2.1 | Postulat
Cappadocia - Turki, 31 Desember 20 AOE
HANGAT, tapi menggigil. Sore hari di tempat ajaib ini tidak seperti biasa. Sinar oranye mentari sebelum terbenam yang dipantulkan oleh bukit berbatu, tak sanggup menghangatkan tubuh lagi. Meski begitu, musim dingin malah enggan menurunkan setitik salju ke atas Aradh. Begitu pula dengan balon udara yang dinaiki oleh Messal dan Presiden Juhan.
Sendirian.
Sehari sebelum genap lima tahun, tak ada balon udara yang membumbung di langit jingga Cappadocia. Hanya ada balon udara berwarna hitam, putih, dan hijau, dengan segitiga sama kaki merah yang bertaut di ujung—itu bendera Palestina.
Berduaan, Messal dan Presiden saling menikmati tiap detik yang berlalu. Mereka tahu, besok, Messal harus mengikuti Parade Mata Satu, dan harus berhadapan dengan dia, Sang Mata Satu.
***
Postulate
"Knowledge makes a man unfit to be a slave"
***
SELAMAT atas kelulusanmu, Nak Messal!"
Presiden Juhan mengelus kepala putra angkat yang sudah berusia dua puluh tahun. Manis. Pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu tersenyum. Ia memandang Messal lekat-lekat. Entah kenapa, dia tak mau berpisah dengannya.
"Pak Juhan, terima kasih atas segalanya," balas Messal dengan suara yang lebih lembut daripada seorang anak penurut yang hendak dinikahkan. "Saya tahu, hari ini adalah kesempatan terakhir saya bertemu dengan Bapak. Tentang kelulusanku, Pak Juhan selalu andal untuk membuat-buat alasan—" Perkataan Messal terputus. Netra hijaunya berkaca-kaca, dan air mata tiba-tiba terisak dari hidung mancung. "Ini sudah lima bulan semenjak kelulusan saya, Pak. Mengapa baru sekarang Pak Juhan membawa saya untuk naik balon udara di Cappadocia?"
"Oh, Nak Messal." Presiden Juhan tiba-tiba ikut menitikkan air mata. Dia mendekap Messal, lalu mencium kening dan pipinya. "Meski kamu sudah janji untuk selamat—begitu pula apa yang Bapak imani, Bapak ... Bapak masih sulit melepaskanmu."
Messal tersenyum. Dia tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Napasnya berat dan tangannya dingin sebab diguyur keringat yang membeku akibat udara musim dingin di langit Turki.
"Pak Juhan, Yang-Tertinggi bersama orang-orang yang sabar." Messal melepas dekapan. Ia menjauh selangkah dari sang bapak angkat, hingga keduanya saling memandang.
Perubahan. Banyak yang terjadi pada pria berusia 65 tahun seperti Presiden Juhan. Rambut dan janggutnya kian memutih. Kompak, keriput semakin mengukiri kulit yang perlahan semakin kendur. Namun, sang Postulat berbeda.
Messal tidak berubah sedikit pun.
Dia masih sama manis dengan lima tahun lalu. Sepasang mata hijau yang menyala seterang zamrud, rambut lurus berkilau coklat yang tak pernah kusut, dan kulit putih mulus yang jarang ditumbuhi rambut. Messal masih sama seperti seorang lelaki remaja. Pendek. Tingginya masih sama 160 sentimeter dan wajahnya mulus—tak ditumbuhi kumis maupun jenggot.
"Kamu tak berubah sama sekali, Nak Messal," ucap Presiden Juhan memandang lekat-lekat sang putra angkat.
Messal tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala. Dia tiba-tiba saja melompat ke arah Presiden Juhan, lalu memeluknya. Pemuda yang baru lulus dari kampus terbaik di dunia itu langsung berkata, "Pak Juhan sepertinya harus mengerti ilmu apa saja yang telah saya dapat sebagai lulusan terbaik double degree of physics and biology di MIT."
Presiden Juhan sontak ikut tertawa. Suasana sedih seketika tergantikan dengan kehangatan tawa. "Baiklah, kalau begitu, coba jelaskan apa yang putraku dapatkan setelah menjadi sarjana?"
Messal mengangguk, lalu mundur beberapa langkah. Dia tiba-tiba melongok ke atas penyulut api yang mengembangkan seisi balon udara. Pemuda pendek itu melompat, lalu mematikan nyalanya.
Ajaib.
Balon udara tidak kempes, apalagi terjatuh.
"Kalau begitu, izinkan saya menjelaskan semuanya."
***
Di dalam keheningan, Presiden Juhan tiba-tiba bisa mendengar Messal berbicara meskipun ia bungkam di pelukannya.
—
Postulat versi saya berbeda dengan para nabi dan rasul. Kesamaan kami adalah asal spesies: homo sapiens (atau manusia). Sisanya—seperti sumber kekuatan, kami berbeda. Para nabi dan rasul mendapat mukjizat dari Yang-Tertinggi, sementara saya, hanyalah manusia yang 'lebih tinggi'.
Dulu, bapak saya, Mesaye, (diperkirakan) berasal dari semesta yang lebih tinggi. Teori dimensi kelima. Itu 'lah jawabannya.
Jika dua buah benda berwujud satu dimensi—seperti titik—dihubungkan, terciptalah sebuah benda dua dimensi: garis. Ketika sepasang benda dua dimensi dihubungkan, terciptalah sebuah benda tiga dimensi: bangun datar. Begitu seterusnya hingga saat dua benda empat dimensi—yaitu waktu—dihubungkan, terciptalah sistem 'semesta' yang hidup bersamaan dengan kita—beserta standar waktunya.
Dengan kata lain, Bapak Mesaye berasal dari semesta lain.
Dan yang pasti, dia berasal dari dunia yang memiliki sistem yang lebih tinggi daripada Aradh. Tak ada yang tahu berapa jumlah semesta di bawah maupun di atas kita. Meski begitu, kita semua tahu siapa sosok yang berada di puncak seluruh semesta.
Yang-Tertinggi ada di atas semuanya. Benar-benar tinggi 'di sana'.
Di semesta kita, manusia tak mampu melihat gravitasi, energi, dan gelombang elektromagnet. Berbeda, Bapak Mesaye mampu menyaksikan ketiganya. Bahkan, beliau mampu mengendalikannya. Begitu pula saya, putra beliau, sekarang, cekungan gravitasi yang menarik balon udara berubah datar sebab ikut-campur seorang yang sejenis dengan Bapak Mesaye.
Saya menghalangi interaksi dua massa yang saling tarik-menarik.
Meski begitu, ada konsekuensi. Anggaplah kemampuan mengendalikan gravitasi, energi, dan gelombang elektromagnet, membutuhkan bahan bakar. Seperti menggerakkan lengan dan kaki, mengatur gravitasi, energi, dan gelombang elektromagnet membutuhkan tenaga yang beragam—bisa saja sangat masif. Karena itu, saya memerlukan sumber tenaga yang harus dikorbankan.
Pak Juhan mungkin bertanya-tanya, bagaimana saya dan Bapak Mesaye bisa melakukan semua mukjizat ini. Jawabannya adalah kami mengalami evolusi ke arah yang berbeda. Untuk mempermudah, lihatlah gambar yang akan saya perlihatkan kepada pikiran Pak Juhan.
Meski begitu, apa yang membuat saya berbeda dari manusia di Aradh adalah rasio massa otak dan massa tubuh. Semakin besar rasionya, suatu makhluk akan bertambah kecerdasannya.
Orang-orang dari semesta Bapak Masaye mengalami evolusi semacam itu. Tubuh kami kecil-pendek. Namun, otak kami berkembang dengan massa yang pesat. Karena itu, kami seakan serupa dengan makhluk fantasi apabila dibandingkan dengan penduduk Aradh.
Ya, sebagai Postulat, singkatnya, saya bisa melakukan lima hal:
Pertama, kecerdasan intelektual yang tinggi disebabkan berkembangnya otak depan.
Kedua, pengendalian sel-sel tubuh disebabkan berkembangnya otak tengah dan batang otak sehingga saya—ternyata—mampu berbicara dan memerintah sel-sel. Jadi, jangan terkejut jika saya mampu meningkatkan kemampuan indra sehingga bisa melihat apa yang tidak semestinya saya lihat, termasuk peningkatan sensor pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba.
Ketiga, saya pun bisa berkomunikasi lewat pikiran dengan mengizinkan sel-sel saya saling berkomunikasi.
keempat, saya bisa memanfaatkan hubungan sel-sel semakin jauh dengan mengubah fitur tubuh saya dan menyembuhkan luka.
Kelima, hal terakhir sekaligus yang paling mematikan sebagaimana saya lakukan ketika menerbangkan seluruh MIT. Melihat apa yang tidak semestinya dilihat, bahkan mengendalikannya, seperti gravitasi, energi, dan gelombang elektromagnet. Atau singkatnya, mampu mengendalikan ruang. Namun, saya tidak tahu seberapa besar saya bisa mengontrolnya. Memang, setiap massa saling berinteraksi meskipun itu adalah benda mati, tapi saya masih belum bisa melakukannya dengan jangkauan di luar Aradh.
Meski saya seakan bisa melakukan apa pun, ada tiga hal yang tidak mungkin bisa saya lakukan.
Pertama, membaca hati manusia.
Kedua, berinteraksi dengan hal gaib.
Terakhir, menghidupkan orang mati.
—
Keheningan yang menyelimuti perlahan menghilang. Semakin Messal melepaskan pelukan, suara yang memenuhi pendengaran Presiden Juhan kian memudar.
***
Messal melepaskan pelukannya, lalu dunia seakan kembali ramai. Api balon udara kembali menyala, bersamaan dengan kesadaran yang pulang ke tempat masing-masing.
Presiden Juhan terengah. Ia tak pernah menyangka Messal akan melakukan mukjizat semacam itu. Pria tua itu pun memegang dada sembari terduduk di permukaan kayu keranjang balon udara. Dia pun berkata, "Bapak tidak tahu kamu bisa berkembang sejauh ini hanya dalam lima tahun, Nak Messal! Meski terkaget-kaget, bapak setidaknya sangat bangga kepadamu."
Messal tersenyum sampai memperlihatkan seluruh gigi seri. Dia menemani Presiden Juhan duduk yang jantungan sebab berbicara lewat pikiran seperti tadi. "Maafkan saya, Pak Juhan. Saya membuat Bapak terkena serangan jantung kalau terlalu sering melakukannya." Messal mendaratkan kedua telapak tangan ke pundak Presiden Juhan untuk memijatnya. "Setidaknya, sekarang, Bapak yakin saya pasti akan selamat di Parade Mata Satu."
Presiden Juhan sontak terperanjat. Keheningan tiba-tiba saja meliputi.
Tentang topik itu, pria tua yang sempat bersedih tadi seakan lupa dengan kekhawatirannya. Messal benar, dia bukanlah seorang manusia biasa. Parade Mata Satu bukanlah tandingan baginya— "Tapi bagaimana dengan misi menancapkan Jja ke matahari. Itu berbahaya, Nak Messal."
"Tidak perlu risau," jawab Messal tersenyum, "saya sudah memikirkan masalah itu."
Lega. Presiden Juhan spontan mengangkat bibir. Senyuman terpasang lebar di bibir rentanya. Entah kenapa, seluruh beban hilang dari pundaknya. Sekarang, bukan hanya iman, Presiden Juhan yakin, Palestina akan menang dengan perwakilan setinggi Messal.
"Bapak yakin, kamu akan menang, Nak Messal."
Messal membalas senyuman sang bapak angkat. "Terima kasih, Pak Juhan. Setidaknya saya bisa lebih percaya diri besok. Sebab, rida orang tua adalah rida dari Yang-Tertinggi."
Semoga.
Begitu pula dengan satu pemenang lainnya.
Siapakah dia?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top