Diam-Diam Cinta

"Kakek, kenapa kita enggak bisa tinggal satu rumah?" tanya Auriel polos yang duduk di pangkuan Doni.

Mendengar pertanyaan Auriel, semua orang di meja itu menatap Ganta dan Alfa. Keduanya malah balik menatap mereka satu per satu. Suasana makan malam kali ini cukup tegang karena Alfa dan Ganta duduk bersebelahan dalam hubungan yang kurang baik.

Lagi-lagi Ganta menolak ajakan Alfa untuk menikah. Mengetahui hal itu, Doni pun mengajak semua makan malam di restoran, hitung-hitung menghibur perasaan Alfa yang sedang kecewa. Sejak tadi Alfa hanya diam.

"Kenapa pada lihatin aku?" tanya Ganta dengan tampang polos.

"Kapan Auriel bisa tinggal serumah sama kakek, papa, sama mamanya?" Sengaja Carla mengulang pertanyaan Auriel agar lebih jelas.

Sambil melirik Alfa yang sedang menatapnya, Ganta menjawab, "Enggak tahu."

Auriel langsung menunduk, wajahnya tampak sedih. Menyadari perubahan suasana hati cucunya yang tadi bahagia jadi sedih, Doni berusaha mengembalikan mood-nya supaya bahagia lagi.

"Sweety, Kakek punya es krim buat kamu," kata Doni mengangkat dagu Auriel.

Doni melirik Sugeng yang berdiri di sampingnya, agak ke belakang, mendapat kode kedipan mata dari Doni, Sugeng bergegas memesankan es krim.

"Kenapa sih, teman-teman yang lain bisa tinggal sama papa-mamanya, aku enggak bisa, Kek?" tanya Auriel lirih dengan suara parau, mungkin hanya Doni yang bisa mendengar keluhan Auriel itu.

"Sabar, ya, Sweety. Nanti akan ada waktunya kita bisa tinggal bersama." Doni menyeka air mata Auriel yang menetes.

Ponsel Alfa berdering tanda panggilan masuk. Dia melihat layar flat itu. Tertera nama Putri di sana, sekilas Ganta melihatnya. Alfa menatap Ganta, cepat-cepat Ganta mengalihkan pandangannya. Alfa tak menghiraukan, dia kembalikan ponselnya di saku kemeja.

"Ini es krimnya, Nona Muda," ucap Sugeng meletakan satu gelas es krim cokelat beserta topingnya didepan Auriel.

"Terima kasih," ucap Auriel tersenyum kepada Sugeng.

"Ayo dimakan!" kata Doni mengangkat gelasnya supaya Auriel lebih mudah menyendoki es krim itu.

Lagi-lagi ponsel Alfa bunyi, semua menatapnya, termasuk Doni.

"Diangkat dulu kalau penting, Alfa," ujar Doni yang merasa terganggu.

"Enggak penting kok, Pa," jawab Alfa menolak panggilan dari Putri.

Ganta yang sebenarnya tahu, pura-pura menyibukkan diri, makan pencuci mulut sebagai menu penutup makan malamnya.

"Ta, bisa kita ngobrol berdua, sebentar?" kata Alfa bersuara pelan agar yang lain tak mendengar.

"Saya lagi makan," jawab Ganta ketus.

"Selesaikan dulu makannya."

Pras, Yuli, dan Carla asyik mengobrol dengan Doni. Dengan sabar Alfa menunggu Ganta selesai makan. Sekitar sepuluh menit berlalu, akhirnya Ganta selesai. Dia minum air putih dan mengelap bibirnya dengan tisu.

"Ayo!" ajak Alfa menarik pergelangan tangan Ganta.

Ganta berdecak sebal, dia terpaksa mengikuti Alfa. Doni dan yang lain menatap kepergian mereka.

"Mau ke mana mereka?" tanya Pras bengong melihat Alfa menggandeng pergelangan Ganta menuju ke rooftop restoran tersebut.

"Mungkin mau bicara empat mata, Pak. Biarkan saja mereka menyelesaikan urusannya sendiri. Kita enggak usah ikut campur," kata Yuli mengelus punggung suaminya.

"Mereka sudah dewasa, Bapak. Jangan khawatir," imbuh Carla menenangkan Pras yang mungkin khawatir kepada Ganta.

"Oh, iya, Ibu dengar pengadilan sudah ketok palu mengenai perceraian kamu sama Roy, ya, La?" tanya Yuli sengaja mengalihkan fokus Pras agar tidak terus menatap punggung Ganta dan Alfa yang semakin jauh dari tempat mereka duduk.

"Iya, Bu. Alhamdulillah, lega aku sekarang."

"Terus bagaimana sama mertua kamu, La?" tanya Pras, tahu jika Carla adalah menantu kesayangan Guntur.

Doni hanya memperhatikan obrolan mereka.

"Sebenarnya Papa berat menerima keputusanku, Pak. Tapi, aku udah enggak bisa bertahan sama Roy. Insyaallah Papa bisa menerima keputusanku. Walaupun aku sudah cerai sama Roy, aku akan tetap memperhatikan kesehatan Papa kok, Pak," papar Carla yang sejujurnya berat mengambil keputusan itu, bercerai dengan Roy.

"Yang terpenting itu, La, tetap berhubungan baik," ujar Pras diangguki Yuli yang setuju dengan ucapannya.

"Iya, Pak." Carla tersenyum.

Perasaannya jauh lebih tenang sekarang, melepaskan orang yang kita cintai memang tidak mudah. Namun, jika kita tetap menggenggamnya dan tersiksa, itu akan lebih menyakitkan, bukan?

Sedangkan di rooftop, Alfa masih terus menggenggam tangan Ganta. Mereka berdiri di dekat pagar pembatas yang terbuat dari kaca tebal. Biasanya banyak pelanggan di sana, menikmati makan malam sambil nongkrong. Suasana di rooftop saat ini sepi, sengaja Alfa meminta kepada manager restoran itu untuk mengosongkannya, supaya dia dan Ganta memiliki waktu privasi.

"Ta, kamu denger, kan, permintaan Auriel tadi?" kata Alfa menatap Ganta sendu.

"Iya. Dengar."

"Terus?"

"Terus apa?" tanya Ganta pura-pura tak paham arah bicara Alfa.

"Kamu kenapa sih, Ta?" Alfa mendengkus sambil menyugar. "Apa salahku sih, Ta? Kenapa kamu jadi begini sama aku?" Alfa memasang mimik sedih bercampur geregetan. "Jangan kayak anak kecil dong, Ta," ucap Alfa kembali menggenggam kedua tangan Ganta.

"Emang saya masih kecil, kan? Jarak umur kita enam tahun, wajar kalau pemikiran kita beda."

"Kenapa malah larinya ke umur sih? Dewasa itu tidak bisa diukur dari umur. Jangan mengambinghitamkan umur deh."

Ganta terdiam, beberapa menit mereka saling membisu. Namun, Alfa terus menatap sayu wajah Ganta yang datar. Tatapan mereka bertemu, Ganta melihat kesungguhan dari sorot netra Alfa.

"Sebenarnya apa yang bikin kamu berat menerimaku, Ta?" tanya Alfa sangat lembut.

"Banyak."

"Salah satunya?"

"Putri."

"Kenapa sama Putri?"

"Dia mencintai kamu, Alfa."

"Tapi aku enggak."

"Kalau kamu enggak cinta dia, kenapa kamu mengikatnya?"

"Aku cuma tidak mau banyak wanita mendekatiku. Putri cuma aku jadikan tameng. Aku mengakui, itu salah, tapi gimana lagi caranya, Ta? Aku enggak punya pilihan lain."

"Kamu sadar enggak, kamu sudah mempermainkan perasaan dia."

"Terus aku harus gimana, Ta? Aku enggak cinta dia, aku cintanya kamu."

"Kalau memang kamu cinta saya, bisa enggak kamu memilih salah satu di antara saya sama Putri?"

"Bisa!"

"Siapa yang mau kamu pilih?"

"Kamu." 

"Buktikan."

"Kalau aku bisa meninggalkan dia, apa kamu mau menikah denganku?"

Ganta diam lagi, dia menghindari tatapan Alfa. Angin berembus kencang, Ganta yang mengenakan dress selutut, lengan pendek , bersedekap sambil menggosok-gosokkan tangannya di lengan. Malam ini udara lumayan dingin. Alfa yang peka, lalu memeluknya dari belakang. Dia meletakkan dagunya di bahu kanan Ganta.

"Maaf, seharusnya waktu itu aku enggak ninggalin kamu."

"Kejadiannya sudah lama berlalu, jangan dibahas lagi," ucap Ganta menghela napas dalam.

"Ta, kenapa kamu enggak mau menikah denganku? Selain alasannya Putri."

"Saya belum siap, Alfa. Mengubah hidup saya dengan kebiasaan hidup kamu. Apalagi Auriel, dia terbiasa hidup sederhana, bermain bebas, dan melakukan sesuatu tanpa rasa khawatir."

"Masalah itu, kan, bisa nanti dibiasakan, Ta. Nyatanya Auriel baik-baik saja, nyaman dengan hal yang aku sama Papa lakukan untuknya."

"Bukan itu maksud saya."

"Terus apa?"

Ganta berdecak, lantas membalikkan badan. Alfa yang tak ingin Ganta pergi, menguncinya dengan melingkarkan kedua tangan di tubuh Ganta. Sengaja Alfa menghapus jarak di antara mereka, tubuh keduanya saling menempel.

"Sampai sekarang orang yang paling membahayakan keluarga kamu saja belum ketemu. Dia masih berkeliaran bebas, entah di mana. Belum lagi masalah Putri. Maaf, bukan berarti saya jahat, Alfa, tapi saya cuma ingin menegakkan keadilan untuk orang tua saya. Apa saya salah? Banyak hal yang harus kita selesaikan." Air mata Ganta meleleh membasahi pipi. Alfa menyekanya dengan telapak tangan.

"Iya, aku tahu. Sabar dong, satu per satu kita selesaikan. Polisi lagi berusaha melacak keberadaan Om Rehan. Dia itu belut, aku enggak habis pikir, kenapa dia bisa lolos segampang itu. Padahal penjagaan di hotel sangat ketat."

"Penjahat tetap saja penjahat! Sepintar-pintarnya polisi, maling lebih pintar mengelabuinya."

"Aku cuma khawatir, Om Rehan nekat melakukan sesuatu kepada Tante Ani. Satu-satunya saksi yang menemukan potongan CCTV itu. Tante Ani bisa aku jadikan saksi dalam kasus kecelakaanku, Ta. Aku sangat mencemaskannya, takut terjadi sesuatu padanya."

"Sabar, semua akan berlalu, kalau kita hadapi dan menyelesaikannya," ucap Ganta mengelus dada bidang Alfa.

Hati Alfa menghangat, dia tahu, bagaimana pun Ganta berusaha menolaknya, aslinya dia masih mencintainya. Itu sebabnya Alfa kukuh dengan pendiriannya dan ingin menikahi Ganta.

"Makasih, ya?" ucap Alfa tersenyum manis.

Mendapat tatapan intens Alfa, tiba-tiba Ganta merasa canggung, dadanya berdebar cepat. Apalagi saat dia sadar posisi mereka tanpa celah. Ganta menggigit bibir bawahnya, dia menutupi salah tingkahnya dengan membuang wajah ke arah lain, menghindari tatapan lembut Alfa.

"Ta," seru Alfa lirih.

"Hmmm," sahut Ganta hanya bergumam, tanpa menoleh.

Tangan Alfa terulur memegang dagu Ganta, lalu mengarahkan wajahnya agar menatap dia. Karena malu, Ganta memandang ke dada Alfa, tak berani membalas tatapannya.

"Kenapa enggak mau memandangku? Apa aku jelek?" Sengaja Alfa menggoda, masih sambil memegang dagu Ganta.

"Ya," jawab Ganta singkat.

"Masa sih?"

"Makanya sering-sering bercermin!" sungut Ganta.

"Perasaan ganteng deh!"

"PD!" sangkal Ganta cepat, melirik Alfa tajam.

Alfa terkekeh melihat wajah Ganta yang kesal, tetapi menggemaskan. Dia menarik hidung Ganta.

"Aw! Sakit!" pekik Ganta menampar lengan Alfa keras sambil memegangi hidungnya.

"Kamu gemesin," ujar Alfa dengan senyum sangat manis.

Ganta menahan senyumnya, dia tersipu, lalu menyembunyikan pipi merahnya di dada Alfa. Tawa Alfa pecah, lantas semakin mengeratkan pelukannya.

"Nanti aku minta nomor WA-nya, ya?" ucap Alfa setengah berbisik di telinga Ganta.

"Buat apa?" Ganta menegakkan tubuhnya, menatap Alfa bingung.

"Buat bangunin kamu setiap pagi, nanyain kabar kamu sama Auriel setiap saat, terus video call sebelum tidur."

"Ih, kayak anak ABG aja!"

"Biarinlah! Emang ABG aja yang bisa uwu-uwuan."

"Apa? Bahasa apa itu?" Ganta tertawa terbahak sambil menutup mulutnya.

"Bahasa anak milineal."

"Heleh! Inget umur!" Ganta menampar pipi Alfa pelan.

"Jangan diingetin umur dong. "

Kikihan Ganta semakin keras melihat wajah Alfa yang masam. Alfa kembali menghapus jarak di antara mereka, dia dekap erat Ganta dan memberikannya kehangatan. Kedua mata mereka terkunci, Alfa memberanikan diri mendekatkan wajahnya kepada Ganta.

Merasa tak ada penolakan, Alfa menarik tengkuk Ganta dan menempelkan bibir mereka. Lagi-lagi tak ada penolakan, Alfa pun mulai memagut bibir Ganta sangat lembut. Walhasil dari hal itu mereka saling bertukar rasa. Ganta memejamkan mata ketika Alfa semakin menekan tengkuknya agar ciuman mereka lebih dalam.

"Pak Sugeng, tolong panggil Alfa sama Ganta, ya? Tolong ditanyakan, mereka mau pulang bareng atau belakangan," titah Doni setelah membayar makan malamnya.

"Siap, Pak!"

Sugeng bergegas naik ke rooftop, tetapi baru dia sampai depan pintu, langkahnya terhenti. Sugeng langsung membalikkan badan, buru-buru turun, kembali ke Doni.

"Gimana, Pak Sugeng?" tanya Doni saat melihat Sugeng berjalan ke arahnya.

Sugeng berbisik di telinga Doni, "Maaf, Pak, saya tidak berani mengganggu. Soalnya Mas Alfa sama Mbak Ganta sedang ciuman."

Seulas senyum simetris tersungging di bibir Doni. Sugeng menegakkan tubuhnya.

"Pak Pras, Bu Yuli, Nona Carla, sebaiknya kita pulang lebih dulu saja. Mereka biarkan menyelesaikan urusannya dulu," ajak Doni menurunkan Auriel dari pangkuannya, lantas dia beranjak dan menuntun Auriel.

Semua pun ikut beranjak meninggalkan restoran tersebut. Pras dan Yuli satu mobil bersama Carla yang mengemudikan mobil hadiah ulang tahun Auriel tempo lalu dari Alfa. Karena tidak ada yang bisa menyetir kecuali Carla, walhasil kalau mereka membutuhkan mobil harus menunggu Carla sebagai sopirnya.

***

Di rumah sakit, Arista dan Galang masih setia menemani Ani. Penjagaan di ruang rawat Ani pun sangat ketat. Tak sembarang orang boleh masuk. Pun dengan dokter dan suster yang merawatnya, sebelum masuk mereka melewati pengecekan lebih dulu.

"Ma," seru Galang sangat pelan membangunkan Arista yang ketiduran di kursi, samping tempat tidur Ani.

Arista membuka mata, dia menoleh dan mendongak, menatap Galang dengan mata sayunya.

"Kamu sudah kembali?" tanya Arista menegakkan tubuh.

"Iya, Ma," jawab Galang menyampirkan jaketnya di kursi yang diduduki Arista. "Mama pindah ke tempat tidur saja, sakit nanti punggung Mama kalau tidur sambil duduk kayak tadi."

"Enggak apa-apa, Mama sudah enggak ngantuk kok. Tadi cuma ketiduran sebentar. Oh, iya, tadi Pak Doni telepon, katanya nomor kamu enggak bisa dihubungi."

"Oh, itu, Ma, tadi HP-ku mati, baterainya habis."

"Coba kamu telepon balik deh, katanya tadi ada yang mau dibicarakan, penting gitu."

"Iya, Ma. Aku cas dulu HP-nya," ujar Galang mengambil ponselnya dari saku celana, lalu mencolokkan kabel casnya.

"Gimana soal rencanamu yang mau buka cabang kafe di Jakarta Selatan? Jadi?" tanya Arista setelah Galang duduk santai di sofa.

"Iya, tadi aku sudah bicara sama temen yang mau bantuin ngurus di sini, Ma. Insyaallah jadi. Lagi mau nyari tempat dulu."

"Alhamdulillah kalau begitu."

"Tapi, aku bingung, Ma."

"Bingung kenapa?"

"Kemarin Kak Alfa telepon, minta aku gabung di Group Pamungkas. Kalau aku iyain, terus gimana sama kafeku?"

"Soal itu, kamu yang bisa memutuskan, Lang. Mama akan selalu mendukungmu, apa pun pilihanmu, Mama akan terus ada di belakangmu," ujar Arista dengan senyum manisnya.

"Makasih, ya, Ma, selalu ada buat aku." Galang beranjak dari duduknya, lalu mendekati Arista dan memeluknya.

"Sama-sama, Sayang. Makasih juga kamu selalu bisa menguatkan Mama."

Walaupun dia terpejam, syarafnya tak dapat digerakan, tetapi sebenarnya indra pendengaran Ani masih dapat berfungsi. Dia mendengarkan semua percakapan di sekitarnya. Mendengar semua keluh kesah Arista dan Galang, bahkan Ani juga dapat mendengar setiap Arista mengajaknya bicara. Ani dapat merasakan ketulusan Arista yang merawatnya, dia sabar menjaga dan telaten membersihkan tubuhnya.

"Oh, iya, Mama dengar, Carla sudah sah bercerai sama suaminya, ya?" tanya Arista setelah melepas pelukannya.

"Iya, Ma. Mama tahu dari siapa?"

"Kemarin Carla telepon, nanyain keadaan kita di sini."

"Oh," sahut Galang manggut-manggut.

"Kok cuma oh sih?" kata Arista melirik Galang penuh arti.

"Ya, terus aku harus gimana, Ma?"

"Bukankah kamu sudah lama suka dia?"

Galang melototkan matanya, menatap Arista dengan tampang terkejut.

"Ah, Mama, sok tahu!" sangkal Galang langsung salah tingkah.

"Kamu enggak punya bakat menutupi sesuatu dari Mama, Lang. Bener, kan, kata Mama?" Arista sengaja mendesaknya.

"Ah, Mama, jangan mendesakku," ujar Galang mengalihkan pandangannya.

"Apa susahnya sih, tinggal jawab iya atau tidak. Sama mamanya sendiri loh, masa malu-malu sih?"

"Bukan gitu, Ma. Cuma ... ah, tahulah, Ma. Bingung aku."

"Bingung kenapa sih?"

"Carla enggak tahu tentang perasaanku ke dia, Ma. Selama ini dia menganggapku teman. Enggak lebih. Aku sengaja cerita banyak cewek ke dia, biar Carla enggak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan ke dia. Biarkan begini dulu, Ma."

"Tapi, kan, sekarang Carla sudah bebas, dia bukan istri orang lagi, enggak masalah, kan?"

"Iya, Galang tahu itu, Ma. Cuma gimana mau memulainya. Biarkan begini dululah, Ma." Galang kembali duduk di sofa.

Sebenarnya sejak dulu Galang menyukai Carla. Dari pandangan pertama. Namun, saat itu Carla sudah menjalin hubungan dengan Roy. Mereka sedang berjuang bersama untuk meyakinkan keluarga Roy. Galang tak mau menjadi orang ketiga di antara Carla dan Roy. Padahal dia punya banyak kesempatan jika ingin merebut Carla dari Roy. Namun, Galang tak mau, dia ingin menjaga hati Carla agar tetap bahagia.

Bertahun-tahun Galang menyembunyikan perasaannya kepada Carla. Dia berusaha menghapus rasa cintanya, tetapi tak bisa. Cukup dengan menjadi teman baik Carla, sudah membuat Galang bahagia. Mendengar perceraian Carla dengan Roy sebenarnya menjadi kabar baik untuk Galang, tetapi juga kabar buruk karena Carla harus merasakan sakit hati. Sebab itu Galang selalu ada buat Carla, kapan pun Carla butuh, dia berusaha selalu ada agar wanita yang diam-diam dia cintai tidak terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top