| Aftermatch |

Axama, 25 AOE
Lima tahun pasca kematian Sang Mata Satu.

MESSAL gelisah menemani sang istri mengejan. Ini adalah anak pertama, dan dia tak tega menyaksikan seorang wanita bersalin, apalagi sang istri yang amat disayangi.

Di dalam ruang bersalin yang dilingkupi kristal, bahkan termasuk perabotan. Ia menggenggam tangan lemah wanita berambut pirang yang sudah mengerang selama hampir setengah jam. Matahari sudah meninggi, sudah pukul sembilan pagi kurang lebih, namun sang dokter tidak segera datang. Langit biru yang menembus jendela kaca lebar di samping dinding tak sanggup menenangkan Messa—meskipun ia tak merasakan kontraksi yang amat sakit.

"Jill istriku, bertahanlah!" ucap Messal seraya mengelus rambut ekor kuda Jill dengan tangan kanan. "Tuan Tacoma seharusnya datang sebentar lagi—"

Pintu geser berwarna krem pucat dengan rona violet di pinggir, tiba-tiba terseret keras. Seorang pria tua membuka kencang, dan itu adalah pak tua Tacoma. Dia berlari kencang meskipun usia sudah genap seratus tahun ini. Dia pasti sudah lari-larian dari pusat Axama, menuju kamar bersalin. Keringat tampak jelas membubuhi kaos putih yang sedang ia kenakan.

"Messal, aku datang!" seru pak tua Tacoma tergopoh. "bantu aku menarik bayimu—"

"Tapi bagaimana caranya!?" balas Messal bingung.

Tak berselang lama, Dou tiba-tiba membuka pintu untuk membantu persalinan. Dia membawa sang istri. Dengan sigap, keduanya membantu. Pasangan suami istri Arab itu sudah tak asing menghadapi persalinan. Sudah lima kali, bahkan enam jika putra Dou yang masih hidup dihitung. Ya, Ameena ternyata hamil dari hubungan dengan sang suami sebelum kepergian ke Parade Mata Satu.

"Messal, tenangkan istrimu!" seru Dou menunjuk sisi Jill agar Messal menemani di sebelah sana.

Messal mengangguk, dan langsung menuruti perkataan Dou. "Jill sayang, tarik napas dan dorong kuat-kuat! Aku ada di sini, bersamamu! Tataplah mataku, dan aku pun akan menyalurkan kehangatan kepadamu seperti janji kita."

Jill mengangguk meskipun harus mengerang sakit. Ia akan terus menatap sang suami, dan bersiap mendatangkan buah cinta ke dunia, lalu hidup bersama sebagai keluarga.

***

TIGA PULUH MENIT genap berlalu, dan Messal sudah menggendong dua bayi. Jill ternyata melahirkan sepasang anak kembar. Satu lelaki dan satu perempuan. Mereka begitu mirip dengan Messal, terutama warna mata sehijau zamrud. Rambut hitam kecokelatan bahkan halus membelai telapak tangan. Tiap melihatnya, ia teringat dengan kedua orang tua yang sudah pulang.

Yerussalem

Seperti janji, Dou mengantarkan Messal dan kedua anaknnya ke kampung halaman, Yerussalem.

Setelah amukan Sang Mata Satu lima tahun lalu, Yerussalem tak lagi dipenuhi gedung-gedung berbata krem. Kini, tersisa kebun-kebun anggur yang lebat, lalu sungai segar mengalir deras di antaranya. Pun pohon-pohon kurma makin tinggi menjulang. Hanya ada masjid berkubah emas yang berdiri. Itu Masjid Al-Aqso.

Di bekas perkampungan, hamparan makam menyelimuti tanah kering Palestina. Di sanalah para penduduk memakamkan para korban. Akibat kiamat yang melanda bumi lima tahun lalu, populasi bumi hanya tersisa seratus juta saja. Mayat-mayat yang berserakan buru-buru dibereskan dengan bantuan Valdu dan pak tua Tacoma.

Sementara Messal, ia memakamkan sang bapak angkat di sebelah kuburan wanita yang telah melahirkan. Di sana, Messal dulu tinggal berdua. Messal memakamkan ibunda dan Presiden Juhan tepat di tempat kepergian sang bapak. Di belakang nisan batu putih kecokelatan, berdirilah sebuah monumen berlian setinggi tubuh Messal.

Itu Jja. Dulu, Sang Mata Satu menggunakannya untuk menyedot matahari, termasuk kekuatan Messal ketika ditembakkan di Pulau Socotra. Di permukaan bening, terukir kaligrafi berbahasa Arab bertuliskan, Mesaye Bahije, sang Postulat.

Dou berjanji untuk mengantarkan Messal ke sana, dan di situlah mereka sekarang.

Messal baru saja menemani sang istri bersalin di Axama. Mereka tinggal di sana sekarang. Istana berlian yang melayang tersebut menjadi pusat peradaban. Messal mengirimkan bantuan ke seluruh penjuru dunia menggunakan bantuan Axama.

Pak tua Tacoma menjadi penguasa tempat tersebut. Dia menjadi guru besar yang mengajar ilmu pengetahuan, semua bidang dari kedokteran hingga teknik. Dia memanfaatkan umur yang dia sendiri tidak sadar sudah menginjak satu abad. Sementara sang asisten, Valdu, dia tak lagi mengenakan penutup mata. Dengan mata indah seperti langit biru, dia mengawasi seluruh dunia dari bencana maupun kejahatan, sehingga jika ada sosok seperti Sang Mata Satu datang lagi, mereka akan buru-buru menuntaskannya.

Dou dan Ameena juga tinggal di Axama. Mereka punya anak lelaki yang kini berusia empat tahun. Dou amat senang sebab memiliki putra lagi. Dia sudah mengikhlaskan kelima putra sebab kecelakaan lima tahun lalu. Pria yang kini berusia 35 tahun itu hampir mati sebab mempercayai ilusi. Orang yang sudah meninggal, tidak akan bisa hidup lagi ke dunia, namun mereka pasti akan hidup di hari akhir nanti.

Di Axama, sejak Jill memecahkan air ketuban, mereka buru-buru mengarahkan Axama ke Yerussalem. Messal menepati janji untuk menikahi Jill. Wanita pengendali air dan es itu begitu polos dan mencintai Messal, sampai amat mudah berubah baik. Di umur kedua puluh, dia sudah mengenakan hijab, terutama berwarna merah mawar, sama seperti ibunda Messal.

Tak perlu lama, dalam sejam, mereka bisa menggerakkan Axama dari Arab Saudi ke Palestina. Pak tua Tacoma sudah tahu cara kerja Axama. Di ruang antara permukaan dan tanah, terisi gas ringan seperti hidrogen dan helium, namun memiliki berat yang amat ringan. Di sana, amat panas, namun terlingkupi dengan isolator mahadahsyat sehingga tak terasa panas keluar. Alhasil, Axama bisa terbang sesuka hati dengan ketinggian sama setiap saat. Tinggal menambahkan turbin untuk menggerakkan Axama, pak tua Tacoma pun bisa menjadi seakan sang penguasa Axama.

09:30 A.M.

Messal telah menginjakkan kaki di depan makam sang ibunda dan bapak angkat. Tak terasa, mata sehijau zamrud berkaca-kaca. Ia pun buru-buru menunjukkan kedua anak yang berada di gendongan. Dengan tubuh setinggi 175 sentimeter—tambah tinggi, Messal berubah amat kuat setelah menyerap Sang Mata Satu. Dia kini tak lagi membutuhkan energi untuk melakukan mukjizat. Dua bayi di gendongan tak akan menambah berat lengan kokoh.

Messal berdoa sejenak, lalu beralih membisikkan azan dan iqamah di masing-masing telinga kedua anak.

Orang-orang yang menunggu di belakang sontak tertular haru. Pak tua Tacoma dan Valdu berurai air mata meski tipis. Apalagi para wanita seperti Ameena dan Jill. Mereka menangis deras, apalagi mengingat kiamat lima tahun lalu. Putra Dou bahkan sempat bertanya-tanya kepada sang ayah alasan ibunda menangis. Namun, Dou tersenyum lembut. Dia menciumi sang putra. Berewok yang sudah mulai ditumbuhi uban menambah geli.

"Kita sedang berziarah, Nak," ucap Dou lembut. "Di depan kita, Paman Messal sedang mengunjungi makam kedua orang tua. Sudah lama dia tidak menemuinya. Karena itu, Paman Messal pasti sedang sedih, sama seperti kita."

"Oh," timpal sang putra lugu. "Kalau begitu, Ayah seharusnya memeluk Paman Messal sepertiku agar tidak menangis."

Dou tersenyum. Meski polos, dia mengamini permintaan sang putra. Ada benar juga. Dia pun mendekati sang sekutu yang sudah tumbuh menjadi pria gagah itu. Dou pun merangkul pundak Messal dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri menggendong sang putra.

"Aku bangga kepadamu, Messal!" bisik Dou menghibur. "Terima kasih atas semuanya, dan selamat kau telah menjadi bapak sekarang."

Messal mengangguk seraya tersenyum sendu. "Terima kasih, Dou, kau telah menemaniku sebagaimana kepercayaan Pak Juhan."

"Alhamdulillah! (Syukurlah!)" timpal Dou lembut. "Sekarang, sebaiknya kau selesaikan janjimu kepada kedua anakmu."

Messal mengangguk sekali lagi, lalu mendekatkan bibi ke telinga mungil putra dan putri, "Tuflaini, tadzkar hadza— (Kedua anakku, ingatlah ini—)"

Belum sempat Messal menyelesaikan bisikan, tiba-tiba semua orang terkejut. Ada tekanan tiba-tiba menghunjam. Sama seperti perasaan yang Messal terima ketika mendapat bantuan dari semesta yang lebih tinggi. Namun, kini tekanan tersebut bersarang di telinga, lebih tepatnya bisikan. Semua mendengar suara samar yang sama.

"Apa tadi!?"
"Apa kau juga mendengarnya!?"
"Dari mana asalnya!?"

Semua orang bertanya-tanya, termasuk Dou. Namun, Messal tahu, itu bukan dari orang asing. Dia sadar siapa yang memberikan bantuan baginya. Orang tersebut datang ke bumi 25 tahun yang lalu untuk membantu manusia di semesta yang lebih rendah. Namun, muncullah Sang Mata Satu sebagai efek samping.

Messal tersenyum, lalu menengadahkan wajah di atas langit. Dia berbisik samar, "Bapak Mesaye, terima kasih atas segala bantuan selama ini! Tentu, aku akan menyampaikan pesan Bapak yang selalu kuingat."

Messal pun kembali mendekatkan bibir ke telinga mungil kedua anak, lalu berbisik seraya tersenyum sendu.

"Ulurkan genggaman kepada yang di bawah, Yang-Tertinggi akan bertarung bersamamu!"

Kedua anak yang berada di dalam buaian mengangguk, lalu cekikik riang terlontar. Mereka paham nasihat sang bapak. Bayi laki-laki dan perempuan yang bergelang kayu Mesaye dan Atalya—itu 'lah namanya—telah mengikrarkan janji.

Kisah sebagai Postulat berakhir dan berawal kembali di saat yang bersamaan.

Sekarang, tergantung kepada kalian.

Dan apa pun keputusan yang kalian ambil, jangan pernah lupa untuk tetap bersama Yang-Tertinggi.

Tuhan kalian, juga Tuhanku dan bapakku.

Dia adalah Tuhan semesta alam.

Atalya, Mesaye, ....

Bapak menyayangimu.

[] [] []

SAMPAI JUMPA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top