Alfa Murka

Setelah mendapat penjelasan dari Rafael, paginya Doni terbang ke Surabaya menggunakan jet pribadi. Tak habis pikir dengan kelakuan adik yang selama ini dia sayang. Doni sangat menyesalkan tindakan adiknya. Dia juga tak kalah bahagia, Alfa menemukan wanita yang bertahun-tahun dicarinya. Bonus cucu yang selama ini tak pernah dia ketahui. Di tengah kebahagiaan Doni juga sedih, cucunya menjadi sandra Rehan.

Alfa langsung mengerahkan seluruh tim keamanannya, pun dengan tim Surya, intelijen kepercayaan Alfa. Alfa meminta semua bekerja sama untuk menyelamatkan anaknya. Di ruang Nico, kepala polrestabes Surabaya, mereka; Alfa, Doni, Rafael, Sugeng, Galang, Pras, Surya berkumpul termasuk Arista sebagai saksi utama. Sedangkan Yuyun, Yuli, Carla, dan Ganta menunggu di rumah.

"Pak Surya, tolong perhatikan terus anak buah Om Rehan. Jangan sampai mereka ke luar kota," kata Alfa terlihat lesu. Penampilannya lusuh karena sejak semalam tidak tidur bahkan dia belum mandi dan mengganti bajunya.

"Siap!" sahut Surya tegas.

Semalam setelah mengetahui Auriel putrinya, tak pikir panjang Alfa langsung menelepon kepala keamanan yang bekerja dengan keluarganya dan menghubungi Surya agar menemui dia di Surabaya. Saat itu juga Alfa pergi ke polrestabes bersama Rafael.

"Oh, iya, Pak Nico, minta tolong lebih perketat penjagaan di rumah Ganta. Saya tidak mau terjadi sesuatu sama dia."

"Baik, Pak Alfa. Kami akan menambah pasukan untuk berjaga di sana," jawab Nico langsung turun tangan menangani kasus ini, mengetahui bahwa yang menjadi sandra merupakan putri pengusaha nomor satu di negara tercinta kita.

"Rafael, tolong panggil dokter buat ngawasi kesehatan Ganta."

Alfa begitu khawatirkan mental Ganta. Dia tak berhenti menangis dan terus memanggil Auriel.

"Siap, Mas Alfa!" sahut Rafael langsung menghubungi dokter kepercayaan keluarga Pamungkas.

"Pak Alfa, sepertinya yang Anda lakukan ini berlebihan. Anda tidak perlu repot-repot sampai begini." Tiba-tiba Galang yang sedari tadi diam menunduk berucap, menatap Alfa seperti orang patah semangat.

Semua yang berada di ruangan itu menoleh pada Galang. Alfa mendengkus kesal, dia menatap Galang tajam.

"Maksud kamu apa?" tanya Alfa mendekati Galang yang duduk dekat Arista.

"Ini kan masalah pribadi saya, antara anak dan papanya. Dia hanya minta saya datang ke Hotel Santika, beres!" ucap Galang sesederhana itu pikirannya.

Alfa tersenyum tipis, lalu dia menyondongkan badannya ke depan Galang, kedua tangan bertumpu pada meja.

"Kamu pikir mudah? Kamu datang ke sana, terus minta Auriel dilepasin, papa kamu lepasin, masalah selesai? Iya!" bentak Alfa murka menatap Galang penuh emosi.

Amarah Galang pun terpancing. "Ini masalahku! Kenapa kamu ikut campur!" Galang berdiri sambil menggebrak meja.

"Auriel anakku! Aku berhak ikut campur masalah ini!" Alfa tak mau kalah, kepalanya terasa seperti ingin pecah mencari cara menyelamatkan Auriel, ditambah Galang yang berpikir dangkal. Wajar jika Alfa emosi, kan?

"Tapi Auriel diculik gara-gara aku! Mereka berpikir Auriel anakku! Papa salah paham! Aku harus menjelaskan padanya!"

"Terus, kalau kamu sudah menjelaskan, apa dia akan percaya gitu aja sama kamu? Hah! Mikir panjang, Galang! Papamu itu pembunuh berdarah dingin!"

"Papa enggak mungkin tega nyakitin aku! Karena aku anaknya!"

"Yakin? Aku yang keponakannya saja, dia tega mau menyingkirkanku! Kamu anak kandungnya, Tante Arista istri sah walaupun yang kedua, tega dia singkirkan. Masih beruntung kamu dilepaskan begitu saja!"

"Alfa, sebentar!" sela Doni beranjak dari tempat duduknya. Dia mengerutkan dahi menatap Alfa. "Apa maksud kamu tadi? Apa Rehan juga berusaha menyingkirkan kamu?" Doni menatap Alfa, menuntut penjelasan.

Alfa mengusap keningnya. Harusnya dia tak mengatakan itu saat ini karena bukti keterlibatan Rehan belum ada di tangannya.

"Alfa! Jawab pertanyaan Papa!" Amarah Doni naik, dadanya naik turun.

"Pa, aku belum bisa jawab karena bukti keterlibatan dia belum aku temukan. Tapi, Rafael melihat jelas, dia di sana. Ceritanya panjang, Pa," jawab Alfa terpaksa mengatakannya pada Doni.

"Alfaaaaaa, kenapa kamu sembunyikan dari Papa? Astagaaa, Papa membiarkan penjahat hidup berdampingan sama kita," ujar Doni menyesal baru mengetahui hal itu.

"Maaf, Pa. Aku takut Papa enggak akan percaya sama ucapanku. Papa terlihat sangat menyayangi Om Rehan, aku takut Papa kecewa."

"Sekarang Papa sudah kecewa dengannya. Apa yang salah sama didikan dia sampai tega berbuat seperti itu?" Doni menangis menyesal.

Khawatir terjadi sesuatu dengan Doni, segera Sugeng kembali mendudukkannya dan mengusap punggung Doni supaya lebih tenang.

Galang melongo, melihat Doni menangis. Ada fakta yang dia dapatkan, perbedaan antara Rehan dan Doni. Ternyata pemikirannya selama ini terhadap keluarga Pamungkas salah. Tak semua keturunan Pamungkas memiliki sifat seperti papanya yang temperamental, egois, ambisius, dan segala cara dilakukan untuk mencapai keinginannya.

Ponsel Alfa berdering tanda panggilan masuk. Segera dia melihat ke layar datar itu. Nomor rumah tanpa nama. Lalu Alfa mengangkatnya, belum dia membuka mulut, suara perempuan di seberang sana lebih dulu bicara.

"Alfa, dengerin Tante. Bi Murni sekarang menuju Surabaya. Dia membawa barang penting untuk kamu." Suara Ani terdengar buru-buru dan napas memburu.

"Tante kenapa? Ada apa, Tante? Kenapa terdengar panik begitu? Sekarang Tante di mana?" tanya Alfa bertubi-tubi, mencemaskan Ani yang terdengar tergesa-gesa.

"Alfa jangan pikirkan Tante. Tolong kawal Bi Murni. Pesawat dia tolak dari Jakarta jam delapan lewat lima menit, perkiraan sampai di Surabaya pukul sembilan lewat lima belas menit."

"Tante sebenarnya ada apa?" Alfa masih tak mengerti dengan ucapan Ani.

"Alfa, tolong kali ini dengerin Tante baik-baik. Tolong jagain Putri. Maafin Tante, ya? Kamu akan tahu setelah bertemu Bi Murni. Alfa, tolong sampaikan pada istri kedua Om Rehan, Tante sudah tahu semuanya. Hati-hati sama om kamu, Alfa. Tante menyesal sekarang ...." Suara Ani bergetar lalu menangis terisak-isak. "Alfa, Tante tahu orang yang ... aaw!"

Terdengar tembakan dari seberang bersamaan jeritan Ani seperti orang kesakitan.

"Tan! Tante!" pekik Alfa membuat seluruh orang di sana panik menatapnya.

Alfa masih mendengar deru lagkah berat dari teleponnya. Setelah mendengar satu tembakan lagi, panggilan terputus. Pikiran Alfa kalut, dia membayangkan yang tidak-tidak terhadap Ani. Alfa menyugar sambil membasahi bibirnya dengan lidah.

"Ada apa sama Ani, Alfa?" tanya Doni ikut panik melihat Alfa tampak sedih.

"Aku denger ada tembakan di sana, Pa," ucap Alfa lirih.

"Astagaaa," gumam Doni mengelus dadanya.

Semuanya terkejut, pun dengan Arista. Dia merasa sangat bersalah kepada Ani. Belum sempat dia menemui madunya dan meminta maaf. Arista memecahkan tangisannya.

"Tante Arista, tadi Tante Ani berpesan, dia sudah tahu semuanya," kata Alfa semakin membuat dada Arista sesak.

Galang merengkuh bahu Arista, disandarkan kepala mamanya itu ke pundak. Galang juga mengelus tangan Arista agar tenang. Rasa bersalah merasuki hati Galang. Ternyata benar kata Alfa, papanya pembunuh berdarah dingin.

"Pak Surya, tolong kerahkan tim untuk menjaga ketat bandara. Pastikan satu penumpang bernama Sri Murni aman sampai di depan saya!"

"Baik, Pak Alfa!" Surya bergegas keluar ruangan untuk mengatur anak buahnya.

Disusul Nico yang akan membantu tim Surya memperketat bandara dan rumah Ganta.

"Pa, mending sekarang Papa istirahat dulu, ya? Sejak tadi pagi sampai sini, Papa belum istirahat loh," ujar Alfa tak tega melihat wajah sedih papanya. "Pak Sugeng, tolong antar Papa ke apartemen, ya? Di sana ada Putri yang sedang dijaga ketat. Insyaallah aman," kata Alfa meyakinkan.

"Alfa, boleh Papa bertemu Angel?" ujar Doni yang sudah sangat penasaran dengan gadis yang berhasil memikat hati putranya.

"Boleh, Pa," kata Alfa mengangguk. "Rafael, tolong sampaikan kepada Pak Nico utuk menyiapkan kawalan buat Papa ke rumah Ganta."

"Siap, Mas!" Rafael pun keluar dari ruangan untuk menemui Nico yang sedang membentuk tim bersama Surya di salah satu ruangan.

"Pak Pras ikut pulang saja, ya, bareng Papa. Tolong jagain yang di rumah," ujar Alfa kepada Pras yang terlihat sedih, tetapi dia juga tak bisa melakukan apa pun.

Pras khawatir jika cucunya disakiti. Sejak bayi, dia dan Yuli selalu menjaganya dengan baik. Tergores sedikit saja, rasa bersalahnya berhari-hari.

"Tapi, kalau ada informasi, tolong saya dikabari, ya, Pak?" ujar Pras langsung diangguki Alfa.

"Alfa, kamu hati-hati, ya?"

"Iya, Pa."

Selang beberapa menit, Rafael datang, menyampaikan bahwa pengawalan sudah siap. Sugeng berserta Doni dan Pras pergi ke rumah Ganta. Setelah semua pasukannya bubar, Sugeng dan kapolres masuk ke ruangan itu lagi. Kini saatnya merencanakan pembebasan Auriel.

"Mas Galang, di sini peran Anda sangat penting. Tolong kerja samanya dengan baik. Taruhannya nyawa Mas Galang dan Adik Auriel," jelas Nico kepada Galang setelah rencana disusun.

"Baik, Pak. Saya mengerti!" jawab Galang kali ini dia bisa menurunkan egonya, demi menyelamatkan keponakannya, dia harus bekerja sama dengan tim.

Tak mungkin dia melawan papanya sendiri tanpa bantuan orang-orang yang paham hukum. Bahkan dipastikan Galang akan kalah jumlah jika menghadapi Rehan sendiri. Untuk keselamatannya, risiko lebih besar karena Galang tidak punya senjata apa pun.

Selama perjalanan, Doni dan Pras mengobrol banyak hal. Pras menceritakan kelucuan Auriel, keadaan mereka yang sebenarnya, bahkan perjuangan Ganta memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Doni sangat merasa bersalah setelah mendengar cerita dari Pras.

"Maafkan saya, ya, Pak Pras. Rasanya saya ini seperti kakek yang tidak punya hati. Menelantarkan cucu," ujar Doni merasa dadanya sesak, penuh penyesalan.

Kenapa baru sekarang dia mengetahuinya? Dalam keadaan seperti ini pula! Rasanya benar-benar memilukan.

"Tidak apa-apa, Pak Doni. Sebenarnya saya juga baru tahu kalau ayah Auriel itu Pak Alfa. Karena sejak Ganta hamil, dia menutup rapat ayah jabang bayinya."

"Kita ambil hikmahnya dalam masalah ini, Pak. Berkat yang terjadi sekarang, kita bisa tahu rahasia besar yang bertahun-tahun dia simpan sendiri. Saya tidak menyangka, ternyata selama ini saya sudah punya cucu. Walaupun belum punya besan secara resmi," ujar Doni terkekeh, melirik Pras. Ada kode yang terselip pada ucapan Doni tersebut.

"Wah, Pak Doni bisa saja. Insyaallah, jika masalah ini sudah selesai, nanti kita bisa bicarakan dengan Ganta, ya, Pak?"

"Iya, iya, iya, Pak Pras." Doni mengangguk-angguk.

Sepanjang memasuki kawasan perumahan Ganta, banyak polisi berjaga. Mobil sedan hitam masuk ke gang dengan pengawalan yang ketat.

Dari dalam rumah, Carla mengintip di balik gorden saat ada barisan mobil berhenti di depan rumah.

"La, mungkin itu mereka," ucap Yuli tak sabar ingin mengetahui kabar terbaru tentang cucunya.

"Bukan, Bu. Itu Bapak, tapi sama siapa, ya? Soalnya turun bertiga," ujar Carla mencoba mengingat pemilik wajah tersebut. "Aku kayak enggak asing sama wajah itu," lanjut Carla bergumam.

"Siapa sih, La?" sahut Ganta yang lemas, duduk bersandar di bahu Yuli.

Wajah Ganta kacau, mata sembap, hidung merah, kantung mata besar, bahkan lingkaran hitam menandakan dia lelah dan kurang tidur tampak jelas.

Carla langsung membukakan pintu ketikan Pras dan orang itu sudah sangat dekat dengan pintu. Mereka masuk, segera Carla menutupnya kembali.

Belum juga Pras duduk, Ganta bangkit dan langsung bertanya, "Bapak, gimana?" Ganta tak sabar ingin tahu perkembangan kabar Auriel.

"Belum ada kabar lagi," jawab Pras sedih.

"Ya Allah, Bu, gimana ini?" Lagi-lagi Ganta menangis histeris, Yuli langsung memeluk dan mendudukkannya lagi di sofa.

"Tenang dulu, Ta. Sabar, sabar." Yuli mengelus kepala Ganta.

Lama-kelamaan kesadaran Ganta hilang. Dia kembali pingsan. Yuli merebahkan Ganta di kursi panjang, dokter yang ditugaskan Alfa bersiap di sana langsung melakukan tindakan. Dari hal itu Doni bisa merasakan kesedihan Ganta. Pastilah dia sangat terpukul. Doni yang baru tahu memiliki cucu saja sangat sedih.

"Bu, ini Pak Doni, ayahnya Pak Alfa," ujar Pras kepada Yuli setelah keadaan tenang.

Yuli tersenyum ramah dan mengangguk memberi hormat. Dibalas Doni dengan anggukan.

"Silakan duduk, Pak," ujar Carla memilih berdiri di sebelah Yuyun, memberikan kursinya untuk Doni.

"Iya, terima kasih." Doni lantas duduk, Sugeng tak pernah jauh darinya, dia berdiri di belakang Doni.

Pras duduk di kursi yang lain, sedangkan Yuli memangku kepala Ganta yang belum sadar.

"Bu, Ganta masih sering pingsan?" tanya Pras menatap Ganta sendu.

"Iya, Pak. Setiap menangis hiteris, terus pingsan. Ibu khawatir ...." Yuli menangis, tak kuasa membayangkan hal yang dia khawatirkan.

"Bu, jangan berpikiran sejauh itu. Bapak yakin kok, Ganta kuat. Dia cuma shock," tutur Pras lembut, menenangkan perasaan Yuli.

"Alfa dan Galang pasti berusaha dengan baik. Kita berdoa saja, ya?" sela Doni diangguki Yuli.

"Maaf, Pak Doni. Mau minum apa?" tawar Carla.

"Air putih saja. Soalnya saya mengurangi yang manis-manis."

"Oh, begitu. Baik."

Carla lalu ke belakang mengambilkan minum. Saat Carla kembali, Ganta sudah sadar. Dia duduk lemas bersandar di bahu Yuli. Hati Carla teriris melihat kesedihan Ganta. Carla meletakkan sekitar tujuh botol air mineral di meja. Tak hanya untuk Doni, tetapi siapa yang mau agar mengambilnya.

Ponsel Carla berdering tanda panggilan masuk. Setelah melihat layar datarnya, ternyata dari Alfa. Segera Carla mengangkatnya.

"Halo. Iya, Pak Alfa, bagaimana perkembangannya?" tanya Carla didengar semua yang ada di ruang tamu saat itu.

"Masih belum ada kabar lagi," jawab Alfa. "Oh, iya, Nona Carla, bisa saya bicara sama Ganta."

"Bisa, Pak." Carla lalu memberikan ponselnya kepada Ganta.

Setelah menempelkan di telinga, Ganta menangis, menyayat hati Alfa yang sedang mendengarkannya.

"Kamu tenang dulu, ya? Jangan mikir macam-macam. Aku akan lakukan terbaik buat anak kita," kata Alfa yang sebenarnya tak kuat mendengarkan isak pilu Ganta.

"Tolong jangan sampai terjadi apa-apa sama dia, ya?"

"Iya. Kamu jangan nangis terus. Doakan Auriel."

"Iya."

Beberapa detik tak ada suara, di ujung telepon Alfa hanya terdengar isak Ganta.

"Ta, my angel, dengarkan baik-baik. Aku enggak akan mengulang permintaan ini padamu. Kalau aku selamat, maukah kamu menikah denganku?"

Ganta terdiam. Di saat pikirannya kalut, sempat-sempatnya Alfa melamar.

"Kok ngomongnya gitu sih? Apa maksud kamu dengan ucapan 'kalau aku selamat'. Kamu mau perang? Hah!" omel Ganta yang takut akan kehilangan Alfa lagi.

"Tidak menutup kemungkinan terjadi sesuatu sama aku, Ta. Misalkan aku enggak selamat, kamu bebas menikah dengan orang lain. Tapi ..."

"Iya, aku mau menikah sama kamu. Asal kamu sama Auriel pulang dengan selamat. Tapi, kalau sampai terjadi sesuatu sama Auriel, sampai kapan pun aku enggak mau nikah sama kamu!"

"Loh, kok jadi ngancam sih?"

"Ini bukan ancaman! Tapi biar kamu mikir, kalau aku di sini mencemaskan kalian. Kamu tahu perasaanku sekarang, nyawanya seperti sudah di ujung ubun-ubun tahu enggak!" pekik Ganta dengan air mata yang mengalir deras.

"Iya, maaf. Aku akan berusaha."

"Kalian harus kembali. Ingat, aku di sini nungguin kalian," ujar Ganta lembut dengan suara serak dan bergetar.

"Kamu percaya sama aku, kan?"

"Iya."

"Ya sudah. Aku minta sekarang kamu makan, biar enggak sakit."

"Kamu pikir aku bisa nelen sesuatu di sini. Sedangkan orang yang aku cintai sedang bertaruh nyawa!"

Carla mengulum bibir, ternyata seperti itu kalau Ganta sedang khawatir sambil mengomel. Di seberang, Alfa tersenyum dan hatinya menghangat mendengar pengakuan tak langsung, bahwa Ganta masih mencintainya.

"Sedikit aja. Aku ubah video call, ya? Aku mau lihat kamu makan." Alfa mengalihkan telepon ke video. "Ayo, makan!"

"Enggak bisa," ujar Ganta malah menangis melihat wajah kuyu Alfa di layar datar itu.

"Nona Carla, ada makanan apa di sana?" tanya Alfa yang yakin bahwa saat ini semua sedang mendengarkan suaranya.

"Ada roti, nasi juga ada, Pak Alfa."

"Minta tolong ambilkan salah satu, saya mau lihat Ganta makan," kata Alfa langsung dituruti Carla. Dia mengambilkan roti di meja makan. "Sekarang makan," ucap Alfa ketika sudah melihat roti di tangan Ganta.

Walaupun rasanya di tenggorokan tak bisa menelan, sambil menangis Ganta menggigit roti itu.

"Sampai habis," ujar Alfa dengan sabar dan setia melihat Ganta menggigit pelan-pelan roti itu sembari menangis sesenggukan.

"Enggak bisa nelen," ucap Ganta mengunyah sambil terus menangis.

"Harus ditelan. Pelan-pelan."

Susah payah Ganta menelannya. Setelah tertelan, dia ingin muntah, dengan cepat Yuli memberikannya minum.

"Pak Alfa, silakan dipakai dulu rompi anti pelurunya," kata seseorang memberikan rompi hitam kepada Alfa.

"Terima kasih, Pak," jawab Alfa sambil menerima.

Ganta berhenti minum dan langsung menatap Alfa tak berkedip.

"Kamu mau turun tangan langsung?" tanya Ganta bersuara berat, seperti menahan tangis. Namun, Alfa hanya tersenyum. "Jangan main-main kamu! Kamu juga salah satu sasaran Om Rehan! Gimana kalau dia berusaha nyelakai kamu lagi? Dulu dia udah mau bunuh kamu! Sekarang ..."

"Ssssst, Ganta, Ganta, Ganta, dengerin aku!" sela Alfa memutus ucapan Ganta. "Auriel anakku ..."

"Anakku juga!" sahut Ganta cepat.

Semua orang di ruang tamu yang mendengar itu mengulum bibir menahan tawa. Ternyata begitu jika Alfa dan Ganta mengobrol. Sedikit konyol memang.

"Iya, anak kita," kata Alfa mengalah. "Aku harus turun tangan, memastikan dia pulang dalam keadaan baik-baik saja. Menemui kamu dengan senyuman dan memeluk kamu."

"Kalau terjadi sesuatu sama kamu gimana?"

"Yang penting kan, Auriel. Aku mah gampang, kamu bisa cari penggantiku kalau aku sampai kenapa-napa."

"Mulutmu, ya! Minta digampar sendal jepit!" sungut Ganta cepat dengan wajah kesal. "Aku minta kamu sama Auriel kembali dengan selamat."

"Tapi, namanya perang enggak menutup kemungkinan ..."

"Udah! Aku enggak mau denger alasan apa pun! Kalau Auriel kembali sendiri, percuma! Pokoknya aku mau kamu sama Auriel! Aku enggak mau pilih salah satu! Titik! Enggak ada nego-nego!" ujar Ganta galak dan tegas.

"Udah, ya? Habis ini ponsel sama semua barang-barangku akan dibawa Rafael ke situ."

"Pak Rafael enggak ikut?"

"Enggak. Kalau semua ikut, siapa nanti yang jagain kamu sama Auriel?"

"Kamulah!"

"Kalau aku kalah!"

"Enggak mungkin! Lakon itu selalu menang! Percayalah! Walaupun di ujung tanduk sekalipun!"

"Aku usahakan. Udah, jangan nangis lagi. Mending kamu berdoa. Jangan lupa makan. Oh, iya, ada papaku di situ, kan? Ngobrol sama calon mertua. Masakin yang enak. Biar direstui," kata Alfa didengar langsung oleh Doni. Dia hanya menggeleng dan tersenyum.

"Bisa-bisanya ya, kamu bercanda di situasi genting begini."

"Loh, aku serius. Papa itu sukanya tempe goreng sama sambal terasi, nasi anget. Satu selera sama kamu."

"Udah deh, enggak usah berusaha menghiburku."

"Iya, iya, maaf. Udah, ya? Sampai detik ini aku masih mencintaimu. Jangan sedih lagi."

"Hati-hati."

Setelah itu video call berakhir. Ganta menurunkan ponselnya pelan di meja. Begitupun dengan roti yang baru satu gigitannya.

Aku juga masih mencintaimu, Alfa. Maaf, aku sudah salah sangka sama kamu. Aku pikir kamu sudah melupakanku, bahkan tidak mencariku. Ternyata kamu bertahan tidak menikahi Putri dan mencariku bertahun-tahun. Maafin aku, batin Ganta sambil melamun.

"Kamu baik-baik aja, Ta?" tanya Yuli memegang bahunya.

Ganta menoleh Yuli, malah menangis sesenggukan sambil berkata, "Aku takut, Bu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top