2.2 | One Last Night
Jeddah - Arab Saudi, 31 Desember 20 AOE
MALAM ITU, sepasang mata biru menatap ke luar jendela.
Bulan purnama menggelantung dua jengkal di atas cakrawala. Samudra hitam—ditutupi malam—menghampar di bawahnya. Laut Merah tidak pernah setenang ini. Kapal-kapal yang mengantre melintasi Terusan Suez tak menunjukkan moncongnya, begitu pula bunyi peluit yang menusuk tipis di kala malam.
Di balik jendela kayu yang berkaca buram, sesosok pria tegap mematung menyaksikan malam yang sepi, tak biasa. Gamis jubbas berwarna putih agak kusam menutupi tubuh tingginya. Dua ratus sentimeter, pria itu hampir menyentuh langit-langit yang berplafon putih. Beruntung, jendela yang ia amati selebar dinding rumah; ia tak perlu membungkuk. Pria itu bersedekap, masih menatap ke luar jendela.
"Ya Dou habibi! (Wahai Dou sayangku!)" Seorang wanita melingkarkan lengan ke perut sang pria dari belakang. "Madza yujadu hunak? (Ada apa di sana?)"
"La (Tidak ada)."
"Kalau tidak ada apa-apa, berikan sorot mata birumu itu kepadaku. Habiskan malam ini dengan memandangku sampai kau lelah!"
Sang wanita menyandarkan kepala ke pundak kokoh di depannya; ia mengeluskannya. Desahan napas ia keluarkan beberapa kali, berharap bisa mengelus-elus kulit kencang sang pria. Tak ada salahnya bersikap manja kepada suami sendiri. Apalagi suami seperti Dou: dia tak pernah tersenyum sejak lima tahun lalu.
Dou membalikkan tubuh. "Istaqtuli, Ameena zawjati? (Kau merindukanku, Ameena istriku?)"
Ameena berhasil membuat suaminya berbalik. Namun, Dou masih tak mengguratkan senyuman. Berewok tipis yang barusan dicukur tak terangkat naik. Hidung mancungnya menghembuskan napas tak bergairah, apalagi mata birunya ... datar.
"Besok kau akan berangkat, Sayang." Ameena memindahkan lengannya ke leher kokoh suaminya.
"Iya, doakan aku."
"Aku ... pasti mendoakanmu."
"Kau sedih?"
Dou mendekatkan mata birunya ke depan muka istrinya. Ameena sedari tadi menunduk, menahan kesedihan. Ini semua sebab Parade Mata Satu. Dou harus berangkat besok subuh ke Qatar, tempat parade sinting itu dilakukan. Waktu yang tersisa tinggal delapan jam. Sekarang sudah pukul delapan malam, Dou sudah berdiri di depan jendela sejak habis isya. Ameena tak mau sang suami menghabiskan sisa waktunya untuk memandang Laut Merah. Malam ini 'lah kesempatan terakhir keduanya dapat bersua.
Tak ada kemungkinan selamat bagi para peserta Parade Mata Satu.
Dou—atau panjangnya Douha Jasim—adalah serdadu tertangguh yang akan mewakili Arab Saudi. Di usianya yang ketiga puluh, ia telah menyisihkan seluruh anggota militer. Raja negeri itu sampai menunjuknya langsung. Tak perlu heran, dia adalah seorang jendral, sekaligus orang yang paling dipercayai oleh sang raja. Dia akan bertarung habis-habisan melawan seratus sembilan puluh lima petarung lainnya demi seluruh umat manusia. Sang Mata Satu tak boleh dikecewakan.
"Apa kau sedih?" tanya Dou.
"Tidak, Suamiku."
Dou tak bisa dibodohi. Ameena sedang menahan air mata. Dia sedari tadi menunduk, hanya melihat mata sang suami beberapa detik, lalu menghadap bawah. Wanita itu tak mau menjadi beban bagi sang suami. Ini adalah takdir.
"Dou, aku mencintaimu." Lengan Ameena mengalung semakin erat. Air mata sudah tak bisa ia tahan.
"Aku juga mencintaimu, Ameena."
Dou hendak mendaratkan bibirnya, tapi Ameena menunduk.
"Apa gunanya kau mencintaiku! Kau masih tak tersenyum kepadaku! Suamiku, ini sudah lima tahun! Ikhlaskanlah anak-anak kita—"
"Aku sudah ikhlas dari dulu!" Dou menghela napas. Ia menoleh ke kumpulan pigura yang menempel di dinding bercat putih di samping kanan. "Ini berbeda."
Dou dan Ameena memiliki lima anak laki-laki. Mereka menikah ketika berusia dua puluh tahun. Dou adalah belahan hati Ameena. Wanita itu sampai rela memiliki seorang anak tiap tahun agar Dou tidak memadunya. Kau harus tahu, poligami bukan hal tabu di Arab Saudi. Hamil, tahun depan hamil lagi, begitu seterusnya, sampai lima tahun lalu.
Pemenang Parade Mata Satu gagal melaksanakan misi.
Sang Mata Satu murka, menggetarkan seluruh permukaan Aradh. Ia lantang memberikan hukuman: semua anak laki-laki di muka Aradh harus mati! Hanya sekali teriakan, seluruh bocah lelaki yang belum balig kehilangan kepala—terpenggal jatuh. Teriakan bersahutan di seluruh penjuru Aradh, begitu juga dengan Dou dan Ameena. Demi Tuhan janganlah kau bayangkan bagaimana teriakan histeris Dou! Mengerikan sekaligus menyayat hati! Sejak saat itu, dia tak pernah tersenyum.
"Kita sudah sampai di akhir dunia," sambung Dou, masih melihat foto-foto kelima putranya.
"Setidaknya tersenyumlah, Suamiku!"
"Tidak ada waktu."
Dou kembali menatap wajah Ameena, mengelus pelan pipi mulusnya dengan ibu jari. Oh, Tuhan, bagaimana Dou bisa tidak menyentuh wanita secantik Ameena selama lima tahun! Kulitnya seputih pualam, manis pula! Bulu matanya lentik. Tubuhnya langsing meski sudah melahirkan sebanyak lima kali. Badannya setinggi pundak Dou, sangat enak ketika dipeluk-pas tenggelam di dada bidang sang suami.
Dou memang tak tersenyum selama lima tahun, tapi dia juga tak mau memiliki anak lagi! Mengapa? Kiamat 'lah jawabannya. Sang Mata Satu pasti akan selalu menang; manusia hanya bisa nelangsa.
"Tak ada gunanya kita bersenang-senang, Ameena." Dou mengernyitkan alis tebalnya. "Persiapkanlah bekalmu untuk menemui Yang-Tertinggi di akhirat nanti!"
"Tapi kau akan pergi besok pagi."
" .... "
"Kita tak mungkin bertemu lagi!"
Bulir air mata bersarang di pelupuk Ameena; Dou melepaskan tarikan alisnya, menjadi sendu. Ia sadar, sang istri memaksudkan apa. Dia juga punya pikiran yang sama: aku akan mati sebentar lagi. Ikut atau tak ikut Parade Mata Satu hasilnya akan sama saja. Menang atau kalah juga sama. Manusia akan punah, tapi harus ditimpa jutaan kesengsaraan.
Oh, Yang-Tertinggi. Sesungguhnya tak ada yang mustahil jika Engkau menghendakinya. Meski aku tak selamat, biarkan istriku hidup! Tetaplah jaga senyumnya, jangan sampai sepertiku, seorang pria berhati kecil. Tak sanggup menerima takdirmu.
Oh, Yang-Tertinggi. Linduilah anak dan istriku! Aku akan melakukannya ....
Sontak Dou mengangkat tubuh Ameena. Ia membopongnya dengan kedua tangan kokoh. Perhatian pria bermata biru itu kini tertuju ke ruangan bercahaya oranye remang, ada di belakang ruang depan.
"Ada apa, Suamiku—"
"Ameena, ayo kita habiskan malam ini bersama! Sampai pagi! Kau mau?"
Ameena mengangguk. "M-mau"
Wajah Ameena memerah. Dou berubah. "Kandunglah anakku, Ameena." Dou mendaratkan bibirnya; Ameena kini tak menolaknya. Mata keduanya sama-sama terpejam, menikmati kilas balik kisah cinta yang sudah mereka lalui bersama.
"Dou, Suamiku, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
Keduanya menyambung ciumannya. Cinta mereka semakin dalam seiring mendekat ke kamar tidur berlampu oranye. Dou—yang sudah duduk di kasur berseprei putih—memangku Ameena. Ia mengelus kepala sang istri yang menguarkan aroma kasturi ke sekujur tubuh.
"Anti jamilatun jidana, ya Zawjati! (Kau cantik sekali, wahai Istriku!)" puji Dou, wajahnya ikut memerah.
"Kau juga, Suamiku. Aku tak bisa melepaskan pandanganku darimu."
"Maaf, aku sudah membuatmu sedih lima tahun ini."
"Tak apa, Suamiku. Balaslah kesedihan itu dengan cintamu malam ini."
Keduanya berpelukan erat, lalu melanjutkan ciuman, menimpakan tubuh mereka ke atas ranjang empuk yang sewangi mawar. Semuanya harus terbayar lunas malam ini.
***
GEMERCIK AIR menimpa ubin biru muda kamar mandi. Dou keluar mengenakkan handuk wol putih menutupi bagian bawah, menampakkan tubuh gagah yang meneteskan air yang tersisa. Ia menghampiri Ameena yang masih berselimut katun putih tebal—berusaha menata napas.
"Fajar sudah menunjukkan sinarnya." Dou mengambil kaos hijau loreng, lalu mengenakannya.
"Sudah waktunya ...."
"Jangan bersedih, Istriku! Kau berhasil membuatku merasakan kebahagiaan yang tidak pernah kurasakan selama lima tahun tadi malam!"
Ameena tersenyum. Tatapannya sendu. Ia mendudukkan tubuhnya; selimut ditarik untuk menutupi dada. Wanita itu menatap lekat-lekat sang suami yang mengenakan pakaian gagah. Seragam tentara hijau-kuning-hitam loreng sudah menempel di tubuh keras Dou. Ameena tak pernah menyangka ini adalah perpisahannya.
Dou selesai berpakaian dalam lima menit; ia menghampiri Ameena yang menatapnya sendu. "Istriku, aku pergi dulu."
Ameena menarik napas panjang. "Na'am, Zawji. (Baik, Suamiku.)"
"Doakan aku kepada Yang-Tertinggi ya, Sayang."
"Selalu, Suamiku! Aku juga ikhlas. Kita tidak akan berpisah. Kita akan bertemu lagi, pasti, di surga nanti, di bawah lindungan Yang-Tertinggi."
"Ameena, kau selalu berhasil membuatku mencintaimu."
Dou mengelus kepala Ameena. Tangan kirinya perlahan beralih dari kepala, turun ke bawah, tepat di perut sang istri. Ia lanjut mengelusnya. "Ameena, aku titip buah cinta kita." Dou tersenyum. Ameena akan hamil setelah malam ini. Dou telah mengerahkan seluruh tenaganya.
Ameena mengangguk, sudah rida. Dou beranjak mengambil tas-tas besar yang bersandar di depan lemari coklat muda yang kokoh. Satu ransel raksasa—seukuran kepala sampai bokong—Dou kenakan di punggung. Satu koper seukuran dua galon air mineral ia tenteng di tangan kiri. Ia siap melangkah pergi. Namun, pria Arab itu kembali menghampiri sang istri.
Dou mendaratkan ciuman terakhir di bibir Ameena.
"Ameena, ma'assalamah. (Ameena, sampai jumpa.)"
"Ilalliqo'i, Zawji. (Sampai jumpa juga, Suamiku.)"
Dou berjalan pergi, meninggalkan istri dan hartanya. Sepatu boot menderap, memecah kesunyian waktu subuh. Rumah berbatu putih tak bertingkat ia tinggalkan. Laut Merah menyambutnya tepat Dou membuka pintu coklat berpelitur mengilap. Perumahan yang lengang beserta pohon palem yang mencuat di tiap halaman akan ia rindukan.
Dou masih belum bisa tersenyum.
Dou malah menangis. Mengapa hidup menjadi seperti ini? Yang-Tertinggi, Engkau selalu mendengarkanku. Kabulkanlah pintaku! Pertemukanlah diriku dengan sumber kebahagiaanku! Istriku ... Anakku ... Siapa pun itu ....
Sebuah istana terbang yang berdinding berlian tiba-tiba muncul perlahan dari cakrawala. Itu dia, Axama! Sang Mata Satu ada di sana. Dia sudah siap, mendekat perlahan ke Qatar.
Yang-Tertinggi, menangkanlah aku!
Sang Mata Satu harus menghidupkan kembali kelima putraku!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top