Alfa Cemburu?

Hari ketiga Ganta menjadi asisten Alfa, pekerjaannya sudah menggunung. Dia diberikan meja khusus oleh Alfa, di depan ruang kerjanya berseberangan dengan Anita. Hanya saja meja Ganta lebih luas dan tempat duduknya nyaman.

Karena ditugaskan Alfa untuk mencari tahu mengenai kuliah Ganta dulu, Rafael pergi ke Jakarta. Giliran Ganta yang melayani bos besarnya itu.

Ketika Ganta sedang sibuk mencari data lima tahun ke belakang di komputer, telepon di meja kerjanya bunyi. Ganta terkejut lalu menerima panggilan itu.

"Ke ruangan saya!" titah Alfa tak terbantahkan.

Secara sepihak Alfa memutus teleponnya. Ganta mendengkus kesal. Dia menggerutu sambil berjalan ke arah pintu.

"Eh, mau ngapain kamu?" tegur Anita yang masih saja judes kepada Ganta.

Apalagi sekarang Ganta menjadi asisten pribadi Alfa, semakin bencilah Anita kepada Ganta.

"Bukan urusanmu! Kerjakan aja tugasmu," ujar Ganta ketus lalu mengetuk pintu. Setelah mendapat sahutan dari dalam, dia pun masuk.

Belum juga Ganta bicara apa pun, Alfa sudah beranjak dari duduknya lalu memakai jas.

"Loh, Bapak mau ke ...."

"Lima menit lagi temui saya di basement!" ujar Alfa tak terbantahkan lantas meninggalkan Ganta.

Saat Alfa keluar, Anita berdiri dan sok menarik perhatiannya.

"Pak Alfa!" seru Anita dengan sikap sok dibuat ramah dan perhatian.

"Hm, apa?" sahut Alfa menoleh Anita dengan tampang datar.

"Makan siang mau dipesankan apa?"

"Enggak perlu. Saya mau makan di luar," jawab Alfa stay cool lalu meninggalkan Anita.

Ganta keluar dari ruangan Alfa sambil mengomel tak jelas.

"Dasar bos seenaknya sendiri. Nyuruh-nyuruh orang enggak mikir-mikir. Sudah maniak kerja, sekali nyuruh harus saat itu juga!" umpat Ganta dongkol lalu duduk di kursinya.

"Kenapa kamu, Ta? Dicuekin bos, kan? Udahlah, menyerah saja, kamu itu enggak pantas jadi asisten direktur utama." Anita terlihat senang setiap wajah Ganta masam setelah keluar dari ruangan Alfa. Anita berpikir jika Alfa memarahi Ganta.

"Terus yang pantas cuma kamu? Iya!" sahut Ganta yang juga sangat kesal pada Anita. Ucapannya membuat telinga panas.

"Iyalah! Jelas!" ujar Anita membanggakan diri sendiri.

"Terserah kamu, Nit. Halu aja terus!" Ganta lantas mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Anita.

"Ta, mau ke mana?" pekik Anita saat Ganta melenggang ke arah lift.

"Makan sianglah!" jawab Ganta tak menoleh Anita.

Di basement, Alfa sudah menunggu Ganta di mobil ferrari merah mengkilat. Ganta muncul dan hanya berdiri di samping mobil itu. Alfa membukakan pintu untuknya dari dalam.

"Masuk!" titah Alfa.

Tak ingin berdebat, akhirnya Ganta menurut, dia masuk dan duduk di sebelah Alfa.

"Sebenarnya kita mau ke mana sih, Pak?" tanya Ganta sambil memakai sabuk pengaman.

Tanpa menjawab, Alfa menginjak gasnya. Untuk menjaga nama baik Ganta, jika mereka ingin keluar bersama di luar pekerjaan, Alfa meminta Ganta menyusul ke basement.

Sampai di pelataran restoran mereka turun. Alfa dibuntuti Ganta masuk dan mencari tempat duduk yang kosong. Seorang pelayan perempuan mendekati mereka dan memberikan buku menu sesaat Alfa dan Ganta duduk.

"Bapak mau makan siang apa?" tanya Ganta sambil membuka-buka buku menu.

"Terserah kamu," ujar Alfa yang sibuk membaca chat dari Rafael mengenai informasi yang sudah didapatkannya.

"Mbak, pesan sup buntut satu, tanpa seledri, tanpa lada, dan tanpa bawang goreng. Sama nasi satu. Minumnya jus jeruk dua," kata Ganta kepada pelayan itu sukses membuat Alfa menatapnya intens.

Perasaan aku enggak pernah bilang ke dia kalau aku enggak suka seledri, lada sama bawang goreng. Tahu dari mana dia? batin Alfa menajamkan tatapannya pada Ganta.

"Cuma itu saja pesanannya, Mbak?" tanya pelayan tadi setelah menulis pesanan di buku kecil.

"Iya," jawab Ganta sambil menutup buku menu.

"Kamu enggak makan?" tanya Alfa.

"Enggak."

"Kenapa? Nanti sakit loh."

"Enggak nafsu."

"Alasannya?"

"Kalau saya banyak pikiran, selera makan saya hilang, Pak. Sudah, Bapak saja yang makan. Saya sudah pesan minum."

"Saya ajak kamu ke sini itu biar menemani saya makan," ujar Alfa menekan setiap ucapannya. "Mbak, tambah beef steak satu yang medium sama spaghetti carbonara satu," pinta Alfa dan langsung ditulis oleh pelayan.

Setelah pelayan itu pergi, Ganta bertanya kapada Alfa, "Pesan banyak banget. Siapa yang mau ngabisin?"

"Kamu dong. Biar ada gizinya. Sudah badan kecil, kurus, kayak orang kurang gizi aja."

"Eh, Bapak kalau ngomong hati-hati, ya? Saya itu diet."

"Biar apa?"

"Biar lakulah!"

Alfa mengulum bibir. "Emang ada yang mau sama kamu?"

"Ada dong!" sahut Ganta sewot.

"Oh, iya, Ta, kok tadi kamu tahu makanan yang saya tidak suka?"

Ganta langsung gelagapan. "Oh, itu ... mmm ... dari Pak Rafael," dustanya.

Padahal Ganta dan Rafael jarang sekali mengobrol. Bicara pun hanya hal yang penting-penting saja, itupun mengenai pekerjaan.

"Oh," sahut Alfa seperti patah semangat.

Ganta bernapas lega. Alfa kembali melanjutkan chat dengan Rafael sambil menunggu pesanan diproses.

Hampir tiga puluh menit menunggu, akhirnya makanan pun datang. Alfa meletakkan ponselnya di meja.

Semoga saja selera makan dia belum berubah. Ganta sangat telaten melayaninya, mencampurkan jeruk nipis ke sup buntut dan tambahan sambal sesuai dengan selera Alfa dulu. Masih ingat betul Ganta mengenai selera makannya.

Hatiku tenang saat dekat denganmu, Ganta. Apa kamu Angel yang aku cari? Tapi, kenapa fakta-fakta yang mulai terkuak kadang bikin aku ragu? batin Alfa terus memperhatikan Ganta.

"Ini, Pak, sudah." Ganta mendongak menatap Alfa yang sedang melamun memandangnya. "Pak Alfa." Ganta melambaikan tangan di depan wajah Alfa.

Segera Alfa tersadar dan gelagapan. "Maaf," ucap Alfa meraup wajahnya.

"Kalau sedang makan itu jangan mikirin kerjaan, Pak," kata Ganta mendorong nasi ke depan Alfa. "Silakan, Pak."

"Makasih," ucap Alfa lalu mengangkat sendok.

Dia mencicipi dulu kuah supnya. Takarannya pas dengan seleraku, batin Alfa lalu menatap Ganta lagi.

"Kenapa, Pak?"

"Enggak apa-apa. Ayo makan!" ucap Alfa, lalu menikmati makan siangnya ditemani Ganta.

***

Siang ini Rafael sudah menghadap Alfa setelah kurang lebih tiga hari di Jakarta mencari tahu tentang Ganta.

"Kenapa dia cuti satu tahun?" gumam Alfa bingung sambil mengelus bibirnya.

"Soal itu tidak ada yang tahu persis alasannya, Mas Alfa. Saya sudah tanyakan kepada dosen dan orang-orang yang bekerja lama di kampus UI. Mengenai atas nama Aurora Prillyana Gantari sangat sedikit yang tahu. Sepertinya Mbak Ganta tidak terlalu terkenal di kampusnya dulu, Mas Alfa."

Alfa menghela napas dalam, dia berpikir sesuatu. "Saya semakin penasaran dengannya," gumam Alfa menatap Rafael. "Saya ada tugas buat kamu, El" ujar Alfa menegakkan tubuhnya menatap Rafael serius.

"Siap, Mas Alfa. Tugas apa?"

"Nanti jika kantor sudah sepi, kamu pasang CCTV yang mengarah pada meja kerja Ganta, dari semua penjuru," titah Alfa tak main-main.

"Siap, Mas Alfa!"

"Kamu boleh balik ke apartemen dulu, istirahatlah! Kamu baru sampai tadi pagi, kan?"

"Iya, Mas Alfa. Kalau gitu, saya permisi dulu."

Setelah Alfa mengangguk, Rafael pun keluar dari ruang direktur utama tersebut.

"Ganta, Angel. Apa kalian orang yang sama atau berbeda? Tapi, setiap mendengar Ganta berbicara, aku merasa seperti sudah mengenalnya lama. Ah, pusing!" Alfa mengacak rambutnya.

Suara pintu kerjanya terketuk. Alfa mempersilakan masuk. Ganta muncul dari balik pintu. Dia langsung berdiri di depan meja kerja Alfa.

"Mohon maaf, Pak Alfa. Data pendapatan perusahaan lima tahun ke belakang yang Bapak minta sudah saya cari di komputer, tapi tidak ada," kata Ganta berusaha profesional jika saat kerja. Dia menahan sakit hatinya demi tetap bisa bekerja.

"Loh, kok bisa enggak ada?" tanya Alfa terkejut. "Bukankah harusnya itu menjadi dokumen penting perusahaan yang enggak boleh hilang?"

Ganta menunduk, jika Alfa sedang serius bekerja, sikapnya berubah tegas dan menakutkan saat meninggikan suaranya.

"Saya enggak mau tahu. Pokoknya kamu harus dapatkan itu dan kamu susun di power point untuk presentasi kita. Senin kita akan presentasi mengenai perusahaan dengan calon klien dari Jepang. Jangan kecewakan saya. Ngerti kamu!" sentak Alfa menciutkan nyali Ganta.

"Iya, Pak. Saya mengerti."

"Ya sudah, kembali ke mejamu!"

"Permisi, Pak."

"Hm," sahut Alfa hanya bergumam.

Alfa memijat pelipisnya, dia merasa benar-benar pusing. Bagaimana tidak? Data-data perusahaan seperti sengaja dihilangkan. Sedangkan Alfa membutuhkan itu untuk melakukan presentasi mengenai perusahaan dalam mengolah dan menjual produk.

Ganta keluar dari ruangan Alfa sambil menggerutu, "Gimana aku dapatkan coba? Gila apa, ini udah Jumat, berarti Minggu semua sudah harus beres."

Anita yang melihat Ganta kebingungan hanya tersenyum remeh. Aku enggak akan pernah biarkan kamu menang, Ta, batin Anita melirik Ganta yang kini sudah kembali ke tempat duduknya.

Sambil menatap komputer, Ganta teringat sesuatu. Semua dokumen perusahaan pasti ada hard copy-nya. Aku harus temukan itu di gudang! batin Ganta mulai mendapat titik terang.

Bergegas Ganta pergi ke gudang untuk mencari dokumen-dokumen yang dia butuhkan. Hampir dua jam Ganta mencari, dia kembali ke mejanya sambil membawa tumpukan map.

"Apa itu?" tanya Anita menatap Ganta curiga.

"Bukan urusanmu, Ta. Kerjakan saja tugasmu. Kamu enggak usah mikirin pekerjaanku," sahut Ganta tak acuh tanpa menoleh Anita, dia duduk di kursinya lalu mulai membuka map itu satu per satu.

"Sok sekali kamu, Ta. Mentang-mentang sekarang jadi asisten direktur."

"Iyalah! Seperti kamu dulu, aku punya kuasa. Wajar, kan?" Sengaja Ganta selalu membuat Anita kesal supaya dia tak betah kerja di kantor itu.

Bukan maksud Ganta jahat, hanya saja Anita bukan patner yang sehat baginya. Dia merasa tidak bisa satu pemikiran dengan sekretaris bos itu.

Aku enggak akan biarin kamu lama di perusahaan ini, Ta. Lihat saja, ujar Anita dalam hati sambil menyeringai ke arah Ganta yang sibuk mempelajari dokumen-dokumen itu.

Saking seriusnya membaca dan mencari dokumen-dokumen yang dia butuhkan, Ganta tak sadar jika ini sudah jam pulang. Anita sudah bersiap membereskan meja kerjanya. Dia pergi meninggalkan Ganta tanpa menyapa. Tak berapa lama Alfa keluar dari ruangannya.

"Ganta?" seru Alfa mengejutkan Ganta.

"Iya, Pak?"

"Kok kamu belum pulang?" tanya Alfa melihat meja Anita sudah ditinggal pemiliknya.

"Ini, Pak, masih mencari dokumen pendapatan dan penjualan lima tahu lalu."

"Dapat?"

"Iya, Pak. Tapi sepertinya saya harus memindahkannya ke komputer dulu biar bisa saya susun ke power point."

"Kamu mau kerjakan kapan? Kita presentasinya Senin loh."

"Saya usahakan Senin pagi semua sudah siap. Pak Alfa tenang saja, saya bisa mengerjakan tepat waktu."

"Ya sudah, terserah kamu. Pokoknya saya minta sebelum meeting dimulai, fotokopian presentasi sudah ada di meja ruang meeting."

"Baik, Pak Alfa!"

"Sudah waktunya pulang. Kamu pulang sama siapa?" tanya Alfa dengan sikapnya yang berwibawa, tetapi terkesan peduli kepada Ganta.

"Teman saya nanti yang jemput, Pak." Ganta merapikan meja kerjanya.

Alfa menunggu sambil mengantongi kedua tangan di saku celana. Setelah meja rapi dan komputer mati, Ganta membawa setengah tumpukan map untuk dicicil mengerjakan di rumah. Alfa berjalan lebih dulu, dibuntuti Ganta. Saat di lift tak ada obrolan di antara mereka. Hingga keduanya keluar kantor dan berhenti di lobi.

"Beneran kamu ada yang jemput?"

"Iya, Pak. Beneran," jawab Ganta meyakinkan.

"Saya akan menemani sampai temanmu datang."

"Eh, enggak perlu, Pak Alfa."

"Kenapa?"

"Takut merepotkan, Bapak."

"Enggak," jawab Alfa singkat. Aku cuma mau tahu siapa teman yang menjemputmu, Ta, lanjut Alfa dalam hati.

Sambil menatap Alfa yang berdiri gagah dengan pandangan lurus ke depan, Ganta membatin, Ya Allah, kadang aku merasa dia baik dan tulus. Tapi, kadang kebencianku padanya kembali muncul. Sebenarnya perasaan apa yang saat ini aku rasakan padanya? Apa aku masih mencintainya atau aku membencinya? Kenapa rasanya sekarang aku sulit membedakan rasa benci dan cinta?

Lamunan Ganta buyar ketika ponsel Alfa berdering. Pria dengan rahang kukuh itu menjawab panggilan masuk. Sambil tersenyum Alfa berbicara dengan seseorang, entah siapa itu.

"Kapan kamu mau datang ke sini?" tanya Alfa terdengar ramah pada orang itu.

Perasaan Ganta aneh, hatinya seperti ada yang mencubit. Pikiran-pikiran tak pasti berkumpul di otaknya.

Apa dia istrinya? Wajahnya terlihat beda saat menerima telepon. Berseri dan tersenyum, kelihatan bahagia. Ya Allah, aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya. Biarkan aku tutup rapat rahasia bahwa dia sudah memiliki anak.

Mobil yang sudah sangat Ganta hafal berhenti di depan lobi. Seseorang dari dalam membukakan pintu. Alfa masih berbicara lewat telepon. Ganta sungkan ingin menyela. Akhirnya dia putuskan melangkah mendekati mobil itu, Ganta tanpa berucap apa pun pada Alfa.

Namun, ketika Ganta ingin masuk ke mobil, sebagian mapnya jatuh. Alfa melihat dan segera membantu Ganta mengambili file-file yang bercecer lalu mengakhiri panggilan orang yang tadi meneleponnya.

"Terima kasih, Pak," ucap Ganta setelah Alfa selesai membantunya.

"Hati-hati bawanya. Itu dokumen penting," ujar Alfa bernada sangat lembut, hingga menyentuh relung hati Ganta.

Saat Ganta masuk ke mobil, Alfa melihat pria bertopi, mengenakan celana pendek, dan kaus hitam lengan pendek duduk di balik kemudi, orang itu sedang menatapnya tak bersahabat.

"Pak Alfa, saya pulang dulu," pamit Ganta tanpa senyum, wajahnya datar.

"Iya. Hati-hati di jalan," balas Alfa tersenyum tipis kepada Ganta.

Galang terus memperhatikan Alfa, hal itu justru membuat Alfa tak nyaman. Ganta lalu menutup pintu mobil.

"Heh!" Ganta meraup wajah Galang supaya sadar. "Kamu kenapa sih lihatin dia sampai begitu?" tegur Ganta menatap sikap Galang yang aneh melihat Alfa.

"Kenapa orang itu di kantormu?" tanya Galang ketus.

"Oh, dia direktur baru di kantorku. Emang kenapa sih? Kamu kenal?"

"Enggak," ucap Galang belum mau bercerita kepada Ganta mengenai latar belakang keluarga yang sesungguhnya.

Selama ini Galang hanya mengatakan jika dia dan mamanya diusir dari rumah oleh papanya. Ganta tak ingin terlalu jauh ikut campur urusan keluarga Galang. Itu merupakan privasinya.

Setelah mobil Galang jalan, Alfa terus memperhatikannya sampai tak terlihat.

Siapa cowok itu? Apakah dia pacar Ganta? Atau suaminya? Dada Alfa tiba-tiba nyeri. Ada perasaan tak rela melihat Ganta bersama lelaki lain.

Alfa menarik napas dalam untuk mengurangi sesaknya. Lantas dia berjalan ke parkiran lalu masuk ke mobilnya. Sesaat setelah dia duduk di jok kemudi, Alfa menelepon Rafael.

"El, kerjaan sekarang. Kantor sudah sepi."

Setelah itu, Alfa melajukan mobilnya keluar dari area kantor.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top