0 | Prolog
Hari ini akhirnya tiba.
Tanah bergetar sampai mengguncang isi kepala.
Atalya memeluk bayinya dengan tangan gemetaran. Di dalam lemari gelap, dia merunduk dan menangis. Kerudung panjang semerah bunga mawar, ia telungkupkan ke atas bayi yang ada di pelukan.
"Oh, Yang-Tertinggi! Lindungi aku dan putraku!"
Air mata mengucur ke luar pelupuk yang memejam rapat. Getaran di sekujur lengan dan kaki merambat semakin cepat, tidak karuan. Tak tahu sudah berapa lama ia bersembunyi di dalam kegelapan. Hanya lemari kayu yang sudah reyot dimakan rayap akan menentukan nasib. Wanita tersebut terus menepuk-nepuk pantat si bayi 'tuk menenangkannya. Namun, itu sia-sia.
Bayi itu tak menangis.
Mata lebar si bayi menatap sang ibu lekat-lekat. Entah irisnya berwarna apa, tak terlihat, cahaya enggan merembesi lemari tua yang dijadikan tempat berlindung. Di dalamnya, sang ibu masih bergetar. Netranya mengucurkan banyak air mata. Namun, si bayi mengulurkan lengan mungil; ada gelang kayu yang terukir dengan tulisan Messal—itu 'lah namanya.
Messal kecil mengeluskan lengan ke pipi sang ibu yang sudah dibanjiri air mata. Keringat juga bercampur menjadi satu, jatuh dari pelipis dan kening. Messal kecil kembali mengelus pipi kiri sang ibu setelah tak dihiraukan. Namun, ia tak melepas tangan mungilnya. Ia menempelkannya, sampai tangis sang ibu sontak berhenti, tak lagi gemetar—
Suara ledakan seketika membobol gendang telinga yang sudah dipekakkan guncangan dan teriakan. Meski begitu, sang wanita kini tak menangis, malah tersenyum sendu. Dia sudah tidak dihinggapi rasa takut. Keberanian menyeruak dari dalam hati, sampai si bayi menunjukkan sesuatu.
Messal kecil tersenyum lebar.
Mengapa kau malah tersenyum? Aku ... menyedihkan, ya? Sang wanita menundukkan kepala. Ia malu. Dia sedari tadi menepuk-nepuk pantat bayinya, tapi malah ia yang menangis (bergetar hebat pula). Wanita itu menenangkan sang putra, tapi dirinya sendiri yang membanjiri seisi lemari dengan air mata. Messal, ibu memalukan ya?
Si bayi menggeleng.
Bulir air mata jatuh dari ujung pelupuk sang wanita. Namun, sebuah senyuman kini menggurat lebar. Seakan malu, tapi bangga, wanita itu sekali lagi dikalahkan oleh sang putra. Bayi kecil yang tersenyum itu kini tertawa. Suara cekikik pun terdengar, sampai menampakkan mulut yang tak bergigi.
Sang wanita pun tersenyum. Kau selalu berhasil membuatku tertawa, Messal. Dia menempelkan hidungnya ke tempat antara dua mata lebar si bayi berada. Kepalanya menggeleng seolah menghibur. Cekikik pun keluar semakin keras. Berbagai dentuman yang mengiringi guncangan tak lagi membuat sang ibu menangis. Messal memang bukan manusia. Dia berbeda dariku. Dia sama sepertimu ..., Suamiku—
Pintu lemari tiba-tiba terbuka. Seorang pria dengan wajah berkeringat ternyata menyentak kedua pintu dari luar. Seketika, cahaya merembes menampakkan apa yang sebenarnya terjadi.
Akhirnya. Pria yang sedari tadi dinantikan oleh sang wanita sudah memberikan tanda.
"Zawji! (Suamiku!)" Sang wanita melompat, mengalungkan lengan kanan. Ia menarik leher sang suami, sedangkan lengan kirinya masih memeluk erat si bayi. "Bagaimana keadaan di luar?"
Di luar. Mega sore berubah menjadi sekumpulan awan tebal berwarna kuning kelabu. Jejak asap rudal dan roket tempur menggaris putih di langit. Pukul empat sore, selepas asar, luncuran pesawat menabuh gendang telinga orang-orang yang ada di bawah. Suara desing tembakan mengikutinya. Raungan mesin yang menderu juga bergerak mendekat semakin kencang.
"Katamu, mereka sudah sampai di perbatasan!" Sang wanita meremas leher suaminya. "Mengapa mereka memasuki negeri ini?"
"Mereka pasti akan melakukannya," sahut sang suami.
"Kau ... mengetahui ini?"
Sang suami mengangguk. Dia tak sanggup membendung kepahitan yang akan diterimanya. Aku ke sini untuk mencari tanah 'tuk tersenyum. Rumah-rumah berbata krem adalah tempat tinggal bagi pasangan suami-istri ini, tempat tinggal para tetangga pula. Meski berdempetan dengan tingkat-tingkat tinggi, ia sudah menghabiskan dua tahun di sana. Cuaca panas dan tanah kering sudah menjadi tontonan rutin tiap pagi sampai petang. Namun, sore ini berbeda.
Yerussalem akan diserang.
"Ya zawji, Mesaye! Madza nastati'u fa'alah?! (Wahai suamiku, Mesaye! Apa yang bisa kita lakukan?!)" Sang wanita menggoyangkan leher suaminya.
"La (Tak ada)."
Keduanya terdiam saling memandang. Bulir air mata kembali muncul dari pelupuk sang wanita. Namun, Mesaye hanya bisa mengelus bagian belakang kepala istrinya. Ia tersenyum, mengangkat bibir merah yang ditutupi berewok lebat—sebagaimana orang Arab pada umumnya. Tak mungkin. Itu 'lah perkataan yang akan terlontar dari bibir murung sang istri—
Suara ledakan terdengar kembali. Sebuah tank sudah melepaskan tembakan. Lima kilometer adalah jarak yang tersisa. Pasangan suami-istri ini semakin tergopoh, apalagi para tetangga berlarian dari gang-gang sempit. Namun, sebuah tangan mungil kembali menyentuh pipi-pipi yang ada di atasnya. Messal kecil mengelus pipi sang ibu dan sang ayah. Senyum lebar yang disertai cekikik lagi-lagi ia keluarkan.
Messal kecil memaksudkan sesuatu. Berbeda dengan sang wanita, Mesaye mengerti pesan putranya.
"Messal, kau benar-benar menginginkan itu?" Mesaye mengelus kepala sang putra.
"Apa yang ia inginkan?"
Mesaye tak menjawab. Sang wanita terperanjat murung. Dia tahu, suami dan anaknya tidaklah berbeda. Keduanya bukan manusia. Keduanya lebih tinggi. Namun, derai rasa khawatir membanjiri kepala wanita itu. Bukan karena ketakutan kepada suami dan anaknya. Dia takut, sang suami harus meninggalkannya.
"Mesaye, jawab aku! Apa yang diinginkan Messal?"
"Atalya, aku ... tak bisa."
"Kenapa, Suamiku?"
"Aku harus ... pulang."
Atalya menganga, lalu mematung layaknya disiram air es. Wanita itu mengetahui arti pulang yang dikatakan sang suami. Jangan salahkan Messal. Bayi itu tidak memerintahkan sang ayah untuk pulang. Dia hanya memberikan pertanda. Mesaye juga mengetahuinya, tapi ia ragu. Hatinya terlanjur terpaut di sini, bersama Atalya dan Messal, dua orang yang ia cintai.
Apa yang engkau benci, bisa jadi baik bagimu.
Itu adalah hal yang Messal kecil maksudkan sedari tadi. Atalya tak bisa memahaminya, tapi Mesaye paham. Elusan tangan mungil tadi, tepat di pipi, membuat isi pikiran si bayi menyalur kepada kedua orang tua. Ini adalah waktunya.
"Atalya, aku mencintaimu." Mesaye mencium sang istri. Ciuman itu adalah wujud cinta terakhir yang bisa ia berikan. Atalya 'lah yang menemaniku saat tiba di bumi, tak tahu apa-apa. Dia memberikanku sepotong roti. Dia juga yang mencukur rambut-rambut yang ada di daguku. Aku pun menikahinya. Kuberikan hatiku; dia juga memberikan hatinya. Malam itu, aku tak pernah melupakannya. Bagaimana bisa aku melupakan wanita yang memelukku erat-erat? Pelukan malam itu ... sama kencangnya dengan saat ini.
Jangan tinggalkan aku. Keduanya menyiratkan hal yang sama.
"Atalya, doakan aku." Mesaye melepaskan ciuman. Ia tersenyum sendu. "Mintakan aku keselamatan dari Yang-Tertinggi."
Atalya diam tak menjawab. Ia menundukkan wajah putihnya, hanya hidung mancung yang terlihat dari mata hijau Mesaye. Air mata masih menetes ke permukaan rok katun berwarna hitam, menciptakan jejak basah yang pekat. Mesaye hendak mengangkat kepala sang istri. Namun, Atalya lebih dulu mengangkat kepalanya, disertai senyuman.
"Ya A'la, ahmi Mesaye! (Wahai Yang-Tertinggi, lindungi Mesaye!)" tuturnya.
Sontak senyuman tergurat di bibir Mesaye. Hatinya mantap untuk pulang, sekaligus membawa tentara-tentara yang menyerang Yerussalem untuk pulang. Dia bangkit tak gemetar, lalu ia tarik istrinya berdiri.
"Atalya, ikut aku! Perlihatkan kepulanganku kepada Messal!" Mesaye menarik tangan sang istri. Ia pergi ke atap datar gedung-gedung Yerussalem yang berwarna krem muda. Di sana, luncuran roket-roket yang membelah langit oranye terlihat jelas, juga sekumpulan tank yang semakin mendekat berlawanan dengan matahari terbenam. "Atalya, syukron! (Atalya, terima kasih!)"
Atalya menatap nanar sang suami. Pria itu tak pernah segembira ini. Bibirnya tersenyum, tapi derai air mata bercucuran dari netra hijaunya. Atalya mengangguk, patuh kepada sang suami sebelum ia pulang.
"Messal, istama'u abi! (Messal, dengarkan Ayah!)" Mesaye mendekatkan mulutnya yang gemetar ke kuping mungil sang putra. "Tadzkar hadza! (Ingatlah ini!)"
"Ulurkan genggaman kepada yang di bawah, Yang Tertinggi akan bertarung bersamamu."
Messal kecil tersenyum lebar, tawa kecil ia keluarkan. Dia menganggukkan kepala mungilnya. Si bayi mengerti pesan ayahnya. Mesaye pun tersenyum, ia ikhlas. Ia akan pulang. Mesaye mengangkat tangan kanannya.
Dia terbang ke atas langit.
Mesaye merentangkan kedua lengan. Baju galabiya—gamis berkerah bulat—yang berwarna gading berkibar menangkap angin sisa tembakan. Sontak seluruh perhatian tertuju kepadanya, seorang pria yang terbang di langit.
Mesaye menutup kedua mata, lalu ia mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah pasukan berkuda logam. Dia menarik napas dalam-dalam kusuk.
Yang-Tertinggi, aku memohon kekuatan-Mu!
Semua tank meledak serentak. Pesawat yang melintas angkuh juga tak luput dari ledakan. Semua kuda dan burung logam itu berubah menjadi asap kelabu yang dibakar nyala api merah-oranye. Para tentara pun lari tunggang langgang. Sayang, lehernya tertebas habis meninggalkan kepala yang menggelundung, meninggalkan tatapan takut.
"Berhentilah, wahai manusia! Yerussalem 'lah penutup perang yang kalian kobarkan!"
Suara Mesaye menggema bak keluar dari seluruh penjuru langit. Seruan terdengar ke seisi bumi. Semua manusia bisa mendengarnya, tak hanya yang ada di Yerussalem!
Mesaye benar. Perang ini harus dihentikan. Manusia sudah mengulanginya berkali-kali. Pertumpahan darah ini adalah yang terparah. Tak tahu kapan berakhir, tapi Mesaye sudah menghentikannya. Yerussalem adalah titik akhir perang yang tak terhitung sudah keberapa.
"Aku akan menghentikannya!" Mesaye mengangkat tangan kanan.
Cahaya kuning keluar menyilaukan dari langit.
Sontak semua orang jatuh memejamkan mata. Bagi para pendosa, ia tak akan bangun lagi, mati diseret ke neraka. Bagi para orang yang memiliki penyesalan di hati—meski sekecil biji sawi—akan bangun kembali. Ini adalah hukuman bagi manusia. Tidak semua, kecuali Atalya dan Messal; keduanya masih berdiri, memandang Mesaye.
Mereka saling menatap. Bulir air mata kembali muncul dari pelupuk. Ini sudah saatnya. Mesaye akan pulang. Senyum terus ia guratkan meski mata hijaunya dibasahi air mata. Atalya pun sama, ia mencoba tersenyum, menyaksikan kepulangan sang suami.
Tubuh Mesaye perlahan memudar, transparan, hingga lenyap di udara tipis.
Atalya menangis, lalu menundukkan kepala. Kerudung merah tua sampai basah diguyur air mata. Namun, tangan mungil lagi-lagi menghentikan tangisan. Senyum ikhlas dari sang putra membuat hati hangat, ikut rida.
Atalya, tak apa.
Messal akan berada di sisimu. "Ummi! (Ibu!)" Messal berbicara, membuat sang ibu terperangah.
Messal kecil yang benar-benar masih bayi, berusia lima minggu, berbicara! Bahkan, kali ini, ia membuka mulut tak bergigi lebar-lebar, lalu berkata,
"Ulurkan genggaman kepada yang di bawah, Yang Tertinggi akan bertarung bersamamu!"
Messal telah mengikrarkan janji. Dirinya mengerti, ini adalah pertanda.
Kisah sebagai Postulat sudah dimulai.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top