1.2 | Hiburan Tuhan
Axama, 15 AOE
GEMERINCING LAMPU KACA saling berdenting disapu semilir angin yang memasuki lubang-lubang berlian di atas langit. Ruangan yang mengelilinginya dipenuhi kristal bening dan rona violet. Di bawahnya, singgasana bersandaran tinggi—sampai menyentuh langit-langit—bertengger di atas platform yang berjarak dua anak tangga. Tepat berhadapan, sebuah meja transparan yang terbuat dari kaca terhampar melingkar memenuhi aula, berikut orang-orang di belakangnya.
Para pemimpin dunia, 195 presiden duduk saling berjejer. Mereka termangu dengan bulir keringat bersarang di setiap inci kulit.
Sang Mata Satu menghimpun seluruh pembesar negara selepas menguasai tujuan terakhir, Yerussalem. Dia duduk bersandar dengan mengenakan jubah-putih-tinggi-khasnya yang menutupi seluruh tubuh. Di sampingnya, Sang Mata Satu meletakkan empat Anasazi berdiri tegap melirik satu per satu 195 pasang mata yang gemetar. Dia tahu, topeng-topeng: gagak, serigala, banteng, dan ular, akan meruntuhkan mental angkuh dari para orang penting.
Suara jentikan menusuk tipis di seluruh sudut aula.
Sang Mata Satu tiba-tiba berdiri, lalu berjalan ke tengah ruang kosong di pusat meja. Di belakangnya, ia mencegah Anasazi untuk mengikuti. Pria yang sudah menjadi pemilik dunia ini punya urusan sendiri yang harus ia bicarakan seorang saja. "Selamat datang di surgaku! Izinkan aku untuk menjamu kalian, Bapak-Bapak!"
Aroma kambing panggang dan kurma tiba-tiba mengelus tipis hidung yang masih gemetaran. Dari balik pintu raksasa di belakang aula, jamuan yang melayang seakan dibawa oleh ratusan pelayan-tak-terlihat, mendobrak masuk, lalu berjalan ke atas meja kosong. Rona coklat keemasan dan hijau garnis di atas kaca bening yang menguarkan rona violet, memancing liur-liur keluar dari mulut yang bungkam sedari tadi. Apalagi gelas-gelas anggur yang tercipta dalam sekali jentik, manis dan asam akan mencium satu per satu papila lidah, dan memaksa setiap peneguk berkata, "Ini layaknya disimpan di brangkas emas ribuan tahun!"
Sang Mata Satu pun menyeringai. Dia membuka tangan 'tuk mempersilakan. "Sekarang, nikmatilah jamuanku! Jangan sampai aku tidak bisa memuaskan orang-orangku."
Diam. Tak ada seorang pun yang menggerakkan sendok dan garpu untuk meraih daging coklat keemasan. Bisa saja ia sudah menambahkan racun atau ramuan untuk menundukkan kita, pikir beberapa presiden. Atau dia mau menyuap kita dengan hamparan jamuan.
"Maaf, Tuan. Kami tidak ada waktu untuk ini." Pria berambut pirang, Presiden Amerika Serikat, berdiri mengajukan penolakan. "Kami tidak ada waktu untuk berbasa-basi—"
Aduh! Presiden berambut pirang itu tiba-tiba terduduk sembari memegang perut. Ada sesuatu yang memeluntir lambung seakan seisi organ pencernaan habis, meninggalkan rasa lapar yang mencekik.
Para pria berjas hitam di samping Presiden Amerika Serikat sontak ikut menderita hal yang serupa: lapar. Seisi ruangan dihujam siksaan peluntiran di saluran gastrointestinal mereka, sampai-sampai kecurigaan yang sedari tadi mereka pikirkan, sirna.
Tanpa pikir panjang, 195 presiden dunia langsung menyantap hidangan yang sudah mengundang terjunan air liur sedari tadi.
Sang Mata Satu menyeringai. Dia tahu titik lemah manusia. Bisa-bisanya ada orang yang sok membantah seorang Tuhan di singgasananya. Begitu bodoh! Pria bertudung putih itu sampai tak segan tersenyum lama-lama. Ia pun berkata, "Aku sudah berbuat baik dengan tidak membunuh kalian, tapi apa yang kalian berikan kepadaku? Malah, betapa kurang ajarnya kalian enggan menyentuh jamuan yang sudah kusuguhkan?"
Para presiden tiba-tiba terdiam. Mereka menghentikan sendokan daging-daging dan kurma untuk dimasukkan ke perut mereka yang seketika kosong. Mereka tahu, Sang Mata Satu lebih berbahaya daripada siksaan lapar yang menikam lambung.
Sang Mata Satu pun melirik para presiden satu per satu. Meski semuanya sudah diam untuk mendengarkan, tak ada seorang pun yang berani menjawab. Pria yang mengaku Tuhan ini geram, sampai tangannya harus bersedekap.
"Aku minta sebuah hiburan!" gertak Sang Mata Satu mengeluarkan suara berat-lebih dalam daripada suara bas 'tuk menyamarkan kesaksian narapidana. "Jujur saja, aku ingin membantai kalian semua yang tidak kupilih sebagai hamba-hamba di Axama. Hanya saja, terlalu bosan untuk menghabisi kalian dalam sekejap. Tujuh miliar—uh, sudah berkurang sampai lima miliar—tak enak jika tidak digunakan sebagai hiburan bagi hamba-hambaku, kan? Kalian paham?"
Seisi ruangan sontak tertegun. Mereka seketika menelan ludah keras-keras. Keringat yang sempat terhenti mengalir, tiba-tiba merembes kembali. Orang ini ... apa yang sedang ia rencanakan?
"Parade Mata Satu," sambung Sang Mata Satu mulai melangkah mengelilingi setiap presiden, "aku ingin kalian bermain untukku. Sebagai Tuhan, aku ingin pembuktian, seberapa kuat orang-orang yang berada di tanah menjijikkan di bawahku—"
"Her name is earth! (Namanya bumi!)" sahut Presiden Amerika Serikat menggebrak meja. Dia kesal sampai alis pirangnya kini saling bertaut.
"Persetan! Nama itu adalah sebutan yang menjenuhkan. Aku sungguh jengah dengan segala penamaan lidah rendahan makhluk semacam kalian. Jelas, aku harus mengubahnya agar kalian bisa naik tingkat," ujar Sang Mata Satu menghampiri tempat duduk Presiden Amerika Serikat selangkah demi selangkah. "Aradh. Sebut tempat tinggal kalian yang menjijikkan itu dengan nama yang ini!"
"Bagaimana jika kami menolak?" bantah Presiden Amerika Serikat-sekali lagi, ia tak sanggup menahan mulut besarnya.
Sang Mata Satu menyorot mata perak sang presiden dalam-dalam. Tak berselang lama, ia tersenyum.
Guratan potongan silet tiba-tiba terukir di tepi presiden yang sedari tadi mendebat Sang Mata Satu.
"AHH!" Pria berambut pirang itu berteriak sembari memegangi mulut. "Keparat kau—"
Orang-orang di samping pria yang berteriak itu buru-buru membekapnya agar ia tidak semakin celaka. Beberapa presiden bahkan bergegas membawa air agar luka yang mengucurkan darah di mulutnya tidak menjadi nanah. Namun, percuma.
Goresan di pinggir mulut sang Presiden Amerika Serikat enggan berhenti. Tiap detik, goresannya semakin lebar.
"Itu adalah hukumannya. Karena itu, menurutlah!" ancam Sang Mata Satu meninggikan suara. "Sekarang, aku ingin hiburan dari kalian. Bawakan aku manusia tertangguh dari masing-masing tempat tinggal kalian! Pada tanggal 1 Januari nanti, antarkan mereka ke tempat yang kuminta."
Sang Mata Satu berhenti sejenak. Ia berjalan menuju Presiden Amerika Serikat yang masih mengerang. Pria berjubah putih itu pun tertawa, lalu mengangkat tangan kanan. Ajaib, luka yang mengiris pinggiran bibir presiden bermulut besar ini tiba-tiba terhenti.
Sang presiden yang mulutnya semakin lebar sebab irisan hanya bisa melirik pria yang mengaku Tuhan di depannya dengan horor. Tubuhnya sontak gemetar, lalu dia bersujud—meskipun mulutnya masih mengucurkan darah.
Sang Mata Satu pun menarik bibirnya sampai senyumannya kian melebar. Dia pun berkata, "Lihatlah pria yang kalian junjung sebagai pemimpin negeri terkuat!" Sang Mata Satu menatap satu per satu netra yang meliriknya ngeri. "Dia bersujud di depanku! Karena itu, aku pun akan menunjukkan kekalahan kalian! Dimulai dari pria angkuh ini!
"Pearl Harbor," sebut Sang Mata Satu, "aku tunggu kalian dan 195 manusia tertangguh kalian di sana, 1 Januari, pukul 1 siang, Hawaii. Bermainlah untukku, dan lihat seberapa senang hamba-hambaku!"
Seisi ruangan hanya sanggup mematung. Ini bukan hiburan, melainkan sebuah pembantaian. Sang Mata Satu sudah gila! Para pemimpin dunia pun menyorotkan tatapan ngeri.
"Sudah, apa yang kalian tunggu?!" bentak Sang Mata Satu, "sekarang pergilah, dan segera persiapkan hiburannya!"
Para pria berjas itu bergegas pergi dengan langkah terseok-seok. Presiden Amerika Serikat pun hanya sanggup mencengkeram mulutnya yang sobek. Beberapa orang bahkan berkomat-kamit untuk meminta pertolongan Tuhan. Namun, Sang Mata Satu mendengarnya.
Dia membentak, "TIDAK ADA TUHAN SELAIN AKU!"
Semua orang sontak tertegun. Mereka takut akan dihukum oleh pria yang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan.
"Jika ada yang berani menyebut nama Tuhan mulai saat ini, aku akan mendatanginya, lalu memberi hukuman yang lebih berat daripada kematian," sambung Sang Mata Satu menggigit giginya sampai bergemeretak. "Kalian paham!?"
"Paham," jawab para presiden serentak.
"Sekarang pergi! Aku tak mau istanaku dikotori makhluk menjijikkan seperti kalian."
Sang Mata Satu berbalik, bersamaan dengan satu per satu presiden yang mulai menuruni Axama menggunakan pilar berlian yang menjulang. Meski pria yang mengaku Tuhan ini mempersilakan makhluk yang akan ia bantai pergi, dia tak bermaksud mengasihani siapa pun.
Ini adalah awal.
Karena itu, mereka berdoa, Tolonglah kami, Yang-Tertinggi.
***
Bethlehem - Palestina, 15 AOE
SIANG ITU, kota berdinding batu krem bercampur putih yang biasa sepi, kini disesaki oleh ribuan pengungsi. Tak ada peziarah yang datang, hanya ada orang-orang berbaju lusuh yang memenuhi jalan-jalan terik.
Dari utara, limusin hitam menderum membelah kerumunan. Pria tua yang menaiki mobil hitam itu tersenyum iba sembari menyalami para pengungsi. Bagaimanapun juga, mereka adalah rakyatnya.
Presiden Juhan sudah kembali dari Axama.
Pria berambut dan berjanggut putih itu menelisik sekitar. Di antara ribuan rakyat, dia sedang mencari seorang lelaki yang amat ia peduli. Di mana dia? Aduh, siapa tadi namanya? Me ... Messal!? Presiden Juhan pun segera membentuk tangannya seperti pengeras suara, lalu berteriak, "MESSAL!"
Messal tersentak. Meski dia enggan menoleh, lelaki berambut coklat itu menunjukkan keterkejutan ketika namanya dipanggil. Dia sedang menyendiri, jauh dari kerumunan yang berebut salam dengan sang presiden.
Di tempat itu, sebuah gedung beratap raksasa, dengan bata krem tua tersusun kokoh menjulang ke angkasa. Di depannya, belasan tiang yang berdiameter melebihi ban mobil, terpancang memagari aula. Rona oranye dan kuning menyorot tempat tadi.
Messal berdiri di sana.
Presiden Juhan mendekapnya. Dia cemas, dan berkata, "Mengapa kamu tadi tidak menjawab panggilan Bapak? Bapak tadi mencarimu—"
"Tidak," potong Messal bernada datar, "mengapa Bapak hanya peduli kepada saya? Pak Juhan adalah seorang Presiden Palestina. Mengapa Bapak tak juga mengkhawatirkan ribuan rakyat Bapak yang lain?"
"Nak Messal, dengarkan bapak—"
"BAGAIMANA DENGAN NASIB RIBUAN PENDUDUK TEPI BARAT DAN JALUR GAZA YANG HARUS TERTIMBUN HABIS KARENA SINAR BODOH MATA SATU KEPARAT ITU!?"
Messal bernapas terengah. Bulir air mata bersarang di pelupuk mata. Dia terpukul dengan semua kejadian ini. Pemuda berusia lima belas tahun itu sudah kehilangan ibunya. Sekarang, dia kehilangan separuh negeri yang berisi saudara-saudara sebangsa. Bahkan, penduduk bumi.
"Maafkan saya, Pak Juhan," ucap Messal lirih. Tangisan jebol dari kedua mata hijaunya. "Dunia ... sudah kiamat."
Presiden Juhan refleks memeluk Messal. Meski ia sudah dibentak oleh remaja yang ada di depannya, Presiden Juhan tak marah. Dia tahu, harga dirinya tak lebih berharga dibandingkan dengan seorang Postulat, apalagi terhadap seorang pemuda yang tak tahu apa-apa. Karena itu, dia harus menenangkan Messal, bahkan Presiden Juhan akan menuntunnya.
"Belum," jawab Presiden Juhan mengusap air mata Messal, "dunia belum kiamat. Masih ada kamu. Bapak tahu siapa dirimu, Nak Messal."
Messal sontak terperanjat. Dia tak tahu mengapa Presiden Juhan berlagak sedang berhadapan dengan sang penyelamat. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah orang-orang memanggil bapak Messal dengan julukan Postulat, dan dia tak tahu mengenai kausalitas terhadap dirinya. Pemuda bermata hijau terang itu pun berdalih, "Apa maksud Bapak?"
"Bapakmu, Mesaye." Presiden Juhan menatap mata sehijau zamrud yang bertengger di pelupuk Messal lekat-lekat. Meski nekat, pria berusia enam puluh tahun ini akan menyingkapnya. "Bapak tahu kamu adalah putra dari seorang Postulat, Nak Messal."
Messal tak mampu menyanggah. Presiden Juhan benar. Messal adalah anak dari sang Postulat, dan dia hampir serupa dengan bapaknya. Meski begitu, ia ragu, lalu tenggelam dalam lamunan. Remaja yatim-piatu itu pun menuruti tuntunan kegelisahan, sampai langkah kaki mengarahkannya ke tempat berpijak pada detik ini.
Presiden Juhan menghela napas paham, lalu mendaratkan satu lengannya ke pundak Messal. "Jadi, apakah ini alasanmu berdiri di depan gereja tua yang menjadi tempat kelahiran Putra Maryam?"
Messal tersenyum masam. Dia malu, gelagatnya tercium oleh Presiden Juhan.
"Kamu mencoba membandingkan dirimu dengan pria itu 'kan, Nak Messal?" tanya Presiden Juhan. "Kalian sanggup bicara saat masih dalam gendongan dan menyembuhkan orang buta maupun kusta. Apakah kamu menganggap dirimu adalah seorang nabi ... atau setara dengan Yang-Tertinggi?"
"Tentu, tidak!" sergah Messal menolak disamakan dengan Tuhan. "Saya bukan Tuha—"
"Sstt! Jangan sebut nama itu!" Presiden Juhan buru-buru membekap mulut Messal. Sampai Messal mengatakan kata Tuhan, Sang Mata Satu bisa mengakhiri hidupnya dengan cara yang tak sanggup dibayangkan.
"Oh, benar. Pasti perintah Mata Satu keparat itu saat di Axama tadi 'kan, Pak Juhan?" tebak Messal berpura-pura tersenyum. "Tahukah Bapak, mengapa saya dari tadi termenung di sini? Itu karena ... aku harus bertarung di Parade Mata Satu nanti—"
"NAK MESSAL! Dari mana kamu tahu berita itu?!" bentak Presiden Juhan sekaget-kagetnya.
"Radio," jawab Messal menunjuk kerumunan di belakang, "berita itu sudah ramai dibicarakan di mana-mana. Israel mengumumkannya, tepat setelah Presiden Amerika Serikat disobek mulutnya."
Presiden Juhan menghela napas. Dia tak mengira, Messal sudah tahu sebanyak itu. Bagaimanapun juga, alasan Presiden Juhan tetap memasang asa dari kata akhir dunia adalah keberadaan Sang Postulat. Namun, dia tak mengizinkan Messal 'tuk ikut Parade Mata Satu. Tidak. Setidaknya tidak untuk sekarang.
"Nak Messal, kamu tahu, kenapa Bapakmu dulu disebut sebagai Postulat?" tanya Presiden Juhan menghadap pintu gereja yang tingginya lima kali lipat tubuhnya.
"Postulat ... artinya kebenaran yang semua orang yakini," jawab Messal percaya diri. "Tidak perlu bukti. Semua orang akan mempercayainya. Dengan kata lain ..., iman."
Presiden Juhan tersenyum, lalu mengelus kepala Messal. "Anak pintar," pujinya, "bapakmu, Mesaye, menghentikan perang dalam sekali jentik, lalu memusnahkan kejahatan lebih cepat daripada kedipan mata. Kami, manusia, percaya bahwa orang seperti itu ada. Namun, kami tak bisa menjelaskan eksistensinya. Karena itu, kami percaya, lebih tepatnya beriman. Hampir sama seperti nabi dan rasul, orang seperti mereka adalah nyata, tapi manusia tidak bisa menjelaskan mukjizat yang ia bawa.
"Mereka adalah Postulat, termasuk bapakmu, begitu pula kamu. Meski kalian berdua bukanlah nabi, kalian sama. Kalian ..., kamu ... adalah seorang Postulat!" ujar Presiden Juhan sembari memegang kedua pundak Messal. "Dunia belum kiamat, Nak Messal. Masih ada kamu. Selama Sang Postulat berdiri di muka bumi, Sang Mata Satu tidak akan bisa menang. Meski seluruh manusia mendustakanmu, aku kan percaya kepadamu. Nak Messal, genggamlah sumpahku!
"Demi Yang-Tertinggi, bapak kan selalu di sampingmu. Ini 'lah imanku!"
Messal menelan ludah keras-keras. Matanya membelalak. Dia tak pernah menyangka seorang setinggi presiden tunduk kepadanya. Namun, inilah takdir Messal.
Dia adalah sang Postulat.
***
P.S.
Kota sekitar Yerussalem dapat dilihat pada peta di bawah ini.
Bethlehem, kota di selatan Yerussalem (kurang lebih 10 km) yang dijadikan tujuan mengungsi, terletak di Tepi Barat, Palestina.
Gambar oleh Netzer, Michael (2011).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top