B4b 2 - B4g14n 1 (F4ct1on H3ir)

A/n

Haiii, apa kabar? Akhirnya Bab 2 rilis setelah 16 hari sempet mandek karena nonton Money Heist dan nyari ide juga jajaja.

Anywho, gue mau ngasih shout-out buat pluviafrauen atas cover design Post-apocalyptic Trauma yang baru. It's cool, yooo! I really appreciate it.

Gue juga mau ngasih sedikit peringatan kalau bab 2 ini memakan hingga 5000+ words. Jadi, kalo mata lelah jangan lupa istirahat ehehe karena perjalanan kalian bakal panjang. Tapi gue janji akan ngasih pengisahan yang menarik, kok. 

Btw, kalo misal ada typo boleh banget kalian ingetin. Semoga menambah amal kalian khususnya bagi pembaca yang menjalankan ibadah puasa--lancar terus pokoknya!

Ok, gak usah panjang-panjang. Gue persembahkan BAB 2! Enjoy, Folks.

*(Oiya, gue sisipkan hierarki dari Rebels dan peta Olnymp State in case kalian butuh visualisasi lebih lanjut. Thank you!)

*** 

"Kecerdasan buatan atau artifical intelligence membuat robot dapat melakukan kebiasaan manusia bahkan memungkinkan mereka untuk menerjemahkan hal paling rumit seperti perasaan. Namun, robot tetaplah prototipe yang tidak sempurna—hanya mampu meniru dan kaku. Mereka tidak memiliki hati nurani. Lantas, apa yang membedakan mereka dengan segelintir 'manusia?'"

***

Kamera dan lampu studio telah disusun rapih sesuai dengan arahan. Tepat di tengah panggung, seorang pria paruh baya berkulit hitam dengan rambut tipis beruban telah duduk. Kacamata hitam berlensa tebal melindungi matanya yang awas dan sensitif terhadap cahaya—efek dari ledakan bom flashbang saat dirinya masih aktif bertarung di lapangan.

Aidan berdiri di belakang kamera sambil bersila tangan. Seorang pengarah acara dengan headset nirkabel yang disumpal pada telinga berulang kali berseru kepada tiap kru untuk memastikan bahwa daftar susunan acara telah aman, sehingga ia bisa memberi tanda ceklis dalam catatan yang sedari tadi dijepit di ketiak.

Orang yang sedang duduk di panggung mengenakan baju anti peluru berwarna perak metalik dan menyesap cerutu itu bernama Solomon Pane Wilson—pemimpin dari organisasi pemberontak. Pria yang bertanggung jawab atas deklarasi perang melawan pemerintahan resmi serta pasukan perdamaian alias The Heaven Wrath. Bara api menyala terang disusul asap yang meliuk-liuk menuju lelangit atap dengan lampu sorot berpendar putih menyinari tempatnya duduk pada singgasana.

"Semua stand by! 60 detik," pengarah acara itu berseru seraya mengangkat jari jempolnya ke arah ruang kendali yang dihiasi banyak layar televisi menampilkan tayangan-tayangan berita nasional Olnymp State yang hendak mereka retas secara massal.

Mata Aidan mengikuti arah si program director pergi ke sana ke mari. Sebuah telempromter berukuran besar diletakkan tepat di belakang kamera. Dari layarnya itu, timbul teks secara tersusun dan berukuran besar. Seorang teknisi dengan ujung topi diputar ke belakang, mengawasi mesin pengial baca lalu bertanya dengan nada patuh kepada Solomon untuk memastikan bahwa teks yang muncul dari teleprompter dapat dibaca dari depan sana.

"Jelas," sahut Solomon—berat, dalam, dingin, dan singkat.

"Semua pada posisi! Dalam waktu sepuluh detik kita akan mengudara!" lelaki itu melepas headset nirkabel, matanya menatap jam tangan kemudian berseru dengan lantang hitungan mundur dimulai dari angka sepuluh. Jarinya terangkat mantap, lampu-lampu sorot di lelangit studio telah padam menyisakan sebuah lampu yang berada di bawah panggung. Sehingga kamera utama dapat fokus dengan Solomon, setengah dari wajahnya ditelan bayangan.

"On air!"

Kegelapan dingin yang menusuk tulang punggung menyelimuri studio. Bunyi-bunyi ditelan senyap bahkan suara decakan tak terdengar sedikit pun. Aidan menengok ke arah ruang kendali, televisi-televisi itu menampilkan raut wajah bingung dan panik dari para pembawa acara berita nasional karena secara tiba-tiba tayangan mereka diretas lalu berganti kumpulan potongan video peperangan dan pembantaian.

Potongan video itu membuat bulu-bulu kecil pada lengan Aidan berdiri. Ia melihat pasukan The Heaven Wrath dan Angkatan Militer Olnymp State membantai lalu menembakki para pemberontak yang sudah menyerah layaknya kawanan babi—beberapa prajurit yang ada dalam video tertawa, puncaknya saat seorang perempuan tampil dengan tatapan tajam—orang sama yang ditembak anak panah oleh Aidan—adalah Robin Carpenters sedang menguraikan pendapatnya tentang kiamat pada tayangan berita sore.

Robin Carpenters. Nama itu membuat isi kepala Aidan meletup-letup. Ia membayangkan dirinya bertarung satu melawan satu dengan ketua The Heaven Wrath yang bertanggung jawab atas gugurnya ratusan jiwa pemberontak pada pertempuran Midwest County. Aidan mengepal tangan kuat berharap agar dipertemukan lagi dengannya.

Tayangan itu dipermanis dengan latar lagu kebangsaan Olnymp State yang terdengar patriotik. Asap tipis berdesakkan keluar dari paru-paru Solomon, dia sama sekali tidak terdistrak dengan potongan cuplikan pendek yang telah diedit sedemikan rupa oleh editor pemberontak. Fokusnya hanya satu, yakni menyampaikan pesan yang sudah ditulis dalam teleprompter.

Layar dalam televisi berubah gelap, lagu kebangsaan pun turut membisu. Kini, giliran aktor utama mengambil alih panggung sandiwara. Kamera telah menyorot bagian wajahnya pada posisi close-up. Ia menyesap cerutunya dalam-dalam, mengangkat kepala untuk mengeluarkan asap, lalu menatap lensa persegi yang menantangnya untuk berbicara.

"Orang-orang Olnymp State—Saudaraku, kekacauan semakin menjamur, membelenggu rakyat di bawah penderitaan yang tiada akhir. Mereka berpura-pura bertarung atas nama rakyat untuk menutup siasat busuk akan kepentingan sendiri. Kebahagiaan hanya milik penguasa, sementara yang melarat makin sengsara. Pundi-pundi harta berpindah ke dalam brankas, bukan memenuhi kebutuhan kita," suara Solomon bagaikan gelegar petir yang menyambar telinga dan hati para pendengarnya—termasuk Aidan seraya mengusap tengkuk.

"Kekacauan harus dibayar dengan kekacauan karena untuk meraih perdamaian, satu-satunya jalan keluar adalah Perang! Jika sejarah kelam terulang, maka masa depan Olnymp State tengah dalam ancaman." Solomon membuang abu dari cerutunya lalu memiringkan posisi kepala ke arah kanan. "Bahkan cenayang belum tentu bisa melihat masa depan dengan jelas. Manusia bagaikan robot yang memiliki kecerdasan buatan. Mereka berupaya keras untuk mengejar takdir walaupun sadar bahwa ada satu kekuatan telah menentukan jalan masing-masing. Namun layaknya robot dengan kecerdasan buatan, lambat laun akan melakukan improvisasi dari naskah yang telah digarap oleh-Nya."

Kali ini potongan gambar orang-orang yang diseret dan dilempar ke dalam penjara muncul dalam layar, tak luput suara berat Solomon menarasikan kejadian yang ada. "Mereka adalah para pejabat Midwest County yang gagal melindungi keutuhan kota karena membiarkan ledakan bom meluluhlantakkan kehidupan di sana. Orang-orang itu termasuk media berhasil membingkai para pemberontak sebagai dalang dibalik semua kekacauan—sebaliknya, kami berhasil menolong warga sipil Midwest County pergi ke tempat yang jauh lebih aman. Sementara budak kalian—The Heaven Wrath, membantai pasukan pemberontak—layaknya parasit. Mereka mengaku sebagai tentara perdamaian dan menolak keras pertumpahan darah," Solomon terkekeh seraya menghela napas panjang sebelum melanjutkan.

"... Namun mereka tega membantai pasukanku. Ironis dan kontradiktif. Orang-orang Olnymp State—Saudaraku, kuperingatkan kalian untuk bergabung dalam pemberontakan. Mari kita ciptakan sebuah sistem yang ideal dan adil bagi manusia sehingga tak ada lagi penderitaan di depan mata. Ingatlah: apa yang kalian percaya saat ini akan menjadi malapetaka di waktu yang akan datang."

Wajah Solomon hilang disusul dengan layar-layar acara berita nasional yang kembali normal. Lampu-lampu merekah kegelapan di dalam studio. Para kru terutama pengarah acara kembali bermunculan dan merapihkan peralatan masing-masing. Tidak ada riuh tepuk tangan ataupun ucapan selamat, semua nampak datar dan tunduk kepada Solomon. Namun tidak untuk Aidan. Ia mengangkat sudut bibir kemudian menghampiri Ketua Solomon yang beranjak pergi hendak meninggalkan studio.

"Salam hormat, Ketua Solomon," kata Aidan sambil menaruh jari jemari kanannya di sudut alis.

Pembawaannya yang dingin seketika cair saat mendengar suara yang sudah dinantinya sejak tadi. Senyum tulus terukir di wajah keriputnya kemudian meraih tangan Aidan dan mendekapnya erat.

"Oh ya ampun, Aidan. Akhirnya kau tiba," ungkap Solomon sumringah, ia menepuk punggung Aidan berulang kali. "Ayo kita bahas kemenangan ini dalam ruanganku."

***

Begitulah mereka melakukan interaksi singkat selama menghabiskan waktu dalam perjalanan menuju ruangan atau lebih tepatnya tempat bersemayam si Serigala—The Wolf's Den. Solomon menyampirkan jubahnya pada sebuah gantungan besi di sudut ruangan. Aidan mengikuti dari belakang lalu menutup pintu dan memastikannya tidak menjeblak.

Kota Hebei. Markas utama para pemberontak berada, tak tersentuh oleh pemerintah sejak tahun 2010. Sistem berjalan di bawah kekuasaan Solomon yang bertangan dingin. Panji-panji pemberontak berlambang kepala serigala menunjukkan taringnya—menari-nari diterpa angin, jika kau sedang beruntung, kau akan melihat seekor burung gagak bertengger pada pucuk tiangnya. Pemerintahan setempat telah hilang kontak sejak menginisiasi perang dengan para pemberontak. Dan terhitung hari itu pula, belum ada yang mampu merebut kembali sarang serigala bahkan dengan bantuan para tentara perdamaian—The Heaven Wrath.

"Kau ingin old fashioned, Nak?" Solomon bertanya dari bar pribadinya. Cairan berwarna cokelat keemasan terjun dengan tempo perlahan membanjiri gelas lowball mengilap seperti permata di dalam gua.

"Tentu, Ketua," jawab Aidan menyunggingkan senyum dari salah satu sudut bibirnya kemudian menghampiri tempat Solomon berada.

Derap langkah kaki Aidan senyap ditahan oleh karpet merah sebagai alas. Jendela-jendela besar menampilkan sebuah lapangan luas yang dihiasi belasan prajurit pemberontak bersenjata lengkap dan anjing-anjing penjaga berbulu cokelat kehitaman—nampak garang dengan taring-taring tajam dan rompi anti peluru yang dibuat khusus untuk binatang berkaki empat..

Angin memprovokasi awan mendung untuk menutup serpihan cahaya matahari yang belakang ini terlihat sendu membuat gedung pencakar langit dan rumah-rumah susun terlibat dalam kemurungan. Nyatanya, suasana itu menambah kesan tenang di dalam rungan minimalis ini. Sebuah tungku api padam di atasnya terdapat bendera pemberontak—Serigala Jantan—The Alpha Male. Warna cat abu-abu dominan hitam seakan-akan menunjukkan karimsa dari si empunya. Sebuah grand piano mengilap di dekat bar, bergeming tak bertuan menunggu dengan setia hingga suatu hari ada musisi yang tiba untuk membunyikan tuts demi membunuh kesunyian.

Gelak tawa Solomon terdengar nyaring saat gelas mereka saling berdenting. Keduanya dapat mengecap rasa geitr sangat kuat sehingga membuat wajah mereka menguncup. Namun sensasi manis muncul menyapa lidah, Solomon menatap gelasnya yang sudah kosong—tak percaya dengan nikmatnya minuman kesukaannya itu.

"Ini dia, Nak. Jika kemenangan dapat digambarkan dengan rasa—old fashioned ini adalah representasi yang paling akurat."

Aidan memiringkan senyum sembari menyesap minumannya. "Ya, aku sepakat denganmu, Ketua," Aidan membalas, ia memutar perlahan gelasnya memastikan tidak ada tetesan yang tersisa.

Tanpa sadar lamunan itu melempar Aidan masuk ke dalam lingkar traumatis pasca pertempuran. Selama 24 tahun hidup, Aidan memang telah melewati banyak pengalaman seperti ini bukan berarti dia tak bisa melupakan dampak yang diberikan setelah semuanya berakhir. Tiap malam ia mengalami kesulitan tidur karena saat matanya terpejam—Aidan dikunjungi orang-orang yang dibunuh dalam medan pertempuran meminta pertanggungjawabannya. Bentuk mereka beragam—ada yang hangus terbakar hingga tak berbentuk manusia lagi, potongan tubuh hilang, isi perut terburai dan bau mereka sangat menyengat.

Belum termasuk saudara-saudaranya gugur meninggalkan keluarga mereka yang telah menunggu di rumah. Aidan merasa gagal menjadi pemimpin. Ia menghela napas untuk menangguhkan sebuah perasaan yang menohok ulu hatinya.

Solomon menyadari ada yang aneh dari lamunan Aidan. Ia menuangkan kembali minuman itu kemudian menatap lelangit atap dihiasi lampu gantung permata yang nampak anggun.

"Apa yang membuatmu gusar, Nak?"

"Aku tidak bisa berhenti memikirkan prajuritku yang gugur."

Solomon menaruh gelasnya di atas meja kayu menghasilkan bunyi ketukan pelan. Ia beranjak dari bar untuk duduk pada sofa di dekat jendela besar meninggalkan Aidan bersandar sendirian sementara potongan trauma terbang di atas kepalanya—seperti kumpulan awan. Kaki yang dibungkus sepatu bot hitam telah berselonjor di meja berkaki pendek. Solomon berdehem sebelum melanjutkan.

"Harus kuakui, The Heaven Wrath memang sangat tangguh malam itu. Namun, pengorbanan pasti terjadi, Aidan. Kau telah memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi kau tidak bisa mengendalikan dampak di luar kendalimu seperti kematian dan luka-luka pasca perang," Solomon menengok dari sofa, Aidan bisa melihat dahinya yang berkerut. "Perang dan kematian adalah dua hal tak terpisahkan. Mereka seperti malam dan siang—burung dengan sayapnya—serta salju yang mencair. Ya, dua hal yang pasti terjadi." Kali ini Solomon mengangkat jari memanggil komandan dari kesatuan Ragnarok itu menghampiri. Aidan patuh lalu mengikuti bahasa isyarat tersebut.

"Katakan padaku, Aidan," pertanyaan itu bagaikan lidah api yang mengikat hati Aidan belum lagi keluar dari mulut Solomon. Ia menelan ludah berharap rasa gugupnya juga ikut tertelan. "Apa yang bisa kuberikan padamu sebagai hadiah karena berhasil merebut Kota Midwest County."

Alis Aidan menyatu karena perkiraannya salah. Alih-alih membahas hukuman yang cocok dijatuhkan untuk Aidan, Solomon justru bertanya keinginan panglima perang andalannya. Senyum kaku terpancar dari wajah tegasnya.

"Ayo, Nak. Katakan saja, kau ingin apa? Promosi jabatan sebagai penasihat pribadiku? Akses penuh untuk suplai kesatuan Ragnarok? Sebutkan saja, Nak."

"Ah, Ketua, aku tidak tahu—"

"Ya ampun, kau kira umurku masih panjang? Ayolah, aku sudah 75 tahun. Tubuh renta penuh luka ini tak akan sanggup mencicipi hidup hingga satu abad nanti," sarkasnya.

Kali ini Solomon menyilakan kaki seraya menunggu jawabannya. Rahang Aidan mengatup, ia mencoba untuk menyatukan keinginan hati dan kepalanya dengan hati-hati. Sampai pada satu titik, yang diinginkan Aidan hanyalah satu.

Ia menarik napas panjang walaupun tahu suaranya akan terdengar sedikit bergetar, "Aku tidak bisa berhenti memikirkan anggota keluarga yang ditinggalkan oleh prajurit gugur di medan perang. Bolehkah aku meminta agar tiap kepala keluarga yang kehilangan, mendapat ganti rugi sepantasnya?"

"Kau telah memperhitungkan jumlah ganti ruginya, Nak?"

"Soal itu, aku telah membuat membuat perhitungan kasarnya dengan Amare...."

"Baiklah, sepakat!"

Aidan memasang wajah heran. "Sepakat, Ketua?"

Tawa lebar kembali keluar dari mulutnya kemudian menyuruh Aidan untuk menghampirinya.

"Permintaanmu tidak jauh berbeda dengan akses penuh terkait suplai. Aku menyepakatinya, lagipula kau dan kesatuan Ragnarok layak mendapatkan semua itu, apalagi setelah berhasil merebut Midwest County. Hanya saja, pastikan agar hitunganmu dan D'Amare tidak meleset."

Mendengar jawaban Solomon mengundang senyum pada wajahnya. Ia langsung berlutut dan merasakan beban yang membelunggu hatinya perlahan terkikis. Solomon langsung beranjak dan membantu Aidan berdiri.

"Kesetiaanku hanya untukmu, Ketua Solomon," kata Aidan yang menerima uluran tangan ketuanya.

"Kau telah melakukan tindakan yang baik selama mengabdi kepadaku. Kebutuhan dari kesatuan Ragnarok sudah menjadi tanggung jawabku juga, hanya saja ada satu hal penting dan sangat mendesak yang ingin kusampaikan padamu, Nak. Dan ini bukan sekadar sebuah hadiah." Solomon menepuk bahu Aidan kemudian berjalan perlahan menuju jendela besar sambil menaruh kedua tangannya di belakang. "Katakan padaku, Aidan. Apakah aku telah menjadi Ayah angkatmu yang baik dengan memenuhi segala kebutuhanmu?"

Dengan tergesa, Aidan langsung berdiri di samping Solomon lalu menatapnya cemas. "Ketua Solomon, kau tidak perlu mengungkit kebaikanmu. Tentu saja kau telah memenuhi semua itu, seharusnya aku yang bertanya 'apakah aku layak mendapatkan semua kebaikanmu?'"

Solomon menaruh kacamata hitamnya di kepala. Aidan sempat menahan tetapi ditolak dengan tegas sehingga ia bisa melihat mata Solomon yang berwarna hijau pudar—berair dan ada bekas luka memanjang pada bagian kelopak mata sebelah kiri.

"Panggil aku Ayah, Aidan."

Napas Aidan memberat. Ia pun menunduk patuh. "Baiklah, Ayah."

"Perjuangan kita untuk menciptakan keadilan masih jauh dari kata berhasil, Nak. Kemenangan pemberontak saat merebut Kota Hebei dan Midwest County berhasil melepas dahaga yang telah lama kita alami. Rasanya seperti melihat sebuah bukit di tengah danau berair jernih pada akhir musim gugur hingga kau bisa melihat pantulannya dari air itu. Namun, cepat atau lambat kedamaian musim gugur akan berganti dengan ganasnya musim dingin. Pada akhirnya semua akan lenyap dimakan oleh usia—begitupun diriku," ujar Solomon seraya menengok ke arah Aidan—raut wajahnya terlihat semakin cemas. "Mereka menemukan tumor di dalam otakku, Nak. Sekarang aku mengerti dari mana asal jangkar berat yang selalu menyakiti kepalaku," lanjutnya seraya terkekeh pelan.

Berulang kali Aidan menggelengkan kepala karena tak percaya. Namun Solomon terlihat tenang seperti aliran air pada anak sungai. Dari seberang jendela, Solomon dapat melihat awan mendung menyelimuti pencakar langit dan rumah-rumah susun. Kawanan burung berwarna hitam terbang ke arah selatan membentuk huruf V tajam diwarnai gelak tawa dan suara lirih percakapan para penjaga di gerbanng pintu masuk kediaman Solomon.

Begitu indah. Begitu damai. Andai Solomon memiliki umur panjang untuk menyaksikan semua itu.

"Aku sudah mantap untuk memutuskan siapa yang akan menjadi pemimpin selanjutnya. Seorang yang mampu meneruskan perjuangan dari pemberontakan ini."

Aidan memejamkan mata dan merasakan tulang rusuknya kembali nyeri. Ia berharap bahwa jawaban yang terlontar dari mulut Solomon bukanlah seperti yang ada dalam bayangnya.

"Siapa orang itu, Ayah?"

Sekali lagi tangan Solomon mencengkeram bahu Aidan—erat.

"Kau, Aidan. Kau adalah pewaris resmi para pemberontak."

***

Siang yang mendung menguar udara dingin membuat Aidan harus mengeratkan jaketnya. Ia berjalan di atas cetakan bata berwarna merah darah tak lupa mengambil busur panah yang dititipkan pada pos jaga sebelum keluar melalui pagar besi runcing menjulang tinggi pada pucuknya. Para penjaga berbadan besar yang membawa anjing itu memberi hormat saat Aidan beranjak. Untuk kesekian kalinya, Aidan menengok ke arah jendela besar tempat di mana Solomon masih berdiri menyaksikan kepergiannya.

Mereka saling menautkan sorot mata—dingin, sebelum akhirnya Aidan benar-benar menghilang pada sebuah blok di ujung jalan.

Djibril terlihat sumringah saat mendapati panglima perangnya tiba. Aidan juga melihat Kelsey Monroe—kapten berkulit pucat dengan kumis tebal dan mata sebelah kanan dihiasi lebam hitam tengah bersandar pada tiang lampu penerang jalan. Keduanya setia menunggu Aidan selama bertemu Solomon.

"Hey, kenapa dengan wajah murungmu, Aidan? Ada masalah dengan testosteronmu?" ledek Djibril berhasil mengundang gelak tawa Kelsey yang sibuk mengunyah permen karetnya.

Aidan hanya memiringkan senyum kemudian menjitak kepala mereka dengan gemas disusul bunyi meng-aduh berkali-kali.

"Nah, ini jauh lebih baik," balas Aidan puas sambil berlalu meninggalkan dua prajuritnya.

"Eh, Panglima, kau ingin ke mana?" Kelsey bertanya. Ia masih mengusap pucuk kepalanya.

"Berhenti memanggilku Panglima kecuali pantat kalian ingin kujemur di tengah lapangan Walikota Hebei di hadapan para pemberontak."

Djibril menyusul dari belakang, raut wajah kesakitannya terpancar kemudian menyikut Kelsey dengan tegas. "Jangankan memanggilmu dengan nama. Kelsey bahkan selalu memanggilku Komandan Djibril padahal kita tidak sedang berperang."

Sontak Kelsey mendorong pelan pundak Djibril, "Hey, Bung, apa-apaan?!" seru Kelsey gugup.

"Berlaku juga untukmu, Djibril," potong Aidan ketus.

Giliran Kelsey yang menertawai Djibril.

Sayangnya mereka tidak tahu, Aidan tengah dihantui oleh tawaran Solomon terkait dengan pewaris resmi pasukan pemberontak. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. Ruko-ruko di sisi jalan nampak tak begitu ramai, Aidan sesekali melirik etalase toko pakaian dengan sebuah maneken yang berhasil mencuri perhatiannya—mengenakan sebuah jas abu-abu mengilap. Ia berdecak kagum melihatnya tetapi tak ada waktu untuk menikmatinya.

Setelah mendengar pernyataan mengejutkan bak pesan kematian, Aidan langsung berlutut lagi di depan Solomon bahkan dia rela untuk bersujud dengan harapan ketuanya mencabut ultimatum itu. Lutut dan bibirnya bergetar hebat.

"Aku tidak pantas mendapatkan semua ini. Tugasku hanyalah mengabdi kepada keluarga Wilson dan pemberontakan. Aku sangat—sangat tidak layak menjadi ahli warismu, Ayah," ucap Aidan terdengar nada suaranya penuh keraguan. "Maaf jika aku lancang, lagipula, Ayah masih memiliki pewaris sah—anak pertamamu, Eli. Aku hanyalah anak angkatmu yang tidak tahu sopan santun dan tidak menghargaimu sebagai seorang Ayah ataupun Ketua. Aku mohon, kau mempertimbangkan keputusan ini, Ayah."

Solomon bersila tangan, kali ini ia membiarkan Aidan berlutut di hadapannya. "Jadi, kau menolak mandat ini?" ujarnya parau. "Kau tidak hanya menolak mandatmu, kau juga menolak keinginan Ayahmu."

"A-Ayah," seru Aidan kemudian menyentakkan dahinya di atas lantai kayu. Ia sujud, tak mampu menatap wajah ayahnya.

Derap langkah kaki berat terdengar mengetuk lantai. Solomon berjalan mendekati Aidan lalu berdehem sementara anak angkatnya masih dalam posisi bersujud.

"Secara teknis, aku memang memiliki keturunan biologis. Aku bahkan memiliki 2 orang istri, tetapi ini bukan sekadar memberikan mandat kepada anakku begitu saja. Namun, ada hal yang perlu dipertimbangkan—hal paling fundamental dan sangat mendesak," sahut Solomon seraya mengucek kelopak matanya mendadak terasa gatal. "Eli adalah anakku paling tua, usianya 33 tahun—dikenal sebagai prajurit yang tak kenal takut sekaligus pemimpin kesatuan Chalk yang saat ini menjaga perbatasan Hebei kontra Distrik Phoenix. Anak keduaku—Emily Wilson, kami menjulukinya si bijak sayangnya dia membelot ke pihak The Heaven Wrath karena menganggap diriku telah mengkhianati komitmen cinta diberikan oleh Ibunya setelah menikah lagi, dan kau—Aidan Lee." Aidan merasakan panas menjalar tulang belakangnya yang melengkung. "Kau adalah anak angkatku dengan keberanian tiada dua. Sifatmu itu mengingatkan dengan diriku ketika masih muda; berani dan bermartabat."

Latar belakang itu sangat familier di telinga Aidan, bagaimana pun juga Solomon tetap bangga mendongengkannya sebagai pengantar dari topik mereka. Solomon membantu Aidan berdiri dan mendapati mata anak angkatnya berkaca-kaca.

"Ada dua hal yang perlu kau kuasai sebelum menginisiasi suatu pergerakan—adalah rasa takut dan ego. Kau tidak hanya bisa menguasai ego karena kau akan tunduk pada rasa takut dan martabatmu diinjak-injak. Begitupun rasa takut, jika kau tak bisa mengendalikan ego, maka pengikutmu akan segan dan meninggalkan seorang pemimpin yang tidak memiliki perasaan—Eli mendekati ini, sementara kau, Aidan. Kau adalah cerminan sempurna dari kedua hal itu."

Belum selesai Aidan mengingat semua perkataan Solomon, langkhanya terhenti pada sebuah pertigaan jalan dengan alas berlumpur dan bau kaus kaki basah menguar dari sebuah gedung. Itu adalah penjara di pusat Kota Hebei. Tampak luarnya memang mengerikan dengan tumpukkan bata abu-abu dan besi karatan mengelilingi pagar.

Namun bukan itu yang mencuri perhatian Aidan, melainkan segerombolan pemberontak dengan emblem burung gagak kesatuan Chalk pada lengan seragam mereka—tengah menghajar seorang perempuan hingga wajahnya berlumuran darah dan tenggelam dalam jerit kesengsaraan. Tanpa basa-basi, Aidan langsung menghampiri—ia menitipkan busur panahnya kepada Djibril, sementara emosinya membuncah bagaikan gunung merapi hendak meletus.

"Lepaskan dia!" seru Aidan ketus. Kelsey mendahului lalu melempar salah satu pemberontak yang mencoba untuk menyuapi perempuan itu dengan bangkai tikus.

Perhatian dari gerombolan itu terpaku dengan kehadiran Aidan menolong perempuan yang ternyata adalah tahanan militer dari kubu The Heaven Wrath. Situasi ini membuat kepala Aidan semakin mendidih. Ia mengepal tangannya kuat seraya menatap sinis kerumunan dari prajurit Chalk yang tidak terima dengan tindakannya.

"Djibril tolong bantu dia," pinta Aidan sambil mengemuli perempuan yang setengah telanjang itu dengan jaketnya.

"Dia terlihat syok," ungkap Kelsey. Ia berdiri paling depan seakan-akan menahan para kerumunan yang coba mendekati ketuanya.

"Dia baru saja disuapi seonggok bangkai tikus, Bung!" balas Djibril—suaranya meninggi karena emosi.

Tak sampai di sana. Perbuatan para kesatuan Chalk menjadi-jadi karena disekeliling pagar penjara, Aidan bisa menyaksikan barisan kepala yang dipajang menggunakan sebuah tombak kayu seakan-akan trofi yang menghiasi lemari.

"Kau ingin mencari masalah, Kawan?" seorang pria berbadan besar dengan kepala plontos dan alis tajam itu menghampiri.

"Kami tidak mencari masalah karena kau adalah masalahnya, Bung," sahut Kelsey dengan berani berhadap-hadapan dengannya—tak peduli jika badan lawannya lebih besar.

Rahang Aidan mengeras. Perempuan yang juga prajurit The Heaven Wrath itu menangis tersedu-sedu dalam dekapan Djibril—tubunya bergetar hebat, berulang kali ia terbatuk-batuk. Air mata itu membunyikan deru genderam dipukul dengan tempo cepat. Aidan mengangkat dagu kemudian dengan sigap menghampiri orang yang bertanggung jawab atas semua ini.

"Oh, kalian dari Ragnarok rupanya. Tidak kusangka, ternyata membela musuh," hinanya sambil meludah ke arah Aidan. "Mengapa kau ingin menyelamatkannya, Kawan? Dia sudah kami pakai, jika kau ingin yang baru tinggal katakan saja!" lanjutnya disusul riuh tawa rekan-rekan di belakang sana.

"Dasar bedebah—!"

"Kelsey, tahan!" pekik Aidan keras, "biar aku tangani ini."

"Ah, tapi, Aidan?"

"Kelsey, tenanglah. Aidan tahu apa yang harus dilakukannya," sahut Djibril yang masih berjongkok mencoba untuk menenangkan perempuan itu.

Beberapa prajurit dari kesatuan Chalk saling menatap satu sama lain—sadar bahwa orang bernama Aidan itu bukanlah lelaki sembarangan. Mereka yang mengenalnya perlahan pergi meninggalkan lapangan karena tak ingin terlibat dalam masalah serius. Sementara si pria plontos meretakkan buku-buku jarinya tanda ia siap untuk melakukan duel menghadapi Aidan.

"Oh, ini akan berjalan sangat cepat, Kawan. Tenang saja, aku akan mengakhiri penderitaanmu."

Tak ada senyum miring terpancar dari wajah Aidan. Ia nampak datar dan sinis—seruan nyaring tidak mendsitrak konsentrasinya yang kokoh bagaikan batu karang saat diterpa ombak laut. Ia berhadapan dengan si plontos. Tinggi Aidan hanya menyentuh dagunya saja. Namun, hal itu tidak mengurunkan niatnya untuk mundur.

"Lawan! Lawan! Lawan!"

"Kau akan mampus," ancam lelaki itu lirih. Aidan bisa melihat dengan jelas tato berbentuk ular memenuhi bagian lehernya.

Sebelum bertarung, Aidan meminta ikat kepala hitam yang sedari tadi dikenakan oleh Kelsey.

"Kau tidak keberatan, kan?" tanya Aidan singkat.

"Te-tentu, Aidan."

Dari belakang mereka, Djibril mengulas senyum tipis karena dia sangat paham dengan gaya bertarung Aidan khususnya saat melakukan duel melawan orang bodoh dan ceroboh. Tanpa di sangka oleh lawan, Aidan menutup matanya dengan ikat kepala Kelsey. Tindakan itu cukup menghina lawannya sehingga sumpah serapah keluar dari mulut kemudian berlari ke arah Aidan berharap sebilah pisaunya menembus jantung.

Justru Aidan dengan mudah menhindari serangan itu. Ia bisa mendengar langkah kaki berat disertai hunusan pisau ceroboh dari lawannya yang kali ini tersungkur di atas tanah. Belum menyerah, lelaki itu kembali berdiri—dengan sigap melancarkan serangan bertubi-tubi, tetapi tidak sedikit pun serangannya berhasil mendarat di tubuh Aidan.

Di sisi lain, Aidan terus mendengarkan dan merasakan terpaan angin yang muncul dari gerakan serta napas berat lawannya. Walaupun matanya ditutup, Aidan bisa melihat dengan jelas gerakan musuh seolah-olah ada sensor panas yang nampak di depan bola mata. Hingga pada satu titik, Aidan menekan lututnya mantap kemudian memfokuskan kekuatannya pada lengan kanan sehingga dengan mutlak memberikan pukulan mematikan—sekeras beton.

Siapa sangka, pukulan uppercut telak yang mendarat pada dagu—berhasil menghempaskan lawannya yang berbadan lebih besar ketimbang Aidan. Bunyi tulang retak seperti ranting patah terdengar nyaring membuat gerombolan membisu.

Lawannya tersungkur. Dia belum mati, tetapi luka dalam itu akan membekas seumur hidup. Aidan melepas ikat kepala seraya menghampiri gerombolan yang perlahan mundur saat menyadari bahwa lelaki itu memiliki reputasi Malaikat Maut yang dikenal seantero Olnymp State.

"Apakah ini pemberontakan yang kalian inginkan?! Tumbuh dan dikenal sebagai orang-orang barbar dan tidak beradab?!" serunya seraya menunjuk barisan depan gerombolan itu. "Apakah ini yang kalian inginkan?!" ulangnya tajam.

Kelsey mengulum bibir, ia bisa merasakan tengkuknya merinding saat Aidan berhasil membuat kesatuan barbar itu menunduk segan. Sementara Djibril telah membopong prajurit The Heaven Wrath dengan kedua lengannya.

"Kubur kepala-kepala itu dengan layak. Jika aku melihat tawanan perang dibantai seperti ini lagi, jangan harap kalian bisa menghirup udara segar lagi. Lakukan, sekarang!"

Mereka mematuhi perintah Aidan lalu membubarkan diri secara teratur.

Kesatuan Chalk mungkin di bawah tanggung jawab kakak angkatnya—Eli. Namun, Aidan tidak akan memberi ampun bagi siapapun yang bertindak tak beradab di hadapannya.

***

Amare berjalan dengan santai ke kamar inap di mana Zee tengah merawat Adrianne. Dari daun pintu yang dihiasi jendela bulat, ia melihat Zee tengah terlelap pada sebuah meja di antara ranjang dan lemari obat. Sementara Adrianne tengah menatap lelangit atap yang diwarnai lampu berpendar biru.

Derit pintu merekah kesunyian berhasil mencuri tatapan Adrianne yang masih terjaga. Tanpa ia sangka, orang yang membuka pintu ternyata Amare—musuh bebuyutannya. Kontan Adrianne mendengus kesal sambil memutar bola matanya sebal.

Kali ini Amare mencoba tak acuh. Ia menghela napas panjang hingga matanya terpejam—bau obat-obatan herbal tercium tiap kali menarik oksigen. Sebuah kantung makan siang daur ulang digenggam pada tangan kanan—di dalamnya terdapat roti lapis isi tuna, jus kardusan, dan satu buah pisang. Amare menyiapkan semua itu untuk Zee yang beberapa saat lalu mengirimkan makan siang untuknya.

Zee terlihat cemberut saat memberikan bekal kepadanya. Lalu ia meninggalkan catatan singkat pada sebuah post-it note kuning.

"Dear, Amare. Aku akan memaafkanmu kalau kau tidak berkelahi lagi dengan Adrianne. (Salam: Zee xoxo)" nyatanya huruf xoxo itu berhasil membuat Amare tersenyum geli.

Ia merasa bahwa perdebatan mereka beberapa jam lalu memang sudah sepatutnya dilupakan. Namun, Amare mendapati Zee terlelap. Dengkuran lembutnya terdengar seperti dengkuran anak kucing mengundang senyum tipis pada bibir Amare. Suhu dingin di dalam ruangan berhasil menemukan sela-sela dari jaketnya yang tidak diritsleting—lelaki itu memutuskan untuk mengemuli Zee dengan jaketnya. Perempuan berambut kepang itu tidak serta terjaga, ia hanya menggeliat kemudian terlelap dalam mimpinya lagi.

Suara desahan pelan terdengar dari ranjang. Ternyata Adrianne mencoba untuk meraih segelas minuman dihiasi sedotan yang terletak di atas nakas. Namun karena punggung tangannya diinfus dan rasanya masih nyeri, Adrianne tak sanggup untuk meraih pelepas dahaganya.

Kali ini Amare dihadapi dilema karena hatinya masih terasa berat untuk menolong Adrianne yang mencaci maki kelompok pemberontak. Namun saat dia menengok ke tempat Zee terlelap, ada rasa iba yang mendorong Amare mengingat rekannya itu sangat bersungguh-sungguh saat merawat Adrianne.

Haruskah aku melakukan ini, Zee, batin Amare seraya mendengus pelan. Lelaki dengan berewok lebat itu pun memberikan gelas sedari tadi coba diraih Adrianne. Pasien itu tak mengucapkan kata terima kasih atau senyum ramah, dia hanya meneguk dengan rakus air mineralnya hingga habis.

Menyadari gelasnya kosong, Adrianne menyeka bibir dengan punggung tangan kemudian memberikan gelas itu kepada Amare seraya berkata. "Tolong ambilkan lagi."

Yep! Amare menggigit bagian dalam rahangnya dan mencoba untuk tetap sabar dengan memejamkan mata kuat-kuat. Alih-alih berterima kasih, Adrianne justru memperlakukan Amare seperti pelayan.

"Aku bukan pelayanmu," ujar Amare sambil memaksa bibirnya tersenyum getir.

"Lalu kau siapa?" balas Adrianne ketus.

Helaan napas terdengar dari paru-paru Amare. Baiklah, sabar Amare, hadapi dengan senyuman, imbuhnya dalam hati seraya mengelus dada berulang kali.

"Aku D'Amare, sweetie," jawab Amare yang sangat jijik dengan ungkapan yang baru saja ia ucapkan.

Adrianne berdecih lalu membiarkan gelas kosong itu tergeletak di ranjangnya.

"Tidak jadi?" lanjut Amare.

Adrianne hanya menggelengkan kepalanya. "Kata-katamu membuatku geli," kata Adrianne lancang.

Belum sempat Amare membalas, derap langkah kaki berat dari arah lorong telah meramaikan kamar ini. Amare dan Adrianne teralih lalu melihat tiga orang—Aidan, Djibril, dan Kelsey menyapa mereka dengan sumringah. Kegaduhan itu berhasil membangunkan si putri tidur berulang kali mengerjapkan mata sambil mengelus kepalanya yang terasa sakit karena terjaga secara tiba-tiba. Rasanya seperti ada terompet rusak ditiup di gendang telinganya.

"Astaga, apa-apaan ini?" keluh Zee tak lupa membalikkan posisi duduknya.

"ZEE HARPER!" seruan Kelsey berhasil merubah wajah muram Zee menjadi berseri. Perempuan itu langsung beranjak dari bangku kemudian berlari dan melompat ke arah Kelsey untuk memberi pelukan hingga kedua kakinya mengikat pinggul temannya. "Oh, astaga kau semakin berat seperti babi, Zee," seloroh Kelsey hampir hilang keseimbangan, tetapi Zee tak peduli malah mengeratkan dekapannya.

Melihat Amare yang tersenyum kaku mengundang pikiran jahil dalam otak Djibril. Lelaki berbadan tegap itu membuka lengannya lebar mencoba untuk merengkuh Amare yang sontak menjauhinya.

"D'AMARE!" seru Djibril—mengulang reka adegan pelukan Kelsey dan Zee.

"Oh, tidak, tidak, tidak. Ini sangat menjijikkan, Djibril. Enyahlah!" sergah Amare sambil mendorong Djibril menjauhinya.

"Ayolah, aku sangat rindu denganmu, Amare."

"Enyahlah, bocah bau! Kau membuatku geli!"

Kelakar mereka mengundang gelak tawa di dalam ruangan tersebut.

Namun tidak untuk Adrianne. Perempuan itu diam seribu bahasa—kerutan di dahinya muncul, tetapi jendela yang ada di dalam otaknya perlahan terbuka karena melihat sisi lain dari pemberontak yang belum pernah ia saksikan dalam layar kaca.

Aidan melihat pasien itu menatap reuni singkat ini—dingin. Ia ingat beberapa hari lalu saat Adrianne berubah menjadi makhluk yang disebut Zee sebagai mutan—tangan berlumuran darah dan netra menghitam pekat. Aidan dengan hati-hati menghampirinya untuk mengambil pisau bedah yang diarahkan ke arahnya. Mereka sempat menautkan sorotan mata, singkatnya Aidan bisa melihat penderitaan mendalam yang dirasakan oleh perempuan itu. Berulang kali ia menyebut nama Max. Namun enggan memberitahu identitas aslinya. Ketika Aidan berhasil merebut pisau, Adrianne kembali terjatuh tak sadarkan diri.

Nama Max yang keluar dari mulutnya akan selalu diingat oleh Aidan.

"Baiklah teman-teman, Aidan punya pengumuman penting. Oh, Kelsey bisa tolong tutup pintunya," pinta Djibril dengan aksen Swahili kentalnya berhasil membuyarkan lamunan Aidan.

Berulang kali Aidan mengusap telapak tangan dengan cepat.

"Hei, bagaimana dengannya?" tanya Amare menunjuk ke arah Adrianne.

Kelima pemberontak itu menatap Adrianne yang mati kutu. Aidan menyimpulkan senyum tipis kemudian menepuk pundak Amare.

"Tidak masalah."

"Tidak masalah?" ulang Amare. Aidan merespon dengan anggukkan kepala.

Lelaki dengan rahang tegas itu menelan ludah sebelum melanjutkan. Sementara Zee telah menempelkan dagu pada pundaknya membuat Aidan terdistrak karena geli.

"Aku hanya ingin memberi tahu kalian...."

"Iya?" sahut keempat prajuritnya serempak.

Aidan terkekeh pelan. "Ketua Solomon menawarkanku sebagai ahli warisnya."

Amare, Djibril, Kelsey, dan Zee terperangah—kecuali Adrianne yang diam keheranan karena tak paham dengan pembahasan mereka.

"Ah-ahli waris?" tanya Djibril memastikan. Aidan mengangguk singkat.

"Kau terima tawaran Ketua Solomon?" lanjut Zee. Kali ini Aidan mengendikkan bahu.

"Kau harus menerimanya, Aidan!" sahut Kelsey. Senyum miring terpancar dari wajah Aidan.

"Jangan diam saja. Kau terima kan tawarannya?" tambah Amare. Namun, Aidan bungkam mengingat kesehatan Ketua Solomon tengah terancam akan tetapi ia tak bisa membocorkan rahasia ini kepada orang lain.

"Sedang kupertimbangkan," balas Aidan akhirnya.

Jeda keheningan dan tawa kaku sempat menguar.

"Apapun keputusanmu. Pasti akan kami dukung. Kami menyayangimu, Aidan," kata Djibril lalu memeluk Aidan disusul Zee, Kelsey, dan terakhir Amare berkumpul pada rengkuh dekapan tersebut.

Adrianne merasakan ada yang aneh—sebuah kehangatan menyapa hatinya.

Apakah mereka pemberontak?

(The Ragnarok: Sentinels)

***

A/n

Jadi, menurut kalian gimana dengan bab baru ini? Yep, perlahan gue coba ngenalin siapa itu pemberontak beserta tetek bengeknya. Walaupun agak panjang (5000 words cuy), semoga nggak membosankan, ya! ehehehe

Gw harap cerita ini masih berkesan buat kalian. Jangan lupa beri feedback dengan menekan tombol bintang, memberi komentar atau share ceritanya ke temen kalian jika berkenan. Pokoknya kita ketemu lagi di part selanjutnya, ya!

Stay safe folks.

Oiya mau numpang promosi sekalian, kalo boleh follow instagram akun gue, ya? Ini dia rinciannya. See you there!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top