Auriel (Aurora-Alfariel)

Auriel Sukma Arum, gadis cantik berusia tujuh tahun yang sudah duduk di bangku sekolah dasar. Dia terbiasa di rumah bersama Yuli dan Pras saat Ganta kerja.

"Oma, jam berapa Mama pulang?" tanya Auriel tak sabar menanti Ganta.

"Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sudah di jalan."

"Oke." Auriel mengangguk polos.

Parasnya cantik, imut, rambut panjang sepunggung, dan menggemaskan. Setelah salat Magrib, Yuli dan Pras selalu menemani Auriel belajar. Seperti saat ini, dia duduk di lantai, sedang mengerjakan PR matematika sembari menunggu Ganta pulang kerja.

Suara mobil berhenti di depan rumah. Auriel sudah sangat menghafal pemilik mobil itu. Dia berhenti berhitung lalu meletakkan pensilnya dan berlari membukakan pintu.

"Mamaaaaaa!" pekik Auriel girang sambil merentangkan kedua tangan.

"Halo, anak cantik." Ganta langsung menyambutnya dengan pelukan hangat. "Nungguin lama, ya?" tanya Ganta lalu mencium kedua sisi pipinya.

"Iya. Mama kok lama sih?"

"Maaf, Sayang. Tadi Mama mampir dulu beliin pesanan kamu. Ini." Ganta mengangkat plastik putih bergambar orang tua berjenggot, memakai kacamata, dengan ciri khas dasi kupu-kupu.

"Asyiiiiiik." Auriel gembira sampai berjingkrak.

"Ini yang beliin Om Ganteng loh tadi," sela Galang, paling bisa mengambil hati Auriel.

"Makasih, Om Ganteng." Auriel langsung memeluk paha Galang karena tinggi Auriel sebatas perut Galang.

"Sama-sama, Cimut." Galang mengacak rambutnya pelan.

Cimut adalah panggilan sayang Galang kepada Auriel. Gabungan kata kecil dan imut. Sejak bayi, pria yang dekat dengan Auriel hanya Pras dan Galang. Ganta tak pernah memiliki teman pria sedekat Galang. Bisa dikatakan Galang merupakan sosok pengganti ayah bagi Auriel. Meskipun dia slengekan di luar, kadang juga suka mabok-mabokan, tetapi saat dengan Auriel, Galang menunjukan sikap dewasa dan kebapakan.

"Ayo masuk!" ajak Ganta.

Auriel lantas melepaskan pelukannya pada Galang. Mereka masuk dan disambut hangat oleh Pras dan Yuli. Sudah biasa Galang datang ke rumah itu. Malah saking biasanya, Galang diperlakukan oleh Pras dan Yuli seperti anaknya sendiri.

"Ibu sama Bapak sudah makan belum?" tanya Galang ketika mereka duduk di kursi ruang tamu.

"Sudah. Kamu makan sana. Ibumu masak sayur bayam enak banget. Sama goreng ikan pindang. Nyambel terasi, wah, Bapak sampai habis dua piring," kata Pras seraya mengelus perut buncitnya.

"Halah! Bapak itu berlebihan. Sayur bayam rasanya juga gitu-gitu aja kok, ceritanya biasa aja," sanggah Yuli ditimpali kikihan Galang.

"Loh, Ibu itu gimana to. Kalau kita cerita begitu, biar yang denger cerita kita tergiur dan pengin makan. Ibu seneng to kalau masakannya habis?"

"Iya seneng dong, Pak. Ibu cape-cape masak kok enggak dihabisin."

"Laiya, makanya Bapak nawarin Galang, biar makan."

Begitulah Pras dan Yuli. Jarang terlihat mesra, tetapi dengan perdebatan kecil itu menunjukan jika mereka saling mencintai. Galang dan Ganta sudah biasa menghadapi mereka yang begitu.

"Iya dah, Galang makan. Mau coba sayur bayam yang kata Bapak enak banget itu," kata Galang sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Sayurnya dihabisin, Lang, kalau buat besok sudah enggak bisa," pekik Yuli ketika Galang berjalan ke dapur karena meja makan ada di sana.

"Siap, Bu!" sahut Galang.

Di sana ada Ganta dan Auriel yang sedang makan juga. Galang menarik kursi dekat dengan Auriel.

"Tolong piring dong, Ta," pinta Galang menunjuk piring kosong yang dekat dengan Ganta.

Setelah diambilkan Ganta, langsung Galang mengambil nasi, sayur, dan lauk. Mereka terlihat seperi keluarga kecil.

"Om Ganteng, besok di sekolah ada acara bercocok tanam bersama ayah dan ibu. Apa Om Ganteng bisa datang sama Mama?" tanya Auriel polos menatap Galang penuh harapan.

"Bisa dong, Cimut. Om Ganteng selalu bisa apa pun yang Cimut minta. Mau dibeliin pesawat, tenang, Om Ganteng bisa. Tapi nabung dulu."

"Aku enggak mau pesawat, Om Ganteng."

"Terus maunya apa?"

"Rumah yang kayak di Barbie, ada tingkatnya," kata Auriel dengan keluguannya khas anak kecil seusia dia.

"Boleh. Tapi kita harus ada kesepakatan. Gimana?"

"Apa itu?"

"Sebelum beli, Om Ganteng mau nabung dulu, ngumpulin uang yang banyak biar bisa beliin Auriel rumah kayak di Barbie. Tugas Auriel satu, be-la-jar yang rajin. Oke?" Galang mengulurkan jempolnya ke depan Auriel.

"Siap, Om Ganteng. Oke!" Auriel menempelkan jempolnya pada jempol Galang. Tanda kesempatan mereka.

"Anak pintar." Galang mengusap kepala Auriel. "Lanjutin makannya, Nak," kata Galang lalu dia juga menyantap makanannya.

Ganta hanya tersenyum mendengar obrolan Auriel dan Galang. Mereka seperti sudah satu frekuensi. Meskipun Auriel tak tahu ayah kandungnya, tetapi dia tidak pernah merasa kehilangan kasih sayang seorang ayah. Itu sudah dia dapatkan dari Galang.

"Ayam gorengnya enak?" tanya Ganta setelah Auriel menghabiskan satu ayam goreng krispi dengan sedikit nasi sesuai porsinya.

"Enak, Ma. Makasih, ya, Ma, udah dibeliin," ucap Auriel lalu mencium pipi Ganta.

"Sama-sama, Sayang. Sudah selesai makan, kan? Taruh piringnya di belakang dan cuci tangan."

"Siap, Mama."

Tanpa membantah, Auriel mengerjakan yang Ganta suruh. Dia anak yang penurut.

"Emang kamu besok enggak ada kerjaan, Lang? Kamu jangan ngasih anakku harapan palsu. Kalau sibuk, enggak usah datang besok. Sudah cukup aku aja yang nemenin dia."

"Tenang aja, aku enggak sibuk kok. Bisa diatur," ujar Galang dengan senyum meyakinkan. "Alhamdulillah, kenyang." Galang meletakkan sendoknya lalu menarik tisu dan mengelap bibir.

"Ya sudah kalau gitu." Ganta berdiri mengambil piring Galang yang sudah kosong, ditumpuk dengan piringnya lalu membawa ke tempat cuci piring.

"Ma, aku mau selesain PR dulu, ya?"

"Iya, Sayang. Nanti Mama susul."

"Oke, Ma."

Ganta tersenyum lebar, lelahnya seharian bekerja terbasuh setiap melihat Auriel. Putrinya itu adalah obat segala lara.

"Ta, aku pulang, ya? Mama minta dibeliin mi goreng nih," kata Galang setelah mengecek ponselnya.

"Iya. Hati-hati. Salam buat Tante Arista," sahut Ganta sambil mencuci piring.

"Sip! Entar aku sampein."

Galang ke depan, berpamitan kepada Yuli, Pras, dan Auriel. Lalu pulang. Selesai cuci piring, Ganta menemani Auriel belajar. Tak ada lelah bagi Ganta, pulang kerja dia tetap melakukan tugasnya sebagai ibu. Apalagi dia sadar, waktunya bersama Auriel terbatas karena kesibukannya bekerja.

***

Napas Ganta tersengal-sengal. Sampai di meja kerjanya, dia mendapati wanita seksi dengan pakaian ketat dan rok span di atas lutut menunggunya sambil bersedekap.

"Jam berapa ini?" tegurnya ketus dengan wajah tak bersahabat.

Sebenarnya Ganta malas setiap berhadapan dengan wanita itu. Sebagai asisten direktur saja gayanya sok berkuasa, seperti dia pemilik perusahaan. Carla yang menantu pemilik perusahaan saja tak seperti dia.

"Sudah sana, kembali ke tempat kerjamu. Kerjakan saja sesuai tugasmu." Ganta tak pernah takut dengannya.

Bukan berarti Ganta tak sopan, tetapi wanita itu memang pantas diperlakukan demikian. Jika Ganta takut, dia bisa ditindas dan orang itu seenaknya sendiri.

"Kamu berani denganku?"

"Beranilah! Emang kamu siapa? Pemilik perusahaan? Direksi? Ingat, kamu itu cuma asisten direktur yang beruntung dipilih karena ..."

"Dasar cewek enggak ada sopan santunnya kamu, ya, Ta. Aku ini atasan kamu. Bantah terus kalau ditegur." Terlihat wajahnya yang kesal dan was-was ketika Ganta akan membuka aibnya di depan umum.

Padahal sudah menjadi rahasia umum jika Anita menjadi asisten direktur karena menjadi simpanan. Sekarang jabatan itu terancam diturunkan, sebab direktur yang menjadi selingkuhannya dipenjara lantaran korupsi.

Rumor yang beredar, Ganta merupakan kandidat kuat yang akan menggantikannya. Sebab itu Anita berusaha keras menyingkirkan Ganta supaya dia tak turun jabatan. Dia selalu mencari kesalahan Ganta.

"Udah deh, Nit, kamu kembali saja bekerja. Aku tadi sudah izin sama HRD kalau hari ini masuk setengah hari." Ganta bersikap cuek lalu duduk di kursinya.

Tim pemasaran bekerja satu ruangan.   Ganta sebagai manajer pemasaran, mengatur divisi pemasaran. Semua orang melihat perdebatan itu. Ruang kerja karyawan di tempat itu bertipekan open-office atau kantor terbuka di mana setiap meja kerja hanya dibatasi sekat papan tebal. Wanita berkacamata yang duduk di sebelah kanan Ganta terganggu lalu menghampiri mereka.

"Kenapa sih kalian ribut terus?" tegur Ratna, teman baik Ganta, dia juga sebenarnya tak suka kepada sikap Anita yang sok berkuasa.

Sudah tidak punya prestasi dalam bekerja, baru saja masuk kerja langsung direkrut menjadi asisten direktur. Berbeda jauh dengan Ganta yang terbukti loyalitas, berprestasi, cerdas, pintar, sering memenangkan tender besar hingga membuat perusahaan untung.

Hanya satu kali dia membuat perusahaan rugi besar. Itupun tanpa disengaja oleh Ganta. Mereka kalah tender milyaran disebabkan Ganta memukul direktur yang akan bekerja sama dengan perusahaan. Ganta punya alasan yang jelas dan masuk akan melakukan hal itu.

"Kamu enggak usah ikut campur deh! Kerjakan saja pekerjaanmu," tukas Anita galak kepada Ratna.

"Gitu aja sewot," gumam Ratna lalu mencebik ke arah Anita yang tak menatapnya. Dia kembali duduk di kursinya.

Ganta langsung menyalakan komputer di mejanya. Dia tak menggubris Anita. Banyak hal yang Ganta harus kerjakan ketimbang mengurusi Anita.

"Heh, harusnya kamu itu punya malu, Ta. Sudah bikin perusahaan rugi milyaran, enggak ada rasa bersalahnya kamu! Cuma suruh layani klien aja sok jual mahal kamu itu!" sergah Anita selalu mencari gara-gara kepada Ganta.

"Kalau enggak tahu ceritanya mending diem deh kamu, Nit," sela Ratna membela Ganta.

"Kamu tuh yang diem! Mentang-mentang dia temenmu, terus aja dibela! Sekali salah, tetep aja salah!" ujar Anita tak mau mengalah.

Kepala Ganta pusing mendengar ocehan tak berguna Anita.

"Nit, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku mau kerja," ujar Ganta menahan diri agar tidak marah.

"Halah!" Anita tersenyum miring, mengejek Ganta. "Kerja apaan kamu? Kerjaanmu tuh enggak ada yang bener. Enggak becus!"

Kali ini Ganta benar-benar tak terima dengan hinaan Anita. Dia menatapnya tajam. "Apa kamu bilang!" Ganta berdiri dan melotot kepada Anita. "Lama-lama mulut kamu tak krues, Nit. Ngomong seenaknya sendiri. Makanya, lihat data! Kalau enggak tahu mending diem deh kamu! Punya otak jangan cuma dipakai buat mikir caranya dapat duit banyak dan nyenengin bos. Dikasih otak buat mikir yang bener!"

Emosi Ganta tersulut, begitupun tim kerja Ganta yang selama ini mati-matian bekerja keras memasarkan produk perusahaan. Hanya saja mereka tak ada yang berani kepada Anita.

"Heh! Kalau ngomong dijaga, ya!" sentak Anita meninggikan suaranya.

"Aku bicara sesuai fakta. Apa yang sudah kamu berikan ke perusahaan ini? Hah! Ada prestasi kamu yang membanggakan di perusahaan ini?"

Keributan itu semakin panas, Ganta dan Anita saling bersahutan dengan suara tinggi. Orang-orang di sana hanya melihat tak berani melerai. Ratna sebagai teman baik Ganta membela temannya.

"Udahlah! Aku tahu tujuanmu begini, Nit! Kamu enggak suka, kan, lihat aku di sini? Oke, aku akan keluar dari perusahaan ini. Besok aku antar surat pengunduran diri! Puas kamu!" Ganta sudah tak tahan dengan serangan-serangan mulut pedas Anita.

Semua anak buahnya terkejut mendengar keputusan Ganta. Dia menyambar tasnya lalu pergi. Ratna menyusulnya. Napas Ganta tersengal-sengal, dadanya naik turun. Dia sangat dongkol kepada Anita. Toh dia punya ijazah S1, pengalaman kerja sebagai manager pemasaran bertahun-tahun, berprestasi di perusahaan, pasti masih ada perusahaan di luar sana yang mau menerimanya, pikir Ganta saat pikirannya dipenuhi emosi. Apakah semudah itu mendapat pekerjaan?

Satu hal yang sejujurnya Ganta berat meninggalkan perusahaan itu. Pemilik perusahaan sudah berbaik hati kepadanya. Ganta pernah dibelikan mobil sebagai apresiasi karyawan teladan dan berdedikasi tinggi, hanya saja Ganta menukarnya dengan uang sebagai tabungan masa depan Auriel nanti. Bahkan Carla juga tak terhitung kebaikannya kepada Ganta.

"Ta! Tunggu!" Ratna mengejar Ganta sampai di pelataran kantor, Ratna menahan tangannya.

"Udah, Rat, kamu kembali masuk sana! Kena semprot Mak Lampir kamu nanti."

"Kalau kamu keluar, aku juga akan keluar, Ta."

"Enggak usah begitu, Rat. Kamu di situ masih diperlukan. Siapa kepala lapangan yang mau kerja kayak kamu? Rela survei langsung ke jalanan, gigih mencapai target. Ayo dong, bantuin Pak Guntur," ujar Ganta sebenarnya dalam hati terdalam juga tak ingin meninggalkan perusahaan yang sudah banyak memberinya ilmu bisnis serta pengalaman.

Ratna menghela napas, dia menatap Ganta sedih. Namun, Ganta justru memberikan senyum terbaiknya.

"Udah, sana masuk! Panas nih!" Ganta mendorong Ratna agar kembali ke kantor.

"Ta, terus kamu mau kerja di mana? Kamu enggak bisa memutuskan keluar begitu aja. Pikirin Auriel. Dia membutuhkan biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari kalian."

Selama ini Ganta merupakan tulang punggung keluarga. Sebab itu dia berbeda dengan teman-teman lainnya. Hasil kerja dia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan keperluan anak. Ganta harus bertanggung jawab dengan ucapannya dulu. Dia meminta Yuli dan Pras membantunya fokus menjaga Auriel dan sebagai gantinya, dia yang mencukupi kebutuhan keluarga.

"Iya, aku tahu itu kok, Rat. Insyaallah pasti aku cepat dapat pekerjaan lain."

"Kalau nanti kamu kerja di tempat lain, kita masih bisa ketemu, kan?"

"Iyalah! Kamu ini aneh-aneh aja. Kita tinggal di satu kota. Aku enggak ke mana-mana kok, Rat. Kita masih bisa ketemu kapan pun yang kamu mau. Oke?"

Ratna lalu tersenyum tipis. "Ya dah, kamu hati-hati di jalan. Aku akan bikin Mak Lampir itu repot. Lihat aja!"

Ganta terkekeh. "Jangan bikin dia pusing, Rat."

"Emang dia punya otak? Aku rasa dia enggak akan pusing, Ta."

Mereka tertawa bersama.

"Udah, masuk sana!"

"Iya, iya." Ratna pun kembali ke kantor.

Sedangkan Ganta berjalan pulang. Dia memikirkan ucapan Ratna. Kenyataannya mencari pekerjaan sangatlah susah. Padahal dia juga harus mencukupi kebutuhan Auriel. Ganta menghela napas panjang.

"Ayo, Ta, kamu pasti bisa. Semangat!" ucap Ganta menyemangati dirinya sendiri.

***

Di apartemen yang cukup luas, Alfa duduk sambil mempelajari semua tentang PT Putra Jaya. Dia tiba di Surabaya pagi tadi. Mungkin besok pagi dia akan ke kantor Putra Jaya. Rafael datang menghampiri Alfa.

"Mas Alfa, maaf mengganggu."

"Iya, ada apa, El?" Alfa menatap Rafael yang berdiri sedikit membungkuk tanda hormatnya.

"Tadi Pak Surya memberi informasi terbaru tentang Mbak Angel."

Seketika Alfa menegakkan tubuhnya dan wajahnya sedikit berseri. Ada senyum tipis yang menghiasi. Sudah lama Rafael tak melihat senyum Alfa.

"Bagaimana? Apa kata Pak Surya?" tanya Alfa terdengar tak sabar.

"Mas Alfa masih ingat, kan, tukang ojek itu? Pak Suryo."

"Iya, tentu aku masih ingat. Udah ketemu dia?"

"Iya, Mas. Tim detektif Pak Surya sudah menemukan Pak Suryo. Dari keterangan Pak Suryo, beliau mengatakan kalau dia sering menyapanya dengan Neng Ganta. Tapi Pak Suryo tidak tahu nama kepanjangannya. Dia yatim piatu," papar Rafael.

"Iya, saya tahu kalau soal dia tidak punya orang tua lagi. Terus apa lagi yang dia katakan?"

"Setahu Pak Suryo, dia berasal dari Surabaya."

Alfa sangat terkejut mengetahui itu. Dia melebarkan mata menatap Rafael dengan senyum tipis. Ada harapan berbinar di matanya.

"El, dia di kota ini," ucap Alfa bahagia.

"Iya, Mas Alfa. Kita semakin dekat dengannya." Rafael juga ikut senang melihat Alfa tersenyum penuh harapan.

Bertahun-tahun Rafael kehilangan senyum Alfa. Dia merindukan bibir itu tersungging senyuman lebar.

"El, perintahkan Pak Surya untuk menggali banyak informasi dari Pak Suryo. Nanti kalau saya sudah tidak sibuk, kita temui dia."

"Siap, Mas Alfa!"

Hati yang lama membeku, sedikit menghangat. Alfa memiliki harapan lagi untuk menemukan Angel-nya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top