pr0l09
Midwest County, Olnymp State (26 Juli 2019)
"Topik mengenai akhir dunia memang sedang hangat diperbincangkan dan sudah saatnya kita berdoa untuk yang terbaik. Negara kita, Olnymp State, memang dikenal adikuasa dan sangat maju dalam bidang industri. Namun kita tidak berdaya saat menghadapi pemanasan global, meredam pemberontakan di dalam negeri sendiri, dan menjaga hubungan baik dengan negara lain. Aku benci mengatakan ini, tetapi dalam waktu dekat aku bisa memprediksi bahwa sejarah kelam akan terulang."
Seorang bocah berkulit hitam dengan rambut ikal terlihat fokus menonton acara berita Wolf News di saluran nomor 24. Mata bulatnya dengan iris berwarna hitam pekat terlihat tak berkedip, sekaligus menangkap semua asumsi dan penjelasan para narasumber yang sedang diwawancarai di dalam tabung kotak itu. Ia berharap menemukan jawaban atau bahkan solusi dari krisis yang dialami oleh bumi saat ini. Kata perang dunia dan kiamat menghiasi antero media bahkan tak luput juga menjadi topik ngobrol sehari-hari.
"Nona Carpenters, anda adalah perwakilan dari kesatuan tentara perdamaian bernama "The Heaven Wrath". Bagaimana anda menanggapi kiamat ini?" bocah itu mendekatkan posisi duduknya ke arah televisi. Ia sudah menunggu jawaban dari perempuan berkacamata dengan rambut pirang gelap dan rahang tegas yang mengenakan kemeja putih dengan luaran blazer hitam di seberang sana.
"Terima kasih, Andy, aku senang jika lain kali kau menggunakan kata 'krisis' ketimbang 'kiamat' setidaknya untuk mengikis rasa takut di tengah masyarakat akan ketidakpastian fenomena ini," bocah itu ikut mengangguk dan membaca lower third yang ditampilkan dalam layar kaca, "Robin Carpenters, ketua dari Tentara Perdamaian Olnymp State," sebutnya lirih.
"Pemerintahan tengah melakukan tugasnya dalam menangani krisis pemberontakan yang mulai melebar. Kami menyadari bahwa mereka juga salah satu bagian dari negara ini. Perlakuan ekstrem yang mereka lakukan adalah ketidakpuasan atas peraturan dan ketimpangan sosial yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, presiden telah memberikan dekret kalau aku bersama satuan tentara perdamaian akan turun tangan menanganinya. Tentara perdamaian menolak dengan tegas pertumpahan darah, dengan demikian, aku akan berupaya semaksimal mungkin untuk meredam pemberontakan karena pada dasarnya mereka juga lahir di Olnymp State," perempuan itu membetulkan posisi kacamatanya yang turun dari tulang hidung, "Catatan untuk kalian berdua, berhenti menggunakan kata 'kiamat' dan 'akhir zaman'. Semua itu hanya akan memperkeruh suasana, belum lagi pemberitaan yang diangkat oleh media secara besar-besaran bukannya memberitahu jalan keluar malah meneror masyarakat." Robin memukul meja dengan keras, membuat narasumber dari perwakilan legislatif, Mr. Bow dan Andy, terperanjat begitupun si bocah itu.
"Omong-omong soal kiamat, kukira semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan takdir mengerikan di mana Neraka dan seisinya tumpah membakar Bumi, kalian yang memintaku membahas kiamat, 'kan? Jawabanku hanya satu: kita tidak pantas mencicipi Surga dan inilah bukti kemurkaan Surga yang layak diterima oleh kita—kiamat."
Andy mencoba untuk untuk mengalihkan ke segmen iklan, tetapi Robin kembali berbicara dan kamera terfokus ke arah tatapannya yang tajam dari seberang sana, "Ketika regulator dan media berlomba untuk mengejar popularitas dan bisnis. Lantas, rakyat biasa harus mengadu ke mana?
Mulut bocah itu terbuka karena tak percaya menyaksikan kejadian mengejutkan dalam siaran langsung berita sore. Kemudian tayangan berganti ke rentetan iklan. Dia masih terduduk di lantai kayu menunggu akhir dari acara tersebut.
"Whoa, Max! Wanita bernama Robin tadi benar-benar jantan, ya?" Max menengok ke sumber suara yang berasal dari seorang perempuan berkulit putih dengan rambut hitam yang dikuncir buntut kuda sedang bersandar pada pinggiran pintu. Ia mengenakan setelan tempatnya bekerja di sebuah toko kelontong 8-16 yang berjarak 4 blok dari apartemen mereka.
"Ya," jawab Max singkat lalu kembali menonton tv berharap iklannya selesai—tunggu, berharap Adrianne kembali ke kamarnya.
Perempuan itu bersila tangan bersamaan dengan senyum tipis yang pudar dari wajah lembutnya. Dia adalah Adrianne Doyle, kakak angkat Maximillian "Max" Doyle, bocah yang mengenakan seragam bisbol SMA yang sedari tadi sibuk menonton acara berita sore. Hubungan mereka sedang tidak baik sejak awal tahun 2019. Kata diam dan jarak mungkin bisa mewakilinya. Adrianne menghampiri adiknya yang sedang duduk di lantai. Namun, Max merespon dengan tak acuh.
"Bagaimana kabarmu, Max?"
"Ya, baik."
Adrianne menggigit kuku jarinya. Ia mencoba untuk menarik perhatian adiknya dengan bertanya kabar. Sebenarnya, pertanyaan tadi bukan semata untuk basa-basi karena Adrianne memang merindukan percakapan dengan Max. Semua bermula karena perdebatan mereka tentang rumah peninggalan ayah yang dijual dan menyaksikan ibu mereka dirawat ke Rumah Sakit Jiwa Midwest County karena divonis mengidap skizofrenia akut. Tahun yang berat bagi Adrianne apalagi Max yang bulan Agustus nanti baru menginjak usia 15 tahun.
"Jam berapa kau bertanding nanti?"
"7 malam," jawab Max singkat—lagi. Adrianne tidak suka jika adiknya tidak bertanya balik, artinya kabar Max jauh dari kata baik.
"Bagus sekali! Nanti aku akan berseru paling keras untuk mendukungmu, Max!" ia menyikut lengan Max, tetapi dia hanya diam, "Ayolah, Max. Aku mohon."
Max benci ketika Adrianne mengemis perhatiannya seperti itu karena menurutnya seorang kakak tidak perlu melakukannya, hal itu malah membuat Max merasa makin bersalah. Ia terpaksa beranjak dari depan tv untuk pergi ke arah dapur menyiapkan perbekalan seperti roti lapis selai kacang dan botol minum.
"Aku sudah mengemasinya untukmu," seru Adrianne diiringi jingle berita sore yang dominan dengan suara terompet dan perkusi sebagai penanda segmen utama. Max merasa kesal karena acaranya dimulai ketika dia sedang melakukan hal lain. "Max, acaranya sudah dimulai, nih!"
"Aku tahu Adrianne, aku tahu," keluhnya dalam hati seraya menghela napas panjang. Max terdiam dan mengumpulkan konsentrasinya karena mendengar suara debat dari dapur bukanlah ide yang bagus. Belum lagi jika muncul suara gaduh dari kamar yang ada di atas mereka atau mesin kulkas yang berisik.
"Kau tidak ingin menonton di depan tv saja?" sontak Max langsung memukul meja mengulang peragaan yang dilakukan Robin saat siaran langsung tadi. Kakaknya terkejut melihat respon keras yang ditunjukkan Max. Dia menggelengkan kepala heran dan bersila tangan lagi.
Keduanya membisu hanya terdengar suara berita sore yang tidak menampilkan Robin karena digantikan oleh seorang pria berparas oriental dengan berewok tipis serta cara bicaranya jauh lebih halus dan terkesan santun ketimbang Robin yang cukup vulgar. Laki-laki itu mengaku sebagai penasihat kesatuan tentara perdamaian. Namun, baik Adrianne maupun Max tidak mendengar namanya karena mereka sibuk dengan perselisihan ini.
Dihadapannya, Adrianne dapat melihat tubuh kecil adiknya mengenakan seragam bisbol berwarna putih dengan nomor punggung 42. Rasanya aneh karena Adrianne sama sekali tidak bisa memarahi Max, entah karena dia terlalu sayang atau kasihan. Pokoknya, lidah Adrianne terkelu, kata-katanya menyangkut di ujung tenggorokan. Seragam itu malah mengingatkannya dengan ibu yang bangga melihat Max bisa berprestasi di bidang yang ia sukai, Adrianne pun merasakan hal sama.
Sial, dia semakin tidak tega memarahi Max. Walaupun adik angkat, Adrianne bersumpah untuk menjaganya tak peduli apapun yang terjadi. Adrianne menggigit kucir rambutnya sebelum memutuskan kata-kata yang ingin ia sampaikan. Jangan salah, dia melakukan itu sambil berpikir. Sementara Max tak berani menengok ke tempat kakaknya berdiri. Ia diam membisu sambil mengelap telapak tangannya yang basah ke celana karena gugup.
"Siapa lawanmu nanti?"
"SMA East Tampa County."
Adrianne tersenyum hingga kelopak matanya tertutup lalu sedikit membungkukkan badannya sehingga tinggi mereka setara. Aneh, perempuan itu tidak menunjukkan tanda-tanda amarah. Dia cenderung tenang seperti aliran sungai di tempat dangkal.
"Pasti seru! Mereka yang juara musim kemarin, 'kan?"
Max mengangguk, kemudian Adrianne mengacak-acak rambut adiknya dan membantu mengenakan topi bisbol. Tangannya lembut bagaikan bunga lotus, hatinya tenang bagaikan aliran sungai dangkal. Max ingin meminta maaf, kali ini lidahnya yang terkelu. Ia hanya bisa menunduk untuk menghindari kontak mata dengan kakaknya.
"Eh, kamu kenapa?"
Sekarang Max merespon dengan menggelengkan kepalanya. Untuk menyiasati situasi canggung ini, Adrianne berpikir sambil menaruh jari telunjuknya di dagu. Sedari tadi ia sengaja menghindari luapan emosi karena akan berujung pada topik mengenai ibu dan mendiang ayahnya. Adrianne terpaksa melakukan pendekatan emosional berharap bisa mencuri simpati ketimbang harus beradu urat.
"Mari buat perjanjian: kau harus mencetak angka atau home run untukku, jika gagal kau harus membuatkan roti lapis kesukaanku tiap hari hingga bulan depan. Jika kau berhasil mencetak angka, aku akan selalu menyiapkan bekal untukmu hingga bulan depan, sepakat?" Adrianne menawarkan jabat tangan.
Sekali lagi, Max hanya mengangguk lalu membalas jabat tangan kakaknya. Setidaknya dari percakapan singkat dan sentuhan itu, Adrianne dapat menyimpulkan kalau Max tidak membencinya karena tiap malam dia sulit untuk memejamkan mata memikirkan hal ini. Namun siapa sangka, dibalik senyum itu, Adrianne menyimpan luka rindu akan mendiang ayahnya dan mengkhawatirkan kondisi ibunya di rumah sakit jiwa.
Dan dibalik siasat baik untuk tidak meluapkan emosinya, Adrianne menyembunyikan tekanan hidup karena terpaksa menjual rumah peninggalan ayah mereka dan tinggal di apartemen kecil yang bau. Tentu saja, dia harus bekerja paruh waktu untuk menambal kebutuhan kuliahnya dan sekolah Max karena bantuan dana dari kakek mereka—Grandpa Doyle, hanya cukup untuk membayar sewa apartemen dan makanan sehari-hari.
Andaikan Max tahu saat Adrianne mandi di bawah air pancuran, ia menangis karena tidak tahan menghadapi semua beban itu. Namun ia bertahan demi membahagiakan Max dan bertekad membawa pulang ibunya lalu tinggal di rumah mereka yang lama. Sayangnya, Max sudah terlanjur murka. Dia hanya melihat satu sisi tanpa tahu beban yang dipikul oleh Adrianne ketika mengambil semua keputusan itu.
"Setelah ini aku akan mengganti baju dan izinkan aku mengantar—ekhm, menemanimu sampai lapangan, boleh?"
"Tentu, kenapa tidak?"
Adrianne mencubit pelan hidung Max lalu merespon dengan meng-aduh yang singkat. Terdengar sangat kurang ajar jika Max menolak, walaupun ia mengizinkan Adrianne mengantarnya karena perasaan tidak enak. Namun satu hal yang masih disesali Max adalah dirinya yang belum bisa mengucapkan kata maaf kepada kakaknya. Max menepuk keningnya karena kesal.
"Kalian mengatasnamakan tentara perdamaian tetapi menyudutkan orang lain." seruan itu berasal dari acara berita sore yang belum sampai pada segmen akhir. Max melihat dari arah dapur, laki-laki berparas oriental yang terlihat lebih tua dari Robin itu terkekeh melihat lawan debatnya, si anggota legislatif Mr. Bow, marah-marah dengannya.
"Setidaknya kami mengorbankan hal kecil untuk keperluan besar, bukan sebaliknya yang kerap kali dilakukan oleh kalian," ujar penasihat dari tentara perdamaian.
Lagi, Max terpana. Sepertinya satuan tentara perdamaian memang terlihat jujur dan luar biasa.
"Ayo kita pergi, Max," ajak Adrianne yang terlihat manis dengan rambut terurai lalu mengenakan kaus low cut abu-abu dan celana denim, tidak terbayang jika suatu saat ia mengenakan dress.
"Oh tunggu sebentar," tahan Adrianne lalu berjongkok dan mengikat tali sepatu adiknya, "Sekarang sudah aman."
Max membiarkan kakaknya berjalan di depannya karena ia tidak ingin Adrianne menangkap basah senyum kaku yang tersimpul di bibirnya.
***
Closing song:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top