B4b 2 - B4g14n 3 (Th3 Fun3rl)

Hi! Gimana kabar kalian? Semoga baik-baik aja, ya. Oke, mau ngasih tau kalau di chapter ini mungkin kalian mau siapin tisu? Ehehehe karena dari awal sampai akhir terdapat konten yang-cukup-menyayat-hati-karena-kehilangan-seseorang.

Hampir seminggu buat gue menyelesaikan chapter ini demi membangun feel dan vibe yang ada. Semoga tersampaikan dengan baik, ya! Oh, khusus di bab ini gue juga mau ngasih tau kalo ada lagu yang perlu diputar. Gue yakin kalian bakal suka lagu ini sih, judulnya I Can Wait Forever dinyanyikan oleh Air Supply.

Oke, nggak mau bertele-tele, selamat menikmati bab ini!
Love you, folks. xoxo.

***

Memasuki pukul 06:15, pangkalan militer The Heaven Wrath semakin dipadati oleh para pengungsi yang diselamatkan dari Midwest County. Pagi mulai perkasa membentang surai cahayanya, jendela-jendela dibasahi embun, dan asap bekas api unggun meliuk-liuk mulai pudar ditelan waktu.

Robin bersandar pada dinding kayu kamar mandinya yang dingin. Mata sembapnya mengartikan dua hal berbeda: pertama karena ia terjaga semalaman untuk memastikan bahwa semua pengungsi baik-baik saja padahal Oda telah memohon agar Robin beristirahat, tetapi tidak digubris sama sekali. Kedua karena pagi ini-di kamar mandi-ia tak kuasa menahan tangisnya yang meledak, mengingat pukul sembilan nanti harus menghadiri acara pemakaman Kapten Hamilton, Letnan Faurlin, dan Sersan Mike.

Robin mengantukkan bagian belakang kepalannya ke dinding karena rasa bersalah mulai menusuk-nusuk hatinya. Rahang tegasnya bergetar, berusaha keras untuk menahan air mata yang mencekik tenggorokannya. Kedua lututnya dirapatkan ke dada, lamat-lamat lagu pop berjudul I Can Wait Forever dinyanyikan oleh Air Supply yang diputar menggunakan radio kaset dari kamarnya menggaung nyaring diiringi gemercik air memenuhi bak mandi. Namun, semua itu tidak mengalihkan perhatiannya.

Rasanya Robin seperti berada di ambang ketidaksadaran. Ia beranjak menuju bak mandi, menanggalkan handuk putihnya kemudian membenamkan seluruh tubuh ke dalam air dingin. Robin terdiam sejenak membiarkan lengan kirinya terkulai lemas di pinggiran bak mandi karena bekas jahitannya masih basah. Selanjutnya ia menenggelamkan wajah, lalu berteriak sekeras-kerasnya melampiaskan segala emosi yang membelenggu.

Di depan daun pintu yang berdiri kokoh, Oda telah mengetuk sebanyak tiga kali tetapi tak kunjung mendapat jawaban dari Robin kecuali konser pop yang diputar di seberang sana. Perasaan itu tiba bagaikan hantu. Dengan tekad yang kuat, Oda menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga matanya terpejam sebelum memutuskan untuk masuk ke kamar Robin yang tidak dikunci.

Ia menyisir keadaan di sekitar. Furnitur tertata seperti tidak tersentuh, seprai dan selimut telah rapih seolah-olah tidak ada yang menidurinya semalam, dan satu yang mencolok pandangan Oda adalah seragam hitam dan sepasang sarung tangan putih yang digantung pada ranjang susun. Setelan terkutuk mengundang lara bagi siapapun yang mengenakannya.

Kali ini Oda menengok ke arah pintu kamar mandi yang tidak tertutup sempurna. Ketika lagu Air Supply telah bisu, Oda bisa mendengar sayup-sayup isakkan dari dalam sana. Ia membuka pintu perlahan, bunyi derit merekah tetapi tak ubah menarik perhatian Robin yang membelakangi Oda. Mungkin kalian berpikir kalau Penasihat Oda sudah keterlaluan karena masuk tanpa izin atau menganggu Robin yang mungkin butuh ruang sendiri. Ya, Oda sadar akan hal itu, tetapi ia sangat-sangat takut jika sesuatu yang buruk menimpa pemimpinnya.

Belum lagi mengingat pertempuran yang baru-baru ini mereka lalui, termasuk teror potongan video Solomon yang meretas acara berita nasional secara massal. Sehingga tak menutup kemungkinan bahwa tayangan tersebut berhasil mendiskreditkan The Heaven Wrath.

Khususnya Robin.

Lelaki yang juga mengenakan setelan terkutuk itu-tuksedo sehitam arang dengan dasi senada serta rambut disisir rapih menggunakan minyak rambut, berjongkok di sebelah bak mandi. Ia mencoba untuk menautkan sorot mata, tetapi Robin belum merespon. Terdapat jeda beberapa detik sebelum akhirnya perempuan yang terlihat kacau itu membuka suara.

"Kau ingat tiap hari Jumat pagi lapangan itu diramaikan kesatuan Mike yang melakukan lari pagi sambil mengumandangkan nyanyian militer dengan suara beratnya yang lantang?" tanya Robin parau. Oda menggigit bagian dalam rahangnya lalu mengangguk sehingga Robin bisa melanjutkan. "Kau tahu? Ketika menghidu aroma biji kopi yang menguar di lorong pada sore hari, artinya Faurlin baru saja selesai meracik resep rahasia long black-nya. Harus kuakui, kopi buatan Faurlin memang sangat enak," sekali lagi, Oda mengangguk sesekali memerhatikan bekas luka jahit Robin.

"Dan kau tahu tidak? Tiap kali mendengar lagu-lagu Air Supply yang diputar dari kamar Hamilton, berarti dia sedang merindukan kedua putrinya di rumah. Baru saja aku memutar lagu itu karena aku sangat merindukan mereka bertiga, Oda," lanjut Robin, tak sadar berhasil menyimpulkan senyum tipis di wajah Oda.

Akhirnya Robin merespon sorot mata Oda. Ia bisa melihat netra hijau Robin terlihat sendu dan kosong. Di tengah keheningan, ia bersenandung lirih menyanyikan sebuah lagu yang baru saja diputar dari radio sehingga memancing Oda untuk melanjutkannya menjadi sebuah duet.

I can wait forever, if you say you'll be there too

I can wait forever if you will

I know it's worth it all to spend my life alone with you

Mereka hanya menyenandungkan bagian akhir sampai Oda mendapati Robin kembali menjatuhkan butiran embun yang membasahi pipinya. Melihat kejadian itu turut membuat Oda bergetar dan empatinya ikut terpukul. Ia menengadahkan kepala ke lelangit atap berharap agar air matanya tertahan.

Namun gagal.

"Ada dua peristiwa yang sangat kubenci, tetapi tak peduli seberapa kuat aku mencoba. Peristiwa itu akan tiba dengan sendirinya," kata Robin, suaranya bergetar. "Aku benci saat melangkah ke dalam medan pertempuran dan aku sangat benci untuk menghadiri acara pemakaman."

Hampa. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Oda setelah mendengar pengakuan Robin.

"Para prajuritku telah gugur terlebih dahulu, terbaring kaku di dalam peti diselimuti bendera Olnymp State dan meninggalkan orang-orang yang mereka kasihi." Robin menggigit bagian bawah bibirnya-sangat kuat agar tangisnya tidak meledak. "Pemimpin macam apa aku ini menghadiri pemakaman mereka?! Seharusnya para prajuritkulah yang memakamkanku."

Deg!

Oda bisa merasakan kata-kata Robin melesat bak anak panah yang tajam.

"Kukira semua ini adalah kutukan yang terus membelenggu seorang pemimpin; menyaksikan kesengsaraan dan kepedihan. Selamanya, hingga dia mati," tutup Robin.

***

Makam pahlawan Jesolu, Abraham State. Berjarak 20 kilometer dari markas utama The Heaven Wrath yang rangkap menjadi tempat pengungsian. Sebuah padang rumput luas dihiasi batu-batu nisan berbaris rapih merepresentasikan para prajurit gagah dan disiplin walaupun mereka telah beristirahat dengan tenang di alam sana. Barisan bangku kayu yang memanjang ke arah samping dan belakang menghadap sebuah mimbar telah dipenuhi para peziarah-barisan satu, dua, dan tiga ditempati keluarga dan sisanya adalah para kerabat dekat.

Di antara mimbar dan tempat para peziarah duduk, terdapat tiga peti diselimuti bendera Olnymp State dan karangan bunga lily yang harum. Tiga buah bingkai berukuran besar itu turut meramaikan- menampilkan foto pahlawan gagah mengenakan seragam khas The Heaven Wrath dan senyum tipis mewarnai wajah mereka-dipajang di belakang peti sebagai identitas dari masing-masing prajurit.

Captain Tanton Dempsey Hamilton. (14 Januari 1979 - 26 Juli 2019)

Lieutenant Benjamin Rhee Faurlin. (23 September 1984 - 26 Juli 2019)

Sergeant Michael Hoiberg Carr. (8 Agustus 1994 - 26 Juli 2019)

Cahaya matahari bersinar gagah menerangi rumput hijau di bawahnya. Angin bertiup menghasilkan bunyi berdesik dari pohon-pohon besar yang berbaris di belakang para peziarah. Bendera Olnymp State dikibarkan setengah tiang turut menari mengikuti arah angin.

Robin telah berdiri pada mimbar seraya menyaksikan raut penuh duka dari keluarga yang ditinggalkan. Ia mengulum bibir keringnya. Sebuah catatan kecil ditaruh pada alas mimbar. Robin menarik napas panjang membiarkan paru-parunya terisi oksigen dengan harapan suaranya tidak bergetar saat menyampaikan pidato pelepasan para saudaranya. Jari jemari lentiknya membetulkan posisi mikrofon tak lupa kacamata bulatnya yang turun ke pangkal hidung.

Ia telah siap.

"Para tamu terhormat, khususnya keluarga Hamilton, keluarga Faurlin, dan keluarga Carr. Termasuk perwakilan pemerintah Olnymp State yang hadir hari ini," Robin menghela napas lagi karena suaranya terdengar sedikit bergetar. Namun ia menutup topeng kesedihannya dengan mengulas sebuah senyum. "Seorang pria dengan aksen tegas pernah berkata padaku: 'Terkadang kau tidak sadar saat mengejar sebuah kebahagiaan, kau harus melewati fase-fase yang membuatmu tidak bahagia. Lantas, mengapa tidak mencoba untuk bahagia dengan apa yang kau miliki sekarang?' orang yang bertanggung jawab atas kutipan ini adalah saudara kita, Kapten Tanton Hamilton. Ia mengajarkan arti sangat mendalam untuk mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki saat ini."

Robin membuka lembaran selanjutnya kemudian menatap audiens lagi. "Pada musim panas pertengahan bulan Agustus-tahun lalu. Truk kami berangkat dari markas utama di Abraham State untuk mengirim pasokan pangan di garis depan Midwest County. Aku ingat Letnan Benjamin duduk di sebelahku sambil menyesap botol minumnya. Alih-alih membiarkan keheningan menyelimuti rasa takut kami, Letnan Benjamin mendorongku untuk memberi suntikan semangat kepada prajurit lain. Ia mengajarkan kami untuk menghargai tiap detik yang dilalui dalam hidup ini. Lalu, Michael Carr-astaga, anak satu ini."

Beberapa peziarah merespon dengan kekehan pelan begitupun Robin sambil menyeka air mata yang meluncur dari kelopak matanya.

"Michael Carr adalah prajurit yang penuh kejutan dan memiliki selera humor unik. Pernah suatu hari, aku menangkapnya tengah menonton film Mary Poppins dan menangis seraya memeluk bantalnya." Audiens tertawa mendengar itu sekaligus mencairkan suasana serius yang mengkungkung acara pemakaman. "Alih-alih mengakui perbuatannya, Michael justru berkelit kalau air mata itu berasal dari mulutnya yang terus-menerus menguap karena rasa kantuk. Pada akhirnya, ia mengaku bahwa Mary Poppins memang memiliki tempat istimewa dalam hatinya karena film itu mengajarkan untuk berani menjadi diri sendiri dan mengingatkan Mike kepada istrinya yang ada di rumah."

Dari seberang mimbar-pada bangku baris kedua, seorang perempuan dengan dress hitam lengan buntung, rambut updo berwarna cokelat kemerahan, dan pipi merona serta hidung mancung-melempar senyum manis untuk Robin yang mengenang Michael lewat sudut pandang jenaka. Perempuan itu bernama Rachel Carr, istri dari Sersan Mike. Menyadari hal itu, lantas membuat Robin membalas senyuman ramahnya.

"Aku sepakat dengan Mike, sejak hari itu ia berhasil meracuniku dengan tayangan pengasuh anak yang membawa payung ikonisnya. Selain jago membuat lelucon, kesatuan The Heaven Wrath sangat mengenal Mike karena ia suka bernyanyi. Walaupun-maafkan aku Mike-suaranya agak sumbang. Namun ia tetap percaya diri untuk bernyanyi. Hari ini izinkan aku melantunkan sebuah lagu untukmu, Mike."

Robin memejamkan mata. Ia merasakan pelupuknya hangat dan napas tercekat di ujung tenggorokan. Namun tak menghentikannya untuk menyanyikan lagu berjudul Amazing Grace. Angin berbisik dari arah pepohonan, burung-burung berkicau mengiringi senandung lagu beraksen damai yang tengah dinyanyikan oleh Robin.

Ketua The Heaven Wrath itu memiliki potensi suara alto yang unik walau terdengar sedikit basah. Ia membuka suaranya dengan lantang. Pada awalnya, Robin memang bernyanyi sendirian. Namun suara-suara para peziarah turut menyertai sehingga membangun sebuah alunan nada yang utuh, tenang, dan damai.

Robin menatap tiga peti di hadapannya. Air mata mengucur deras membasahi kedua pipi, suhu dingin merambati tulang punggung. Di tengah nyanyian yang masih menggaung, Robin turun dari mimbar untuk menghampiri peti itu. Tentunya diikuti Oda yang sedari tadi berdiri di belakangnya.

Ketiga prajuritnya telah terbaring di dalam peti yang tertutup rapat menyisakan potret foto yang tersenyum kepada Robin. Tak ada lagi lelucon Mike, nasihat Hamilton, dan arahan Faurlin. Namun Robin percaya, mereka masih setia mengamati dari atas sana.

Rasanya sangat berat untuk merelakan kepergian mereka, tetapi hidup harus tetap berjalan. Oda membantu Robin untuk duduk di sebelah Rachel-istrinya Mike. Sementara penasihat andalan The Heaven Wrath itu duduk pada baris belakang nomor dua bersama Emily, Lance, dan Galantine.

"Terima kasih telah memberikan kesan baik kepada Mike," ujar Rachel ramah. Bibir tipisnya mengukir sebuah senyum, tetapi air mata itu tak berhenti menetes. Sontak Robin langsung menggenggam tangannya, berharap bisa menenangkan Rachel.

"Mike adalah prajurit hebat dan berani. Aku yakin dia juga suami yang sangat penyayang," balas Robin lembut.

Acara selanjutnya adalah pelepasan. Ketika bunyi alat musik bugle yang ditiup oleh seorang prajurit dengan seragam serba putih menggema di pemakaman, para peziarah akhirnya berdiri. Masing-masing peti digotong oleh enam prajurit, dibuntuti anggota keluarga yang membawa foto sang pahlawan.

Robin bersama Emily mendampingi Rachel untuk mengiringi kepergian Mike.

Oda bersama Galantine dan Lance mengiringi kepergian Faurlin.

Sementara Sylvia perwakilan dari pemerintah Olnymp State melepas kepergian gurunya-Kapten Hamilton menuju tempat peristirahatan terakhir.

Langkah mereka berat, detik-detik berganti dengan cepat, tiupan bugle yang mengumandangkan lagu pelepasan militer berjudul taps menggetarkan gendang telinga bagi siapapun yang mendengarnya.

Robin melihat sebuah cahaya yang amat terang membutakan mata seakan-akan mengangkat ketiga saudaranya-Hamilton, Faurlin, dan Mike pergi ke alam sana. Ia memejamkan pelupuk merasakan terpaan angin yang sangat amat damai menyentuh wajahnya sehingga mengukir bulan sabit di bibirnya.

Aku sangat merindukan kalian, selamat tinggal, batin Robin.

***

Di bawah radar pohon yang rimbun, Robin sedang mengobrol dengan Rachel sebelum mobil jemputannya tiba. Ia mendengarkan dengan tulus tiap kalimat yang disampaikan oleh Rachel. Perempuan itu bercerita tentang Mike dan kenangannya seperti memakan kebab di akhir pekan, menyaksikan pertandingan hoki es, dan tawaran kencan pertama mereka.

"Kami pertama kali bertemu di gedung bioskop. Aku bekerja sebagai penjual tiket dan siapa sangka, Mike ternyata menaruh hati padaku. Kukira dia hanya anak muda iseng yang ingin mengajakku kencan tanpa sebab-ya secara teknis, kami masih muda bahkan usiaku setahun di bawahnya," ada antusias terpancar dari bola matanya. Robin memiringkan senyum sesekali mengelap lensa kacamatanya yang basah. "Tiap akhir pekan, ia datang ke bioskop. Satu hal yang membuatku jatuh hati padanya adalah bagaimana cara dia menatapku tiap kali memberikan tiket kepadanya. Entahlah, kukira Mike sangat istimewa."

"Terus?"

Rachel tersenyum simpul mendengar itu.

"Dia berkata padaku: 'Hei, um, maaf jika terdengar lancang, tapi kau ada acara tidak akhir pekan nanti?' untuk sesaat aku diam membeku mendengar ajakan itu dan berusaha keras mencerna situasi yang ada. Yah, walaupun ajakannya terdengar amat buruk, tapi berhasil membuatku salah tingkah."

Robin tertawa kecil sembari membayangkan wajah kikuk Mike saat mengajak Rachel kencan pertama kali.

"Kau serius dia mengajakmu kencan dengan kata-kata seperti itu?" ledek Robin.

Rachel mengangguk. Raut wajahnya nampak sumringah kemudian ia memiringkan kepala ke arah kanan sambil menyipitkan mata untuk mengingat-ingat lanjutan adegan itu.

"Lalu aku menjawab: 'Maaf, sepertinya pacarku tidak akan mengizinkan tawaran ini.' Astaga, Robin, kau harus melihat ekspresi wajahnya malam itu. Ia terlihat canggung sementara aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak meledakkan tawa. Namun, aku gagal dan bergegas memberitahu bahwa jawabanku tadi hanyalah lelucon."

Keduanya tertawa karena kenangan itu.

"Pada akhirnya, aku tidak menyesal telah menerima ajakan kencan Mike. Malahan, aku merasa amat beruntung telah dipertemukan dengannya," lanjut Rachel berhasil menghentikan tawa mereka.

Sontak Robin langsung memeluk Rachel dengan erat sesekali menggosok punggungnya untuk mengikis kesedihan yang mengkungkung. "Aku yakin Mike merasakan hal yang sama, Rach. Aku yakin itu."

"Robin?" panggil Rachel lirih.

"Iya, Rach?"

Rachel menelan ludah sebelum melanjutkan.

"Sejujurnya, aku telah menyiapkan kejutan untuk ulang tahun Mike bulan Agustus nanti."

"Oh iya? Apa itu?" sahut Robin penasaran.

"Bun in the oven."

Hanya butuh waktu sepersekian detik bagi Robin untuk memahami idiom tersebut. Ia terkesiap bahkan matanya membelalak lebar lalu melepas dekapan mereka sambil menautkan sorot mata lekat-lekat.

"Rachel, kau telah mengandung berapa bulan?" tanya Robin terbata-bata. Rachel menyeka air mata dengan punggung tangannya.

"Satu bulan, Robin," jawabnya masih melekatkan tatapan mereka. "Aku sangat bersyukur karena Tuhan mempercayai kami menitipkan malaikat kecil ini. Aku juga bisa membayangkan raut sumringah Mike dari atas sana."

Robin dapat merasakan jantungnya berdegup cepat serta lututnya terasa lemas setelah mendengar kabar kehamilan itu. Tuhan dengan rencana misteriusnya menganugerahi Rachel dengan seorang bayi. Namun, Mike tidak akan pernah mengetahui kabar ini secara langsung.

"Andai Mike bisa bersabar sebentar saja," kata Rachel. "Ah, aku sangat ingin melihat responnya setelah mengetahui kabar ini."

***

HAIII! Gimana? Ada pendapat? ehehe. Semoga chapter ini berkesan buat kalian, ya! Jangan lupa jaga kesehatan dan terus semangat menjalani hidup. Sekali lagi, Love you, folks!

Sampai bertemu di chapter selanjutnya.

(Amazing Grace)

(Military Taps)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top