4. Hati Kenesia

Drama budak cinta ala Jawa Timur bertajuk "Tresnoku sak konyong-konyong koder" sedang berlangsung di depan mataku, dengan episode berjudul "Jaman mbiyenku karo awakmu."

Sejak tadi, entah berapa menit sudah berjalan, aku hanya bisa pasrah memijat betis Umi yang katanya terasa kebas. Umi kelelahan mengurus kedukaan yang menimpa tetangga kawasan tempat tinggal kami. Tiga hari berturut-turut, Umi memasak bersama ibu-ibu rukun kematian. Menghidangkan sajian ala kadarnya untuk para tamu kedukaan yang datang, juga untuk keluarga yang tertimpa musibah. Dari makanan berat, camilan pengajian yasin tiga malam berturut, hingga nasi besek untuk para tamu pengajian 3 hari kematian.

"Lha yo, Mi. Dulu kamu yo cek pintere kasih kode ke Ayah." Abi terkekeh dengan tangan yang setia memijat kepala Umi. Kata Umi, untuk kepalanya, hanya Abi yang boleh memijat. Sentuhan tangan Abi di kepala Umi, tak ada duanya. Begitulah alasan Umi jika orang lain menawarkan diri merelakskan kepalanya.

Umi tertawa lirih seraya memejamkan mata. Pasti rasanya enak di-treatment seperti saat ini. "Lek gak ngunu, Ayah gak akan tau perasaan tresnoku ke Abi."

Aku memutar bola mata jengah. Entah sampai kapan aku akan menghabiskan usiaku untuk mendengarkan kisah cinta pasangan ini yang ... semanis madu. Naasnya, aku yang hampir berusia 23 tahun, tak sedikipun merasakan pengalaman mereka dengan pria lain, apalagi Anjar.

"Oya, Bi. Ngomong-ngomong, Anjar jadi kerja sama pemilik kebun Pak Sunu? Siapa yang beli kebun apel Pak Sunu?"

"Jadi, Mi. Anjar resmi membantu urus dua kebun apel di daerah sini. Satu milik kita, satu milik pembeli kebun Pak Sunu."

"Abi gak apa, Anjar kerja di dua kebun? Nanti kebun kita keteteran, gak?"

"Inshaallah enggak. Justru Abi nanti yang sedikit-sedikit bantu Anjar jika bisa. Lagian, pemilik kebun Pak Sunu, tinggalnya di Jakarta. Anjar melaporkan via telepon. Paling ya, repotnya Abi kalau Anjar ke Jakarta menemui pemilik kebun."

Mata terpejam Umi, kini terbuka. "Orang Jakarta yang beli?"

"Orang Lawang, Malang. Suaminya Carnesya yang penyanyi itu."

"Walah. Tetanggaan sama seleb, kita, Bi."

Aku berdecak remeh. "Apelnya yang tetanggaan. Kitanya yo enggak. Wong Carnesya tinggal di Jakarta. Kecuali ...," kini mataku melirik manja campur endel ke arah Umi. "Ken tinggal di Jakarta, di dekar rumah Carnesya. Pas, wes!"

"Haish!" Umi mengibas tangan. "Umi males bahas Jakarta. Sek ngelu sirahku," elaknya lalu memejamkan mata lagi. "Ganti betis kanan, Ken."

Aku hanya bisa terdiam dengan wajah kecewa dan tangan berpindah ke betis kanan.

"Abi kemarin bincang dengan Anjar. Usianya mau dua puluh tujuh. Sudah cukup untuk menikah." Abi membuka suara lalu kulihat mata Umi seketika terbuka lagi.

"Yang kemarin Abi lama di masjid itu?"

Abi mengangguk. "Kami berbincang tentang kebun apel yang sudah dimiliki Pak Yusuf Arbianda, suami Carnesya. Lalu, Abi sedikit memberi masukan agar Anjar mulai memikirkan rumah tangga."

"Terus Mas Anjar jawab apa?" Aku menggigit lidahku, seketika. Entah mengapa degup jantung membuat kerja otakku jadi tidak singkron.

"Segera," jawab Abi seraya menatapku dan tersenyum lembut. "Anjar sudah memikirkan tentang menikah, katanya. Hanya saja, masih menunggu perempuannya."

Pasti Erina. Aku tersenyum getir saat pikiranku menangkap jawaban itu. Siapa lagi yang harus ditunggu? Dari semua perempuan yang kukenal, hanya Erina yang kini merantau jauh dari kota Batu. Lalu tadi Abi bilang Anjar sedang menunggu perempuan itu, bukan?

"Ken." Suara Umi menyentakku dari lamunan nestapa ini. Aku menoleh pada Umi dan mendapati wajah ibuku tampak berengut. "Pijatnya kok gak terasa kaya tadi. Koyok nggak semangat ngunu, awakmu."

Aku mendengkus pasrah lalu menguatkan lagi pijatanku di kaki Umi.

Memuakkan rasanya, jika selama tiga hari berturut-turut, pikiranku tak pernah lepas dari cerita Abi tentang Anjar yang tengah menunggu perempuan untuk dinikahi. Sakit hati ini dan tanpa ada yang tau, aku kerap meneteskan kesedihan di malam hari hingga wajahku basah.

Seperti malam ini. Sejak tadi aku memusatkan fokusku pada Lala dan Lili yang sudah mulai selesai dua episode. Harusnya, hanya ada karakter Lala, Lili, dua teman bermain dan pemilik panti yang menjadi tokoh utama, namun batinku merusak semua rencana itu. Entah ini kulakukan sadar atau tidak, aku menambah satu karakter seorang ustadz dan menggambat tokoh itu mirip seperti Anjar.

Menyebalkan. Aku tidak tahu bahwa cinta bisa sebegini menyiksanya.

Bagaimana jika Anjar benar menikahi Erina, saat hatiku masih kerap bereaksi aneh pada suaranya dikala adzan Subuh. Bagaimana aku bisa menjalani setiap hariku jika masih di sini saja dan melihat kehidupan rumah tangga Anjar dan Erina. Rumah kami memang tidak berdekatan, namun satu area pemukiman, tetap tak menutup kemungkinan sering berpapasan, bukan?

Aku harus shalat sekarang. Mengadukan isi hati pada Maha Pemilik Hati adalah satu-satunya jalan yang bisa kulakukan. Aku tahu, tak semua kisah cinta berjalan dengan mudah dan berakhir bahagia. Aku bukan Fatimah yang beruntung menyimpan rasa pada Ali dan Allah memberikan akhir kisah yang bahagia dengan menjodohkan mereka.

Aku hanya seorang Kenesia yang memiliki citra buruk di mata Anjar sejak lima tahun lalu. Aku hanya ingin mengklarifikasi bahwa apa yang kulakukan pada Erina adalah bentuk pembelaan diriku atas kejahatan yang Erina lakukan. Siapa yang tak marah jika sketsa yang kubuat diam-diam, dia ambil dan lempar ke wajah Anjar, setelah ia tulisakan kalimat entah apa.

****

"Umi." Pagi ini, aku berkutat di dapur membantu Umi memasak. Umi suka mengolah bahan makanan. Jika hasilnya banyak, Umi akan membungkus dan membagi-bagikan pada tetangga.

Umi hanya berdeham merespon panggilanku. Istri Abi ini fokus membumbui kentang yang tengah kami olah menjadi kering kentang manis.

Seraya membereskan wajan sisa menggoreng kentang sebelum dibumbui, aku mencoba merayu Umi. "Kalau Ken ke Jakarta, Ken janji deh, akan sering-sering pulang. Naik Matarmaja turun Malang kota juga gak apa. Ken sayang banget sama Umi, tapi Ken juga ingin pergi."

"Apa sih alasan kamu ngotot pengen banget ke Jakarta?"

"Ken pengen meraih cita—"

"Cita-cita sebagai pekerja kreatif seperti menggambar, bisa kamu lakukan di mana saja, Ken. Umi gak bisa menelan mentah-mentah alasan kamu."

"Umi," rengekku memelas.

"Beri Umi alasan yang kuat hingga Umi bisa memberi restu untuk kamu merantau ke sana."

"Alasan apa?" Aku hampir saja memukul spatula ke wajan, jika lupa bahwa aku sedang bersama wanita yang paling Abi cinta.

Umi menatapku dengan wajah datar dan tatapan tak berminat pada frustasiku. "Alasan apapun yang membuat Umi mampu memahami jika kamu memang harus ke sana."

Aku menghela napas panjang dan mengerjap cepat, mencoba menghalau cairan mata yang hendak turun mengaliri wajah. "Ken ... Ken ...," ucapku ragu-ragu dengan rasa sakit yang kini menyiksa lagi. "Ken ingin pergi dan memulai hidup baru." Lalu wajahku basah sudah.

Kini, wajah Ummah mulai berubah perhatian. Ummah bahkan mematikan kompor dan menghadap padaku dengan mata yang tajam memperhatikan setiap gerikku.

"Ken ... menyimpan rasa pada seseorang di kota ini dan ingin mencoba menghilabgkan rasa yang selama ini menyiksa."

Satu alis Umi terangkat. "Kamu suka sama pria? Siapa?"

Anjar. Namun aku enggan membuka rahasia ini pada Umi. "Teman SMA. Tapi dia sudah menikah. Ken gak mungkin kan, memperjuangkan dia?"

Kening Umi kini berkerut. "Siapa teman SMA kamu yang sudah menikah? Setahu Umi, teman-teman SMA kamu, terutama yang pria, sedang sibuk-sibuknya berkarir."

Aku mengedikkan bahu. "Umi gak perlu tahu lah. Intinya, Ken ingin mengobati hati dan rasa terlarang ini dengan fokus menjadi komikus di Jakarta. Ken mohon dengan sangat, Umi restui keinginan Ken kali ini."

Umi menghela napas panjang, lalu memindah kentang di wajan bumbu, ke dalam toples besar. "Umi belum bisa memutuskan, Ken. Harusnya kamu kalau ada apa-apa mbok ya cerita ke Umi. Kita ini sesama perempuan, pastinya bisa memahami perasaan masing-masing. Apa lagi kamu anak Umi."

"Ken malu," ujarku lirih. "Memiliki cinta yang bertepuk sebelah tangan itu rasanya nelangsa, Umi. Ken gak tahu gimana caranya menghapus rasa yang salah ini. Jadi, Jakarta dan karir adalah satu-satunya cara agar Ken tak lagi patah hati."

Tatapan mata Umi, kurasakan seperti prihatin pada curahan hatiku saat ini. Umi tak berkomentar lagi. Beliau hanya sibuk memasukkan toples besar berisi kentang keirng dan beberawa wadah makanan lain ke dalam kantung kain, lalu menyodorkan itu padaku. "Tolong antar lauk-pauk ini ke rumah yatimnya Anjar. Nek Romlah kemarin mengeluh sakit dan tak memasak untuk anak-anak. Lauk kering ini bisa untuk cadangan stok makanan agar Nek Romlah bisa beristirahat."

Aku menerima bungkusan yang Umi siapkan seraya mengangguk patuh. Hari ini aku tak ke rumah yatim. Biasanya aku berada seharian di sana dan menggambar beberapa adegan yang terinspirasi dari kegiatan ana-anak. Rasa sesak akibat penuturan Abi tentang Anjar dan rencana pernikahan pria itu, membuatku malas pergi ke manapun, bahkan hingga berhari-hari seperti saat ini. Selama itu, aku hanya sibuk dengan drawing pad dan aplikasi menggambar untuk menyempurnakan gambar yang kubuat di rumah yatim.

Menaiki motor matik, aku bergerak menuju rumah yatim untuk menemui Nek Romlah. Nek Romlah adalah pengurus rumah yatim yang diperkerjakan orang tua Anjar hingga sekarang. Beliau sebatang kara, katanya. Tidak memiliki anak dan suaminya sudah meninggal. Hidup menua sendiri memang tampak menyedihkan. Mungkin itu alasan Umi berkeras tak mau ditinggal.

"Assalamualaikum," sapaku seraya menggotong kantung lauk dan berjalan menuju ruang tamu rumah yatim ini.

"Waalaikumsalam."

Aku menyernyit saat menyadari bukan suara Nek Romlah yang menjawab. Ketika memasuki ruang tamu, aku menyadari ada ibu dan ayah Erina di sini.

"Eh, Kenesia. Apa kabar, Nak?" Suara ramah ibu Erina menyapaku. Aku mencium tangan beliau dan menjawab bahwa kabarku baik-baik saja. "Antar masakan Umi?"

"Iya. Ken ijin ke dalam dulu taruh ini di dapur," ucapku seraya melirik Anjar yang terdiam dan fokus menatap ayah Erina.

Setelah meletakkan wadah-wadah lauk buatan Umi di meja makan rumah ini, aku masuk ke dalam kamar Nek Romlah. Beliau tengah bersandar di ranjang bersama beberapa anak yatim penghuni rumah ini.

Basa-basi sebentar, aku menanyakan kabar Nek Romlah dan wanita itu bercerita jika ia hanya kelelahan dan masuk angin.

"Orang tua Erina ke sini, kasih Nenek buah dan obat masuk angin. Minyak pijat juga. Nanti mau minta kerokin dan urut ke ibunya anak-anak kalau mereka jemput anak-anak pulang."

Aku meringis dengan hati teriris. Orang tua Erina seperhatain ini dengan orang-orang sekitar Anjar. Kuyakin, hubungan Anjar dan Erina pasti sudah jauh dari yang kuperkirakan.

"Nenek juga dibawain kue. Kiriman dari Erina, katanya. Erina kok gak pulang-pulang ya dari Surabaya?"

Kalau bisa tak usah pulang lagi saja. "Sibuk mungkin, Nek," ucapku tak semangat. Aku memijat kaki Nek Romlah yang mulai renta. Nek Romlah terdengar bicara pada beberapa anak-anak yang merubunginya di ranjang.

"Anjar." Suara ibu Erina terdengar samar dari dalam kamar ini. "Salam dari Erina. Katanya, inshaallah bulan depan pulang. Nanti kita urus bersama ya, Nak."

Anjar terdengar menjawab dengan suara riang. Hatiku menangis dan rasanya lebih sakit dari sayatan belati. Aku kalah dan aku tak bisa bergerak karena Umi tak merestui keinginanku pergi.

Orang tua Erina pamit pulang. Mereka masuk ke kamar Nek Romlah dan mendoakan agar Nenek lekas pulih. Aku tersenyum sopan kala mereka menyapaku sebelum pergi.

Tak lama setelah mereka pergi, aku menyusul pamit pada Nek Romlah dan meninggalkan kamarnya. Langkahku terhenti saat mataku dan Anjar bersitatap di pekarangan rumah ini. Anjar langsung memutus pandangannya dan melangkah mendekati sepeda motor miliknya.

"Mas Anjar," panggilku spontan. Tubuhku gemetar dan jantungku memukul kencang.

Anjar menghentikan langkah namun tak berbalik menghadapku. "Ya?" suaranya bahkan lirih sekali.

"Terima kasih," ucapku yang tahu harus bicara apa di saaat seperti ini.

Anjar bergeming. Tak menanggapi atau membalas ucapaku sesaat lalu.

"Untuk mengijinkan Ken main ke rumah yatim ini. Kelak jika Ken memenangkan kompetisi, Ken akan pindah ke Jakarta." Lalu Mas bisa leluasa berbahagia dengan Erina.

Hening melingkupi kami beberapa saat. Anjar tak menjawab lagi dan masih terdiam memungungiku yang bergetak tak nyaman. Aku canggung dan tak tahu harus bagaimana.

"Assalamualaikum." Anjar berucap pelan dan tegas, setelah hening merajai kami, lalu menaiki motornya dan pergi. Tanpa menungguku menjawab salam atau menoleh padaku barang sesaat saja.

*****

Vote dan komen yess!! Aku belum cek ulang dan langusng publish. Mohon maaf kalau ada sedikit eror entah pada tipo atau kalimat.


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top