Extra Part (Tuntas)

Rasanya aneh, ada hal yang masih mengganjal di hati Putri dan Rafael. Hampir lima bulan mereka tidak bertemu karena Rafael sibuk di Jakarta, Putri di Surabaya. Hari ini merupakan pesta pernikahan Galang dan Carla setelah satu minggu yang lalu melakukan ijab kabul. Semua keluarga berkumpul, termasuk Rafael yang selalu setia mendampingi Alfa.

Perut Ganta sudah terlihat membuncit. Dia sedang mengandung anak kedua, baru empat belas minggu. Alfa semakin posesif kepadanya. Bahkan aktivitas Ganta sekarang dibatasi olehnya.

"Sayang, jangan jalan terus. Duduk. Nanti kamu kecapean," ujar Alfa kepada Ganta yang sedari tadi mondar-mandir ikut menyapa tamu undangan yang hadir lantaran kebanyakan tamu yang datang, dia juga mengenalinya.

"Iya," sahut Ganta lantas duduk di sebelah Alfa.

Dalam ball room hotel tersebut, meja dan tempat duduk sudah diset sedemikian rupa, per keluarga satu meja bulat, berisi lima orang. Konsepnya pengantin dan keluarga inti yang mendatangi tamu untuk menyapa ke meja mereka satu per satu.

Alfa mengambilkan botol minum yang tersedia di meja, lalu dia buka tutupnya. "Ini, minum dulu. Kata dokter kamu harus banyakin minum air putih." ujarnya sambil mengulurkan botol air mineral itu kepada Ganta.

"Makasih, Sayang," ucap Ganta, lantas meminumnya sampai habis setengah dalam sekali tarikan napas.

"Eh, tadi Rafael ke mana, ya? Kok enggak kelihatan?" tanya Alfa sembari mengedarkan pandangannya.

Suasana pesta pernikahan siang itu cukup meriah. Ball room hotel yang biasa menampung seribu orang tampak penuh. Auriel sedari tadi gembira duduk bersama Doni sambil mengobrol mengenai rencana liburan mereka.

"Aku juga enggak lihat dari tadi. Coba kamu telepon. Lagi butuh dia kamu, Sayang?"

"Enggak sih. Cuma heran aja, enggak biasanya dia ngilang begitu."

"Ya sudah, Sayang. Dia kan juga punya urusan pribadi. Kalau suruh deket kamu mulu, kapan dia memikirkan urusan pribadinya. Kamu jangan terlalu mengikat Rafael kayak gitulah!"

"Siapa sih yang mengikat dia? Orang aku cuma bilang 'tumben ngilang'. Emang salah?"

"Enggak. Kamu kan selalu bener, enggak pernah salah."

Alfa terkikih melihat wajah terpaksa Ganta ketika berbicara seperti itu. Semua keluarga tampak bahagia, senyuman tak sedetik pun pudar dari bibir mereka. Namun, di sudut ruang itu, gadis yang cantik mengenakan dress biru pastel tanpa lengan, panjang selutut, berdiri sambil memegangi gelas sirup.

"Eham!"

Sebuah suara dari belakang mengejutkan gadis itu. Dia menoleh, kedua sudut bibirnya tertarik, menyunggingkan seulas senyuman manis.

"Ngapain di sini sendiri?" tanya pria bertubuh tegap, rambut tertata rapi, klimis, dan belah pinggir. Pembawaannya tenang dan wajahnya karismatik.

Senyum Putri semakin lebar. "Apa kabar, El?"

"Baik, Mbak."

Putri tersenyum malu-malu sambil menutup mulutnya. "Masih aja panggil begitu, El."

"Ya, kan Mbak Putri sepupu bos saya."             

"Udahlah, El, panggil nama saja."

"Ah, takut dipikir enggak sopan."

"Siapa yang mau mikir begitu?"

"Yaaaa ... pasti ada."

Putri justru terkekeh kecil, dia menggeleng. "Itu pikiran kamu saja."

"Eham!"

Putri dan Rafael menoleh ke sumber suara, sang mempelai pria dengan gagah berdiri di belakang mereka sambil memasukan kedua tangan di saku celana.

"Kalian ngapain malah mojok di sini?" tanya Galang dengan mimik curiga menatap Putri dan Rafel bergantian.

Putri maupun Rafael gelagapan dan salah tingkah, mereka saling pandang.

"Eeee ... ini, Mas, kami nganu ... cuma ngobrol aja kok," jawab Rafael sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kalau mau ngobrol di sana," tunjuk Galang ke arah segerombolan keluarga yang sedang duduk sambil bercengkrama. "Ada Mama, Tante Ani, Pak Doni, Kak Alfa, sama Ganta. Biar jelas semuanya," lanjut Galang.

"Ma-ma-maksud, Kakak apa?" tanya Putri gelagapan sambil menatap Galang bingung. 

"Kalau memang dari Rafael ada niat baik, coba bicarakan baik-baik dengan keluarga. Mumpung semua pada kumpul di sini. Jangan beraninya bilang sama aku aja," kata Galang melirik Rafael yang tersenyum ke arahnya.

Putri semakin dibuat bingung, dia menoleh ke arah Rafael. "Maksudnya apa? Sumpah, aku enggak paham deh," ujar Putri meminta penjelasan dari Rafael maupun Galang.

"Sudahlah, mending kita gabung dulu sama keluarga di sana," jawab Galang disetujui Rafael dengan anggukan. "Ayo!" Galang menarik tangan Putri, diikuti Rafael.

Sampai di tempat keluarga berkumpul, mereka berdiri di samping meja. Carla yang tadi sedang setengah membungkuk, mengobrol dengan Ganta, langsung menegakkan tubuhnya dan mendekati Galang.

"Mmm ... Pak Doni," seru Galang menyela obrolan santai Doni bersama Arista dan Ani.

Detik itu juga Doni menoleh kepada Galang. "Iya, Lang? Ada apa?"

"Rafael ingin bicara sesuatu, Pak," kata Galang menarik lengan Rafael agar mendekat padanya.

"Mau bicara apa, El?" tanya Doni menatap wajah Rafael yang gugup.

Alfa memperhatikannya, pun dengan Ganta. Suasana menjadi tegang, Arista dan Ani juga menatap Rafael, menantinya berbicara. Dengan sikap sopan, tangan disilangkan di depan perut, Rafael menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Rafael mengumpulkan keberaniannya. Tekadnya sudah bulat.

"Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang. Saya sadar diri, siapa saya sebenarnya. Saya ini hanya pemuda dari keluarga sederhana yang lancang mencintai putri tunggal dari keluarga terpandang dan terhormat. Walau begitu, dengan kerendahan hati, saya mohon izin kepada keluarga besar Pamungkas untuk bisa mencintai wanita yang  selama ini mengusik pikiran serta hati saya. Khususnya kepada Pak Doni sebagai perwakilan ayahandanya, izinkan saya mencintai Putri."

Betapa terkejutnya Putri, dia tak menyangka Rafael bisa senekat itu. Bahkan dia juga tak diberi tahu sebelumnya. Selama kurang lebih lima bulan ini mereka dekat, hanya berkomunikasi melalui ponsel, Rafael tak pernah menyinggung tetang perasaannya.Dia dan Putri saling perhatian. Alfa tersenyum sambil mengangguk kepada Rafael. Arista dan Ani masih terbengong, sedangkan Doni tertawa renyah.

"Kamu bagaimana, Putri?" tanya Doni memegang tangan Putri sembari menepuk-nepung punggung tangannya.

"Mmm ...." Putri bingung, dia menatap Ani dan Arista bergantian. Pandangannya beralih ke Rafael yang sedang menatapnya penuh harapan. Putri menggigit bibir bawahnya.

"Sebenarnya sih, Rafael sudah lama membahas masalah ini sama saya, Pak Doni. Walau bagaimanapun, Pak Doni sudah kami anggap pengganti Papa saat ini untuk memutuskan segala sesuatu dalam keluarga Pamungkas. Sebab itu, saya sarankan Rafael untuk langsung berbicara dengan keluarga saja," papar Galang.

"Iya.  Benar keputusan kamu, Lang," sahut Doni menggut-manggut. "Tapi, sebagai orang tua, saya kembalikan lagi kepada Putri. Dia yang akan menjalani." Doni menengadahkan wajahnya, menatap Putri dengan senyuman tipis.

Putri menatap Ani dan Arista bergantian, seolah dari tatapan itu dia meminta pendapat.

"Keputusan di tangan kamu, Put. Sejauh ini Mama tahu Rafael orangnya baik dan gigih. Loyalitasnya tinggi dan bertanggung jawab," ujar Ani dengan seulas senyuman terbaiknya.

Putri lalu menatap Rafael yang masih setia menunggu jawabannya. Hatinya masih ragu, Putri takut jika perasaannya kepada Rafael hanya sesaat, sekadar rasa pelarian atas sakit hatinya dulu karena dicampakan Alfa.

"Kalau memang kamu tidak bisa membalas perasaan saya, tidak apa-apa. Saya bisa menerima dan memahami," kata Rafael mencoba untuk membesarkan hatinya jika sewaktu-waktu mendengar penolakan dari Putri.

"Boleh aku tanya satu hal padamu?"

"Silakan. Kamu mau tanya apa?"

"Kenapa kamu tidak mendiskusikan ini dulu denganku?"

"Maaf, kalau saya lancang. Tapi saya lakukan ini untuk membuktikan keseriusan saya kepadamu. Saya hanya ingin kamu dan keluargamu tahu, kalau saya serius, bukan mau main-main denganmu. Terutama kepada Mas Galang," ujar Rafael menatap Galang yang masih setia berdiri gagah dengan setelan jas pengantinnya didampingi Carla. "Karena beliau adalah pengganti kepala rumah tangga dalam keluargamu," lanjut Rafael.

"Kamu bisa membuktikan keseriusanmu?"

"Iya, tentu," jawab Rafael mantap. "Saya bukan pangeran yang memiliki tahta dan harta melimpah untuk menjadi pendamping seorang putri. Saya cuma punya keseriusan dan ketulusan untuk meminta kamu, Putri, sebagai pelengkap jalan hidup saya yang selama ini tertatih. Putri, bersediakah kamu menjadi pendamping hidup saya?" Rafael berlutut di depan Putri sambil mengulurkan cincin.

Detik itu juga, Putri menutup mulutnya yang menganga, dia sangat terkejut dan tak menyangka Rafael nekat melakukan itu di depan keluarganya, bahkan di tengah banyaknya tamu undangan. Galang dan Carla saling pandang dan melempar senyum. Hal itu merupakan tantangan dari Galang, jika memang Rafael serius mencintai Putri, Galang meminta Rafael melamarnya langsung di depan keluarga besar. Ternyata Rafael tak main-main, dia membuktikan keseriusannya.

Ani dan Arista berdiri, mereka lantas mendampingi Putri. Air mata Putri tak dapat terbendung. Haru, terkejut, bingung, dan bahagia bercampur menjadi satu dalam benaknya saat ini. Arista merangkul Putri yang tubuhnya menegang, dia terpaku, badannya seperti sulit digerakkan.

"Putri, apa pun keputusan kamu, kami sebagai keluarga akan selalu mendukungmu," ujar Arista sangat lembut, disetujui Ani dengan anggukan.

Putri melihat ke arah Alfa dan Ganta yang sedang menatapnya dengan senyum tipis, dia juga melihat Auriel yang duduk di sebelah Doni, juga tengah menatapnya dengan wajah polos.

Mereka sudah bahagia. Tidak mungkin lagi ada ruang untukku dalam hidup Kak Alfa. Aku juga berhak bahagia, batin Putri, lantas menatap Rafael yang masih setia menunggu jawabannya.

"Berdirilah," titah Putri pelan.

Rafael menurut, dia menegakkan tubuhnya, dan berdiri tegap di depan Putri.

"Kalau kamu serius denganku, kapan kamu akan membawa orang tuamu datang ke rumah?" tanya Putri dengan senyuman tipis.

"Secepatnya."

"Iya. Kapan? Aku butuh kepastian."

"Besok akan saya ajak kedua orang tua saya untuk melamarmu," jawab Rafael tegas dan penuh keyakinan.

"Bagaimana, Ma, Tan? Apa diizinkan?" tanya Putri kepada Ani dan Arista.

"Tentu saja," jawab Ani mengangguk.

"Kami tunggu, ya, Rafael," tambah Arista.

"Tapi, apakah lamaran saya ini diterima?" tanya Rafael menunduk sambil menatap cincin yang masih dia pegang.

Sembari tersenyum lebar, Putri mengulurkan tangannya ke depan Rafael. Walau tanpa kata, isyarat itu sudah cukup. Bergegas Rafael menerima tangan Putri, lalu memasukkan cincin itu di jari manisnya. Sorak-sorai dan tepuk tangan meriah menguasai ball room tersebut. Ani dan Arista langsung memeluk Putri dan mencium pipinya.

Ya Allah, jika memang Rafael adalah pilihan terakhir hamba, tolong jangan ragukan hati hamba. Mantapkan niat tulus kami sampai Engkau halalkan kami, batin Putri dengan perasaan lega.

Senyum tak pudar dari bibir Putri dan yang lain. Kebahagiaan keluarganya hari ini lengkap. Galang menemukan pendamping hidupnya. Sedangkan dia juga menemukan sosok yang memiliki niat tulus padanya. Rasanya hidup Putri telah kembali sempurna walaupun tanpa Rehan. Yang saat ini menjadi fokus Putri adalah menyelesaikan S2-nya dan membangun bisnis dibimbing Galang serta Doni tentunya. Ditambah dia sekarang harus memikirkan masa depan kisah cintanya bersama Rafael.  Sempurna, bukan? Itulah buah keikhlasan dan kesabarannya.

***

Berbulan-bulan yang ditunggu, akhirnya hadir juga ke dunia.  Setelah melewati perjuangan yang mempertaruhkan nyawa, Ganta berhasil melahirkan anak keduanya bersama Alfa.

"Cewek apa cowok, Ta?" tanya Carla yang tadi pagi langsung terbang ke Jakarta bersama Galang, Putri, Ani, dan Arista begitu diberi kabar Ganta melahirkan.

"Cowok," jawab Ganta yang masih terbaring di brankar.

"Wah, alhamdulillah, sepasang, ya?" timpal Ani dengan senyum lebar.

"Iya, Tante. Alhamdulillah," sahut Ganta sambil melihat ke arah kotak bayi yang dijaga Auriel dan Putri.

Auriel tampak bahagia, sejak adiknya dipindahkan ke ruang rawat Ganta, dia tak mau sedikit pun jauh dari kotak bayinya. Bahkan dia selalu ingin menggendong, hanya saja belum diizinkan.

"Tante Putri, nanti kita main Barbie sama adik, ya?" kata Auriel lugu.

Putri terkekeh kecil. "Adik kan cowok. Masa main Barbie sih?"

"Terus main apa dong?"          

"Mainnya mobil-mobilan, sepakbola, begitu."

"Oh, gitu, ya? Jadi, aku enggak bisa main sama adik dong?"

"Bisalah! Kan nanti Auriel bisa ngajak adik main tenda-tendaan atau enggak main lego."

"Iya deh!" jawab Auriel dibalas Putri dengan usapan di kepalanya.

"Kapan nih, ada kabar bahagia dari Carla sama Galang?" tanya Doni yang duduk di sofa bersama Alfa, Sugeng, dan Rafael.

"Doakan secepatnya, Pak Doni. Semoga segera isi," sahut Galang seraya merengkuh pinggang Carla.

"Aamiin. Pasti selalu saya doakan yang terbaik buat semuanya," ujar Doni yang selalu tampak ceria dan tersenyum lebar.

Semenjak tahu kalau memiliki cucu, Auriel, sampai saat ini ketambahan cucu lagi. Dunia Doni tak lagi kesepian, hari-harinya selain mengurus bisnis, Doni juga sibuk memanjakan cucu.

Saat semua sudah berkumpul di ruang rawat, pintu terketuk dan muncul sepasang suami istri yang baru sampai, yaitu Yuli dan Pras.

"Asalamualaikum," sapa mereka bersamaan.

"Waalaikumsalam," sahut semua yang ada di ruangan itu hampir bersama.

"Wah, sudah pada kumpul di sini ternyata," ujar Pras sembari menyalami mereka satu per satu, diikuti Yuli.

"Iya, Pak. Kami tadi ikut penerbangan pertama," jelas Carla setelah mencium punggung tangan Yuli dan Pras.

"Tadinya Bapak sama Ibu juga mau ikut penerbangan pertama. Eh, malah ada kabar duka, takziah dulu di tetangga," papar Yuli sembari meletakkan tasnya di nakas.

"Siapa yang meninggal, Bu?" tanya Ganta.

"Itu loh, mertuanya Bu Vero. Sudah sepuh."

"Innalillahi wa innalillahi rojiun." Hampir semua mengucapkannya bareng.

"Boleh digendong enggak cucuku?" tanya Yuli meminta izin kepada Ganta.

Dengan senyum manis, Ganta mengangguk. "Boleh dong, Bu."

Setelah mencuci tangan, Yuli sangat hati-hati mengangkat bayi yang masih merah itu.

Setiap ada kelahiran pasti ada kematian. Pun dengan pertemuan, cepat atau lambat, perpisahan itu akan datang. Kita tidak bisa menghindarinya karena itu sudah hukum alam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top