Jangan Biarkan Dia Pergi

Menatap gedung pencakar langit tempatnya bertahun-tahun mengabdi, rasanya sangat berat. Ganta menghela napas dalam. Dia membulatkan tekad. Amplop putih yang ada pada genggamannya menunjukan bahwa ucapan kemarin tak main-main.

"Ya Allah, jika emang ini jalannya, insyaallah aku ikhlas. Sebenarnya aku sudah nyaman kerja di Putra Jaya."

Meski berat, Ganta melangkah masuk ke kantor itu. Dia berjalan lesu sambil menunduk. Sampai di depan lift, dia menunggu sesaat. Tak berapa lama lift pun terbuka. Ganta menegakkan kepalanya.

Mata Ganta membulat sempurna saat melihat orang berjas hitam, gagah, dan tampan berdiri tegap di hadapannya. Jantungnya seperti ingin lepas. Apa dia sedang berhalusinasi? Ini bukan mimpi, kan? Kaki Ganta tiba-tiba berat saat ingin melangkah. Pintu lift akan tertutup, tetapi tangan orang itu menahannya.

"Jadi naik enggak?" tanya dia dengan suara khasnya yang berat dan maco.

"Ah, iya." Ganta berusaha menetralkan detak jantungnya dan bersikap seolah tak kenal.

Di dalam lift, Alfa dan Ganta saling diam, mereka seperti orang tak saling kenal. Bagi Alfa wajar karena dia tak pernah melihat wajah Ganta selama ini. Namun, bagi Ganta, ini bukan pertama kali dia melihat Alfa. Mereka pernah menjalin hubungan spesial hingga Ganta melahirkan Auriel.

Ya Allah, kenapa dia bisa di sini? bantin Ganta, jantungnya berdegub sangat kencang.

Sampai lift terbuka di lantai lima, mereka keluar bersama. Alfa masih membisu, bersikap cuek, melirik Ganta saja tidak. Ganta berjalan di belakang Alfa yang tidak mengenalinya. Rasanya sangat sakit, tetapi Ganta bertekad tak ingin Alfa mengetahui hubungan mereka di masa lalu. Bahkan tak ada niat sedikit pun dalam hati Ganta untuk mempertemukan Auriel dengan papanya, yaitu Alfa.

Ada urusan apa dia datang ke kantor ini? Apa dia datang untuk mencariku? Mustahil. Aku yakin dia pasti sudah melupakanku. Kejadian itu sudah delapan tahun berlalu, pasti dia juga sudah menikah dengan Putri. Ah, Ganta, lupakan dia, Alfa enggak mungkin ingat kamu. Kuat-kuat Ganta membuang pikirannya tentang Alfa.

Sampai di ruang pemilik perusahaan itu, Alfa berhenti sedangkan Ganta lanjut berjalan ke ruang kerjanya. Di sana ada Anita yang sudah menunggu Ganta dengan tatapan tak suka.

"Ngapain kamu datang lagi ke sini? Bukannya kamu udah mengajukan surat pengunduran diri?" ucap Anita sinis.

Padahal surat pengunduran diri itu belum diserahkan Ganta ke HRD. Namun, kabar Ganta akan berhenti bekerja sudah diketahui seluruh karyawan.

"Aku cuma mau ambil barang-barang terus pergi. Males lihat muka kamu." Tak mau kalah dengan Anita, Ganta membalas dengan tatapan tajam. "Minggir sana!" usir Ganta menyingkirkan Anita yang berdiri di depan meja kerjanya.

Dengan sebal Anita pun pergi, Ganta tersenyum puas. Dia tak pernah takut dengan Anita, si perempuan licik dan berhati iblis itu.

"Ta, kamu serius?" tanya Ratna bersedih menatap Ganta.

"Ta, pikir-pikir dulu deh," timpal Joko, yang tempat kerjanya di depan Ganta.

"Iya, Ta. Cuma kamu yang berani melawan Anita. Kami mah dianggap debu. Kalau terjadi kesalah sedikit, main pecat." Seseorang menambahkan lagi.

"Maafin aku, teman-teman. Tapi, harga diriku lebih berarti. Dia sudah tidak bisa menghargaiku. Kalian jangan takut sama dia. Lawan saja," ujar Ganta sedih menatap timnya yang bertahun-tahun berjuang bersama dia memasarkan produk perusahaan.

"Taaaa ...," seru Ratna lalu memeluk Ganta sambil menangis.

Teman-teman yang lain pun mendekat lalu mereka berpamitan. Ganta tak kuasa menahan tangisnya.

Di ruang pemilik perusahaan, Guntur dan Alfa berbincang santai, tetapi tetap membahas hal serius.

"Pak Guntur, saya sudah mempelajari semua hal tentang Putra Jaya. Sepertinya akan banyak hal yang saya ubah dalam aturan dan program perusahaan. Divisi-divisi akan saya upgrade dengan karyawan-karyawan yang memiliki inovasi dan loyalitas terhadap perusahaan, demi meminimalis kecurangan pekerja," papar Alfa mengenai langkah awalnya membantu Guntur memperbaiki perasaan itu.

"Iya, silakan, Pak Alfa. Saya percaya Anda akan melakukan yang terbaik agar bisnis kita tetap berjalan. Tapi, ada satu hal pesan saya."

"Apa itu, Pak?"

Sebelum berbicara, Guntur menghela napas dalam. "Jadi, perusahaan ini memiliki karyawan yang cerdas, loyalitas, dan dedikasinya tinggi kepada perusahaan. Orang ini bertahan di posisinya sebagai divisi pemasaran. Dia juga tetap bertahan walaupun perusahaan berada di ujung tanduk beberapa tahun lalu sebelum perusahaan kita melakukan marger. Dia tahu semua tentang perusahaan, saat itu karyawan satu per satu mundur, bagian manager produksi juga keluar, dia rela merangkap pekerjaan di divisi produksi dengan gaji yang sama."

Dua tahun lalu perusahaan mengalami kerugian besar dan hampir bangkrut, setengah lebih karyawan keluar dan melakukan demo.

"Kalau boleh tahu, siapa namanya, Pak?"

"Aurora Prillyana Gantari, Pak Alfa."

Aurora Prillyana Gantari? Gantari? Ganta? batin Alfa, tiba-tiba jantungnya berdegub kencang mengingat informasi yang Rafael kemarin sampaikan. Apakah itu Ganta yang dia cari? Seperti apa orangnya? Alfa semakin tak sabar ingin melihat orangnya.

"Maaf, Pak Alfa." Guntur menyadarkan Alfa yang sedang melamun.

"Ah, iya, Pak. Maaf. Sampai mana tadi pembahasan kita?" Alfa mengelus keningnya.

"Saya dengar dia akan mengundurkan diri, Pak Alfa. Saya khawatir perusahaan kehilangan karyawan terbaik sepertinya," ujar Guntur mengejutkan Alfa.

Belum juga Alfa bertemu dia, masa dia akan mengundurkan diri?

"Maaf, Pak, alasan dia mengundurkan diri apa?" tanya Alfa terlihat jelas rasa penasarannya. Lebih tepatnya, dia sudah tak sabar ingin mengetahui wajah pemilik nama Ganta itu.

"Informasi yang saya dengar, asisten direktur tidak menyukainya. Entah alasannya apa, saya kurang tahu. Mereka sering berselisih paham, berdebat mengenai pendapat, dan katanya memang asisten direktur ini takut jika Ganta menggantikannya. Sebenarnya saya setuju jika Ganta diposisikan sebagai asisten direktur karena dia tahu semuanya tentang perusahaan dan inovatif. "

Alfa manggut-manggut. Dia mulai memahaminya.

"Jadi, apa yang harus saya lakukan, Pak Guntur?"

"Saya minta tolong Pak Alfa pertahankan karyawan terbaik seperti Ganta ini. Sayang jika perusahaan kehilangannya. Dia cerdas juga sering memenangkan tender besar. Pak Alfa juga bisa menggali informasi mengenai perusahaan darinya."

Terdiam sesaat. Beberala saat Alfa tampak berpikir.

"Iya, saya tahu harus berbuat apa, Pak." Alfa mengangguk-angguk kepada Guntur.

"Iya. Saya bisa mengandalkan Anda, Pak Alfa." Guntur tersenyum bangga.

Alfa memiliki rencana untuk Ganta agar selalu berada di dekatnya, itu akan memudahkan Alfa mencari tahu banyak hal tentang Ganta. Juga menyelidikinya. Apakah dia Ganta yang dia cari selama ini?

Selesai mereka mengobrol, Alfa langsung bergerak. Bertindak sebagai direktur utama yang baru. Diantarkan langsung oleh Guntur ke ruangannya.

"Selamat pagi, Pak," sapa Anita membungkukkan tubuhnya menyapa Guntur dan Alfa.

"Pagi," jawab Guntur mengangguk tegas. "Anita, ini adalah Pak Alfa, direktur utama yang baru. Nanti siang akan ada meeting jajaran direksi untuk mengenalkan direktur utama kita. Tolong dibantu Pak Alfa, ya?" pesan Guntur kepada Anita.

"Baik, Pak," jawab Anita melirik Alfa yang cuek dan berwajah datar.

"Silakan, Pak Alfa." Guntur membukakan pintu ruang kerja Alfa di kantor itu.

"Terima kasih, Pak," tukas Alfa masuk diikuti Guntur.

"Beginilah tempatnya. Jika Pak Alfa kurang nyaman, kami bisa renovasi sesuai keinginan Pak Alfa."

"Tidak perlu, Pak Guntur. Ruangan ini sudah cukup buat saya. Terima kasih."

"Kalau begitu, saya tinggal, ya? Selamat bekerja, Pak Alfa."

"Baik, Pak Guntur. Silakan."

Selepas kepergian Guntur, segera Alfa meminta Anita untuk menelepon HRD dan menyambungkan telepon ke ruangan kerjanya. Setelah memberi tahu HRD, Alfa menelepon Rafael supaya datang ke ruang kerjanya yang baru.

Ganta selesai membereskan barang-barang dan berpamitan kepada timnya, dia pergi ke ruang HRD untuk menyerahkan surat pengunduran diri.

"Maaf, Mbak Ganta, atas perintah direktur utama yang baru, Mbak Ganta diminta menyerahkan langsung surat pengunduran diri kepada beliau ke ruangannya," jelas lelaki bertubuh gemuk, berkacamata, duduk di belakang meja kerja selaku HRD.

"Kenapa begitu, Pak? Bukannya surat pengunduran diri memang harus diserahkan ke HRD, ya?"

"Iya, Mbak Ganta. Tapi ini perintah langsung dari bos."

"Ih, mempersulit saja. Memang siapa sih direktur utama yang baru? Seenaknya sendiri, main ubah aturan," omel Ganta mendengkus kesal.

Dia sejujurnya sangat malas bertemu Anita. Jika dia menemui direktur itu, pasti melewati Anita terlebih dulu.

"Saya juga belum tahu, Mbak. Silakan, langsung temui saja."

"Ya sudah! Saya nitip barang-barang di sini, ya? Nanti selesai urusan, saya ambil lagi." Ganta meletakkan kardus mi instan berisi barang-barangnya di lantai dekat lemari besi.

"Iya, Mbak Ganta. Aman kok di sini."

"Makasih sebelumnya, Pak. Saya ke ruang direktur dulu, ya?"

"Silakan, Mbak."

Setelah keluar dari ruang HRD, Ganta menggerutu sebal. Ada saja ulah direktur baru itu! Mempersulit pengunduran dirinya.

"Apa sih maunya!" gumam Ganta kesal.

Sampai di ruang direktur utama, Ganta berdiri di depan meja kerja Anita. Dia memasang wajah sinis.

"Nit, aku mau ketemu direktur baru," ujar Ganta tanpa basa-basi.

"Ngapain kamu mau ketemu dia? Masih ada urusan apa kamu di kantor ini? Bukannya kamu sudah keluar?

"Ih, bisa enggak sih kamu jangan nambah ruwet. Tinggal sampaikan saja ke bosmu itu kalau aku mau bertemu. Susah banget sih!"

"Eh, siapa kamu nyuruh-nyuruh aku!"

"Ck!" Ganta berdecak sebal, tak peduli lagi dengan aturan, dia langsung mengetuk pintu ruangan itu.

"Eh, enggak sopan banget sih!" tegur Anita langsung menahan Ganta supaya tidak langsung masuk. "Pakai attitude kamu! Tahu, kan, aturan bertemu direktur utama? Harus melewatiku dulu!"

"Heleh! Kelamaan!" ujar Ganta mengibaskan tangan di depan Anita. "Minggir kamu!" Dia menggeser tubuh Anita yang menghalangi pintu.

Sekali lagi Ganta mengetuk pintu. Hingga pintu itupun dibukakan oleh Rafael.

"Maaf, Pak, tadi saya sudah melarang dia. Tapi ...," ucap Anita langsung dihentikan Rafael dengan tanda mengangkat tangannya ke arah Anita.

"Atas nama siapa?" tanya Rafael kepada Ganta.

"Ganta, Pak," ujar Ganta sopan.

"Oh, iya. Silakan masuk," kata Rafael membukakan pintu lebar untuk Ganta.

Sebelum masuk, Ganta menjulurkan lidah kepada Anita, mengejek. Menambah kekesalan Anita kepadanya.

"Oke, kali ini kamu boleh menang, Ta. Awas saja nanti!" gumam Anita setelah Ganta masuk. "Ah, tapi selangkah lagi dia pergi. Enggak ada lagi yang menjadi sainganku di kantor ini." Anita sangat percaya diri, dia kembali duduk.

Di dalam ruangan masih hening. Ganta berdiri di depan meja kerja direktur utama. Rafael berjaga di depan pintu, berdiri tegap. Sedangkan Alfa berdiri memunggungi Ganta, dia menghadap kaca tebal transparan sebagai tembok ruangan itu.

"Eham!" Ganta memecah keheningan. "Mohon maaf, Pak, ini surat pengunduran diri saya." Ganta meletakkannya di meja.

Alfa belum membalikkan badan. Dia menetralkan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdegub kencang tak terkontrol. Dari suaranya, Alfa tak asing dengan wanita itu.

"Mohon maaf, Pak," ucap Ganta tak sabar ingin segera pergi dari tempat itu.

Ketika Alfa membalikkan badan, tubuh Ganta menegang, terasa kaku. Debaran jantungnya berpacu cepat. Bibirnya kelu dan lututnya lemas. Bayangan delapan tahun lalu menari-hari di kepala Ganta. Awal mereka bersetubuh sampai momen di mana Alfa pergi meninggalkannya tanpa pesan. Benci dan kecewa menyeruak dalam hati Ganta. Bahkan dendamnya kepada Putri kembali bergejolak dalam dada. Ganta mengepalkan kedua tangannya erat.

"Kenapa kamu ingin keluar?" tanya Alfa berusaha bersikap santai menutupi kegugupannya.

"Saya sudah tidak cocok bekerja di sini?" jawab Ganta datar.

"Alasannya?"

Terdiam, Ganta tak bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Alfa. Yang ada dalam pikirannya saat ini, dia ingin segera pergi dan tak mau melihat Alfa lagi. Itu semakin membuat hatinya sakit.

"Kenapa diam? Apa gaji kamu kurang?"

Ganta membisu. Alfa mengambil surat pengunduran diri itu lalu melambai agar Rafael mendekat.

"Pegang itu," ujar Alfa memberikannya kepada Rafael.

"Baik," sahut Rafael kembali ke posisi awal sambil membawa surat itu.

Alfa duduk di kursinya. "Saya tolak pengunduran diri kamu," ucap Alfa dengan sikap tenang.

"Apa?" Ganta terkejut, tak sadar meninggikan suaranya. Dia menatap Alfa kesal. "Kenapa begitu, Pak?"

"Karena saya membutuhkanmu."

"Tapi saya rasa sudah tidak ada lagi yang saya kerjakan di perusahaan ini," bantah Ganta kekeh ingin keluar.

Apalagi tahu jika Alfa direktur utamanya, semakin bulat tekad dia ingin keluar. Ganta tak mau menyiksa diri dan batinnya.

"Kata siapa? Banyak hal yang masih harus kamu lakukan."

"Pak ..."

"Silakan duduk," sela Alfa sebelum Ganta menyelesaikan ucapannya.

"Tidak perlu!"

"Mari kita diskusikan gaji kamu yang baru."

"Maksudnya?" Ganta mengerutkan dahi dalam.

"Karena saya menolak pengunduran diri kamu, itu artinya kamu masih karyawan di sini."

"Enggak bisa gitu dong, Pak. Saya punya hak dan kebebasan memilih. Tidak ada kontrak yang mengikat saya untuk bertahan di perusahaan ini."

"Kamu mau kerja apa selain di sini?"

"Saya akan mendaftar di perusahaan lain," jawab Ganta tegas.

"Silakan saja." Alfa tersenyum penuh arti.

"Baik. Terima kasih atas waktunya!"

Ketika Ganta memutar tubuh dan baru melangkah dua kali, Alfa mengatakan, "Sekali saya menginginkan sesuatu, harus saya dapatkan. Apa yang sudah milik saya, tidak akan pernah saya bebaskan."

Ganta menoleh dan menatapnya tajam. Tanpa berucap, dia keluar dari ruangan itu. Alfa tersenyum lebar.

Aku yakin kamu milikku, batin Alfa dengan senyum kemenangan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top