3. Permohonan Kenesia

Kalau akhir-akhir ini para netizen sedang darah tinggi sama drama Korea tentang pria bejat berhati dua itu, aku sedang pusing dengan drama Jawa Timur ala Umi. Drama Umi ini kerap membuatku naik darah, sebenarnya. Namun Abi, melalui tatapan matanya padaku saat kami berhadapan dengan Umi yang tengah mendrama, pasti memohon agar tidak menyanggah ucapan Umi apalagi menyakiti hati wanita tercinta Abi.

Yah ... sebegitu indahnya menjadi budak cinta, bagi Abi.

"Umi gak siap, Bi." Isak tangis Umi sungguh terdengar berlebihan di telingaku. "Abi gak tahu sih, gimana rasanya berpisah jauh dengan anak."

"Abi pernah, merasakan, Mi. Abi sekolah beberapa tahun di Alexandria, kalau Umi lupa. Kita bertukar kabar melalui surel, kalau istri Abi lupa."

Umi terlihat membersihkan hidungnya yang mengeluarkan cairan tangis itu. "Tapi Umi gak siap ditinggal Kenesia pindah ke Jakarta."

Aku mendengkus lelah. "Mi, Jakarta – Malang hanya satu setengah jam," ucapku lagi, meyakinkan jika jarak rumah dan kota cita-citaku hanya hitungan puluhan menit.

Umi menggeleng. "Kadang yang hitungan puluhan menit itu, bisa menciptakan penyesalan puluhan tahun. Percaya, deh! Yang terbaik memang kita bersama terus, Ken."

Kalau Umi sudah bicara seperti ini, aku hanya bisa menghela napas panjang. Susah sudah urusannya.

Selain menjadi ibu rumah tangga, Umi sibuk sebagai anggota pengajian dan rukun kematian. Umi hanya mengambil bagian sebagai penyedia kain kafan, bunga, hingga hidangan untuk tamu dan keluarga yang berduka. Sedang yang biasa memandikan jenazah dan mengurusi makam, ada lagi petugas lainnya. Lingkungan Umi yang biasa mendatangi kedukaan ini, membuat wanita tercinta Abi seringkali khawatir berlebih. Efeknya, Umi melarang keras keinginanku pindah ke Jakarta.

"Bayangin kalau Umi meninggal dan kamu gak bisa lihat Umi untuk terakhir kalinya."

Kalimat itu adalah senjata andalan Umi untuk meluluhkan hatiku.

"Atau ... Abi sakit dan kamu tidak ada di saat-saat terakhir Abi. Bahkan hanya untuk membantu Abi mengucap talkin."

Semoga ucapan Umi yang ini, bukan berarti mendoakan suaminya cepat mati. Aku cinta orang tuaku dan selalu berdoa agar mereka panjang umur.

"Mi ...," panggilku lembut, mencoba meluluhkan Umi agar bersedia memberi izin. "Di Jakarta atau Batu, jika Ken menikah nanti, Ken akan meninggalkan Umi dan Abi untuk tinggal bersama suami." Suaraku kubuat setenang dan selembut mungkin. Gaya bicara ini biasanya ampuh bagi Abi untuk mempersuasi Umi terhadap apapun.

Umi mengerjapkan matanya pelan. Wajahnya menatapku dalam dan lama. Seakan memikirkan dan menimbang sesuatu. Apa mungkin Umi sudah mulai mengerti maksudku untuk bersiap ditinggal anaknya suatu hari nanti?

"Kamu bener juga, Ken." Umi mengangguk pelan namun wajahnya terlihat mantap dengan apapun yang ada di pikirannya saat ini. "Kalau kamu menikah kan, kamu pasti ikut suami, ya?"

Aku mengangguk cepat. "Iya." Semoga Umi mulai paham dan siap mental kutinggal menuju sukses suatu hari nanti. "Kalau suami Ken kerja di Jakarta, ya Ken pasti merantau ke sana juga. Intinya, Umi memang harus siap," tukasku penuh keyakinan. "Dan jangan pernah mengandai Abi atau Umi tutup usia secepat mungkin. Ken juga gak sanggup bayanginnya."

"Tapi hidup mati itu, mutlak milik Allah, Nak. Kita harus siap untuk itu, kapan pun. Entah meninggalkan atau ditinggalkan."

Aku menoleh pada Abi. Senyum teduh Abi entah mengapa membuat hatiku sedikit sesak. Abi berkata dengan nada lembut dan santai, namun berhasil menamparku, bahwa bukan hanya Umi yang harus siap mental ditinggalkan suatu hari nanti, tapi juga aku.

"Sudah ... sudah ... jangan bahas yang duka-duka. Umi suka sakit kepala." Umi mengibas tangannya. Memintaku dan Abi berhenti membahas masalah tinggal dan meninggalkan ini. "Jujur, bukannya Ummi gak ikhlas atas kepergian kakekmu, Ken. Hanya saja, tiap teringat kejadian itu, rasa sesal Umi seakan menggunung. Kamu harusnya bisa paham perasaan Umi deh."

Katanya gak mau lagi membahas, tapi Umi justru membuka kesedihan masa lalunya. Wanita beserta mulut dan hatinya yang tak pernah senada.

"Umi, sayangku." Abi memanggil istrinya lembut. "Nanti kita kirim doa bersama untuk Bapak dan Ibu, ya. Jangan sedih, Habibah."

Aku memutar bola mata. Tolonglah, mereka ini sudah hampir setengah abad namun sikap mereka seperti belasan tahun saja.

Umi bergerak mendekat dan masuk dalam pelukan Abi. Sesaat, kulihat mereka saling diam dalam pelukan. Jika sudah begini, aku jadi iri sendiri. Umi beruntung berjodoh dengan Abi yang mencintainya lahir dan batin. Abi bahkan rela menghabiskan waktu mempelajari ilmu pertanian demi membantu mertuanya mengurusi kebun apel. Padahal, Abi adalah seorang dosen sebuah universitas islam di Malang dan mengajar tarbiyah.

"Bi." Suara Umi terdengar lirih dan kalem. Tampaknya Umi sudah berangsur tenang.

"Ya, sayang?"

"Abi siap gak ditinggal Ken nikah suatu hari nanti?"

"Siap," jawab Abi santai. "Karena pada akhirnya, kita akan berdua lagi seperti dulu, Mi. Anak-anak akan memiliki jalan hidupnya masing-masing."

"Kalau gitu, gimana kalau kita carikan Ken suami aja?"

"Heh?" Mataku seketika membola. "Maksud Umi apa, sih? Kita itu bahas Ken yang minta restu Umi merantau ke Jakarta, bukan bahas jodoh Ken, Mi."

Umi menggeleng santai. "Umi bayangin pasti indah banget kalau hari-hari Umi sibuk urus cucu. Terus, suami kamu orang sini aja biar gak jauh-jauh banget kalau ada apa-apa. Kamu kan, pasti ikut suami kalau nikah, jadi ya ... cari suami orang sini aja biar Umi tenang." Senyum Umi yang kata Abi syahdu itu, terlihat horor di mataku saat ini. "Gimana, Bi?" Tatapan mata Umi pada Abi memancarkan banyak harapan.

Jika sudah begini, kepalaku yang penuh dengan imajinasi, membayangkan adegan yang tidak-tidak. Setidaknya, adegan dimana perempuan berada dalam pelukan kekasihnya dan ia mendongak menatap pria itu dengan pertanyaan. "Janji nikahi aku secepatnya kan, Mas?" Iyuh, aku jijik adegan roman stensilan seperti itu.

"Bi?" Kini, suara Umi terdengar manja. Tak sesuai sedikitpun dengan usianya yang sudah 45. "Gimana menurut Abi?" Tangan Umi bahkan membelai lembut dada Abi. Kalau versi imaginasiku, ini cara istri minta berlian pada suaminya. Berlian tukar belaian. Halah, kalau kondisi mood begini, otakku kerap kali memikirkan hal murahan saja. Huft.

Tangan Abi membelai lembut kepala Umi yang mengenakan bergo rumahan. Bukannya menjawab, Abi justru mencium kening Umi lantas meminta si Istri Tercinta membuatkan susu jahe. Abi berkata akan membahas lebih dalam di kamar saja berdua. Semoga, apa yang Abi ucapkan pada Umi nantinya, bisa membantuku untuk segera hijrah ke Jakarta. Tolong jangan ada adegan aku menikah dengan suami orang sini. Karena aku ingin menjauhi Anjar, jadi harus pergi dan memiliki kehidupan indah jauh dari radius keberadaan pria itu.

Umi beranjak pergi dari pelukan Abi dan menuju dapur untuk membuat pesanan suaminya. Aku yang lagi-lagi harus sabar karena Umi masih keras hati, menghela napas panjang dan pamit menuju kamar. Sudah pukul sepuluh malam juga, sih. Abi pasti lelah dan ingin istirahat, alih-alih menengahi perdebatan anak dan istrinya yang tak pernah menemukan titik terang.

"Tolong pahami Umi, ya, Ken," pinta Abi lembut padaku saat kami sudah sama-sama beranjak dari kursi. "Kamu pasti tahu jelas mengapa sikap Umi seperti ini ke kamu, juga Arman."

Mendengkus pasrah, aku hanya mengangguk patuh lalu berbalik dan jalan menaiki tangga.

****

Ash-Shalatu khairum minan naum

Aku menoleh pada angka yang tertera di pojok kanan bawah komputerku. Sudah subuh, ternyata. Sepertinya aku berhasil melewati malam tanpa merasakan setiap detik yang bergulir. Lala dan Lili membuatku terlalu fokus hingga lupa waktu juga tidur. Sebenarnya ucapan Umi sih, yang membuatku gagal lelap. Sejak memasuki kamar, aku hanya bergerak gelisah di atas ranjang hingga tengah malam.

Tak tahan dengan berbagai pikiran dan kegalauan yang menghujam jiwa, aku beranjak dari kasur dan menyalakan komputer. Bermain dengan drawing pad dan gradasi warna membuatku mampu mengenyahkan segala hal yang mengganggu pikiran.

Kecuali satu. Suara adzan Anjar saat ini.

Tubuhku seperti sudah terbiasa dengan suaranya yang tak pernah alpa melantunkan adzan subuh. Di bagian adzan yang artinya shalat lebih baik dari tidur, selalu berhasil membuat mataku terbuka dari lelapnya mimpi. Selelah atau sepulas apapun aku dalam tidur. Suara Anjar saat adzan, selalu mampu membangunkanku.

Ini satu alasan mengapa aku harus segera pindah dari sini. Anjar dan segala sesuatu tentang pria itu, selalu berhasil menggangguku. Bagus jika sikapnya padaku baik-baik saja. Nyatanya, ia selalu bersikap dingin dan menjauh seolah tak boleh berdekatan denganku.

Mematikan aplikasi menggambar, aku menghela napas. Sulit rasanya berada dalam dua kondisi yang bertolak belakang. Satu sisi, aku ingin segera pergi dari sini dan menjauhi pria yang membuatku bergerak tak nyaman. Cita-citaku sebagai komikus juga alasan utama keinginanku merantau ke ibu kota. Namun Umi, tak pernah merestui permintaanku yang satu ini. Masa lalu Umi dengan ayahnya membuat hatinya sedikit rapuh jika itu berkaitan dengan hubungan jarak jauh.

Menutup wajah dengan tangkupan tangan, aku menghela napas panjang. Ah, Erina sialan. Jika bukan karena kejadian lima tahun silam, barangkali hubunganku dengan Anjar masih baik atau bahkan semakin baik. Aku tidak perlu mencoba mencari cara kabur untuk mendamaikan hati, dan membuat ibuku bersedih setiap kami berdebat tentang ini.

Suara iqamat terdengar. Aku bergegas meninggalkan meja komputer dan mengambil wudhu untuk salat di kamar. Sekali lagi aku berdoa pada Allah, agar Dia memberiku bahagia melalui takdir yang tak pernah bisa manusia terawang skenarionya.

Seperti aku yang tak pernah membayangkan akan mendapati kondisi ini akibat sikapku di masa lalu. Ini salah Erina, sumpah. Jika bukan karena keusilan dia mencuri sketsaku dan melempar kertas itu ke Anjar, aku tak mungkin marah dan melabrak dia hingga kami bertengkar habis-habisan dan jilbab kami terlepas sempurna, di tengah kelas tajwid pesantren kilat.

Naasnya. Anjar melihat jelas kejadian itu dan berteriak marah pada kami sebelum pergi dengan langkah tegas penuh emosi.

Sejak itu, hubunganku dengan Erina tak pernah baik. Usai lulus SMA, Erina kuliah di universitas di Surabaya dan bekerja di sana hingga saat ini. Sesekali, aku mendengar orang tua Erina menyampaikan salam gadis itu untuk Anjar. Yang membuat hatiku sakit, Anjar tersenyum manis dan membalas salam itu melalui orang tua Erina. Itu artinya, posisi Erina di hati Anjar, jauh lebih tinggi dari posisiku yang entah pria itu anggap siapa.

Allahuakbar. Aku meminta ketenangan hati. Tolong hambamu ini, Ya Allah. Mudahkanlah langkahku untuk pergi menjauhi sumber sakit hati. Aku tak ingin menjadi dzalim, bahkan kepada diriku sendiri.

****

Genks ... jangan lupa votes dan komen yess!

Daku mau ingetin kalau PO Pramitha dan Another Rainbow, masih dibuka sampai akhir bulan ini. Buku sedang tahap jilid dan akan dikirim awal bulan besok. Katanya, paling lambat tanggal tujuh Mei sudah jalan ke rumah pemesan masing-masing. Ayo, keburu kehabisan karena stok bundling yang free gift, tinggal beberapa aja.

Tidak akan ada ebook untuk Pramitha's Make Up dan Another Rainbow ya, Genks. Mereka bisa dipeluk dalam versi cetak sajo hehehe...

Satu lagi info. Aku lagi ikutan parade menulis satu bab satu hari di sebuah grup di facebook, yang mau baca dan ikutan komen, silakan kunjungi facebook aku dengan akun Reina Hapsari dan DM kalau mau diapprove pertemanan. Supaya aku bisa tag kalian di FB kalau part baru udah publish di grup itu.

Udah, sekian info dari aku. Makin banyak votes dan komen, makin rajin aku update wkwkwkwk ... oya, lapak ini cuma sampai 8 Bab kayaknya, dengan 2 ekstrapart yang akan publish di versi ebook nantinya. Itu baru rencana, entah bagaimana realisasi akhirnya, kita lihat saja. Muuaacchhh

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan.

LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top