Kecelakaan CEO Muda
Seseorang berbicara dari telepon, "Lakukan sekarang."
Senyum sinis terukir di bibirnya setelah menutup telepon itu. Matanya memperhatikan Alfa yang keluar dari kantor.
"Mas Alfa mau nyetir sendiri?" tanya Rafael, tangan kanan Alfa, ketika bosnya itu masuk ke mobil.
"Iya. Kamu langsung pulang saja. Saya mau ke makam Mama dulu."
"Oh, baik kalau begitu, Mas. Hati-hati."
"Makasih, El," ucap Alfa lalu menutup pintu mobilnya.
Dia memakai kacamata hitamnya lantas menginjak gas, mobil sedan hitam mengilap itu keluar dari area perkantoran. Rafael pun mengendarai mobil pribadinya membuntuti Alfa dari jarak jauh. Dia tidak akan melepas Alfa begitu saja, apalagi Rafael tahu betul jika banyak musuh yang mengincar Alfa. Selama ini Alfa tidak mau dikawal terlalu ketat.
Rafael merupakan orang yang dipercaya Lisa dan Doni untuk menjadi asisten pribadi Alfa. Sikap Rafael yang ramah, mudah berbaur dengan siapa pun, dan hambel menutupi kekurangan sikap Alfa yang dingin dan introvert.
Rafael masih mengikuti Alfa meski dari jarak jauh. Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya Alfa keluar dari area pemakaman Lisa. Rafel memperhatika Alfa masuk ke mobil lalu mengikutinya lagi. Saat mobil sedan hitam itu masuk ke jalan raya, terlihat dua mobil pajero hitam menghimpit mobil Alfa.
"Wah, ada apa itu?" gumam Rafael langsung menambah laju mobil, niat ingin mengejar ketiga mobil yang semakin cepat.
Mobil Alfa terjebak, terjadi kejar-kejaran hingga mereka masuk ke jalan sempit belakang pabrik. Sebelah kanan kepentok pagar pabrik, kirinya tanah lapang yang ditumbuhi rumput liar. Rafael melihat jelas salah satu pajero itu sengaja menubruk mobil Alfa kencang dari belakang hingga sedan hitam milik Alfa terbalik di tengah lapang. Mata Rafael melebar, dadanya seketika sesak, dan spontan menginjak rem.
Buru-buru dia memutar mobilnya sebelum ketahuan orang yang mengejar Alfa. Ketika mobil sudah berhasil berputar, dia melihat mobil yang sangat familier berlawanan dengannya. Sambil berjalan pelan, Rafael sesekali menoleh ke belakang, memastikan yang ada di dalam mobil itu. Rehan keluar dan memberikan amplop cokelat kepada dua pengemudi pajero.
"Ternyata dalang di balik ini semua dia." Rafael menggenggam kemudi kuat-kuat.
Bagaimana dia bisa membuktikan kejahatan Rehan? Dia tak akan bisa berbicara di publik tanpa ada bukti. Lalu bagaimana keadaan Alfa? Pikiran Rafael kalut, dia ingin segera sampai di rumah lalu menceritakan kepada Sugeng, ayahnya. Hanya Sugeng orang yang bisa dia percaya.
Setelah Rafael jauh, terdengar ledakan dari tempat itu. Hati Rafael kalut. Kalau tadi dia mendekati Alfa dan membantunya, Rafael tidak akan selamat, pasti orang suruhan Rehan menghabisinya juga, siapa yang akan menjadi saksi kejadian itu? Rafael bertekad akan membongkar kebusukan Rehan.
***
Ganta yang tadi sedang jalan kaki menuju indekosnya melihat mobil terbalik di tanah lapang belakang pabrik. Dia ingin mendekati mobil itu, tetapi melihat tiga mobil dan beberapa orang sedang berdiskusi. Ganta samar-samar mendengar orang berjas hitam mengucapkan terima kasih kepada dua pria berotot. Lalu salah satu dari mereka menyebut 'Pak Rehan'.
Selama mereka sibuk berdiskusi, Ganta mengendap-endap mendekati mobil yang sudah terbalik itu. Dia melihat pria tak sadarkan diri tergeletak di pinggir mobil. Merasa mengenali wajahnya, Ganta langsung menyeret tubuh itu menjauhi mobil. Ganta bersembunyi di tengah ilalang yang tinggi. Jantungnya berdebar-debar tak keruan. Dentuman keras terdengar, Ganta sampai menutup kedua telinganya. Dari celah ilalang Ganta mengintip, tiga mobil itu sudah pergi. Karena tak mungkin menggendong sendiri tubuh pria itu, Ganta menelepon ojek langganannya.
"Mas Suryo, bisa minta tolong jemput aku di belakang pabrik, jalan mau ke kos?"
"Bisa dong. Mas Suryo meluncur, Neng Ganta!"
"Oke, Mas. Aku tunggu dekat sungai, ya?"
"Oke, Neng Ganta."
Setelah telepon berakhir, Ganta berusaha memapah tubuh yang sudah tak sadarkan diri itu sampai di jembatan agak jauh dari lokasi mobil terbakar. Peluhnya bercucuran, tak perlu menunggu lama Suryo yang mengendarai motor Supra hitam menghampiri.
"Dia siapa, Neng?" tanya Suryo terkejut karena pria itu banyak luka di wajah dan darah mengalir di pelipis.
"Mas Suryo jangan banyak tanya. Bantuin aku, ini berat banget." Ganta sangat kerepotan.
"Iya, iya, iya." Suryo ikut panik, dia mendekatkan motornya di depan Ganta.
Setelah orang itu dinaikan ke boncengan, Ganta menahannya dari belakang. Suryo bergegas menarik gasnya ke rumah sakit terdekat. Ganta pegal memeganginya, tubuh Alfa sangat berat bagi Ganta. Selisih beberapa menit mereka pergi, kepolisian datang ke lokasi kejadian. Api yang melalap mobil itu dipadamkan.
***
Di rumah sakit umum, Alfa dirawat. Tidak mewah memang, tetapi pelayanannya baik.
"Jadi, begitu, ya, Dok?" kata Ganta sedih.
"Iya, Mbak. Kami sudah berusaha mengeluarkan serpihan kacanya, tapi kornea pasien ini mengalami kerusakan parah."
"Berarti dia tidak bisa melihat sebelum mendapat donor kornea yang cocok?" tanya Ganta memastikan lagi pemahamannya.
"Iya, begitu, Mbak," kata dokter lelaki paruh baya itu.
"Terima kasih, Dokter," ucap Ganta lemas.
Dokter itupun lantas keluar dari ruang perawatan Alfa. Ganta duduk di samping brankar. Dia menunduk dan menangis terisak.
"Ngapain kamu menangisi saya? Apa kita saling kenal?" Suara Alfa mengejutkan Ganta.
Sejak kapan orang itu sadar? Ganta buru-buru menghapus air matanya. Padahal Alfa juga tak akan mungkin melihatnya menangis.
"Enggak. Siapa yang nangis," elak Ganta. "Kamu butuh apa? Saya ambilin."
"Saya haus," ucap Alfa karena tiga hari sejak kecelakaan itu dia baru sadar.
Ganta lalu mengambilkan botol air mineral dan mengarahkan sedotan di bibir Alfa. Selesai Alfa minum, Ganta duduk kembali di kursinya. Tak ada obrolan di antara mereka.
"Namamu siapa?"
"Rahasia."
"Loh, kok rahasia?"
"Iya, rahasia."
"Kamu tahu siapa saya?"
"Iya. Saya tahu. Kamu Alfariel Pamungkas, kan? Yang baru saja menjadi direktur utama di PT Group Pamungkas?"
"Kok kamu tahu saya?"
"Saya sering lihat wajah kamu di majalah bisnis. Anggap saja saya fans berat kamu. Kamu layak diidolakan. Sudah pinter, kaya, dan lulusan S2 Free University of Berlin, kan?"
"Dasar cewek aneh!" gumam Alfa. "Kamu mau apa dari saya?"
"Saya enggak mau apa-apa dari kamu."
"Enggak mungkin kalau kamu menolong saya tanpa pamrih. Kamu mau uang berapa?"
"Memangnya sekarang kamu punya uang?"
Alfa terdiam, benar juga kata gadis itu, dia tak tahu saat ini berada di mana dan setahu Alfa, dia sekarang buta, setelah mendengar percakapan dokter dan Ganta tadi. Awalnya Alfa shock karena kecelakaan itu mengakibatkannya buta. Namun, mendengar penjelasan dokter, dia sedikit tenang, masih ada harapan.
"Hai, Nona, di mana keluarga saya? Apakah ada yang di sini? Apa kamu suruhan Papa untuk menjaga saya?"
Sambil menyalakan televisi, Ganta menjawab, "Semua stasiun televisi dan berita sedang membicarakanmu. Kabar kematianmu sudah diumumkan."
Alfa terdiam, dia mendengarkan siaran berita. Suara itu seperti milik Rehan dan istrinya, Ani. Muncul kecurigaan dalam benak Alfa jika kecelakaan yang dialaminya itu suruhan orang terdekat. Atau mungkin saingan bisnisnya?
"Sebelum menemukanmu, saya sempat melihat orang di TV itu."
"Siapa yang kamu maksud?" sahut Alfa cepat.
"Orang yang ngaku om kamu."
"Dia sama siapa?"
"Mana saya kenal? Pokoknya waktu itu saya tahunya dia sama dua orang tubuhnya gede-gede."
"Kamu yakin orangnya itu?"
"Yakinlah! Mata saya masih normal, enggak seliwer."
Alfa menarik napas panjang lalu mendengkus. Sepertinya dia tak mungkin bisa kembali ke rumah dalam keadaan seperti itu. Dia harus menyembuhkan diri sebelum mencari bukti. Kalau dia muncul sekarang, itu akan membuat orang-orang tahu Alfa masih hidup dan pasti mereka akan memanfaatkan keadaan untuk memeras Doni. Alfa tak mau menyusahkan papanya. Apalagi jika Rehan tahu dia masih hidup, bisa-bisa nyawa gadis penolongnya juga terancam. Posisinya sangat sulit sekarang, lebih baik sementara Alfa bersembunyi.
"Hei, Nona, tadi kata dokter saya bisa disembuhkan kalau mendapat donor kornea, kan?"
"Iyaps, betul!"
"Tapi, pasti mahal," ujar Alfa sedikit putus asa. Apa mungkin gadis itu bisa membiayai operasinya?
"Iyalah! Tapi, tenang saja. Saya akan membantu kamu."
"Caranya?"
"Saya akan kerja dan menabung buat operasi kamu."
"Terus biaya rumah sakit ini bagaimana?"
"Tenang, saya yang bayar."
"Kamu punya uang?"
"Insyaallah ada kalau untuk membayar rumah sakit ini."
"Nona, apa kamu mau membantu saya?"
"Kalau saya bisa bantu, pasti saya bantuin. Minta bantuan apa?"
"Sementara saya buta, tolong tampung saya. Saya janji, jika nanti saya sudah bisa melihat dan saya bisa membuktikan keterlibatan om saya dalam kecelakaan itu, saya akan kembali ke keluarga saya. Semua utang saya ke kamu pasti lunas. Kamu catat saja semua biaya keperluan saya selama tinggal sama kamu."
Ganta tersenyum mendengar hal itu. Apa yang aku lakuin ke kamu, enggak sebanding dengan yang Bu Lisa lakuin kepadaku dan keluargaku. Hanya dengan ini aku bisa membalas budi kebaikan Bu Lisa.
"Hai, apa kamu masih di situ? Haloooo, Nona!"
"Ah, iya! Saya masih di sini," sahut Ganta cepat. "Baiklah, saya akan catat." Sekadar ingin menenangkan hati Alfa. Tidak mungkin Ganta benar mencatatnya.
"Tolong sebutkan nama kamu. Bagaimana saya memanggilmu?"
"Kita bikin perjanjian saja bagaimana?"
"Perjanjian?"
"Iya!"
"Boleh. Perjanjian apa?"
"Jadi, nanti kalau operasi kamu sudah berhasil, saya akan muncul di depanmu dan menyebutkan nama saya."
"Terus selama kita bersama, saya memanggilmu apa?"
"Apa saja, senyaman kamu."
"Baik. Karena kamu sudah menolongku, aku panggil kamu Angel. Gimana?"
"Oke. Tidak terlalu buruk. Tapi kamu jangan kaget, ya, kalau melihat wajah saya nanti."
"Kenapa?"
"Saya jelek. Gadis biasa dan berpenampilan seadanya."
"Apa itu penting?"
"Iya, saya takut kamu lari setelah melihat buruk rupa saya."
"Coba mendekatlah!"
Ganta seperti robot, dia tak bisa menolak. Ganta berdiri di samping brankar. Kedua tangan Alfa terangkat, dia menyenggol tangan Ganta lalu merabanya.
"Tangan kamu kasar. Tidak pernah perawatan, ya?" celetuk Alfa sambil mengelus tangan Ganta.
"Tadi, kan, saya sudah bilang. Saya gadis biasa dan apa adanya. Ada uang buat jajan cilok aja udah seneng. Enggak pernah kepikiran buat perawatan."
"Mana wajah kamu?" Alfa masih berusaha meraba-raba.
Ganta mengarahkan kedua tangan Alfa untuk menyentuh wajahnya. Dengan sentuhan itu Alfa berusaha membayangkan wajah Ganta.
"Hidung kamu mancung, bibir kamu tipis, pipi kamu sepertinya tembeb, kulit di wajah kamu lembut. Apa warna kulit kamu?"
Ganta tak menjawab, dia menurunkan tangan Alfa dari wajahnya.
"Kamu mau makan apa? Dua hari lalu jatah makanan kamu dari rumah sakit saya yang makan. Pagi tadi dapat jatah makan bubur sama ayam goreng dan sup. Siang ini ada nasi, bayam, ikan goreng."
"Enggak ada menu lain?"
"Kamu enggak biasa makan seperti ini, ya?"
"Iya."
"Terus makanan kamu apa? Jangan yang mahal-mahal, ya? Saya belum sanggup kalau setiap hari kita makan daging. Mungkin kalau seminggu sekali masih oke."
Alfa terkikik, gadis ini benar-benar lugu dan tanpa menjaga image. Bicara apa adanya. Harusnya Alfa yang sadar diri, sekarang dia harus bisa berusaha menyesuaikan keadaan.
"Kamu mampunya beli apa?"
"Paling pentok nasi di warteg. Tempe, tahu, ayam goreng. Kalau lagi ngirit paling makan mi instan sama telur."
"Kamu bisa masak?"
"Tentu saja bisa."
"Kalau gitu, selama kita tinggal bareng, biar ngirit, masak aja. Yang kamu bisa beli."
"Kamu punya alergi makanan enggak?"
"Enggak ada. Cuma saya kurang suka seledri, bawang goreng, sama lada."
"Oke, kalau itu mah gampang. Bisa diatur," sahut Ganta. "Saya boleh tanya sesuatu enggak?"
"Tanya saja."
"Kenapa om kamu tega melakukan itu sama kamu?"
"Entahlah! Saya juga baru tahu kalau dia setega itu kepada saya. Kamu enggak takut menyembunyikan saya?"
"Enggak. Ngapain harus takut?"
Alfa tersenyum lalu berkata, "Terima kasih kamu sudah menolong saya, Angel."
Karena tak mungkin Alfa melihat senyumnya, Ganta membalas dengan mengusap bahu Alfa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top