1.4 | Erangan Jja

Qatar, 1 Januari 16 AOE, 3 P.M.

MERAH. Warna itu masih tergambar jelas di benak para presiden. Perwakilan yang dibangga-banggakan sudah tak berwujud bersimbah darah. Sayang, mereka tak bisa membawa pahlawan negeri masing-masing pulang.

Sang Mata Satu telah menutup Axama.

Kini, 195 pemimpin dunia berkumpul di tengah aula berundak yang dipenuhi warna yang sama. Merah. Mereka kompak termangu menunggu layar kosong di atas pentas balai pertemuan Hawaii.

Messal, sebagai pendamping presiden, berada di samping Presiden Juhan yang duduk di bagian tiga perempat kursi jika dihitung dari bawah dan tepat di tengah-tengah aula—bersama negara timur tengah lainnya. Di sampingnya, ada pria raksasa itu lagi. Ajudan Arab dengan mata sebiru lautan, duduk di samping Messal.

Messal melirik pria itu, tapi tak mau mengajaknya berbicara sebab si pria raksasa tak mau bergerak sedikit pun. Alhasil, Messal mengalihkan pandangan ke layar lebar yang menampilkan ruangan penerbangan pesawat ulang-alik yang berdinding logam kelabu.

Di tengahnya, ada pesawat ceking yang mengarah ke atas. Abu-abu. Roket yang berbentuk futuristik itu seakan bergegas untuk meninggalkan Aradh.

"Pak Juhan, saya memiliki firasat buruk," ungkap Messal menyenggol lengan Presiden Juhan. "Mengapa Mata Satu Keparat itu menampilkan hal semacam ini kepada kita? Apakah ada yang akan meninggalkan Aradh? Dan ke mana ia membawa Tuan Goldson dan Tuan Zarkovafic—"

"Nak Messal," sahut Presiden Juhan memutus rentetan pertanyaan pemuda bermata hijau itu, "bapak tidak tahu, tapi jangan katakan hal tersebut di sini. Sekarang, hubungan antarnegara sangat rapuh. Bapak takut, jika kamu mengatakan topik semacam tadi di sini, malah bisa memantik api permusuhan. Bapak tak mau terjadi konflik hanya disebabkan Parade Mata Satu. Karena itu, kita tonton saja dulu, ya."

"Tapi Pak, saya malah semakin yakin," ujar Messal membuat Presiden Juhan bergeming. "Perkataan saya sebelumnya ... bisa jadi akan terjadi, tentang Parade Mata Satu berikutnya."

Presiden Juhan menelan ludah keras-keras. Jika seorang Postulat sudah mengatakan hal semacam ini, kemungkinan sebuah skenario akan terjadi sangatlah tinggi. Parade Mata Satu, apakah benar akan terjadi lagi—

Suara sangkakala tiba-tiba memutus pikiran Presiden Juhan, termasuk seluruh duka yang masih menyelubungi setiap kepala.

Layar lebar yang dibubuhi pesawat ramping futuristik, tiba-tiba menampilkan seorang pria berjubah putih yang sangat tinggi. Pria itu berdiri di atas podium selepas bunyi sangkakala meredup. Dia pun berkata, "Makhluk-makhluk rendahan penghuni Aradh! Aku ucapkan selamat menyaksikan hadiahku untuk para pemenang Parade Mata Satu: dua pria tertangguh. Beri tepuk tangan untuk Benjamin Goldson dan Iridov Zarkovafic!"

Suara tepuk tangan bergemuruh dari dalam layar, sementara setiap penonton di aula tertegun dengan keringat bergulir dari pelipis.

"Penduduk Aradh yang menjijikkan! Dengarkan aku! Kuundang kalian, 195 pemimpin dari lima miliar makhluk rendahan, sebagai pembawa pesan," lanjut Sang Mata Satu mengangkat tangannya. "Aku tahu—begitu pula kalian—Aradh sedang sekarat disebabkan ulah kalian sendiri. Pemanasan Global, kata kalian. Langit Aradh dipenuhi dengan perangkap yang kalian panggil dengan karbon dioksida. Aku juga tahu, kalian telah melakukan segala upaya untuk menguranginya, tapi kalian tidak berhasil, kan?"

Seisi aula pertemuan terdiam. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, kecuali garukan kepala dan ludah yang ditelan keras-keras. Mengapa Sang Mata Satu tiba-tiba membahas ini? Ke mana arah pembicaraan akan berjalan?

"Pada 12 Desember 2015 di Le Bourget, Prancis, kalian menulis sebuah traktat yang mencakup tiga poin untuk menyelamatkan Aradh agar tidak jatuh dalam kematian. Aku tak ada waktu untuk berbasa-basi dengan membahas tiga poin itu, tapi INTINYA, kalian ingin mengurangi kerusakan yang kalian perbuat, kan?" ujar Sang Mata Satu mengejek. "Energi fosil: batu bara dan minyak bumi. Kalian baru sadar ternyata keduanya menciptakan emisi gas perangkap atau karbon apalah itu namanya. Namun, kalian berambisi untuk mengganti itu semua dengan energi yang lebih ... hijau."

Sang Mata Satu mendecih, lalu melanjutkan pidatonya. "Dan kalian mengandalkan satu nama sebagai jalan keluar. Kalau tidak salah, namanya adalah ... hidrogen. Aku benar, kan?"

Seluruh mata yang memandang layar lebar di depan aula, sontak membelalak. Mereka tahu arah pembicaraan pria yang mengaku Tuhan ini.

"Apa-apaan orang ini?!"
"Hidrogen yang kami inginkan hanya diciptakan dari elektrolisis air laut!"
"Kami tidak mau menggunakan steam reforming, lalu mengolahnya dengan carbon capture!"
"Tapi air laut saja tak akan cukup!"
"Dia ... apakah berniat mengeringkan lautan?!"

"Tidak, aku tidak akan mengeringkan lautan," sahut Sang Mata Satu seakan mendengar bisikan yang memenuhi aula. "Aku punya penawaran yang lebih cerdas daripada jalan keluar kalian yang amat primitif."

Sang Mata Satu tiba-tiba menunjuk pesawat ramping yang mengarah ke angkasa. Dia berkata, "Lihatlah pesawat itu! Dia akan membawa hidrogen untuk kalian. Di dalamnya, ada dua pemenang Parade Mata Satu, dua penduduk Aradh tertangguh, yang akan mengambil hidrogen untuk kalian." Sang Mata Satu tersenyum. Di atas tangannya, tiba-tiba muncul tongkat logam kelabu sepanjang tubuh manusia; ia menimangnya. "Ini 'lah hadiahku. Namanya Jja. Dia akan membawa hidrogen yang nanti dijemput oleh Benjamin dan Iridov di luar angkasa sana. Dan kalian tahu, di mana mereka akan mengambilnya?"

Messal yang membelalakkan mata hijaunya penuh dendam, tiba-tiba berbisik,

"Matahari."

"Matahari!" lanjut Sang Mata Satu.

Seisi ruangan menangis. Ada yang mengusap wajah, dan ada pula yang menjatuhkan muka ke atas meja. Mereka tahu, ini adalah akhir karena matahari merupakan sumber dari segala energi, atau dengan kata lain ....

Sang Mata Satu menginginkan kehancuran bumi.

Messal semakin tegang mendengar kelanjutan rencana Sang Mata Satu. Dia telah memikirkannya. Otak Messal benar-benar berjalan selangkah di depan, sampai pria raksasa di sampingnya tertegun, lalu meliriknya—padahal sebelumnya dia tak menggubris Messal.

Sementara Presiden Juhan, dia membelalak. Jika Messal bisa berpikir jauh ke depan, dan sanggup menerka rencana Sang Mata Satu, berarti ....

"Parade Mata Satu akan diadakan lagi," tutur Sang Mata Satu tiba-tiba sembari bersedekap, "lima tahun dari sekarang."

Seisi ruangan riuh dengan keluh putus asa.

"Parade Mata Satu lagi?"
"Manusia akan habis jika seperti ini!"

Presiden Juhan reflek merangkul Messal. Dia menatap pemuda yang ia anggap anak ini lekat-lekat. Pria berambut putih ini tak sanggup melepas Messal meski dia sudah berjanji untuk membiarkannya turut serta ke Parade Mata Satu. Namun, setelah melihat pembantaian horor tadi, orang tua mana yang rida membiarkan anaknya dicincang bak hewan ternak?

"Pak Juhan," panggil Messal. Ia mengusap tangan pria tua yang memeluknya erat. Messal menggeleng. Ia seakan mengisyaratkan, Jangan menangis karena Parade Mata Satu berikutnya. Ada hal mencurigakan yang akan sebentar lagi terjadi. Pasti. "Lima tahun adalah waktu yang sangat lama. Mata Satu Keparat itu pasti merencanakan sesuatu."

Presiden Juhan tertegun. Ia mulai paham dengan jalan pikir Messal. Sontak saja, dia merasa tidak aman. Bisa saja, pria yang mengaku Tuhan itu akan menghabisi seluruh ruangan ini?!

Presiden Juhan langsung menarik Messal untuk meninggalkan ruangan.

Pria raksasa yang berada di pinggir Messal mulai dihinggapi rasa waswas. Dia menyadari pemuda yang ada di sampingnya merupakan pemuda cerdas, bahkan sakti. Saat mendengar percakapan Messal dan Presiden Juhan, samar-samar, badan pria itu bergetar. Apalagi, ketika Presiden Juhan berdiri untuk mengajak Messal pergi, dia seketika merasakan akan ada hal buruk yang terjadi. "Baginda Raja, mari kita tinggalkan ruangan ini. Presiden di samping kita tadi beranjak dengan raut gelisah. Saya khawatir, akan ada hal buruk terjadi."

Pria raksasa itu pun pergi bersama raja yang ia kawal. Mengikutinya, satu per satu presiden turut beranjak.

"Pesawat akan berangkat satu jam lagi. Karena itu, aku hanya ingin menyampaikan kepada kalian, Makhluk Rendahan," ucap Sang Mata Satu mengejek. "Semoga beruntung."

Layar lebar di depan tak padam. Beberapa presiden tetap tinggal untuk menyaksikan kepergian para pemenang, terutama Amerika Serikat dan Rusia yang perwakilannya berada di dalam pesawat itu.

Meski begitu, percuma saja tetap duduk di aula merah itu. Peluncuran dua pemenang Parade Mata Satu ditampilkan oleh Sang Mata Satu di seluruh televisi dan internet, sebagai mana keberlangsungan parade disiarkan.

Jutaan manusia sudah muntah dan menangis. Mereka tentu tak kuasa menyaksikan pembantaian di hadapan langsung, terutama penerbangan ini. Mereka hanya sanggup berdoa kepada Yang-Tertinggi. Tak ada harapan untuk selamat karena semuanya mustahil.

Pemenang Parade Mata Satu tidak mungkin mencapai matahari.

***

Honolulu International Airport, 10 P.M.

ROKET yang dikendarai oleh Benjamin Goldson dan Iridov Zarkovafic gagal mencapai matahari."

Suara itu menyeruak di televisi-televisi yang menyala di seluruh penjuru bandara.

Merah lagi-lagi memenuhi pandangan. Kegelapan malam entah kenapa lebih hitam daripada biasanya. Sinar putih kebiruan lampu terasa remang, termasuk aroma roti dan kopi, tak setajam hari-hari kemarin.

Seluruh manusia yang menyaksikan berita itu, termasuk Presiden Juhan, menangis sesenggukan. Berbeda dengan Messal, ia malah menatap nanar layar televisi yang ada di depannya.

"Memang tidak akan berhasil," ucap Messal masih belum memalingkan pandangan. "Mereka semua meleleh. Sang Mata Satu bilang, satu-satunya benda yang bisa bertahan adalah tongkat bernama Jja. Dia sudah merencanakan ini semua. Tak akan ada yang selamat dari Parade Mata Satu."

Presiden Juhan sontak menatap Messal dengan masih bersimbah air mata, "Dan kamu masih ingin ikut Parade Mata Satu, Nak Messal?!"

"Saya bisa keluar hidup-hidup dari sana," jawab Messal tegar. "Hanya saja, saya tak tahu apa-apa. Pak Juhan, lima tahun ini, ajari saya dengan seluruh pengetahuan yang saya butuhkan! Saya tak tahu bagaimana cara Jja bekerja sampai bisa memindahkan hidrogen dari matahari ke bumi tanpa ada sebuah penghubung? Saya juga tidak tahu bagaimana Axama bisa melayang di atas Aradh. Karena itu, saya memohon bantuan, Presiden Juhan."

Presiden Juhan menangis. Ia tak sanggup menjawab bantahan Messal. Pria tua itu hanya sanggup mengusap matanya, "Tapi Nak Messal—"

"PENDUDUK ARADH RENDAHAN!"

Suara teriakan tiba-tiba mengagetkan seluruh orang yang berada di bandara. Isak Presiden Juhan sampai terputus, lalu membuatnya berpaling ke layar televisi lagi.

Di sana, Sang Mata Satu berteriak penuh kemurkaan.

"KALIAN SUDAH DIBERI TUGAS DAN TAK BECUS MENYELESAIKANNYA!" bentak Sang Mata Satu keras-keras sampai membuat seluruh orang menutup telinga. "KALIAN MEMBUATKU MERUGI! PESAWATKU, KEBAIKANKU, BAHKAN JJA ... HARUS LENYAP DI DALAM GENGGAMAN KALIAN!"

Kala itu, seluruh dada berdegup kencang hingga sanggup mengeluarkan jantung dari rongganya. Keringat bercucuran, begitu pula kalut waswas yang membuncah. Ini semua jelas sudah direncanakan oleh Sang Mata Satu, mengapa pula dia malah yang marah? Licik. Sang Mata Satu akan melakukan firasat buruk yang sebelumnya dikatakan Messal.

"KALIAN HARUS MERASAKAN MURKAKU!" bentak Sang Mata Satu. Kali ini, dia mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi. Dalam sepersekian detik, dia menghempaskannya ke bawah, lalu berkata,

"MATILAH SELURUH ANAK LAKI-LAKI PENDUDUK ARADH!"

Seluruh kepala bocah lelaki menggelundung ke tanah; mengucurkan semburan darah.

"TIDAK!"

Teriakan bersahutan di seluruh bandara. Merah. Warna itu lagi-lagi memenuhi lantai licin di tempat—yang disangka—kesedihan akan berakhir. Nyatanya tidak. Darah segar mengucur di seluruh permukaan Aradh, tak hanya di arena berlian Parade Mata Satu.

Presiden Juhan terbelalak. Kakinya pun gemetar hebat. Dan Messal, dia pertama kali diserang sensasi merinding dari kaki sampai tengkuk. Dia menarik jas kelabu pria tua yang sedang berdiri tertegun tak karuan. "Pak ... Juhan—"

"YA ZAWJATI! (WAHAI ISTRIKU!)"

Suara panggilan telepon yang diucapkan oleh seorang pria, tiba-tiba mengagetkan Messal.

Ia pun berbalik. Pemuda bermata hijau itu menangkap wujud pria raksasa dari Arab yang tadi berada di sampingnya. Berbeda, kali ini, ia tak sedingin es. Dia sedang takut. Bulir keringat berjatuhan dari kulit, dan matanya berkaca-kaca.

Oh, tidak. Yang-Tertinggi, apa yang akan Engkau tunjukkan kepadaku? Messal tertegun. Firasat buruk tiba-tiba menyerang batinnya. Namun, kali ini, itu semua akan terjadi di depan matanya.

Pria itu akan tertimpa sesuatu.

"YA ZAWJI, YA ZAWJI, YA ZAWJI! ASRA'U ILALMANZIL! YA A'LA, YA A'LA, YA A'LA, LIMADZA TA'AQABUNA!? (SUAMIKU, SUAMIKU, SUAMIKU! CEPAT PULANGLAH! YANG-TERTINGGI, YANG-TERTINGGI, YANG-TERTINGGI, MENGAPA ENGKAU MENGHUKUM KAMI!?)"

Erangan dan rintihan menggema sekeras sangkakala saat parade tadi. Dari layar ponsel, sang pria raksasa menyaksikan mimpi terburuk yang tak pernah ia bayangkan. Mata birunya membelalak, lalu dia tak kuasa menahan tubuh kekarnya berdiri. Ia terhuyung sampai berlutut.

Kelima putranya tewas serentak.

"KENAPA PUTRA-PUTRAKU, YANG-TERTINGGI?!"

Pria itu mengerang lebih keras daripada deru turbin pesawat. Tangisan seisi bandara dikalahkan oleh teriakan pria raksasa itu.

Dia meronta sejadi-jadinya. Ia meninju pipi dan rahangnya sendiri. Bajunya ia robek sampai tercerai berai. Pria itu mengamuk sejadi-jadinya.

Messal terbelalak. Gejolak pedih tiba-tiba menusuk hati. Ia belum pernah merasakan ini. Mengapa hatiku perih melihatnya?

Erangan pria raksasa yang tak pernah dikenal sebelumnya, tiba-tiba menggetarkan nurani Messal seakan membuat sang Postulat itu memiliki ... hati.

Seisi bandara melirik amukan pria raksasa itu tanpa berani mendekat, termasuk raja Arab yang dikawalnya. Mereka takut. Tangisan pria itu amat menyeramkan, lebih seram daripada seekor singa yang kelaparan. Namun, Messal berbeda.

Ia mendekati pria itu, lalu memeluknya.

Aku tidak tahu kenapa. Kakiku seakan berjalan sendiri. Aku tak tega. Messal mendekap pria itu erat-erat meski terhempas tangan kekarnya yang meronta-ronta.

"Tuan," bisik Messal. Setelah itu, ia memejamkan mata. Di saat yang sama, aliran memori kepedihan sang bapak, Mesaye, yang harus meninggalkan Messal dan Atalya, menyalur ke dalam kepala pria raksasa itu. Setelah itu, tangisan Atalya yang keluar setiap gagal melindungi Messal dan penyesalan sudah memukul putranya, juga turut memberondong isi kepala pria raksasa yang berada di pelukan Messal.

Pedih. Amat menyayat hati. Pria yang masih berusia 25 tahun itu sontak berhenti mengamuk. Ia seakan sanggup merasakan sakit yang sudah dialami Messal, termasuk bapak dan ibunya.

Pria itu seketika merangkul Messal amat erat. Ia menangis di pundak Messal sampai hoodie putih yang Messal kenakan dibasahi oleh air mata, liur, maupun ingus. Pria raksasa ini benar-benar remuk. Dia mendekap Messal sampai pemuda kecil itu tenggelam di dalam tubuh raksasanya.

"Keluarkan semuanya," bisik Messal. "Yang-Tertinggi tidak pernah menghukummu sebab kesedihan."

Messal seakan berhasil menjinakkan seekor singa. Seluruh orang yang ada di bandara sampai tertegun menyaksikan keajaiban itu, termasuk Presiden Juhan.

Pria tua itu hanya sanggup termangu. Ia seakan sadar mengapa Messal bersikeras untuk ikut Parade Mata Satu. Apa yang sudah kupikirkan? Pilihan anak itu lebih bijak daripada akalku. Sang Mata Satu benar-benar sudah membodohi kami. Jika Parade Mata Satu tak segera dihentikan, bencana apa yang mungkin terjadi? Bisa jadi, sebelah mata kami akan diambil sehingga kami bernasib sama dengannya, atau dia akan menarik air dari muka kami sampai kami mati kehausan. Oh, Yang-Tertinggi, benarlah Messal. Maafkan aku karena telah mendustakannya sebagai seorang Postulat.

Presiden Juhan mendatangi Messal yang masih memeluk pria Arab yang menangis deras. Ia mengelus kepala Messal. Kebijaksanaan yang ada di dalam pemuda berambut coklat ini lebih berharga daripada hati dari seorang pria tua.

Presiden Juhan tiba-tiba mendekati kuping Messal, lalu membisikkan sesuatu sampai membuat Messal terbelalak.

"Nak Messal, persiapkan dirimu. Lima tahun ini, aku akan mengirimmu ke Massachusetts, untuk menimba ilmu, lalu kembalilah ke Palestina. Setelah itu ....

"Bertarunglah di Parade Mata Satu!"

***

P.S.

Paris Agreement

Hubungan Paris Agreement—pengurangan emisi karbon—dan produksi hidrogen sebagai sumber energi zero-carbon.

Sumber: Le Fèvre, Patrick (2021) pada electronicnews.com

Steam reforming

Penjelasan apa itu hidrogen hijau, steam reforming, dan air laut, untuk dialog:

"Hidrogen yang kami inginkan hanya diciptakan dari elektrolisis air laut!"
"Kami tidak mau menggunakan steam reforming, lalu mengolahnya dengan carbon capture!"
"Tapi air laut saja tak akan cukup!"
"Dia ..., apakah berniat menghabiskan lautan?!

Sumber: Petrofac (2022)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top