Potret

GhibahWriters

Gerakanku terhenti kala sebuah foto yang terlihat usang, terjatuh dari atas lemari. Tempatku menaruh barang-barang dari rumah. Posisiku yang saat itu tengah memegang sebuah kardus mendadak terhenti. Aku memutuskan untuk menyimpan kardus itu di atas kasur, kemudian melangkah menuju posisi foto itu berada.

Kedua sudut bibirku terangkat kala sebuah foto monokrom berada dalam genggaman. Itu fotoku dan foto ibuku beberapa tahun silam. Ah, hanya dengan melihatnya saja membuat rindu ini begitu membuncah. Sedikit menyesakkan tetapi aku tetap menikmatinya.

Kuusap foto itu penuh kehati-hatian. Takut lecet atau terlipat barang sedikit pun. Ini adalah benda berharga bagiku. Cerobohnya, aku menyimpannya sembarangan begitu pindah dan menempati tempat ini.

Aku kembali mendekati kardus, menaruh foto itu hati-hati lalu membuka kardusnya. Di dalam, banyak sekali barang-barang yang kubawa dari rumah. Salah satunya sebuah album foto. Tentunya fotoku juga beberapa foto bersama ibu.

Mari kuberitahu. Ibuku adalah wanita yang hebat. Dalam segi kepintaran maupun skill yang ia punya. Ibu, adalah wanita paling berbakat di dunia. Ia bisa menulis, merangkai kata dengan begitu indah. Ia paham beberapa teknik mendesain. Bahkan ia jago dalam hal memotret. Kata ibu, fotografi adalah hobinya sejak kecil. Makanya ia suka sekali apa pun berbau fotografi.

Ah, membayangkannya saja membuatku sangat-sangat ingin pulang ke rumah. Membantunya memasak, memijat punggungnya, berkeliling sambil sesekali memotret sesuatu. Oh, iya. Ibuku sangat lihai memasak. Bahkan masakan yang pertama kali ia buat saja terasa sangat enak. Aku jadi rindu ibu. Bukan. Sangat merindukannya.

Bibirku yang sedari tadi sudah tersenyum, kini bertambah lebar begitu sesuatu yang kucari telah ditemukan. Album foto berwarna abu-abu itu kini telah berada di tanganku. Aku mendudukkan tubuh pada kasur. Menyandarkannya pada kepala kasur.

Tangan yang sedikit berotot ini membuka satu persatu lembar foto hitam putih. Ibuku sangat menyukai foto hitam putih. Hampir setiap kami berfoto atau memotret sesuatu, pasti warnanya hitam putih. Ibu bilang, ia menyukai warna monokrom sejak kecil. Kakek yang memberitahunya warna seperti itu.

Foto pertama adalah foto ketika aku pertama kali bertemu ibu.

Ah, iya. Aku lupa memberitahu kalian. Wanita yang kusebut ibu itu, bukanlah ibu kandungku. Ya, kalian tak salah baca. Wanita hebat yang selalu kukagumi  itu bukanlah wanita yang melahirkanku. Bukanlah wanita yang merawatku dari bayi. Ia adalah wanita luar biasa. Yang rela menentang orang tuanya demi menyelamatkanku.

Sudut di bibirku menurun. Tak lagi membentuk senyuman yang selama ini kutunjukkan pada orang-orang. Tentu aku sedih. Aku masih mengingat dengan jelas saat-saat itu. Sebenarnya aku tak ingin mengingatnya lagi, tapi ibu bilang, aku harus selalu menghargai masa lalu. Karena meskipun masa lalu itu buruk ataupun mengerikan, di masa itulah aku bisa belajar. Belajar dari kesalahan dan berusaha menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Itu kata ibu. Dan yah, aku memegang kata itu seerat mungkin.

Kembali lagi pada masa laluku. Saat itu aku berusia delapan tahun. Aku masih ingat, kondisi keluarga kandungku bagaimana. Tak pernah harmonis. Setiap hari, bahkan setiap saat, pertengkaran selalu terjadi. Entah apa masalahnya, ayah dan ibu kandungku selalu bertengkar. Aku masih kecil saat itu, belum bisa mengartikan mereka selalu bertengkar karena apa.

Hingga suatu hari, ibu membawaku dengan kasar. Ia menarik lenganku hingga menyebabkan ruam merah. Aku masih ingat, aku selalu meringis di setiap perjalanan kami. Ketika itu, ibu tengah menangis. Ia bilang berkali-kali bahwa tak akan pernah memaafkan ayah. Aku ingin menangis. Namun sebisa mungkin kutahan. Tak ingin membuat ibu merasa semakin terluka.

Sampai pada akhirnya, kami berhenti berjalan. Di sebuah jalanan lengang yang tak banyak dilalui orang. Kami beristirahat di salah satu toko tutup. Ibu tersenyum kendati di wajahnya masih terdapat sisa-sisa air mata. Ibu bilang ia ingin membelikanku minuman. Aku hanya bisa mengangguk.

Sekitar tiga puluh menit aku menunggu, ibu tak kunjung datang. Aku mulai gelisah di tempat. Berkali-kali melongok ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang. Tak ada ibu. Satu jam kemudian, aku benar-benar menangis. Ibu pembohong. Ibu kandungku pembohong. Ia tak pernah berniat membelikanku minuman. Ia pergi. Dan aku menunggu seharian. Menunggu ibu menjemputku sembari menangis. Tak bisa menahan tangis barang semenit pun. Hingga akhirnya, aku tertidur karena lelah.

Esok paginya, ibu juga tak kunjung datang. Aku mulai lapar. Ingin kembali menangis. Tiba-tiba seorang wanita datang. Ia tersenyum lembut padaku. Di lehernya terdapat sebuah tali yang sepertinya merupakan tali kamera. Di tangannya juga terdapat sebuah kamera.

Aku meneguk ludah. Merasa tak kenal dengan wanita di depanku ini. Saat itu aku ketakutan. Aku menangis sembari merapalkan nama ibu. Sesekali berteriak memanggil ibu. Semakin aku berteriak wanita itu semakin mendekat. Hingga akhirnya ... sebuah pelukan menerpa tubuhku.

Pelukan pertama ibuku kini. Ibu yang paling aku cintai melebihi ibu kandungku sendiri. Ibu yang memberikanku pelukan paling erat. Paling nyaman. Juga paling hangat. Waktu ibu memelukku saat itu, aku merasa seolah kembali pulang ke rumah. Rumah penuh kehangatan. Penuh cinta dan kasih sayang. Betapa dulu aku sangat mendamba potret keluarga seperti itu. Hari itu aku menceritakan semua yang pernah aku alami pada ibu.

Senyum di bibirku kembali terangkat saat kenangan tentang ibu, menghantui pikiran. Membuatku seolah kembali merasa ada di masa itu. Masa di mana ibu menemukanku menangis karena ditinggal ibu kandungku. Masa di mana ibu memutuskan untuk membawaku pulang ... ke rumahnya.

Ibu bercerita banyak hal ketika kami berjalan menuju rumahnya. Sembari menunduk, ia berkali-kali mengusap kepalaku. Perlakuan sekecil itu membuatku seolah melayang. Aku tak pernah mendapatkannya di rumahku dulu. Mungkin pernah. Namun aku melupakannya.

Saat kami berjalan, kami menemukan sebuah pohon besar. Ibu memintaku untuk berdiri di sana. Lalu ia perlahan mundur. Mengangkat kameranya hingga berada di tempat yang tepat. Ibu menyuruhku tersenyum. Ia bilang, ia akan memotret.

Beberapa saat kemudian, aku maupun ibu berhenti di sebuah rumah. Kata ibu, itu adalah rumahnya. Ibu tinggal bersama suaminya. Ia tak mempunyai anak. Makanya begitu tertarik saat melihatku tergeletak tidur di sebuah toko yang sudah tutup.

Aku senang begitu melihat rumah ini. Rumah mungil yang begitu sederhana. Ibu membawaku ke dalam. Juga memperkenalkanku pada suaminya. Seseorang yang pada akhirnya aku panggil ayah. Ayah sempat menentang ibu ketika melihat dan mendengarkan tentangku.

Setelah diberi pengertian beberapa saat, akhirnya ayah mau menerimaku. Takut-takut, aku menerima uluran tangan ayah. Ia bilang, kamarku ada di lantai atas. Mendengar ayah mengucapkan hal itu, aku lantas mengangguk senang.

Ayah menuntunku ke sana. Menggenggam erat tanganku, seperti ibu menggenggamnya. Hangat. Terasa hangat. Waktu itu aku masih ingat, aku tersenyum lebar. Bercerita bahwa dulu di rumah, aku tak mempunyai kamar sendiri. Aku harus berbagi dengan kakakku. Mendengar hal itu, ayah berhenti melangkah. Aku masih bisa merasakan genggaman tangannya di tanganku semakin erat.

Aku menatap ayah takut-takut. Tak lagi tersenyum. Aku takut ayah sama seperti ayah kandungku. Yang kasar, tak pernah perhatian, ringan tangan dan tak pernah penyayang. Namun aku salah. Saat itu ayah menyamakan tingginya dengan tinggiku. Memegang bahuku erat. Aku terdiam, masih memandanginya dengan tatapan takut.

"Dengar, Nak. Kami sekarang adalah orang tuamu. Orang yang akan selalu menjagamu, merawatmu dan melindungimu sepenuh hati. Oh, Tuhan. Lihat betapa pengasihnya Engkau, Kau berikan kami seorang anak antah berantah pada saat kami kehilangan harapan akan datangnya buah hati." Itu kata ayah sebelum akhirnya memelukku.

Sebenarnya aku tak mengerti sepenuhnya apa yang ia katakan. Tapi aku masih dapat mengingat jelas suaranya, kata-katanya. Ayah sama dengan ibu. Ia pandai menulis, pandai melukis tapi tidak pintar memasak dan memotret. Itulah ayahku. Kata-kata yang setiap hari ia lontarkan melebihi penyair besar. Aku paham kata penyair saat usiaku 10 tahun. Tepat dua tahun setelah mereka memutuskan mengadopsiku.

Sudut mataku berair. Aku selalu sedih ketika mengingat memori bersama ayah. Lelaki kuat dan pantang menyerah yang selalu kujadikan idola sampai saat ini. Aku sadar, sudah lama aku kehilangannya. Tapi tak peduli, selama apa pun ia pergi, namanya, suaranya, wajahnya akan selalu terpatri di dalam hati. Itu kata ibu, ketika aku bersedih begitu mengingat ayah yang kini sudah meninggalkan dunia.

Ayah banyak mengajarkanku, begitupun ibu. Mereka berdua pahlawan. Mereka berdua idola. Idola yang menjadikan aku, menjadi lelaki seperti sekarang. Ayah selalu bilang, suatu saat nanti kau akan sukses di negeri orang, Ren.

Dan kurasa malaikat yang pada saat itu tengah lewat, meng-aamiin-inya. Terbukti doa ayah sangat mujarab. Aku berhasil sukses di usia yang masih muda. Pun di negeri orang. Bukan berarti aku tidak mencintai negaraku. Tidak. Ibu maupun ayah tak pernah mengajariku hal yang seperti itu. Aku berada di sini karena sebuah tuntutan.

Jika bisa aku hanya ingin menemani hari tua ibuku. Merawatnya hingga ia menyusul ayah. Tapi lagi-lagi ibu bilang, kau harus mengejar kesuksesanmu, Ren. Ibu akan selalu ada di sini. Menunggumu pulang.

Dan kurasa kenangan-kenangan itu membuatku begitu cengeng hari ini. Aku menangis. Ya, lelaki pantang menangis ini tiba-tiba menangis hanya karena merindukan ibunya. Aku pikir itu wajar. Aku seorang lelaki yang dibesarkan oleh ibu yang hebat. Jadi kupikir menangis sah-sah saja.

Aku kembali membuka lembar demi lembar album itu. Semakin meneteskan air mata begitu melihat potret-potret yang membuatku semakin ingin pulang. Dan juga tertawa saat foto yang kulihat mempunyai kenangan yang menggelikan. Salah satunya foto yang saat ini aku pegang.

Ini adalah potret di mana ayah sedang cemberut karena kue ulang tahunnya tak sengaja kutumpahkan ke wajahnya. Tepat di ulang tahun ayah yang ke 50. Saat itu aku masih berusia 15 tahun. Dan ibu di angka 40 tahun. Kami tertawa saat melihat ekspresi ayah. Untungnya pada waktu itu, ibu membuat kue yang banyak. Hari sederhana itu tak akan pernah kulupa. Bahkan sampai orang-orang mengantarku ke liang lahat.

"Ren, kau masih cuti kerja?" Itu suara temanku. Teman seperjuangan. Namanya Anta. Ia adalah seorang wanita.

"Masuk saja!" Aku menyuruhnya masuk ke dalam apartemen mungilku.

"Kau sedang apa?" tanyanya ketika telah duduk di sampingku.

"Mengingat kenangan lama."

Sudut mataku melihatnya tersenyum lebar. "Kau tau, Ren. Aku sangat merindukan ibumu."

Aku tertawa. Ah, aku sampai lupa mengenalkan temanku yang satu ini. Ia juga merupakan bagian dari masa laluku. Teman pertamaku saat tinggal di rumah ibu. Teman segalanya. Ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Ya, meski aku setahun di bawahnya. Sikapnya yang kekanak-kanakan membuatku merasa ia seperti adikku saja. Dan entah mengapa, takdir seolah tak membiarkanku berpisah dengannya. Di mana ada aku, selalu ada dia. Kami bersama sampai detik ini.

"Aku juga sangat merindukannya."

"Bagaimana kalau kita pulang saja? Selama ini, kau hanya mengambil cuti bulanan sekali. Kau bisa memanfaatkan cuti bulananmu yang lain untuk pulang ke rumah."

Anta benar. Aku bisa saja mengambil cuti seminggu lebih. Tapi aku ragu ibu akan mempersilakanku pulang. Karena selain hebat, ia juga wanita disiplin. Selama ini, ia melarang aku pulang hanya karena aku merindukannya. Ia bilang, aku harus sukses sebelum pulang. Kurasa aku telah mendapatkannya.

"Dan ... Ren, apakah kau melupakan sesuatu?" Aku mengernyit kala Anta yang tadi sibuk melihat foto hitam putih penuh kenangan, bertanya tiba-tiba.

"Jadi kau benar-benar melupakannya?" Aku menggeleng.

"Astaga. Dua hari lagi kau ulang tahun ... Ren. Kau pernah bilang bahwa di saat itu, kau ingin kembali mengulang masa di mana ulang tahun pertamamu bersama ayah dan ibu. Apa kau ingat sekarang?"

Aku menepuk kening. Benar-benar lupa. "Aku bahkan melupakan hari ulang tahunku."

"Ini lihat! Di foto ini. Kau pernah bilang, kalau kau sangat ingin hal ini terulang kembali meski tanpa kehadiran ayahmu." Aku menatap foto itu lama.

Dan semua kenangan pada saat itu kembali menyeruak. Menari-nari indah dalam ingatan. Tanpa sadar, aku tersenyum lebar. Melihat dalam ingatan kue cokelat dan balon warna-warni mengelilingiku. Aku tertawa lebar pada waktu itu. Sayangnya, Anta tak ada di sana. Namun meski begitu, aku merasa sangat-sangat bahagia. Merasa seolah orang yang paling bahagia di dunia ini.

"Kita pulang sekarang!" ucapku mantap.

Mengingat kenangan itu, semakin membuatku merindu. Aku tak sabar ingin menuntaskan rinduku ini. Menyesap dalam-dalam aroma ibu, wangi rumah pada saat itu. Juga gaun putih yang ibu kenakan di waktu pertama kami bertemu. Aku sangat ingin bertemu ibu.

Anta hanya bisa tersenyum manis dan mengangguk berkali-kali. Ia segera keluar setelah itu. Berniat membereskan pakaian. Dan aku buru-buru membereskan baju-baju juga album-album itu. Akan aku tunjukkan pada ibu. Aku akan memberinya kejutan karena aku tak akan bilang-bilang padanya jika ingin pulang.

Dan tiba esok hari. Aku tiba di rumahku yang dulu. Bersama Anta. Bibirku melengkung membentuk senyuman kala rumah penuh kenangan ini tersaji nyata di depanku. Tak ada yang berubah sedikit pun. Meski hanya setahun aku pergi meninggalkan kampung halaman.

Anta memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Tak jauh dari rumahku. Ia bilang, ingin aku menikmati waktu luangku bersama ibu. Hanya bersama ibu. Aku pun mengangguk. Tanpa basa-basi lagi, aku berjalan perlahan. Memasuki rumah yang tak pernah tertutup pada siang hari kecuali hujan.

Aku menahan napas saat melangkah memasuki rumah. Wangi rumah ini tak pernah pudar. Tak pernah berubah. Bahkan desain interior ataupun barang-barang yang ada di dalam tak pernah berubah. Pun setelah setahun aku meninggalkan rumah. Kutaruh koper bajuku di samping sofa. Dan kulihat di ujung ruangan, terdapat seorang wanita yang kucintai seumur hidupku. Ibuku ... diam memandangiku dengan mata berkaca-kaca. Bergegas aku menghampiri.

Pelukan hangat itu kembali terasa. Seolah aku pertama kali merasakannya. Begitu nyaman. Tak pernah berubah. Ibu menangis dalam dekapku yang kini berubah menjadi isakan. Kukecup puncak kepalanya berkali-kali sembari membisikkan kalimat, aku merindukan ibu, berkali-kali.

Setelah sekian lama, pelukan terurai. Aku mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. Mengelus kembali rambutnya. Ibuku tak pernah berubah. Selalu hangat dan terlihat cantik.

"Kau sudah bertambah tinggi rupanya, Ren." Aku tersenyum. "Lalu, apa hal yang membuatmu pulang bahkan tanpa memberitahu Ibu, hm?"

Aku mengeluarkan sebuah potret lama yang kusimpan di saku jaket. Kemudian menunjukkannya pada ibu. "Ini." Aku tersenyum lebar. "Aku ingin kembali melakukan hal ini meski tanpa Ayah."

Ibu tersenyum lebar sembari kembali memelukku. "Kau akan bertambah dewasa rupanya, Ren."

"Ibu tau, aku selalu dewasa dengan ajaran-ajaran ibu." Dan ibu tetap mempertahankan senyumnya.

Hari itu tiba. Hari ulang tahunku yang ke 21. Sudah kubilang aku masih begitu muda, bukan. Semuanya sudah siap. Kue coklat juga balon berwarna-warni telah mengelilingiku. Abu berada di depan kue itu menggunakan topi khas anak yang sedang ulang tahun. Benar-benar persis seperti pada masa itu. Bedanya, tak ada ayah dan kini ada Anta. Berdiri di samping ibu sembari menyanyikan lagu ulang tahun. Ibu di sampingnya sedang mengangkat kamera tuanya, siap memotret.

Selesai acara tiup lilin, makan-makan dan lainnya. Sungguh demi apa pun, aku bahagia. Sangat bahagia. Terlebih ketika tawa ibu membahana ke seluruh sudut rumah. Senyum Anta juga membuatku bahagia. Kini giliran aku mempersembahkan sesuatu kepada mereka. Ah, tidak. Lebih tepatnya kepada ibuku dan ayahku yang mungkin saja melihat semua ini dari tempatnya berada.

Dulu, ibu bilang aku mempunyai suara yang bagus dan kemampuan bermusik yang juga tak kalah bagus. Entah aku menurunkan bakat itu dari siapa, aku lupa. Kini, masih dengan topi khas ulang tahun, aku memangku gitar lamaku yang ternyata masih baik saat kucoba tadi. Di depanku terdapat ibu dan Anta yang sedang berusaha mencari tempat yang tepat menaruh kamera barunya. Ibu juga tak lupa menggenggam kamera lamanya, siap memotretku kembali.

Setelah Anta duduk di samping ibu, aku mulai menggerakkan jariku di atas senar-senar gitar. Menciptakan nada-nada yang ibu bilang, indah. Aku kembali tersenyum menatap mereka. Belum memulai nyanyian. Kuputuskan untuk menyayikan sebuah lagu dari musisi bertubuh sedikit gempal. Tulus, setulus hatiku menyayangi ibu. Dengan judul monokrom, warna kesukaan ibu.

Lembaran foto hitam putih

Lirik ini mengingatkanku pada setiap potret hasil jepretan ibuku.

Aku coba ingat lagi warna bajumu kala itu

Gaun favorit ibu mulai muncul di benak kala mataku terpejam.

Kala pertama di hidupku manusia lain memelukku

Dan ibu ... pelukan hangat kami pertama kali seolah terasa.

Lembaran foto hitam putih

Aku coba ingat lagi wangi rumah di sore itu

Kue coklat balon warna-warni

Pesta hari ulang tahunku

Senyumku melebar sembari menatap senyum ibu yang juga lebar. Mengingat hari ini, kue coklat dan balon warna-warni mengelilingi kami.

Di mana pun kalian berada

Kukirimkan terima kasih

Untuk warna dalam hidupku

Ibu ... terima kasih telah memutuskan untuk membawaku hari itu. Dan memutuskan untuk merawatku meski aku bukanlah darah dagingmu.

Dan banyak kenangan indah

Kau melukis aku

Mataku langsung tertuju pada lukisan ayah di sudut ruangan. Lukisan saat pertama kali ayah mencoba melukis diriku. Tepat sehari setelah aku berada di rumah ini.

Lembaran foto hitam putih

Kembali teringat malam kuhitung-hitung bintang

Saat mataku sulit tidur

Suaramu buatku lelap

Dan ibu ... dengan suara lembutnya mampu membuatku tertidur kala aku teringat masa lalu kelamku.

Di mana pun kalian berada

Kukirimkan terima kasih

Untuk warna dalam hidupku

Dan banyak kenangan indah

Kau melukis aku

Kita tak pernah tahu

Berapa lama kita diberi waktu

Ya, benar. Aku pada saat itu tak tahu sampai kapan waktuku bersama kalian. Hingga suatu kejadian merenggut ayah dari kami tiga tahun silam.

Jika aku pergi lebih dulu

Jangan lupakan aku

Ini lagu untukmu

Ungkapan terima kasihku

Lambang monokrom hitam putih

Aku coba ingat warna demi warna di hidupku

Tak akan ku mengenal cinta

Bila bukan karena hati baikmu

Dan petikan terakhir dari gerakan jariku terhenti. Aku tersenyum. Menatap ibu dengan mata berkaca-kaca. Aku menyanyikan lagu itu dari lubuk hati yang paling dalam. Berterima kasih sangat pada ibuku ... juga ayahku. Terima kasih ibu, telah memutuskan untuk menjadikanku anak dari wanita hebat sepertimu.

Kulihat ibu meneteskan air matanya. Terharu. Aku pun sama. Dan begitu Anta bangkit dari duduknya, berniat mematikan kamera, aku memeluk ibu lebih cepat. Ibu pun kembali menangis dalam dekapku. Ibu ... wanita pantang menyerah, hebat, istimewa dan kuat yang pernah kumiliki, kini menangis di dekapku.

Aku membisikkan beberapa kalimat syukur serta rasa terima kasihku padanya. Aku bisa merasakan dalam dekap, ibu mengangguk. Tak lama pelukan kami terurai, aku kembali menghapus sisa air mataku. Dan ia pun melakukan hal yang sama padaku. Aku bahkan tak sadar bahwa aku menangis juga.

"Selamat ulang tahun, Nak."

Dan aku bahagia. Kembali merasa seperti orang yang paling bahagia di dunia.

End

110219

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top