hubungan mereka selama ini.
Di mobil yang Alfa naiki, suasana ramai dengan ocehan Auriel. Banyak pertanyaan yang kadang Alfa dan Ganta bingung menjelaskan. Putri dan Rafael hanya tersenyum mendengar keributan keluarga kecil yang duduk di belakang mereka. Sesekali Rafael melirik Putri. Jika Putri kebetulan pas menatapnya, cepat-cepat Rafael mengalihkan pandangan.
"El, mampir ke minimarket dulu, ya? Ganta mau beli sesuatu," ucap Alfa.
"Iya, Mas."
Sampainya mereka di depan minimarket, Rafael langsung memarkirkan mobilnya. Ganta bersiap turun.
"Mama, boleh aku ikut?" tanya Auriel memasang wajah memelas.
Alfa tersenyum, dia mengacak rambut Auriel. "Ya sudah, kita turun, nemenin Mama belanja," kata Alfa.
"Asyiiiiiik!" pekik Auriel girang.
"Putri mau ikut?" tawar Ganta sebelum turun.
"Enggak, Ta. Aku nunggu di sini saja."
"Tante mau jajan apa? Nanti aku beliin," tanya Auriel menjengukkan kepala ke samping Putri.
"Mmmm ... apa, ya? Terserah Auriel. Pilihan kamu pasti enak," jawab Putri sambil mengelus pipi Auriel.
"Oke, Tante."
Mereka pun turun dari mobil. Tersisa Putri dan Rafael di sana. Suasana menjadi canggung. Entah Rafael maupun Putri sama-sama diam dan salah tingkah. Rafael ingin menyalakan music player untuk memecah kesunyian, lagi-lagi secara tak sengaja tangan mereka bersentuhan lantaran Putri juga ingin menyalakan musik.
"Kamu aja," ucap Putri menurunkan tangannya, memberi Rafael kesempatan.
"Mbak Putri aja," ujar Rafael sopan.
"Udah, kamu aja."
"Mbak Putri aja."
"Ck, kamu aja, El."
"Mbak Putri saja."
"El ...." Putri menatap Rafael.
"Ya sudah. Mbak Putri mau lagu apa?"
"Apa saja. Kamu lagi suka dengerin lagunya siapa saat ini?"
"Pamungkas, Mbak."
"Yang apa?"
"To The Bone."
"Loh, kok sama sih? Aku juga lagi suka sama lagu itu."
"Oh, iya?"
"Iya. Serius. Setelah aku denger berulang kali dan mencerna liriknya, makna lagunya dalam banget." Putri tampak antusias bercerita kepada Rafael.
"Emang apa yang Mbak Putri tangkap dari lagu itu?"
"Jadi, dari lirik lagu To The Bone itu, menceritakan tentang obsesi terhadap seseorang dan benar-benar menginginkan orang tersebut untuk jadi miliknya."
"Kayak Mbak Putri ke Mas Alfa maksudnya?" tanya Rafael sangat hati-hati, takut Putri akan tersinggung.
"Kok larinya ke Kak Alfa sih, El. Emang duniaku cuma Kak Alfa? Udah deh, El, jangan dibahas lagi. Kami sudah punya jalan cerita sendiri-sendiri."
"Maaf, Mbak Putri. Kan saya cuma cocok logika," ujar Rafael cengingisan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Putri tertawa lepas melihat wajah Rafael yang terlihat lucu baginya saat meminta maaf. Wajahnya polos dan tampak menyesal.
"Kok malah ketawa sih? Ada yang lucu, ya?" tanya Rafael senang melihat Putri seperti yang sekarang.
Sikapnya berubah drastis, Putri yang angkuh dan sombong, selama ini melekat padanya sirna di mata Rafael. Kini perempuan itu menjadi sosok manis dan menyenangkan bagi Rafael.
"Enggak kok," ucap Putri sambil berusaha berhenti tertawa.
"Bilang aja Mbak Putri lagi menertawakan saya, kan?"
"Ih, PD kamu, El." Putri mendorong Rafael.
"Saya ikut seneng loh kalau lihat Mbak Putri bisa tertawa begini. Kalau senyum, kan, manis," kata Rafael malu-malu, lalu menggigit bibir bawahnya.
"Ih, gombal kamu!" ucap Putri memalingkan wajahnya ke jendela, menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Putri menggigit bibir bawahnya, diam senyam-senyum, bahagia mendengar pujian Rafael.
"Oh, iya, kita dengerin lagu To The Bone aja, ya, Mbak?" Rafael pintar mengalihkan suasana, dia tidak ingin Putri malu kepadanya dan malah akan menghindar.
Musik To The Bone pun diputar. Putri dan Rafael sama-sama mendengarkan. Mereka sesekali saling pandang dan melempar senyum.
"Mbak Putri tahu enggak? Kalau menurut saya, lagu ini menggambarkan kehadiran seseorang yang membuatnya jatuh cinta dan seakan telah memastikan bahwa hatinya sudah menjadi milik orang tersebut secara utuh. Berharap pujaannya pun akan begitu, karena dirinya tidak ingin terus dibayang-bayangi oleh harapan dan keinginan semata."
"Kayak kamu?" sahut Putri tersenyum menggoda sambil menatap Rafael.
"Mmmm ... bisa jadi."
"Kamu lagi suka sama seseorang, El?"
Entah mengapa ada sesuatu yang aneh dalam hati Putri. Hal kecil, tapi mengusik ketenangannya. Apa dia sedang cemburu?
"Enggak tahu, Mbak." Rafael mengedikkan bahu. "Saya takut."
"Loh, kenapa? Apa cewek yang kamu taksir kuyang?" Putri masih saja berusaha bercanda untuk menutupi perasaan anehnya.
"Bukan itu maksud saya, Mbak."
"Lalu?"
"Dia anak orang kaya, sedangkan saya cuma ... yaaa, tahu sendirilah!"
"Masih ada, ya, cinta terhalang tahta?"
"Menurut Mbak Putri?"
"Kalau saling cinta, kenapa harus dipersulit?"
"Kalau misalkan nih, Mbak Putri di posisi wanita itu, apa Mbak Putri bisa menerima saya yang kerjaannya begini?"
"Begini aja gaji kamu gede, El," sahut Putri diiringi kikihannya.
"Yaaa, risikonya juga tinggi, Mbak. Jadi asisten pribadi itu ibarat stuntman."
"Tapi, kamu menyukai pekerjaanmu, kan?"
"Kalau tidak suka, saya tidak mungkin selama ini jadi aspri Mas Alfa, kan? Untungnya Mas Alfa orangnya enggak ribet, Mbak. Dia tipe orang yang kalau masih bisa dikerjakan sendiri, akan dia lakukan."
"Iya, memang dia begitu."
"Oh, iya, pertanyaan saya tadi kok belum dijawab?"
"Yang mana?"
"Kalau Mbak Putri jadi wanita itu, apa mau menerima saya yang begini?"
"Kenapa enggak? Kamu baik, pekerjaan mapan, dan aku lihat kamu orangnya bertanggung jawab. Gigih lagi! Aku bisa ngomong begini karena waktu kamu menjagaku di rumah sakit sampai aku pulang, enggak pernah kamu ninggalin aku. Bahkan saat aku merasa sendiri, kamu yang ada di sampingku. Saat aku terpuruk, kamu yang menasihatiku dan memeberiku semangat. Banyak hal yang kamu lakukan untukku, membuatku merasa lebih baik, El. Makasih, ya?"
"Sama-sama, Mbak. Saya senang dengan perubahan Mbak Putri yang sekarang. Bisa lebih tenang menghadapi masalah dan berdamai dengan keadaan."
"Cewek yang kamu cintai beruntung, ya, El?"
"Kenapa?"
"Dapat orang dewasa dan sebaik kamu."
"Mmmm ... sebenarnya sih, saya suka sama ..."
Pintu mobil terbuka, Auriel masuk bersama Ganta dan disusul Alfa.
"Ini, Tante," kata Auriel mengulurkan cokelat untuk Putri.
"Iiiih, makasih, Cantik," ucap Putri senang menerima cokelat itu.
"Sama-sama, Tante." Auriel duduk di antara Alfa dan Ganta.
Rafael lantas menjalankan mobilnya. Ada yang membuat hati keduanya tidak tenang. Putri masih penasaran dengan orang yang disukai Rafael, sedangkan hati Rafael menggantung karena belum sempat mengungkapkan isi hatinya kepada Putri. Mereka saling melirik, lalu sibuk dengan pikirannya masing-masing.
***
Seharian ini cukup melelahkan bagi Ganta dan Alfa. Pagi sampai siang berada di pengadilan, pulangnya Auriel minta ke Suroboyo Carnival Park hingga malam. Mereka kini sudah berada di apartemen, bersama Doni, Sugeng, Rafael, dan Auriel. Malam ini Auriel tidur sendiri di kamar yang dulu Putri tempati. Jadi, Alfa dan Ganta memiliki banyak waktu untuk berdua.
"Sayang, besok kita ke rumah Ibu, ya?" kata Ganta menyusul Alfa yang sudah berbaring di tempat tidur.
"Iya. Tapi agak siang, ya? Soalnya besok pagi aku sama Papa mau ketemu kolega dulu."
"Atau enggak, aku sama Auriel pagi ke sana dulu, nanti kamu langsung nyusul ke sana pulang nemui kolega."
"Begitu juga boleh."
Alfa tampak lelah, dia memeluk Ganta. Beberapa saat hening, tidak ada obrolan. Alfa sudah memejamkan mata. Namun, Ganta belum mengantuk. Dia memainkan rambut Alfa, Ganta menyugar dengan jari-jarinya.
"Sayang, kamu tahu enggak?" kata Ganta menggantung.
Meski matanya sudah berat, Alfa tetap berusaha membuka, demi merespons istrinya itu. "Tahu apa?"
"Sebenarnya aku tuh udah naksir kamu lama loh." Ganta tersenyum malu sambil menggigit bibir bawahnya.
"Naksir lama?" tanya Alfa mengerutkan dahi.
Dia tertarik dengan obrolan itu, matanya yang tadi sepet, tiba-tiba terbuka lebar, kantuknya hilang.
"Iya," jawab Ganta manggut-manggut.
"Kok bisa?"
"Bisa dong! Kamu sih dari dulu enggak mau lihat aku. Cuek banget!"
"Emang kamu lihat aku di mana? Apa dulu kita pernah bertemu sebelum kecelakaan itu?"
Ganta mengangguk. "Emang iya!"
"Kapan? Di mana?"
"Aku tuh sering tahu lihatin kamu. Tapi kamu enggak pernah lihat aku."
"Masa sih?"
"Iya. Aku itu mengagumi kamu sudah lama. Dulu keluargaku sering dibantu mama kamu. Ibu Lisa itu sering pesan makanan di katering orang tuaku. Setiap keluarga kamu punya acara di Surabaya, pasti pesan di katering di tempatku. Aku sering bantu-bantu, kadang ngatur makanan yang keluar, kadang ngatur minuman, sambil merhatiin kamu dari jarak jauh."
Perasaan Alfa menghangat, dia tersenyum lebar. "Ciyeee, kamu tuh udah lama jadi pengagum rahasiaku, ya?"
"Dulu."
"Sekarang?"
"Mmmm ... enggak!"
"Kenapa?"
"Udah tahu sifat aslimu. B aja aslinya."
Alfa tertawa lepas, dia memeluk Ganta erat sampai memekik. Setelah itu Alfa mengendurkan pelukannya.
"Kenapa sih, dulu kamu pas masih muda sombong? Apalagi setelah pulang dari luar negeri, habis selesai S2. Tahu enggak, waktu itu aku baru lulus SMA, kagum banget sama kamu, sampai-sampai kamu itu aku jadikan motivator. Aku terdorong pengin kuliah gara-gara lihat kamu."
"Maaf, ya, Sayang? Dulu aku punya cewek. Jadi, aku berusaha menjaga hatinya."
"Putri?" tanya Ganta sambil mendongak menatap wajah tampan Alfa.
Alfa menggeleng. "Bukan."
"Dia cantik?"
"Lebih cantik kamu."
"Ah, bohong."
"Nyatanya yang jadi sitriku kamu. Berarti kamu bisa mengalahkan dia."
"Terus dia sekarang di mana?"
Alfa mengedikkan bahu. "Mana aku tahu! Bukan urusanku lagi."
"Kenapa kalian bisa putus?"
"Dia banyak maunya. Toh dulu kami LDR-an. Dia orang Jerman. Dia enggak bisa berkomitmen. Ya sudah!"
"Oh."
Ada sesuatu yang aneh dalam hati Ganta. Meskipun masa lalu, tetapi Ganta cemburu. Ganta memunggungi Alfa, lalu memejamkan mata.
"Sayang, kok diem sih?" tanya Alfa mengguncangkan bahu Ganta.
"Aku ngantuk."
Alfa merasakan perubahan Ganta. Dia memeluk Ganta erat dan berbisik di telinganya, "Yang penting kan, sekarang aku cintanya sama kamu. Masa lalu biarlah berlalu. Setiap perjalanan pasti punya cerita. Sekarang yang terpenting kita dan keluarga. Aku sudah jadi milikmu seutuhnya, begitupun kamu. Kita sudah saling memiliki, enggak ada seorang pun yang bisa merebutmu dariku, dan merebutku darimu."
"Tapi aku cemburu."
"Aku minta maaf, bukan maksudku mengungkit masa lalu. Maaf, ya?" ucap Alfa, lalu mencium pipi Ganta.
Ganta membalikkan badan, dia melingkarkan tangannya di tengkuk Alfa. "Jangan bikin aku cemburu. Rasanya enggak enak."
"Mau yang enak?" Alfa menyeringai genit.
"Mauuuuu," sahut Ganta manja.
Alfa langsung menurunkan ciumannya di leher Ganta. Kecupan demi kecupan menjalar di titik sensitif Ganta. Keduanya menutup mata, menikmati cumbuan yang kian memanas. Di tengah lampu temaram, mereka melapas hasrat. Keduanya memadu cinta, menyebar benih untuk menghasilkan keturunan.
Keringat yang bercucuran menunjukan kerja keras keduanya. Napas yang memburu, menandakan kegigihan usaha mereka. Decapan silat lidah mereka menguasai ruangan itu. Alfa maupun Ganta mencari kepuasan, mereka berusaha hingga mencapai puncak klimaks bersama.
The End
Part ini puas bacanya, kan? Luar biasa, mencapai 4000 kata. Mau ektra part enggak nih? Hahaha
Makasih buat teman-teman yang sudah setia mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Buang negatifnya, ambil positifnya. Setelah ini kita melipir ke cerita islami religi. Mengejar Surga. Jangan lupa pantau terus kisahnya selama bulan Ramadan, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top