B4b 2 - B4g14n 2 (C4mp F1re)

Hi! I'm back. Iya gue tau kayaknya cutinya singkat banget tapi gue bersykur sih akhirnya bisa memaafkan diri sendiri setelah-ada-satu-hal-yang-gitu deeeh. Khusus di bab ini kalian akan diajak Max ngobrol sama para penyintas, mungkin agak berbeda dengan bab-bab lain karena tone di sini agak light. 

Walaupun sempet ada drama, semoga cerita ini masih tetep seru, ya. Sekali lagi gue mau ngucapin selamat membaca dan mohon bantuannya ya kalo nemuin typo ehehe. Feel free if you have any question. Love you, folks!

(Oiya, ini trailer bab 2 yang iseng-iseng gue buat di tengah kegabutan. Kalo mau nonton monggo, nggak juga gapapa. Sekedar saran jangan lupa pake headset, earphone, headphone, speaker eksternal atau apalah itu untuk merasakan sensasi yang lebih epik. Enjoy!)

***

Malam itu, Max tengah duduk dengan lutut yang dirapatkan ke dada. Ia menghangatkan diri di depan api unggun yang dikelilingi oleh para penyintas lainnya. Sebuah lapangan luas dengan tenda-tenda besar dibuntuti tenda lebih kecil sebagai tempat menaruh barang pokok, disinari rembulan berwarna perak yang kadang tertutup oleh awan hitam keunguan. Hari ketiga tanpa Adrianne, setidak-tidaknya berhasil memprovokasi perasaan Max menjadi lebih gelisah. Intuisinya bergerak dibantu oleh angin malam yang sesekali genit merengkuhnya dalam dekapan yang dingin.

Adrianne sedang apa? Atau terkadang Max mengira kalau kakaknya sudah mati.

Belakang ini ia mengalami kesulitan tidur. Ini bukan persoalan kasur lipat yang keras atau selimut yang membuat kulitnya gatal-gatal setelah dipakai semalaman. Tapi alam bawah sadarnya dihantui oleh pengalaman pasca traumatis yang dialaminya setelah bom itu mendarat dan hidupnya tidak lagi sama sejak itu. Ia bisa melihat Adrianne duduk pada tribun, mengenakan setelan kaus sederhana, dan rambut yang dibiarkan terurai berjatuhan di atas pundaknya. Tiap kali benda asing itu jatuh dari langit malam yang terbelah, Max berlari tergopoh-gopoh berharap bisa menarik lengan Adrianne untuk pergi dari tempat itu.

Semua terasa nyata dan cukup mengerikan untuk dicerna. Namun jarak mengkhianati keduanya, Max hanya mampu berteriak memanggil kakaknya yang menatapnya takut dari tribun. Andai kata Max berhasil menarik Adrianne keluar dari neraka itu, ia tak perlu repot-repot terbangun dengan napas yang memberat dan memanggil nama Adrianne.

Max menyembunyikan wajah dibalik lututnya. Ia bisa melihat cahaya api mengintip dari sela-sela tungkai. Suara percakapan di sekitar tidak lebihnya membahas tentang anggota keluarga yang belum kunjung bereuni dan pengisahan heroik dari mulut para penyintas. Rasa-rasanya Max ingin menyumpal mulut orang-orang itu dengan kain karena masih sanggup merangkai pengalaman yang dilebih-lebihkan tanpa tahu duka yang dialaminya. Mereka yang mengelilingi api unggun didominansi oleh anak-anak muda seumuran Max atau beberapa terlihat lebih tua darinya.

Seorang perempuan yang duduk di sebelah Amanda—orang sama yang selalu menghina Max setelah kejadian pencekikkan perawat di tenda—terlihat menyatukan alis saat mendengar kata-kata yang tidak disepakatinya.

"Kau yakin The Heaven Wrath akan menemukan anggota keluarga kita yang masih belum ditemukan?" katanya lancang sambil menunjuk seorang lelaki berambut ikal berantakan dan pipi tirus bernama Juneau Cooper di seberang api unggun menggunakan sendok plastik. "Kukira itu hanyalah janji manis seperti yang mereka kemukakan di layar kaca untuk menyedot simpati kita. Mereka saja kecolongan bom yang diledakkan oleh pemberontak, sekarang kalian berharap The Heaven Wrath menemukan sisa anggota keluarga yang hilang."

Sikut Amanda mengantuk tulang lengan temannya itu. Ia meng-aduh tak luput pelototan kasar diarahkan kepada Amanda.

"Lantas kau mengira bahwa semua operasi ini sia-sia, begitu?" balas Juneau sambil mengangkat salah satu alis tebalnya.

"Aku tidak seratus persen mengatakan kalau operasi ini gagal, sih. Hanya saja percakapan kalian sangat berlebihan dan terkesan membosankan. Apaan, sih, sedikit-sedikit membahas harapan. Memangnya apa yang bisa kita raih dari harapan?" tanyanya lagi. Kali ini Amanda bungkam dan menunduk karena Juneau cs telah menganggapnya satu tim dengan perempuan lancang itu.

Tanpa sadar senyum tipis terukir di bibir Max setelah mendengar pendapat si lancang. Anehnya lagi, Max memiliki pendapat yang sama dengannya dan ingin mendengarkan lanjutan dari perdebatan itu.

"Kita masih hidup karena harapan."

Si lancang menggelengkan kepala, "Tidak, kau salah, Juneau. Kita masih hidup bukan karena harapan melainkan keberuntungan. Kukira semuanya sudah jelas," pungkasnya puas lalu menyuap bubur itu ke dalam mulutnya yang sudah kosong.

"Oke, terserah apa katamu, Jalang." Sebuah hinaan yang memiliki konotasi kekalahan. Perempuan itu tidak keberatan dilabel sebagai jalang karena dia mengantungi kemenangan telak dalam perdebatan ini.

"Namaku Aimee dan kau tidak akan meniduri si jalang ini yang baru saja mengalahkanmu dengan telak."

Aimee. Si lancang yang tidak disukai orang-orang bahkan api unggun itu memiliki suhu yang sama dengan dirinya. Aimee menyuapi Amanda dengan bubur yang sedari tadi ia makan sebagai cemilan. Hitung-hitung tanda maaf karena telah mendelik ke arah Amanda yang mencoba melerainya dari perdebatan. Max mengangkat dagunya setelah Amanda mencolek lengan baju untuk menawarkan sesuap bubur.

Perempuan itu terlihat lebih bersinar di depan api. Senyum penuh keraguan turut terpancar saat sendok yang digenggamnya hendak ditolak atau malah dilahap oleh Max. Keduanya sempat terdiam membiarkan tawa gaduh dilempar kepada Juneau yang baru saja dikalahkan oleh Aimee. Kali ini Amanda menaikkan kedua alis seperti antena yang memberi sinyal agar Max membuka mulutnya. Dan Max akhirnya sepakat lalu merasakan bubur asin yang meleleh di lidahnya.

"Terima kasih," ucap Max singkat. Amanda menaruh tangannya di depan dada lalu mengeja huruf Max menggunakan jari gemuknya dengan tempo lambat.

"Sama-sama, Max."

Kebahagiaan ini membuat perasaan Max jauh lebih baik walaupun hadir dari sesuap bubur. Bukan, ini bukan soal rasa dari buburnya tapi kedekatan yang terbangun di saat sendok yang digenggam Amanda melayang ke mulut Max dan menyaksikan Aimee mempertahankan argumennya. Perdebatan itu berubah menjadi gelak tawa. Untuk sesaat, setidaknya mereka melupakan kejadian pilu yang menimpa beberapa hari lalu.

Pikiran soal Adrianne yang selalu menghantui Max bisa dialihkan.

Max merasakan paru-parunya sedikit lebih ringan sesekali mengeratkan sebuah gelang hitam yang menghiasi pergelangan tangannya. Gelang itu adalah pemberian dari perawat The Heaven Wrath. Entah apa yang mereka pikirkan saat merekatkan di tangan Max. Yang perlu Max ingat, gelang itu tidak boleh hilang. Pesan itu disampaikan oleh dokter dengan suara parau yang dahinya selalu berkerut dan matanya terlihat sayu. Tapi ia tidak tahu alasan mendasarnya dan Max tak acuh kecuali dirinya dirugikan dengan pemasangan gelang itu. Hanya saja ia merasa seperti seekor anjing karena tertera nama dan kode batang dari gelang tersebut.

Amanda menunjuk sekumpulan orang dengan seragam The Heaven Wrath berjalan ke arah mereka. Bahasa isyarat itu tak perlu diterjemahkan lebih lanjut karena bersifat universal. Sore tadi Max ingat tempat evakuasi dipadati angkatan darat dan angkatan udara yang pergi meninggalkan pos. Gemuruh mesin helikopter dan mesin mobil saling bersahutan mencuri perhatian para pengungsi yang menonton itu bagaikan acara televisi yang seru. Sebenarnya Max merasa norak melihat orang-orang itu saling melempar asumsi dengan menunjuk objek yang dimaksud. Namun rasa penasaran dalam dirinya lebih besar ketimbang gengsi yang membuat Max ikut larut dalam tayangan tersebut.

Perlu diakui angkatan darat yang mengendarai mobil humvee berseragam lengkap dan pilot yang menerbangkan helikopter sementara baling-balingnya berputar penuh tenaga menerbangkan debu-debu untuk mengangkat para prajurit menuju angkasa memang terlihat keren.

Tanpa sadar, Max dibuatnya berdecak kagum.

Dia berdiri di dekat pagar besi. Amanda, Aimee, dan Juneau tentu ada di sana juga. Aimee yang paling berisik bahkan suara altonya tidak tenggelam dalam lautan deru mesin. Ia mengoceh kalau para prajurit itu meninggalkan mereka. Selalu saja kritikan pedas. Perempuan dengan kuku yang dikuteks hitam dan suka mengenakan choker itu selalu berpikir negatif.

Rahang Max terperangah dan matanya membelalak lebar saat melihat seorang perempuan tegas yang ditontonnya pada acara berita debat sore beberapa hari silam bersama Adrianne berada di hadapannya.

"Bagaimana keadaan kalian?" tanyanya ramah. Senyum itu merekah pada bibir dan dagunya yang dihiasi luka.

Mereka semua bergumam tidak jelas tapi pada intinya Robin mengerti kalau para pemuda yang sedang duduk di depan api unggun ini baik-baik saja. Kali ini seorang lelaki mengenakan kacamata dan kemeja putih dengan lengan dilipat menghampiri. Dia melihat ke kanan lalu kiri—menganalisis audiens di depannya.

"Saya di sini akan mewakili Direktur Robin Carpenters untuk mendengar keluhan dan kebutuhan kalian. Nama saya Oda—Takeshi Oda, siap melayani anda."

Max bisa merasakan napasnya yang tercekat di tenggorokan. Oda maupun Robin—dua orang itu sungguh berpengaruh di hidupnya. Selama ini Max hanya menonton mereka dari layar kaca. Siapa sangka, sekarang dirinya dapat berinteraksi secara langsung.

Selama di sekolah, organisasi The Heaven Wrath menjadi topik pembahasan yang tiada habisnya oleh anak-anak seumuran Max. Mereka bercita-cita untuk bergabung bersama para tentara perdamaian karena bisa membawa senjata keren dan mengendarai robot-robot canggih. Belum lagi seragam The Heaven Wrath secara otomatis bisa mengangkat status sosial seseorang—astaga, seragam. Pikiran konservatif macam apa itu yang masih melihat seragam sebagai pencapaian terbaik?

Pola pikir sempit itu tidak memengaruhi Max. Sebaliknya, dia melihat The Heaven Wrath sebagai organisasi yang dapat memulihkan perdamaian dan mengakhiri semua bencana ini. Max ingin bergabung dengan mereka agar keturunannya tak perlu lagi melihat kesengsaraan.

Robin terlihat jauh lebih pasif ketimbang saat dirinya berada di depan kamera. Tapi perlu diakui bahwa karisma kesatria yang muncul dari auranya berhasil menghipnotis Max. Di satu sisi, Oda baru saja memperkenalkan prajurit lainnya yang tak kalah gagah: Emily, Galantine, dan Lance—ketiganya berdiri di belakang Robin sebagai penjaga setia.

"Baik, jika kalian membutuhkan sesuatu, kami persilahkan untuk bicara," kata Oda. Lelaki itu tak banyak menggerakkan gestur tubuhnya—tipikal seorang pengamat yang sangat berhati-hati saat bertindak. Justru pembawaannya itu mengundang suhu dingin yang merambat ke tulang punggung Max.

Para pemuda saling bertukar tatapan, tak ada yang berani mengungkapkan pendapat kecuali mengajak ngobrol teman di sebelahnya mengingat semua kebutuhan telah terpenuhi. Namun, tidak untuk Aimee. Ia mengacungkan lengan ke atas dan berhasil mencuri perhatian Oda.

"Rasanya tulangku sudah tidak bisa menerima kasur-kasur keras itu lagi. Ruam pada kulitku juga perlahan mulai muncul karena alergi debu, adakah tempat yang lebih layak agar aku bisa beristirahat?"

Pertanyaan Aimee membuat Oda menengok ke arah Robin sebentar kemudian senyum tipis terulas dari bibir kedua perwira itu. Amanda kembali merasa tidak enak. Dia menegur Aimee dengan bahasa isyarat yang digerakkan dengan lambat.

"Aku tahu yang kulakukan, santai saja, Amanda," kata Aimee. Amanda mengetuk jarinya di depan bibir belum lagi air mukanya menyiratkan rasa takut.

"Kau membuatku takut."

Rasa tidak puas yang diungkapkan oleh Aimee nyatanya membuat Max sedikit tidak nyaman padahal bukan dia yang mengutarakan pandangan itu.

"Jadi, kau ingin pindah ke tempat lain?" tanya Oda seraya menyilakan tangannya.

"Secara teknis, iya," balas Aimee disusul tawa kecil dari para anggota The Heaven Wrath. "Ada yang lucu? Kalian menghinaku?" lanjut Aimee sengit.

"Bukannya kami tidak menghargaimu, Nona—?"

"Aimee Green."

"Hanya saja, kami telah melalui hari yang panjang," jelas Oda.

"Jadi, aku tidak mendapatkan tempat lain untuk beristirahat?" Amanda mencubit lengan Aimee. "Aw! Apaan sih?" keluhnya sambil melotot ke arah Amanda.

"Kau bisa istirahat di kamarku atau bergabung dengan wanita hamil dan para lansia pada tenda khusus, jika tidak keberatan." Robin pun angkat bicara. Ia menghampiri Aimee yang masih memegang mangkuk kemudian menyendok bubur itu untuk dimakan.

"Bolehkah?" tanya Robin.

"Ya, terserah saja." Aimee melihat perempuan itu melahap buburnya perlahan lalu mengulum bibirnya untuk memastikan tidak ada noda makanan tersisa.

"Ranjang di kamarku memiliki model ranjang susun. Kau bisa beristirahat di atas kalau mau, tapi jika kau lebih memilih untuk beristirahat di tenda para ibu hamil dengan matras yang empuk. Kau harus terbiasa dengan tangisan bayi yang bisa menganggu waktu istirahatmu kapan saja."

Robin menyendok bubur itu lagi. Ia terlihat seperti kelaparan membuat Aimee menyerahkan sisa makanannya untuk pemimpin The Heaven Wrath itu. Max dan Amanda bertukar tatapan heran melihat tingkah Robin.

"Mungkin aku akan memilih untuk istirahat di tenda bayi dan ibu hamil karena aku hanya butuh ranjang empuk saja. Lagipula temanku ini—Amanda, harus kuajak. Kalau beristirahat di kamarmu, aku tidak yakin ranjangnya akan muat."

Robin mengangguk paham. Giliran Amanda mendelik ke arah Aimee karena menyeret namanya dalam negosiasi ini. Robin memanggil Oda untuk memastikan ada ruang tersedia bagi Aimee. Namun sebelum memastikan semuanya aman, ia memberi satu pertanyaan lagi kepada Aimee.

"Bagaimana dengan teman-temanmu yang lainnya?"

Aimee mengendikkan bahu. "Itu urusan mereka, lagi pula mereka laki-laki."

Mendengar jawaban itu membuat kelompok laki-laki menyoraki Aimee. Tebak siapa yang paling heboh? Yep, Juneau!

Kegaduhan itu tidak memecah perhatian Max kepada pemimpin The Hevaen Wrath yang turut tertawa geli. Jujur, tawa itu menghantarkan rasa hangat di pipi Max. Ia mendapat sebuah pandangan baru bahwa tidak semua pemimpin serta merta menggunakan kekuasaan untuk kebutuhannya sendiri—bertindak berengsek seakan-akan orang lain tidak penting di matanya. Lalu hadirlah Robin Carpenters. Seorang pemimpin yang terjun langsung ke pos evakuasi menanyakan kebutuhan para pengungsi, menerima kritik secara terbuka (walau terkadang ia mendapat hinaan juga), rela berbagi ranjang dengan pengungsi, bahkan tidak jijik memakan bubur satu piring dengan orang lain.

Tanpa sadar lamunan Max menautkan sorot matanya dengan Robin. Dalam waktu sepersekian detik, Max langsung menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang terbakar rasa malu. Namun, ada satu hal yang membuat Robin tertarik sehingga ia menghampiri Max karena anak itu cenderung murung tidak seperti anak-anak lainnya.

"Siapa namamu?" Robin bertanya seraya menawarkan jabat tangan. Suaranya terdengar sedikit serak.

"Doyle. Max Doyle," jawabnya lalu membalas jabat tangan Robin.

Gelang itu mencuri perhatian Robin. Tangan mereka masih mengikat, Max bisa merasakan telapak tangan Robin yang kasar dan kering. Di sisi lain, Robin memanggil Oda untuk memastikan bahwa gelang yang melilit pergelangan Max adalah benda yang ada di dalam benaknya.

"Apakah ini gelangnya?"

Oda melepas kacamatanya lalu menatap Robin mantap. "Iya, itu dia."

Kedua orang itu melihat Max penuh arti, sementara Max hanya mampu bergeming dan menelan ludah karena rasa gugup mulai menjalari tubuhnya.

***

Suasana di depan api unggun terasa berbeda setelah anggota The Heaven Wrath pergi. Mereka mendengar percakapan antara Robin dengan Oda yang mengungkap sisi lain Maximillian Doyle. Kelompok itu menatapnya penuh tanya, padahal Max sangat tidak suka ditatap seperti itu. Pernah suatu hari di kelas setelah gurunya mengumumkan nilai esai tertinggi jatuh kepada Max lalu semua murid menengok ke arahnya seolah-olah dirinya telanjang di muka umum. Lantas, Max hanya terpaku karena dia tak tahu harus merespon apa.

Kejadian itu terulang kembali layaknya sebuah sejarah kelam yang sudah dikubur tetapi bangkit dengan sendirinya. Ia masih menyembunyikan wajah di balik lututnya, sesekali membuang pandangan ke sekeliling kemudian mendapati Aimee dan Juneau paling mencolok menggeledahnya dengan tatapan khas interogator.

Tidakkah kau benci merasakan itu? Sebuah perasaan yang membuat napasmu memburu, keringat dingin membasahi punggung, dan dengkul bergetar padahal kau tidak membuat kesalahan tetapi orang-orang menilaimu demikian padahal hanya melalui tatapan.

Max mendengus kesal memutuskan pergi dari perkumpulan api unggun untuk kembali beristirahat di tenda. Orang-orang itu tidak akan mengerti beban yang dirasakan oleh Max, mereka hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu tanpa peduli perasaannya.

Empati sampah.

"Hei, Max! Kau mau ke mana?" panggil Juneau membuntutinya dari belakang disusul juga oleh Amanda yang menyiratkan raut wajah cemas. "Max, ayolah. Ada apa denganmu?" lanjutnya tetapi tak berhasil menghentikan langkah Max.

Sinar bulan tertutup oleh awan hitam keunguan serta berhasil menyandera bintang-bintang dalam kegelapan. Di bawah lampu berpendar putih kekuningan, Max menaruh tangan di saku celana dan melangkah mantap tanpa menengok ke belakang berusaha keras tidak memedulikan rengkuhan Amanda dan Juneau yang mencoba untuk meraihnya. Ia menendang kaleng soda kosong yang menghasilkan bunyi tak beraturan.

Sebuah langkah berat terdengar cepat berhasil menyusulnya. Ternyata Amanda yang berlari kecil lalu menghadang Max seraya membentangkan kedua lengannya lebar seperti sepasang sayap. Perempuan yang mengenakan kaus putih polos dan celana tidur berwarna kelabu itu menaruh jari telunjuk di depan sebagai isyarat agar Max berhenti.

"Ayolah, Max. Aku minta maaf jika membuatmu kesal. Kau tahu, kan, kita telah melewati hari-hari yang panjang?" ujar Juneau napasnya sedikit terengah begitupun Amanda. "Kami menyesal karena tak sengaja mendengar penjelasan—kau tahu, perempuan seksi bernama Robin itu, tapi kami tidak punya opsi lain selain mendengar percakapan kalian." Max memutar bola matanya karena tak menyangka Juneau masih sempat melontarkan lelucon di saat-saat seperti ini. "Eh, tapi aku serius, Max. Kau adalah sebuah keajaiban, aku sepakat dengan Robin. Kalau kau tidak keberatan, kenalkan aku dengannya juga, ya?" lanjutnya genit sambil merangkul bahu Max.

"Berhenti memanggil Direktur Robin seksi," kritik Max. "Dan jangan pernah bahas lagi percakapan tadi, oke?"

Juneau melempar tawa singkatnya yang terdengar memaksa. "Oke, janji. Kau juga kan, Amanda?"

Perempuan dengan rahang tegas yang memiliki senyum manis itu mengangguk mantap. Tanpa sadar, senyumnya turut menular bibir Max. Dalam rangkulan yang hangat itu, Max bisa mencium bau cologne murahan bercampur tembakau dari tubuh Juneau. Lelaki dengan cambang bauk tipis dan rambut hitam legam berantakan ini memang ramah tetapi tidak pernah berhenti melempar lelucon. Setidaknya dia tidak semengerikan dan se-bossy Aimee.

Max menduduki pantatnya pada batang pohon sama, kali ini Juneau dan Amanda mengapitnya di tengah-tengah. Jauh lebih baik. Ya, Max bisa merasakan emosinya mereda karena pembuktian dua temannya ini. Sebelum bom meratakan sebagian kecil dari Kota Midwest County, ia tidak memiliki banyak teman. Secara harfiah, Max bahkan lebih suka menyendiri ketimbang berinteraksi. Ia merasa tidak cocok dengan lingkungannya.

Tiap berada di kelas, Max pasti memilih untuk duduk di bangku paling belakang dekat jendela sambil menatap lapangan bisbol—sebuah tempat yang mampu memunculkan potensi sesungguhnya. Bagaimana pun, hubungannya dengan rekan satu tim terbilang tak harmonis. Hal ini membuat Max dianaktirikan oleh tim karena tidak mampu membangun ikatan satu dengan lainnya. Beruntung Max memiliki pelatih yang pengertian sehingga ia tetap diterima di dalam tim walaupun mendapat pelatihan khusus.

Max berusaha keras untuk membaur. Dia telah mencoba. Namun layaknya air dan minyak—sesama benda cair tetapi saling menolak. Ia memutuskan untuk membuat tembok di antara orang-orang. Pernah suatu hari, Max terpaksa sengaja pulang telat karena mencari akal untuk menyembunyikan mata kirinya yang lebam ditambah hidung mimisan. Salah satu rekan tim yang juga kakak kelasnya menghina Adrianne. Dia mengaku punya fantasi berlebihan dengan kakaknya dan rela melakukan apa saja asal bisa memperkosa Adrianne di toko kelontong tempatnya bekerja.

"Apapun asal mendengar suara desahannya."

Tinju telak dua kali berhasil mematahkan tulang hidung dan membuat mulut rekannya berlumuran darah. Namun Max merasa belum puas. Ia seperti kesetanan kemudian mengambil sebuah tongkat bisbol kayu untuk menghabisinya saat itu juga. Rekan satu timnya mengenal Adrianne karena ia sering menonton pertandingan bisbol adiknya, beberapa dari mereka bertanya langsung kepada Max walaupun tidak digubris dan sisanya mencari tahu sendiri (ini yang sangat dibenci oleh Max).

Momen pertengkaran itu terjadi tak lama setelah ibunya dibawa ke rumah sakit jiwa. Memang, hubungan Max tengah retak tetapi tidak menutupnya untuk melindungi martabat Adrianne sebagai perempuan dan seorang kakak yang diinjak-injak oleh orang lain. Ia baru saja mengayunkan tongkat tetapi beberapa rekan yang berada di pihak orang berengsek itu tiba lalu memukuli Max.

Sebuah selimut beludru berwarna cokelat disampirkan Amanda pada bahu Max. Lelaki yang akan menginjak usia lima belas tahun pada bulan Agustus itu terperanjat dari lamunannya dan menangkap sorot mata Amanda yang berkilau. Ia mengeratkan selimut itu.

"Terima kasih lagi," ujar Max ramah. Amanda hanya mengangguk.

Percakapan yang awalnya membahas tentang pencarian anggota keluarga mereka yang belum ditemukan (biasanya Juneau cs akan mengajak Aimee cs untuk menyusuri tempat pengungsian ini, karena tiap harinya selalu ada pengungsi baru yang ditolong oleh anggota The Heaven Wrath), tiba-tiba berganti setelah Aimee tidak puas melihat kehadiran Max.

"Kukira kau sudah tidak suka lagi dengan kami?" serang Aimee yang kali ini duduk bersama dua temannya Juneau. "Ya, aku paham kau sekarang orang penting dan situasi telah berubah bla-bla-bla. Bukan berarti kau seenaknya berpaling seperti tadi," lanjutnya dengan nada remeh.

"Oh, sudahlah, Aimee. Kau tidak perlu mengungkitnya lagi," bela Juneau tidak puas. Kali ini derai tawa muncul dari perempuan dengan mata bulat besar dan bibir tebal itu.

"Tidak kusangka, Juneau—laki-laki mesum disewa oleh si idiot menjadi juru bicaranya. Kalian memang serasi."

"Kau ada masalah apa, sih?" balas Juneau nada suaranya meninggi.

Amanda memutuskan untuk menghampiri Aimee dan memberikan sebuah bahasa isyarat beraksen tegas. Berulang kali ia memukul telapak tangannya sendiri dengan cepat, matanya ikut melotot dan alisnya menyatu.

Aimee menghela napas panjang sambil memegang bahu Amanda. "Aku tidak selalu mengerti bahasa isyaratmu, Am. Kau boleh menulisnya?" gerak bibirnya lambat sehingga Amanda langsung mengambil buku catatan kecilnya untuk menerjemahkan maksud lebih lanjut.

Dari seberang sana Juneau mencoba untuk menghasut dua temannya—Barclay si bocah culun yang mengenakan kacamata kotak dan Lamar laki-laki jangkung berambut afro untuk menjauhi si nenek sihir atau setidaknya itu adalah panggilan sayang Juneau untuk Aimee.

"Kau ada masalah apa, sih?" kata Aimee mengulang kata-kata Juneau sebelumnya.

"Apa?" Juneau mengendikkan dagunya.

"Ya, kau kenapa?" tuduh Aimee sengit.

Api di hadapan mereka mulai menyusut. Max harusnya berterima kasih dengan Juneau karena berhasil mengalihkan perhatian Aimee. Namun, dibalik serunya perdebatan itu ia kembali mengingat-ingat perkataan Robin.

"Mereka memberiku sebuah laporan yang tidak akan pernah kupercaya sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kali ini, aku harus menarik kembali kata-kataku. Kau memang sebuah keajaiban, Max—secercah harapan di tengah kegelapan." Semua orang yang berdiri di depan tabunan menatap Max beragam, tetapi Robin yang terlihat paling bersinar. Sebuah tatapan penuh arti karena menyaksikan keajaiban di tengah hancurnya perikemanusiaan. "Temui aku di kantorku besok pukul 7 malam. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Ikuti saja jalan setapak menuju tenda besar yang paling ujung, kau akan menemukan sebuah bangunan kecil yang berbaris rapih dan mintalah seorang penjaga untuk mengantarkanmu bertemu denganku, paham?" Max mengangguk kecil. Dia tak pernah menyangka akan berinteraksi sedekat ini dengan Robin. Jika mengetahui hal ini, Adrianne pasti turut senang.

Aimee terlihat heboh setelah membaca tulisan singkat yang baru saja diterjemahkan Amanda. Hal ini mengundang gelak tawa kelompok kecil itu. Mereka memang unik, pada satu waktu berkelahi dan di waktu yang lain saling memaafkan lagi. Walaupun tidak secara gamblang mengucapkan kata maaf, tetapi Max bisa melihat kebersamaan dan keakraban yang terbangun di depan tabunan itu.

"Kau sepakat dengan perkataan si mesum kalau aku mirip penyihir tua yang jelek?" protes Aimee sambil mengembalikan buku catatan kecil kepada Amanda dengan kasar. Amanda menyembunyikan tawa kecil dibalik tangannya.

"Bahkan temanmu sendiri sepakat denganku, ironis," seloroh Juneau seenaknya. Aimee mendelik tanda tidak puas. "Skor kita satu sama, Penyihir!" tambah lelaki itu sambil menyibakkan rambut ikalnya.

Lagi, Juneau merangkul Max penuh antusias. Di tengah canda tawa itu, ia berbisik kepada Max karena terlintas ide jahil di dalam benaknya. "Kau mau mendengar lelucon, tidak?"

Max mengangkat salah satu alisnya dan membiarkan Juneau meneruskan.

"Lihat ini, oke?"

Juneau—laki-laki 18 tahun yang memiliki bekas luka jahit di bawah dagunya itu berdehem untuk menarik perhatian teman-temannya, kecuali Amanda yang terjeda karena dia tuli.

"Hei, Aimee aku ingin bertanya. Apakah masuk akal bagi orang yang tak memiliki tangan mengenakan sarung tangan?"

"Ha?" Aimee mengernyitkan dahi keheranan.

"Jawab saja," tantang Juneau seraya mengangkat dagu.

"Tidaklah, dasar mesum."

Senyum miring merekah, Juneau pun melanjutkan. "Kalau orang yang tidak memiliki kaki, apakah bisa mengenakan kaus kaki?"

Aimee memutar bola matanya malas sesekali membebatkan tali jaket hoodienya karena suhu di sekitar mulai terasa dingin. "Tidak," balasnya singkat.

Kali ini Juneau meremas celana panjangnya berusaha untuk tidak meledakkan tawa sebelum masuk ke dalam punchline. Hal ini mengundang tanya dalam benak Max begitupun Aimee.

"Maksudmu apa, mesum?" kata Aimee sambil melempar potongan kayu ke dalam api.

Ia menghela napas panjang agar suaranya tidak bergetar. "Kalau orang yang tak punya tangan tidak perlu memakai sarung tangan dan orang yang tidak memiliki kaki sangat tak masuk akal mengenakan kaus kaki. Lantas, mengapa kau mengenakan beha?"

Lamar dan Barclay sangat heboh merespon lelucon dilempar oleh Juneau yang sudah terpingkal terlebih dahulu saat menyelesaikan kalimatnya. Max terperangah tetapi Amanda celingak-celinguk seperti orang kikuk yang tidak mengerti.

Sementara Aimee justru ikut tertawa bersama mereka. Namun hanya tawa singkat karena ia ingin sekali membalas si mesum.

"Kau yakin, Juneau? Kau ingin melihatnya, tidak?"

Kegaduhan tiba-tiba sunyi dimakan angin. Barclay, Lamar, Juneau, dan Max memandang Aimee tidak percaya apalagi saat perempuan berusia 16 tahun itu mencoba untuk melepas jaketnya yang turut mengangkat bagian dalam kausnya. Sehingga, perut kurusnya terlihat. Amanda protes dengan menarik jaket Aimee. Namun percuma.

Max tidak berkedip. Juneau merasakan hidungnya hangat seperti ada cairan hendak keluar. Di sisi lain, Barclay dan Lamar diam membeku.

Sebelum pakaiannya terangkat sepenuhnya. Aimee berhenti lalu dengan tegas melempar jari tengah kepada mereka semua seraya berkata.

"Fuck you, boys! Especially you, Juneau the moron."

Ia menunjukkan seringaian maut. Para laki-laki melenguh lemas karena semua tidak sesuai ekspektasi.

***

Trailer footage:

1. Black Hawk Down
2. The Flower of War
3. The Darkest Hour
4. Maniac
5. Batman: The Dark Night
6. Terminator: Dark Fate
7. Oblivion
8. Midway
9. Robin Hood
10. 71 Into the Fire

Soundtrack used in the video:
1. Total War: Three Kingdoms (Shu-Han Trailer) 

BONUS!

(The Heaven Wrath logo)

(Ragnarok of The Rebel Army logo)

(Chalk of The Rebel Army logo)

(The Alpha Wolf; Solomon's logo)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top