Kenangan Masa Lalu Ganta
Pemilik perusahaan PT Group Pamungkas tersenyum lebar sambil menepuk bahu sang putra. Tercetak jelas raut kebahagiaannya dan kelegaan.
"Mulai hari ini, PT Group Pamungkas akan dipimpin putra tunggal saya, Alfariel Pamugkas," ujar Doni, pria berbadan gagah, rambut depannya sudah tipis, berkumis, meski usianya kini sudah 56 tahun, masih sehat, dan bugar. Senyum ramah selalu terukir di bibir, mungkin itu salah satu rahasia awet mudanya.
Pemuda tampan, gagah, tinggi sekitar 180 sentimeter, dandanan semi formal, dan tatanan rambut pendek rapi itu berdiri di sebelah Doni.
"Mohon kerja samanya," ucap Alfa, begitulah sapaan akrabnya, kepada jajaran direksi.
Dia terkenal dingin, cuek, dan irit bicara. Namun, di balik sikap seperti itu, sebenarnya Alfa pria yang penyayang dan peduli kepada orang di sekitarnya.
Tepuk tangan menguasai ruang meeting pagi itu. Hampir semua orang di sana tampak senang menyambut pimpinan baru perusahaan. Satu orang tidak menunjukan senyuman tulus. Bibirnya terangkat sebelah dan matanya menyeringai.
Harusnya aku yang di sana menggantikan Mas Doni, bukan anak bau kencur itu, batin pria berambut klimis disisir ke belakang dengan kumis tebal, badan berisi, dan perut buncit.
Satu per satu di ruangan itu menyalami direktur utama PT Group Pamungkas. Sampailah di pria bermuka dua yang memiliki rencana busuk kepada Alfa dan Doni.
"Selamat, Alfa," ucap pria itu tersenyum lebar, senyum palsu.
"Terima kasih, Om Rehan." Alfa membalas jabatan tangannya erat.
Iya, orang bermuka dua itu bernama Rehan, dia adalah adik kandung Doni.
Setelah sesi perkenalan selesai, Doni berpamitan, dia ingin menikmati liburannya di Pulau Dewata setelah puluhan tahun bekerja keras mendirikan kerajaan bisnisnya. Kini dia dapat bernapas lega karena putra tunggalnya sudah bisa melanjutkan bisnis itu.
***
Mendapat kesempatan kuliah di ibu kota karena bantuan seseorang tidak ingin disia-siakan. Meski harus berjuang hidup di tengah kerasnya ibu kota. Gadis sederhana dengan kecerdasan luar biasa itu melamun di balik jendela kamar indekos yang sempit dan tak banyak perabotan.
Ya Allah, kenapa nasibku begini? Bapak, Ibu, aku kangen. Air matanya tak terasa membasahi pipi.
Terjadi tiga tahun lalu saat keluarganya mendapat pesanan katering di ballroom salah satu hotel bintang lima Surabaya. Dua wanita berbeda gaya pakaian berbincang di depan pintu lift.
"Ya Allah, Nyonya Lisa, ini tambahannya terlalu banyak," ujar Diana hampir menangis karena terharu.
"Sudahlah, Bu Diana. Hitung-hitung buat nambah modal usaha. Biar kateringnya tambah rame. Tamu-tamu saya suka dengan masakan di katering Bu Diana. Sebab itu saya berani modalin usaha Bu Diana," papar wanita bergaun hitam menutupi kaki dan lengan panjang pas bodi yang memperlihatkan tubuh langsingnya. Rambutnya ditata ke atas, menampilkan leher jenjang, kecantikannya, dan elegan.
"Saya berterima kasih sekali, Bu Lisa sangat baik. Allah yang bisa membalas kebaikan Bu Lisa."
"Aamiin, aamiin, aamiin ya robbal alamin."
"Oh, iya, Ganta tadi di mana, ya?" Diana celingukan mencari putri satu-satunya.
Ternyata yang dicari sedang memperhatikan pria tampan yang sedang mengobrol dengan patner bisnis papanya.
"Masyaallah, anaknya Bu Lisa ganteng banget. Sayang, aku cuma bisa mengaguminya diam-diam. Mana mungkin dia mau berteman dengan gadis biasa sepertiku. Nasib kita berbeda. Dia anak orang kaya raya, sedangkan aku anak tukang katering," gumam Ganta di balik pilar penyanggah ballroom tersebut.
"Ganta!" seru suara pria dewasa mengejutkan gadis langsing dengan tinggi badan sekitar 160 sentimeter tersebut. Lalu Ganta menoleh padanya.
"Eh, Bapak," ucap Ganta nyengir.
"Ngapain kamu ngumpet di situ?"
"Itu, Pak, lihatin anaknya Bu Lisa. Beruntung banget, ya, Pak. Dia bisa kuliah di luar negeri."
"Kamu juga bisa. Asal giat belajar dan berusaha. Ayo, kita nyusul Ibu!" Andi merangkul Ganta.
Sebenarnya Andi juga ingin menguliahkan Ganta. Apalagi putrinya itu pintar, hanya saja sekarang belum ada biaya lebih buat itu. Ganta harus sabar menunggu uang orang tuanya terkumpul. Mungkin dia akan menunda satu tahun untuk melanjutkan kuliah.
"Sabar, ya, Nak. Bapak sama Ibu sedang berusaha," ujar Andi saat mereka berjalan di koridor hotel menuju parkiran.
"Iya, Pak. Ganta juga akan membantu Bapak sama Ibu."
Merekalah yang membantu kesibukan Diana di balik suksesnya acara besar. Diana bertugas di belakang, memastikan makanan tidak kurang, Andi memperhatikan stok makanan di meja prasmanan, sedangkan Ganta sebagai pemimpin pelayan yang melayani tamu-tamu eksekutif. Kerja sama yang baik membuat katering mereka banyak dipercaya dari kalangan bawah hingga eksekutif.
"Ibu!" seru Ganta. Dua wanita yang masih mengobrol di depan pintu lift menoleh.
Senyum terbaik Ganta membasuh lelah Diana. Bahkan Lisa ikut tersenyum melihatnya. Dia kagum dengan keuletan gadis itu. Andi dan Ganta mendekati mereka.
"Salim dulu sama Bu Lisa," ujar Diana mengingatkan putrinya.
Tanpa membantah Ganta menyalami dan mencium tangan Lisa.
"Saya suka lihat seragam katering kalian," puji Lisa dengan senyuman tulus.
"Ini yang milih Ganta, Bu. Katanya biar kekinian tanpa menghilangkan budaya Jawa. Makanya milih bajunya surjan bawahnya batik cokelat," papar Diana mengelus rambut Ganta.
"Wah, pinter sekali kamu, Ganta." Lisa membelai pipi Ganta. "Saya itu pengin banget punya anak cewek. Tapi enggak bisa."
"Loh, kenapa, Bu Lisa?" tanya Ganta sedikit terkejut.
"Rahim saya diangkat, Ganta."
"Kenapa bisa diangkat, Bu?"
"Saya punya sakit kanker rahim. Makanya diangkat biar tidak menyebar."
Ganta langsung menutup mulutnya dan memperlihatkan mimik menyesal. "Maaf, Bu. Saya tidak tahu."
"Tidak apa-apa, Ganta. Kamu saja jadi anak saya. Mau?"
"Wah, Bu Lisa bisa saja. Kalau saya jadi anak Ibu, terus Bapak sama Ibu gimana?"
"Enggak perlu ikut saya, Ganta. Nanti kamu saya biayai sekolah sampai setinggi-tingginya."
"Beneran, Bu?" Mata Ganta berbinar dan reflek memeluk Lisa, saking bahagianya.
"Eh, Ganta, jaga sikap," tegur Andi menarik Ganta.
"Maaf, Bu Lisa," ucap Ganta sungkan.
"Tidak apa-apa. Sini peluk lagi." Kali ini justru Lisa yang memeluk Ganta.
Dia sangat bahagia bisa memeluk gadis sebaik Ganta. Kepolosan dan keluguannya mengagumkan. Sudah cantik, tidak malu membantu orang tuanya, dan pintar dalam hal apa pun, termasuk akademik. Itulah sebabnya Lisa mau membiayainya kuliah, sayang kalau Ganta berhenti sebatas SMA.
"Besok saya suruh Soraya antar uang buat daftar kuliah, ya? Kalau sudah dapat kampusnya, nanti saya akan lunasi semesteran kamu sampai lulus. Sekalian saya kasih juga deposito untuk S2 kamu," ujar Lisa setelah melepas pelukan Ganta.
"Wah, Bu Lisa, kami sudah sering merepotkan Ibu. Ini malah ditambah mau nguliahin Ganta. Bagaimana kami membalasnya, Bu," ujar Andi sebenarnya tidak enak hati, dia merasa tidak bisa membalas kebaikan Lisa.
"Pak Andi dan keluarga cukup mendoakan saya dan keluarga saya saja. Biar Allah yang membalasnya," ujar Lisa sangat tulus.
"Terima kasih sekali, Bu Lisa," ucap Diana.
"Sama-sama, Bu Diana."
"Ma!" seru pria dewasa bersama pemuda tampan dari jarak sekitar tiga meter.
Lisa menoleh, sudah dipanggil suami dan anaknya, dia pun berpamitan kepada Diana, Andi, dan Ganta. Pemuda itu tak menoleh sama sekali kepada keluarga Ganta. Terkesan tak acuh kepada mereka, berbeda sekali dengan sikap mamanya.
Lisa beserta suami dan putranya berjalan menyusuri lorong itu masuk ke lift yang ada di ujung lorong.
"Ayo, Ta, Pak!" ajak Diana.
Ganta dan Andi pun pergi bersama Diana. Sampai di parkiran mereka berpisah. Diana membonceng motor yang Andi kendarai, sedangkan Ganta mengendarai motor sendiri.
Mereka mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Ganta selalu di belakang motor orang tuanya. Sudah biasa bagi mereka seperti itu. Maklum, saat ini kendaraan yang mereka miliki hanya motor, mengangkut makanan ke pemesan saja mereka masih sewa mobil box.
Sampai di pertinggan, mata Ganta terbelalak. Motor orang tuanya mental hingga jauh. Mobil merah berhenti di depannya. Jantung Ganta seperti ingin lepas dari tempatnya, tubuhnya kaku. Banyak orang berlarian mengerubungi mobil itu sambil menggedor-gedor agar pengendara keluar.
"Ibuuuuuu! Bapaaaaaak!" Setelah tersadar, Ganta menyandarkan motor lalu berlari mendekati orang tuanya yang terpisah dan dikerumuni orang.
Ganta memecah kerumunan, Diana masih tersadar, dia tersenyum kepada Ganta sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Darah mengalir di pelipis Diana, tak ada seorang pun yang berani melepas helm apalagi mengangkatnya.
"Pak, Bu, tolong bantu ibu saya," ujar Ganta menangis iba kepada orang-orang.
"Iya, Dek. Saya sudah telepon ambulans. Tunggu sebentar, ya?" jawab seorang perempuan di belakang Ganta.
Ganta menangis sesenggukan, dia berdiri dan berjalan lunglai mendekati kerumunan yang mengelilingi Andi. Darah banyak keluar hingga mengalir ke aspal.
"Bapaaaaaak!" pekik Ganta menangis hiteris, ketika ingin mendekat, dia ditahan orang-orang.
Akhirnya Ganta hanya bisa pasrah dan tersungkur di aspal, menangis sejadi-jadinya. Perasaan kesal dan marah menjalar ke dalam dadanya. Matanya menyalang menatap mobil merah yang menabrak orang tuanya. Dengan kepalan tangan dan dada naik turun menahan sesak, Ganta mendekati mobil yang sekarang sudah diurus pihak berwajib.
Dia melihat jelas wanita muda berambut panjang berjalan sempoyongan, seperti orang yang terpengaruh minuman beralkohol. Jalan Ganta dihentikan polisi, dia dimintai keterangan. Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi, mata Ganta tak lepas menatap wanita berpakaian minim itu, tank top putih dan rok hitam kotak-kotak pendek yang mengekspose pahanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top