Hai, Angel
Tak ada pilihan lain, Ganta membawa Alfa ke indekosnya. Untung indekos yang dia tempati bebas dan tetangga kamarnya cuek-cuek. Selama Ganta tinggal di sana, tak ada yang dia kenal. Ada satu orang, itupun sudah dewasa, bekerja sebagai wanita penghibur. Dia jarang pulang. Hanya dia yang menyapa Ganta selama ini.
Perban yang membalut mata Alfa sudah dibuka, hanya saja mata Alfa tidak bisa terbuka. Sangat sakit jika dipaksa. Tak ada cahaya yang membias ke dalam netra Alfa, dunianya sekarang gelap gulita. Ganta yang sekarang menjadi matanya, hanya wanita itu yang Alfa percaya.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Alfa sesaat setelah mereka sampai di indekos.
"Iya."
"Ke mana orang tuamu?"
"Mereka sudah surga."
"Oh, maaf, saya turut berduka."
"Terima kasih."
Hening, Alfa duduk di kursi kayu dekat jendela. Sedangkan Ganta memasak nasi di rice cooker untuk mereka makan malam nanti.
"Angel, apa kamu bisa menjelaskan ruangan ini seperti apa? Misalkan saya mau mandi atau kebutuhan di belakang, apa saya harus keluar dari tempat ini?"
Ganta terkekeh lalu menuntun Alfa ke depan pintu. "Kita sekarang ada di depan pintu, arah masuk. tiga langkah ke depan ada kasur, sebelah kiri kita ada kursi yang kamu duduki tadi, itu dekat jendela."
Sangat hati-hati Alfa berusaha menghafal tempat itu, sambil mengukur dengan langkahnya.
"Coba kamu berbaring di tempat tidur," ujar Ganta membantu Alfa menggapai tempat tidur.
Perlahan Alfa berbaring. "Iya, sudah. Terus?" tanya Alfa.
"Sebelah kiri kamu berbaring, tepat kamu turun dari ranjang, itu kamar mandi."
"Hah?" Alfa sangat terkejut, dia baru sadar jika ruangan itu sempit. Ganta terkikih melihat tampang terkejut Alfa.
"Samping pintu kamar mandi ada lemari. Nanti saya tata pakaian kamu di lemari itu."
"Oh, iya, pakaian siapa yang saya pakai? Maaf, ini bekas atau baru?"
"Tenang, saya beli baru kok."
"Dalaman juga?"
"Iya. Maaf baru bisa beliin tiga setel. Nanti kalau saya ada uang lebih, saya belikan lagi. Maaf, ya, saya bisanya beli yang murah. Tapi enggak gatel, kan, kamu pakai?"
"Enggak kok. Makasih banyak. Kamu kok tahu ukuran pakaian saya? Perasaan, kamu enggak pernah tanya hal itu sama saya."
"Saya kira-kira saja. Alhamdulillah cukup."
Hati Alfa tersentuh dengan kebaikan Ganta. Entah bagaimana nanti Alfa bisa membalas semua kebaikan itu. Rasanya Alfa tak sabar ingin melihat malaikat penolongnya. Seperti apa dia? Hatinya saja baik, apalagi wajahnya. Alfa tak percaya jika gadis itu buruk rupa. Hatinya berkata jika dia cantik.
"Oh, iya. Di samping lemari ada meja kayu panjangnya sekitar delapan puluh sentimeter dan lebar lima puluh sentimeter. Ayo bangun, saya tunjukan apa saja yang ada di meja itu." Ganta membantu Alfa bangun, karena Alfa berat, malah dia jatuh di atas tubuh Alfa.
Wajah Alfa sangat dekat di depan wajah Ganta. Embusan napas Ganta menerpa wajah Alfa. Beberapa saat Ganta terpesona dengan ketampanan Alfa, rahangnya yang kukuh, hidung mancung, dan alis tebal. Alfa meraba wajah Ganta, dia membelai pipinya. Jantung Ganta berdebar-debar tak keruan, Alfa dapat merasakannya karena dada mereka menempel.
"Kenapa jantung kamu berdebar-debar?" tanya Alfa menyadarkan Ganta. Segera Ganta bangkit dari atas Alfa.
"Maaf, enggak sengaja," ucap Ganta salah tingkah, pipinya merah, dia menahan malu. Untung Alfa tidak melihat wajahnya saat ini, bisa-bisa Ganta diledek.
"Enggak apa-apa. Ayo, tunjukkan isi meja itu." Alfa berusaha bangun sendiri dan Ganta menuntunnya.
Sampai di depan meja, Ganta menuntun tangan Alfa untuk menyentuh barang-barang di meja itu.
"Ini ada rice cooker, sebelahnya ada kompor listrik, sebelahnya lagi rak kecil tempat bumbu-bumbu. Bawah meja ada rak tempat piring, mangkuk, sendok, panci kecil, wajan kecil, dan lain-lain. Biarpun di sini tempat masak, kamu tenang saja, kamar saya bersih kok. Saya tidak suka tempat kotor."
"Terus saya tidur di mana?"
"Kamu bisa tidur di ranjang."
"Kamu?"
"Saya bisa di bawah."
"Jangan. Saya kan yang numpang di sini, jadi saya yang di bawah. Apalagi saya tidak bisa melihat, kalau tengah malam saya butuh sesuatu terus turun dari tempat tidur nginjak kamu gimana?"
"Mmmm ... yakin kamu bisa tidur di lantai?"
"Saya akan belajar."
"Baiklah kalau begitu."
***
Malam pertama Alfa menginap di indekos Ganta dan juga ini kali pertama dia tidur di lantai. Ganta memperhatikan cara Alfa tidur, gelisah dan terlihat tidak nyaman. Ganta merasa kasihan.
"Alfa?" panggil Ganta pelan.
"Hmmm. Iya? Apa, Angel?"
"Sini, tidur di sebelah saya."
"Ranjangnya sempit, Angel. Nanti kamu tidak bebas gerak."
"Daripada kamu sakit. Enggak apa-apa." Ganta turun lalu menuntun Alfa pindah ke tempat tidur.
Mereka berbaring dibatasi guling. Sebenarnya Alfa belum tidur, dia merasakan pergerakan di sebelahnya. Ganta seperti mencari posisi nyaman.
"Angel, apa saya boleh tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Kamu umur berapa?"
"Dua puluh tahun."
"Serius?"
"Iya. Saya masih kuliah, semester enam."
"Masih muda sekali kamu."
"Iya."
"Kita selisih enam tahun. Saya sudah dua puluh enam tahun."
"Iya. Saya tahu."
"Kuliah di mana kamu?"
"UI."
"Wow, berarti kamu pintar, ya?"
"Enggak juga. Biasa saja."
"Apa sebelumnya kita saling kenal?"
Ganta menoleh ke sampingnya. Dia membatin, Kita memang tidak pernah secara resmi berkenalan. Tapi aku sudah mengagumimu sejak lama. Kamu yang tidak pernah menganggapku ada, tapi aku selalu memperhatikanmu.
"Angel? Kamu sudah tidur?"
Sengaja Ganta tidak menjawab, dia tak ingin Alfa tahu tentang dirinya lebih banyak. Biarkan nanti saja jika Alfa sudah bisa melihat. Baru Ganta akan menceritakan semuanya. Terdengar embusan napas Alfa sudah teratur, tandanya dia sudah tidur. Barulah Ganta menyusulnya tidur.
***
Hingga larut malam, Doni masih terjaga. Dia duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Sugeng sebagai asisten pribadi menemani Doni, dia duduk di kursi kayu dekat tempat tidur. Dia tak tega melihat bosnya larut dalam kesedihan. Andai dia dan Rafael punya bukti untuk memperlihatkan kejahatan Rehan. Sayang sekali, dia dan putranya sampai detik ini belum mengantongi bukti apa pun. Kerja Rehan sangat rapi, sampai tak ada kecurigaan apa pun dari Doni. Jika Sugeng langsung memberi tahu, Doni tak akan percaya begitu saja. Sebab Doni sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Sugeng beranjak mendekati Doni.
"Pak Doni, apakah bapak butuh sesuatu?" tanya Sugeng iba lantaran Doni sejak kemarin belum makan berat. Hanya minum teh panas, sarapan roti, kadang makan biskuit dua atau tiga potong.
"Saya sedang tidak ingin makan apa pun, Pak Sugeng."
"Tapi, Pak Doni belum makan dari kemarin."
Doni menghela napas dalam, dia menatap Sugeng dan tersenyum. "Pak Sugeng, saya mau ngasih tugas."
"Siap, laksanakan, Pak!" Sugeng bersikap tegap.
"Tolong kamu selidiki baik-baik kasus kecelakaan Alfa. Ajak Rafael untuk mengusut sebab kecelakaan itu. Agak aneh, kenapa Alfa bisa sampai di sana? Saya kenal betul Alfa, dia tidak akan pergi ke tempat baru jika itu tidak penting. Saya tidak puas dengan hasil penyidik, katanya itu kecelakaan murni. Rem blong? Tidak masuk akal, jalan di sana datar dan sepi. Coba kamu usut lagi, ya? Tapi, tolong jangan sampai orang lain tahu."
"Baik, Pak."
"Satu lagi, cari Alfa."
"Maksudnya, Pak?"
"Hati saya mengatakan dia masih hidup. Tapi, entah dia di mana. Sebelum saya melihat sendiri tubuh anak saya di depan mata, saya tidak percaya dia sudah meninggal. Ini tugas buat kamu untuk mencarinya."
"Baik, laksanakan!" jawab Sugeng tegas. "Maaf, Pak, sudah jam dua malam. Demi kesehatan Bapak, lebih baik sekarang Pak Doni istirahat."
Doni menatap Sugeng sendu, wajahnya tampak lelah dan matanya masih merah. Doni berdiri, dia menuju tempat tidur lalu berbaring. Dengan sabar Sugeng menunggu Doni hingga terlelap. Setelah itu Sugeng keluar, dia meminta kepada kepala ajudan agar penjagaan Doni semakin diperketat.
Hati seorang ayah tidak pernah salah. Ikatan hati orang tua itu kuat. Semangat, Pak Sugeng!
Makasih buat bintang dan komentarnya, ya, teman-teman. Jaga kesehatan dan jangan lupa kalau pergi pakai masker.
Tak ada pilihan lain, Ganta membawa Alfa ke indekosnya. Untung indekos yang dia tempati bebas dan tetangga kamarnya cuek-cuek. Selama Ganta tinggal di sana, tak ada yang dia kenal. Ada satu orang, itupun sudah dewasa, bekerja sebagai wanita penghibur. Dia jarang pulang. Hanya dia yang menyapa Ganta selama ini.
Perban yang membalut mata Alfa sudah dibuka, hanya saja mata Alfa tidak bisa terbuka. Sangat sakit jika dipaksa. Tak ada cahaya yang membias ke dalam netra Alfa, dunianya sekarang gelap gulita. Ganta yang sekarang menjadi matanya, hanya wanita itu yang Alfa percaya.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Alfa sesaat setelah mereka sampai di indekos.
"Iya."
"Ke mana orang tuamu?"
"Mereka sudah surga."
"Oh, maaf, saya turut berduka."
"Terima kasih."
Hening, Alfa duduk di kursi kayu dekat jendela. Sedangkan Ganta memasak nasi di rice cooker untuk mereka makan malam nanti.
"Angel, apa kamu bisa menjelaskan ruangan ini seperti apa? Misalkan saya mau mandi atau kebutuhan di belakang, apa saya harus keluar dari tempat ini?"
Ganta terkekeh lalu menuntun Alfa ke depan pintu. "Kita sekarang ada di depan pintu, arah masuk. tiga langkah ke depan ada kasur, sebelah kiri kita ada kursi yang kamu duduki tadi, itu dekat jendela."
Sangat hati-hati Alfa berusaha menghafal tempat itu, sambil mengukur dengan langkahnya.
"Coba kamu berbaring di tempat tidur," ujar Ganta membantu Alfa menggapai tempat tidur.
Perlahan Alfa berbaring. "Iya, sudah. Terus?" tanya Alfa.
"Sebelah kiri kamu berbaring, tepat kamu turun dari ranjang, itu kamar mandi."
"Hah?" Alfa sangat terkejut, dia baru sadar jika ruangan itu sempit. Ganta terkikih melihat tampang terkejut Alfa.
"Samping pintu kamar mandi ada lemari. Nanti saya tata pakaian kamu di lemari itu."
"Oh, iya, pakaian siapa yang saya pakai? Maaf, ini bekas atau baru?"
"Tenang, saya beli baru kok."
"Dalaman juga?"
"Iya. Maaf baru bisa beliin tiga setel. Nanti kalau saya ada uang lebih, saya belikan lagi. Maaf, ya, saya bisanya beli yang murah. Tapi enggak gatel, kan, kamu pakai?"
"Enggak kok. Makasih banyak. Kamu kok tahu ukuran pakaian saya? Perasaan, kamu enggak pernah tanya hal itu sama saya."
"Saya kira-kira saja. Alhamdulillah cukup."
Hati Alfa tersentuh dengan kebaikan Ganta. Entah bagaimana nanti Alfa bisa membalas semua kebaikan itu. Rasanya Alfa tak sabar ingin melihat malaikat penolongnya. Seperti apa dia? Hatinya saja baik, apalagi wajahnya. Alfa tak percaya jika gadis itu buruk rupa. Hatinya berkata jika dia cantik.
"Oh, iya. Di samping lemari ada meja kayu panjangnya sekitar delapan puluh sentimeter dan lebar lima puluh sentimeter. Ayo bangun, saya tunjukan apa saja yang ada di meja itu." Ganta membantu Alfa bangun, karena Alfa berat, malah dia jatuh di atas tubuh Alfa.
Wajah Alfa sangat dekat di depan wajah Ganta. Embusan napas Ganta menerpa wajah Alfa. Beberapa saat Ganta terpesona dengan ketampanan Alfa, rahangnya yang kukuh, hidung mancung, dan alis tebal. Alfa meraba wajah Ganta, dia membelai pipinya. Jantung Ganta berdebar-debar tak keruan, Alfa dapat merasakannya karena dada mereka menempel.
"Kenapa jantung kamu berdebar-debar?" tanya Alfa menyadarkan Ganta. Segera Ganta bangkit dari atas Alfa.
"Maaf, enggak sengaja," ucap Ganta salah tingkah, pipinya merah, dia menahan malu. Untung Alfa tidak melihat wajahnya saat ini, bisa-bisa Ganta diledek.
"Enggak apa-apa. Ayo, tunjukkan isi meja itu." Alfa berusaha bangun sendiri dan Ganta menuntunnya.
Sampai di depan meja, Ganta menuntun tangan Alfa untuk menyentuh barang-barang di meja itu.
"Ini ada rice cooker, sebelahnya ada kompor listrik, sebelahnya lagi rak kecil tempat bumbu-bumbu. Bawah meja ada rak tempat piring, mangkuk, sendok, panci kecil, wajan kecil, dan lain-lain. Biarpun di sini tempat masak, kamu tenang saja, kamar saya bersih kok. Saya tidak suka tempat kotor."
"Terus saya tidur di mana?"
"Kamu bisa tidur di ranjang."
"Kamu?"
"Saya bisa di bawah."
"Jangan. Saya kan yang numpang di sini, jadi saya yang di bawah. Apalagi saya tidak bisa melihat, kalau tengah malam saya butuh sesuatu terus turun dari tempat tidur nginjak kamu gimana?"
"Mmmm ... yakin kamu bisa tidur di lantai?"
"Saya akan belajar."
"Baiklah kalau begitu."
***
Malam pertama Alfa menginap di indekos Ganta dan juga ini kali pertama dia tidur di lantai. Ganta memperhatikan cara Alfa tidur, gelisah dan terlihat tidak nyaman. Ganta merasa kasihan.
"Alfa?" panggil Ganta pelan.
"Hmmm. Iya? Apa, Angel?"
"Sini, tidur di sebelah saya."
"Ranjangnya sempit, Angel. Nanti kamu tidak bebas gerak."
"Daripada kamu sakit. Enggak apa-apa." Ganta turun lalu menuntun Alfa pindah ke tempat tidur.
Mereka berbaring dibatasi guling. Sebenarnya Alfa belum tidur, dia merasakan pergerakan di sebelahnya. Ganta seperti mencari posisi nyaman.
"Angel, apa saya boleh tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Kamu umur berapa?"
"Dua puluh tahun."
"Serius?"
"Iya. Saya masih kuliah, semester enam."
"Masih muda sekali kamu."
"Iya."
"Kita selisih enam tahun. Saya sudah dua puluh enam tahun."
"Iya. Saya tahu."
"Kuliah di mana kamu?"
"UI."
"Wow, berarti kamu pintar, ya?"
"Enggak juga. Biasa saja."
"Apa sebelumnya kita saling kenal?"
Ganta menoleh ke sampingnya. Dia membatin, Kita memang tidak pernah secara resmi berkenalan. Tapi aku sudah mengagumimu sejak lama. Kamu yang tidak pernah menganggapku ada, tapi aku selalu memperhatikanmu.
"Angel? Kamu sudah tidur?"
Sengaja Ganta tidak menjawab, dia tak ingin Alfa tahu tentang dirinya lebih banyak. Biarkan nanti saja jika Alfa sudah bisa melihat. Baru Ganta akan menceritakan semuanya. Terdengar embusan napas Alfa sudah teratur, tandanya dia sudah tidur. Barulah Ganta menyusulnya tidur.
***
Hingga larut malam, Doni masih terjaga. Dia duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Sugeng sebagai asisten pribadi menemani Doni, dia duduk di kursi kayu dekat tempat tidur. Dia tak tega melihat bosnya larut dalam kesedihan. Andai dia dan Rafael punya bukti untuk memperlihatkan kejahatan Rehan. Sayang sekali, dia dan putranya sampai detik ini belum mengantongi bukti apa pun. Kerja Rehan sangat rapi, sampai tak ada kecurigaan apa pun dari Doni. Jika Sugeng langsung memberi tahu, Doni tak akan percaya begitu saja. Sebab Doni sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Sugeng beranjak mendekati Doni.
"Pak Doni, apakah bapak butuh sesuatu?" tanya Sugeng iba lantaran Doni sejak kemarin belum makan berat. Hanya minum teh panas, sarapan roti, kadang makan biskuit dua atau tiga potong.
"Saya sedang tidak ingin makan apa pun, Pak Sugeng."
"Tapi, Pak Doni belum makan dari kemarin."
Doni menghela napas dalam, dia menatap Sugeng dan tersenyum. "Pak Sugeng, saya mau ngasih tugas."
"Siap, laksanakan, Pak!" Sugeng bersikap tegap.
"Tolong kamu selidiki baik-baik kasus kecelakaan Alfa. Ajak Rafael untuk mengusut sebab kecelakaan itu. Agak aneh, kenapa Alfa bisa sampai di sana? Saya kenal betul Alfa, dia tidak akan pergi ke tempat baru jika itu tidak penting. Saya tidak puas dengan hasil penyidik, katanya itu kecelakaan murni. Rem blong? Tidak masuk akal, jalan di sana datar dan sepi. Coba kamu usut lagi, ya? Tapi, tolong jangan sampai orang lain tahu."
"Baik, Pak."
"Satu lagi, cari Alfa."
"Maksudnya, Pak?"
"Hati saya mengatakan dia masih hidup. Tapi, entah dia di mana. Sebelum saya melihat sendiri tubuh anak saya di depan mata, saya tidak percaya dia sudah meninggal. Ini tugas buat kamu untuk mencarinya."
"Baik, laksanakan!" jawab Sugeng tegas. "Maaf, Pak, sudah jam dua malam. Demi kesehatan Bapak, lebih baik sekarang Pak Doni istirahat."
Doni menatap Sugeng sendu, wajahnya tampak lelah dan matanya masih merah. Doni berdiri, dia menuju tempat tidur lalu berbaring. Dengan sabar Sugeng menunggu Doni hingga terlelap. Setelah itu Sugeng keluar, dia meminta kepada kepala ajudan agar penjagaan Doni semakin diperketat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top