Ganta vs Anita
Langkahnya lebar, mata menyalang, dada kembang kempis, dan sambil mengomel tak jelas. Ganta sangat kesal setelah melihat sesuatu di ruang fotokopi.
"Apa sih maksud kamu, Nit!" sentak Ganta sambil membanting potongan kertas di meja Anita.
Wanita di depannya itu bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Dia tetap santai menguteki kukunya.
"Aku kerja keras sampai lembur di kantor. Dengan mudahnya kamu hancurkan hasil jilidanku. Kamu juga, kan, yang hapus file laporan pendapatan lima tahun lalu dari komputerku?"
Suara Ganta terdengar nyaring hingga ke ruang Alfa dan ruang-ruang karyawan yang lain. Mereka keluar dari ruangan dan menonton apa yang sedang terjadi. Sedangkan Alfa masih bersikap santai, duduk di ruangannya. Rafael yang duduk di kursinya merasa terusik.
"Jangan nuduh sembarangan kamu! Mana buktinya?" kata Anita berlagak tenang dan cuek.
"Kamu pikir aku bodoh, hah! Aku sudah cek CCTV ruang fotokopi, aku lihat kamu masukin jilidanku di mesin penghancur kertas!" sentak Ganta kesal kepada Anita. "Kenapa sih, Nit, kamu tega ngelakuin itu sama aku? Salahku apa sama kamu?"
"Kamu mau tahu salahmu apa?" Anita mendongak, menatap Ganta tajam. "Kamu sudah menggeser posisiku dan mengancam karierku," lanjutnya tak peduli banyak orang melihat mereka.
"Kalau kamu merasa aku adalah saingan, bukan gini caranya menyingkirkanku, Nit. Kamu sama aja mengancam kelangsungan perusahaan. Jangan campurkan urusan pribadi sama pekerjaan! Kamu temui aja Pak Alfa, suruh mecat aku. Bawa bukti-bukti kesalahanku atau kekuranganku dalam bekerja."
Rafael keluar dari ruangan Alfa, dia melerai keributan itu, "Eeeeh, kalian itu kenapa sih? Pagi-pagi sudah bikin rame!"
Ganta langsung menunduk, Anita menujuk Ganta. "Dia duluan yang memulai, Pak," kata Anita sinis.
"Sudah, sudah, sudah! Yang lain kembali ke ruangan masing-masing," ucap Rafael membubarkan kerumunan. "Anita, kamu lanjutkan pekerjaanmu. Ganta, ikut saya!" tegas Rafael lalu masuk lagi ke ruang Alfa diikuti Ganta.
Di ruangan Alfa, Rafael menyuruh Ganta duduk di depan Alfa yang sedang membaca dokumen. Setelah Ganta duduk, Alfa meletakkan dokumen itu di meja.
"Ada masalah apa?" tanya Alfa sangat halus.
"Ternyata Anita yang menghancurkan jilidan bahan meeting saya, Pak."
"Ada buktinya?"
"Ada! Saya sudah cek CCTV di ruang fotokopi."
Alfa manggut-manggut. Sebenarnya dia juga sudah tahu jika pelakunya Anita. Senin lalu selesai meeting, dia membuka CCTV yang mengarah ke meja Ganta. Sebelum Ganta datang, Anita mengutak-atik komputernya lalu mengambil tumpukan jilidan itu dan dibawa pergi.
"Kamu sabar dulu, ya? Saya sedang mencari bukti keterlibatan dia dalam kasus korupsi direktur sebelumnya. Sengaja saya pertahankan dia di sini, agar dia tidak kabur."
"Tapi, Pak Alfa, saya tidak bisa bekerja maksimal kalau lihat dia, dongkol hati saya." Ganta menunjuk-nunjuk dadanya, wajahnya memerah seperti ingin menangis.
"Apa kamu mau tukeran tempat duduk sama Rafael? Kamu di dalam satu ruangan sama saya, Rafael biar duduk di luar?"
Galau! Sebenarnya Ganta ingin menghindari Alfa. Namun, kenapa malah dia terjebak di situasi yang membuatnya semakin dekat dengan Alfa?
"Iya, Ganta. Begitu saja lebih baik. Saya di luar, kamu di sini. Jadi, kamu tidak melihat Anita. Bisa fokus kerja," sahut Rafael menyetujui solusi Alfa.
"Itu sih bukan solusi," gumam Ganta melirik Rafael dan Alfa bergantian.
"Ya sudah, Rafael, mulai hari ini kamu di luar, Ganta di dalam," ujar Alfa memberi kode dengan menaikkan kedua alis tebalnya kepada Rafael.
"E, e, e, eh, sebentar. Saya kan belum menyetujuinya," kata Ganta ketika Rafael bersiap untuk pindah.
"Saya sudah dapat perintah dari Mas Alfa. Jadi, saya harus melaksanakannya," tutur Rafael lantas keluar dari ruangan itu sambil senyam-senyum.
"Eh, Pak Rafael!" Ganta ingin mengejarnya.
"Ganta!" seru Alfa menghentikan langkah Ganta. Terdengar Ganta mendengkus, Alfa hanya terkikih. "Sudahlah, saya banyak kerjaan. Kamu duduk dan mulai kerjakan tugas kamu," ujar Alfa lantas mengangkat lagi dokumen yang sedang dia pelajari tadi.
Meskipun terpaksa, Ganta menurut, dia duduk di belakang meja yang biasanya ditempati Rafael.
Dengan begini aku bisa mengawasimu lebih mudah, Ta. Aku masih sangat penasaran denganmu, batin Alfa sembari menatap dokumen yang dia pegang.
***
Terpaksa Ganta pindah tempat kerja. Sudah dua hari mereka bekerja di ruang yang sama. Entah Alfa maupun Ganta ternyata sama-sama fokus jika bekerja. Anita kesal, ternyata prediksinya salah, Ganta masih bertahan dan justru semakin dekat dengan Alfa.
Anita ingin pergi ke pantri membuat teh untuknya. Dalam perjalanan, dia memikirkan sesuatu. Dia tersenyum licik saat menemukan ide gila.
Oke, Ganta, kemarin boleh gagal, tapi kali ini kamu akan kalah, batin Anita tersenyum miring.
Dia masuk ke pantri, di sana pramukantor sedang berkumpul seperti biasa, selesai bersih-bersih mereka beristirahat. Dua pria dan dua wanita pramukantor sedang duduk saling berhadapan membicarakan sesuatu yang sedang panas di lingkungan mereka. Anita tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Kalian lagi bicarin apa sih?" tanya Anita sok akrab sambil membuat teh.
"Itu, Bu, gosip yang katanya Pak Manager sama Bu Dona, supervisor, selingkuh. Kok tega banget, ya? Kasihan istri sama anaknya Pak Manager," jawab salah satu wanita yang rambutnya diikat seperti ekor kuda.
"Halah, gosip lama itu mah. Mau tahu gosip terbaru enggak?" Anita melirik mereka sambil tersenyum penuh arti.
"Apa, Bu?" sahut salah satu pria bertopi yang masih muda.
"Tapi, kalian jangan bilang siapa-siapa, ya? Saya sebenarnya mau diem aja, soalnya ini aib atasan saya." Sengaja Anita pura-pura meyakinkan mereka di awal pembicaraan.
"Iya, Bu," sahut mereka kompak.
"Jadi, sudah beberapa kali saya itu lihat Pak Alfa sama Ganta mesra-mesraan."
"Ah, masa sih, Bu? Kelihatannya mereka profesional, saya enggak pernah lihat Pak Alfa dekat-dekat Bu Ganta," sahut salah satu dari keempat pramukantor.
"Ah, kalian kan lihatnya dari luarnya. Kalau saya kan, setiap hari sama mereka. Lebih tahu saya ketimbang kalian. Coba kalian pikir, kalau mereka enggak punya hubungan spesial, ngapain Pak Alfa minta Ganta sekarang kerja di satu ruangan dengannya?"
"Iyakah, Bu? Mereka satu ruangan sekarang?"
"Iya. Tahu kan, kalau ruangan Pak Alfa itu selalu tertutup. Kita enggak tahu apa yang mereka lakukan di dalam. Dari luar aja mereka sok-sokan profesional, tapi kalau di luar kantor, hmmm ... enggak pantas deh!"
"Ih, enggak nyangka, ya? Pak Alfa sok cuek, ternyata sama aja kayak pimpinan yang lain, mata keranjang. Aku kemarin ngidolain dia banget. Setelah tahu kelakuannya begitu, jadi ilfeel," kata wanita berambut pendek.
"Makanya, jangan menilai orang dari luarnya aja," sahut salah satu pria yang duduk di depannya.
"Ya sudah, saya balik dulu, ya?" ujar Anita lantas keluar dari pantri sambil tersenyum puasa. Lihat aja, Ganta, Pak Alfa, image kalian akan jatuh dalam hitungan jam, batin Anita melenggang dengan wajah terangkat.
Di dalam ruang direktur utama, Alfa dan Ganta masih sama-sama sibuk kerja. Mereka tak bersuara sedikit pun, sampai ponsel Alfa memecah keheningan.
Bergegas Alfa melihat layar datarnya, nama Putri tertera di sana. Dia langsung mengangkatnya.
"Halo, apa Babè?" sahut Alfa bernada lembut sambil mempelajari dokumen penting.
"Kak Alfa pulang jam berapa? Aku bosan di apartemen terus."
"Sabar, ya? Aku pulang jam tiga. Nanti kita makan malam di luar."
"Bener?"
"Iya. Kamu nikmati saja waktu luangmu di Surabaya. Mau belanja, silakan. Mau wisata juga boleh. Nanti aku suruh Rafael menemanimu."
"Asyik! Aku mau shopping aja deh."
"Oke. Have fun."
Setelah itu panggilan berakhir. Sejujurnya Ganta sangat penasaran dengan orang yang selalu menelepon Alfa. Dugaan Ganta, mungkin orang itu istri Alfa. Tapi siapa? Putri atau wanita lain? Ganta melamun.
"Ta, tolong saya bikinin kopi dong!" kata Alfa sambil mengelus keningnya yang terasa pening.
Tak ada sahutan dari Ganta, Alfa mendongakkan kepala menatap Ganta yang masih melamun.
"Ganta," seru Alfa lembut. Sayangnya Ganta masih termangu.
"Ck, apa sih yang dia pikirkan?" gumam Alfa berdiri, lalu mendekati Ganta. Dia bersandar di ujung meja, tepat di samping Ganta. "Ganta." Alfa memegang bahunya.
Ganta terlonjak sampai kursinya terdorong ke belakang. Dia memegangi dadanya dan napasnya memburu.
"Pak Alfa ngapain dekat-dekat saya?" pekik Ganta menyilangkan kedua tangan di dada.
"Kamu mikirin apa sih? Dipanggil-panggil enggak nyahut!"
"Enggak ada." Ganta menggeleng dengan tampang bodoh.
"Tolong bikinin saya kopi," titah Alfa beranjak lantas melenggang ke arah toilet yang ada di ruangan itu.
Ganta pun bergegas membuatkan kopi untuk Alfa. Di balik buffet tinggi tempat meletakkan piagam dan pajangan lainnya, juga sebagai penyekat ruang istirahat, ada meja yang biasa untuk membuatkan minum. Di sana tersedia alat pemanas air dan teh, kopi, gula instan. Selesai membuatkan kopi, Ganta letakkan di meja kerja Alfa.
"Makasih, Ta," ucap Alfa dengan senyum terbaiknya.
"Sama-sama, Pak." Ganta kembali ke kursinya.
"Oh, iya, Ta. Makan siang ini kamu mau makan di luar atau pesan online?" tawar Alfa setelah menyeruput kopinya.
"Kerjaan saya masih banyak, Pak. Mungkin saya tidak makan siang."
"Jangan begitu. Kerja boleh, tapi kamu harus tetap jaga kesehatan. Pesan makan siang saja, kita makan di sini."
"Pak Alfa mau makan apa?"
"Terserah kamu. Saya enggak repot makannya. Sudah pernah hidup apa adanya. Jadi, makan apa aja bisa," ujar Alfa mengingatkan Ganta beberapa tahun lalu saat mereka hidup di indekosan sempit, dalam keadaan Alfa yang buta.
Ganta justru terjebak dalam kenangan masa itu. Dia melamun dan tak sadar tersenyum kecut. Alfa yang memperhatikan Ganta keheranan.
"Ta, kamu punya masalah apa sih?" tanya Alfa menyadarkan lamunan Ganta.
"Masalah apa, Pak? Enggak ada." Buru-buru Ganta mengambil ponselnya dan membuka aplikasi berlogo gambar helm hijau.
"Saya perhatiin kok kamu ngelamun terus. Kenapa?"
"Enggak apa-apa, Pak Alfa."
"Bener?"
"Iya. Bener, Pak."
"Oh, iya, gimana kado dari saya? Apa Auriel suka?"
"Ah!" Ganta menggebrak meja, mengejutkan Alfa.
"Kamu kenapa sih! Ngagetin aja!" Alfa mengelus dadanya.
"Saya itu mau marah sama Bapak. Kenapa Bapak ngasih Auriel mobil? Bapak pikir Auriel bisa nyetir? Terus juga, udah tahu gang rumah saya sempit, rumah enggak punya garasi, Pak."
"Makanya, pindah rumah yang lebih luas dan lingkungannya baik. Auriel itu butuh ruang berkembang yang baik, Ta. Maminya dibilangin dong. Kasihan anaknya kalau hidup di lingkungan begitu."
"Bapak tahu apa sih? Baru kenal Auriel sudah beraninya menilai. Bapak itu cuma lihat dari luar. Aslinya dia cerdas, di sekolah selalu dapat rangking kok."
"Kamu bohong, ya, sama saya?"
"Soal apa?" Jantung Ganta berdegub kencang.
"Soal keluargamu."
"Enggak!" elak Ganta cepat.
"Kamu bilang di rumahmu cuma tinggal bertiga. Kemarin banyak orang. Terus ada Auriel sama maminya," ujar Alfa menatap Ganta intimidasi.
"Eeeeng ... itu kan, momennya aja yang pas. Auriel datang mau merayakan ulang tahun. Apa salahnya sih?" jawab Ganta sedikit gelagapan dan sok jutek.
"Katanya kamu enggak punya saudara. Terus maminya Auriel siapa kamu? Auriel ponakan kamu, kan?"
Iiiiih, kenapa sih dia tanya-tanya begitu? Bikin makin bingung cari alasan. Kan aku terpaksa harus bohong. Untung Alfa mengira Auriel anaknya Carla, batin Ganta kesal. "Pak Alfa kenapa sih tanya-tanya begitu? Pak Alfa naksir sama maminya Auriel?"
"Kenapa? Kok kamu sewot? Cemburu, ya?" goda Alfa lalu terkikik.
"Hidih! Enggak!" jawab Ganta galak.
"Kok wajahnya kesel gitu sih? Tenang, Ta, saya itu tipe orang setia. Kalau sudah cinta sama satu wanita, susah berpaling."
"Heleh! Suara buaya biasa begitu." Ganta melengos, tak percaya ucapan Alfa.
"Serius, Ta. Saya enggak bohong. Sampai sekarang saya masih mencintai wanita yang sama walaupun saya tidak kenal dia."
Tatapan Ganta langsung mengarah pada Alfa. Berdosakah jika Ganta gede rasa dengan ucapan Alfa tadi? Apa itu ditunjukan padanya, yang Alfa kenal dengan Angel? Hati Ganta sejujurnya senang mendengar itu, tetapi dia tak mau terlalu percaya diri.
"Oh, iya. Soal mobil, kayaknya berlebihan deh, Pak. Auriel belum membutuhkannya." Sengaja Ganta mengalihkan pembicaraan.
"Kata siapa? Emang maminya enggak butuh kendaraan buat antar dia sekolah?"
"Aduh, Pak Alfa, sekolah Auriel itu deket. Ngesot aja sampai."
"Biarkan saja, Ta. Siapa tahu kamu butuh, bisa juga kamu pakai."
"Masalahnya, Pak, saya itu enggak bisa nyetir. Gimana mau pakai?"
"Ya sudah, kalau gitu besok kamu les nyetir, ya?"
"Hah!" Mulut Ganta sampai menganga.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Ck, Pak Alfa itu nambah-nabahi kerjaan saya aja! Les mengemudi butuh waktu dan dana. Saya ..."
"Udah, enggak usah bawel. Saya yang biayai. Kamu cukup duduk dan belajar nyetir. Beres, kan? Cepet, pesan makanannya. Dari tadi ngoceh terus, kapan makannya?"
"Pak Alfa yang ngajakin saya ngobrol," gumam Ganta lalu menatap ponselnya. "Pak Alfa mau makan apa ini? Saya bingung, banyak pilihan."
"Ganta, saya tadi kan bilang, apa aja saya bisa makan. Asal jangan pakai ..."
"Sledri, lada, dan bawang goreng, kan?" sahut Ganta diacungi jempol Alfa. "Korean food atau Chinese food?" tawar Ganta menatap Alfa.
Alfa menarik napas lalu membalas tatapan Ganta. "Kamu mau makan apa?" Justru Alfa balik menawari.
"Mmm ... bingung!"
"Yang paling pengin kamu makan saat ini apa?"
"Tahu, tempe, telur, terong goreng, terus ..."
"Ya dah, pesen itu!"
"Hah! Bapak yakin? Itu makanan rakyat jelata seperti saya loh? Saya takut Bapak keracunan makan itu," kata Ganta mengerling, sengaja menggoda Alfa.
"Kamu pikir saya enggak pernah makan begituan? Dulu saya hampir setiap hari makannya itu. Udah, pesan aja!"
"Asyiiiik. Akhirnya aku bisa makan begini lagi," ujar Ganta girang. "Setiap makan sama Pak Alfa selalu daging-dagingan, makanan berkelas. Saya itu seleranya yang begini, Pak. Lebih kenyang dan puas ketimbang makan di restoran. Udah dikit, mahal, enggak bikin kenyang, mau nambah mikir-mikir," kata Ganta sambil memesankan makanan di ponselnya.
Ya Allah, kalau dia sedang seperti itu, mirip dengan Angel. Dulu Angel juga begitu, bicara apa adanya, enggak gengsian, dan suka makanan sederhana. Aku sangat merindukanmu, Angel. Alfa membatin sambil tersenyum menatap tingkah asli Ganta jika sedang tidak formal padanya.
"Pak Rafael dipesankan sekalian enggak?" tanya Ganta sebelum check out pesanannya.
"Enggak usah. Dia sedang saya tugaskan keluar."
"Oke."
Setelah selesai pasan, Ganta meletakkan ponselnya lalu kembali bekerja sembari menunggu pesanan datang. Alfa justru sibuk memperhatikannya.
"Ta," seru Alfa memecah kesunyian.
"Iya, Pak Alfa. Ada apa?" sahut Ganta kali ini suaranya lembut, mendongak melihat Alfa yang bersandar santai memperhatikannya.
"Kamu punya pacar?"
"Ih, Bapak kenapa tanya-tanya begitu?"
"Heran saja sama kamu. Bisa fokus kerja tanpa gangguan telepon atau chat. Biasanya, orang kalau punya pacar kan, sibuk sama ponselnya. Terus siapa cowok yang sering antar jemput kamu itu? Apa dia pacar kamu?"
"Namanya Galang, Pak. Dia orang baik yang pernah saya temui. Bisa jadi teman, kakak, dan gandengan kalau di acara-acara yang butuh pasangan."
Entah mengapa hati Alfa sakit saat Ganta menjelaskan tentang Galang. Apa itu tandanya Alfa cemburu?
"Terus papanya Auriel memangnya ke mana?"
Di depanku sekarang. Kamu papanya, jawab Ganta dalam hati. " Enggak tahu, Pak. Papanya pergi gitu aja."
"Kasihan, ya? Sejak kapan?"
"Sejak dia di kandungan."
"Papanya tahu enggak kalau Auriel sekarang sudah besar, jadi anak manis, pinter, dan cantik?"
"Tahu kok, Pak," jawab Ganta mantap. Memang benar, kan? Kamu sekarang sudah tahu kalau anakmu itu cantik dan pinter. Aku enggak bohong kali ini, lanjut Ganta dalam hati.
"Tapi, kenapa waktu itu Auriel bilang pengin punya papa? Apakah maminya enggak pernah mempertemukan mereka?"
"Mungkin dia sakit hati, Pak. Soalnya ditinggal pergi gitu aja. Tanpa pesan dan ... gitulah!"
Rasa bersalah tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuh Alfa. Dia teringat dulu saat meninggalkan Angel-nya. Alfa pergi begitu saja tanpa pamit dan pesan. Apakah karena kecewa, sebab itu Angel-nya tak mau bertemu bahkan menghindarinya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top