Delapan Tahun Kemudian

Wanita cantik bertubuh proposional, rambut kecokelatan bergelombang, bodi bak artis internasional berjalan anggun mendekati salah satu meja karyawan.

"Hei," sapa dia mengejutkan begitu sampai di depan meja sahabatnya.

Wanita berambut sebahu yang tadinya sibuk melihat pekerjaannya lantas mendongak. Dia tersenyum ramah.

"Kok kamu di sini sih?"

"Ngantar Roy. Biasa, katanya ada hal penting yang mau dibicarakan sama Papa."

"Oooh." Wanita berparas cantik itu manggut-manggut.

"Ta, temenin aku makan di kantin yuk! Dari pagi belum makan nih."

"Boleh. Ayo!"

Meskipun ini belum jam makan siang, tetapi Ganta sedang tidak sibuk. Dia bisa menemani menantu pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu.

Sampai di kantin, Ganta memesan gado-gado dua dan es teh manis dua. Mereka menempati salah satu meja bulat yang kosong di tengah kantin. Tempatnya bersih dan tertata rapi.

"La, kamu bahagia, kan?" tanya Ganta menatap wajah Carla yang sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Iya. Aku happy. Kenapa?" Carla masih berusaha menutupi.

Ganta menghargai itu. Dia tidak akan memaksa Carla bercerita saat ini, jika nanti dia butuh teman untuk bercerita, Ganta selalu siap mendengarkan.

Melihat kehidupan Carla sekarang yang glamor setelah dinikahi anak pemilik perusahaan, kadang memunculkan perasaan iri di hati Ganta. Andai saja dia dulu mengatakan kepada Alfa bahwa dia hamil, mungkin nasibnya akan lebih baik dari Carla.

Segera Ganta menghapus pikiran itu. Carla adalah teman baiknya, hanya saja dia beruntung dinikahi Roy. Biarpun sekarang Carla menantu pemilik perusahaan, dia tidak sombong. Carla masih mau berteman dengannya.

"Eh, Ta, bagaimana kabar Galang? Satu minggu ini aku enggak pernah ketemu dengannya."

"Aduh, La, orang itu lagi sibuk. Kafenya rame. Sama ... biasa, pengusaha ...," ujar Ganta memberi kode lain kepada Carla dengan menaik-turunkan kedua alisnya.

Setelah paham maksudnya, Carla tertawa sambil menutup mulut.

"Dasar! Masih aja kekeh mau yang itu?"

"Iya, La. Aku juga heran, apa menariknya cewek itu? Sampai bikin Galang bucin setengah mati." Ganta menepuk jidat dan menggeleng.

Delapan tahun lalu, Ganta menemukan Galang mabok berat di taman kota. Sejak itu, mereka dekat, sudah seperti saudara. Jika Ganta butuh pertolongan, Galang siaga, setiap waktu membantu Ganta. Sebaliknya, merasa Galang sudah banyak membantu selama ini, Ganta pun selalu berusaha membantu sebisanya jika Galang butuh.

"Eh, Ta, Ratna mana?" tanya Carla sesaat setelah makanan dan minuman mereka datang.

"Lagi tugas di lapangan."

"Aku kangen deh kita kayak dulu lagi. Bisa bebas main bareng, kalau jenuh pergi ke karaoke."

"Kamu kayak enggak bersyukur banget sih, La, udah jadi menantu orang kaya juga! Kamu tuh yang enak sekarang. Tanpa kerja lembur kayak kita dulu, uang mengalir kayak sungai," ujar Ganta diiringi senyuman lebar.

"Aamiin. Kelihatannya aja enak. Tapi bosan. Bingung, kerja enggak boleh, cuma suruh ngurus anak, kalau suami pulang harus ada di rumah." Wajah Carla berubah sedih.

"Sawang sinawang, La. Kamu melihatku enak dengan hidup begini, aku melihatmu enak dengan gaya hidupmu sekarang. Tapi kita enggak tahu masalah yang terjadi di dalamnya. Sabar, nanti pasti ada waktunya sendiri buat kita kumpul kayak dulu lagi." Ganta mengelus lengan Carla.

Mereka kenal saat pertama Ganta masuk di perusahaan itu. Ganta dan Ratna adalah saksi perjalanan cinta Carla dan Roy. Dulu sebelum menikah, sempat hubungan mereka ditentang keluarga karena Carla dari keluarga sederhana. Orang tua Roy mengira, Carla mau dengan putranya karena Roy kaya.

"Aku ingat perjuangan kalian dulu yang membuktikan kepada keluarga Roy," ujar Ganta mengenang kembali usaha Carla dan Roy mencari restu.

"Iya. Aku juga ingat. Roy benar-benar gantle saat itu. Dia membelaku dan rela melepaskan kemewahan demi membuktikan ke orang tuanya, kalau aku tulus mencintainya bukan karena harta." Carla tersenyum kecut mengingat masa itu.

Itu perjuangan yang berat bagi Carla. Tidak mudah membuktikan kepada orang yang sejak awal tak percaya kepadanya. Namun, Carla dapat melewati. Dia tetap mendampingi dan setia kepada Roy meski dulu mereka berusaha bersama, kesulitan membangun bisnis sendiri. Dengan tekad dan usaha, nyatanya mereka bisa membangun itu. Akhirnya orang tua Roy percaya jika Carla benar tulus mencintai Roy.

***

"Akhirnya bisa pulang," ujar Ganta bernapas lega sambil berjalan keluar dari kantor.

Ada seseorang yang membuatnya selalu ingin cepat pulang, yaitu Auriel. Gadis cantik yang sekarang berusia tujuh tahun.

Klakson mobil Brio merah mengejutkan dan berhenti di depan Ganta. Kepala pria bertopi hitam menyembul ke jendela.

"Hai, Nona. Butuh tumpangan?" godanya yang sudah biasa bagi Ganta.

Tanpa menjawab, Ganta pun naik ke mobil itu. Setelah duduk di kursi samping pengemudi, mobil meninggalkan area perkantoran.

"Tadi Carla nanyain kamu tuh!" ujar Ganta di tengah perjalanan.

"Tanya apa?"

"Kamu katanya udah semingguan enggak ketemu dia. Aku jawab aja kamu sibuk ngurusi kafe sama ngebucin."

"Enak aja! Aku enggak ngebucin, cuma lagi berusaha."

"Sama aja!"

Galang tertawa lepas. Jika tidak sibuk, dia sering antar jemput Ganta kerja. Entah mengapa Galang ingin selalu menjaga Ganta apalagi Auriel. Dia selama ini menjadi sosok laki-laki yang melindungi mereka. Galang prihatin dengan hidup Ganta.

Selama ini, orang-orang yang dekat dengan Ganta, hanya Galang yang tahu rahasianya, dia hamil tanpa suami. Tapi Ganta tak pernah menyebut nama ayah Auriel. Galang hanya tahu Ganta hamil dengan pengusaha kaya dan terkenal. Selebihnya Galang menghargai privasi Ganta.

"Kita mampir beli makan buat Auriel dulu, ya? Dia tadi katanya pengin makan friend chicken," pinta Ganta ketika melihat restoran cepat saji berlambang pria tua berjenggot.

"Oke, Nona Manis," sahut Galang dengan senang hati.

Bertemu saat sama-sama terpuruk, mereka saling menguatkan dan bangkit. Hingga kini Galang membuka usaha kafe dan sudah punya banyak cabang di seluruh Indonesia. Sedangkan Ganta memilih setia dan loyalitas kepada perusahaan yang menurutnya sudah baik padanya.

***

Hingga delapan tahun berlalu, Alfa belum bisa melupakan wanita yang sudah menolongnya dari kecelakaan itu. Sampai sekarang dia masih mencarinya.

"Selamat pagi, Mas Alfa," sapa Rafael datang ke ruang kerja direktur utama PT Group Pamungkas itu.

Alfa menghentikan pekerjaannya, dia menengadahkan wajah menatap Rafael yang berdiri di depan meja kerjanya.

"Ada apa?" tanya Alfa dengan sikapnya yang kalem dan tenang.

"Ada kabar kurang enak, Mas."

"Apa itu?"

Rafael pun menjelaskan sambil menunjukan data-data sebagai bukti akurat. Salah satu patner perusahaan PT Group Pamungkas di ujung tanduk. Mereka membutuhan Alfa, apalagi direktur di kantor itu ketahuan korupsi. Alfa merasa perlu ada penanganan khusus terhadap perusahaan itu.

"Tolong sambungkan saya ke Pak Guntur," pinta Alfa setelah mempelajari kasusnya.

Menggunakan telepon yang ada di meja Alfa, segera Rafael menghubungi pemilik PT Putra Jaya, perusahaan yang sudah melakukan marger dengan PT Group Pamungkas.

"Selamat siang, Pak Guntur. Saya Rafael, asisten pribadi Pak Alfa," ucap Rafael sangat sopan.

Alfa masih sibuk membaca dokumen kerja sama yang tadi pagi diantar sekretarisnya. Sebelum menandatangani dokumen apa pun, Alfa selalu teliti membaca isinya.

"Mas Alfa, silakan. Pak Guntur bersedia berbicara dengan Anda," kata Rafael memberikan telepon itu kepada Alfa.

"Oke, makasih, Rafael," ucap Alfa sebelum mulai bicara dengan Guntur.

Rafael menunggu Alfa selesai menelepon. Dia berdiri di depan meja kerja bosnya. Selesai menelepon, Alfa menarik napas dalam.

"Ada apa, Mas?" tanya Rafael tak bisa jika melihat bosnya kesulitan ataupun kesusahan. Dia siap membantu kapan pun dibutuhkan.

"Sepertinya kita akan turun tangan ke sana."

Rafael langsung paham. Dia menunggu perintah selanjutnya dari Alfa.

"El, tolong kamu siapkan tiket ke Surabaya. Besok kita berangkat."

"Baik, Mas."

Saat itu juga Rafael keluar dari ruangan Alfa, lalu memesan dua tiket pesawat melalui online.

Selepas kepergian Rafael, ingatan Alfa terganggu. Setiap pikiran itu hadir, Alfa tak mampu melakukan pekerjaan apa pun, konsentrasinya buyar.

"Angel, di mana sebenarnya kamu? Aku sangat merindukanmu. Aku selalu berdoa agar kita dipertemukan. Sampai delapan tahun aku mencarimu, kenapa Allah tidak kunjung mempertemukan kita. Apa kamu bahagia? Ataukah kamu sudah menikah?" Alfa mengusap wajahnya kasar.

Jika berpikir sejauh itu, dia tak sanggup. Alfa tak bisa membayangkan jika wanita yang bertahun-tahun dia nanti dan cari menikah dengan orang lain. Alfa sudah berusaha meminta bantuan intelijen, sayangnya tak pernah ada hasil. Dia tak pantang menyerah untuk menemukan pujaan hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top