B4b 1 - B4g14n 6 (Y0u B3lng T0 D34th)

This scene will be inappropriate for the readers whose under 18 years old. Readers discretion are necessary!

Konvoi mobil humvee berjalan dengan disiplin terbagi dalam 3 regu. Masing-masing dari mobil jeep lapis baja yang di atapnya ada seorang prajurit mengenakan pakaian lengkap anti peluru beserta helm-nya, siap menunggu aba-aba untuk menembakkan peluru dari senjata machine gun jenis .50 Browning. Sebuah senjata mematikan yang bisa membunuh manusia hanya dalam lesatan satu timah panasnya.

Dari regu tersebut—sayap kiri dipimpin oleh kesatuan Sersan Emily yang membawa 3 mobil humvee; di dalam mobil tersebut terdapat masing-masing 5 prajurit light infantry. Posisi tengah diisi oleh kesatuan Sersan Michael membawa pasukan heavy infantry. Tentu saja, sayap kanan ditempati oleh pasukan taktis yang dipimpin Ditektur Jenderal Robin.

Perlu dicatat bahwa ketiga tim tersebut memiliki tugas, pokok, dan fungsinya. Light infantry merupakan sebuah kesatuan khusus yang diberi tugas untuk melakukan penyergapan dan sebagai pasukan bantuan ketika regu utama, yakni heavy infantry tengah dalam masalah. Hal yang membedakan light infantry dengan regu lainnya adalah barang bawaan, perbekalan, dan senjata yang dibawa jauh lebih sedikit dan lebih ringan ketimbang heavy infantry. Kesatuan Sersan Emily membawa senjata utama laras panjang otomatis berjenis CAR-15 dengan peredam, sehingga ampuh untuk penyergapan dan mengendap di wilayah musuh. Sementara barang bawaan yang lebih sedikit berfungsi untuk memaksimalkan kegesitan mereka saat bertempur.

Heavy infantry yang dipimpin oleh Sersan Michael atau Mike merupakan kesatuan khusus yang ditugaskan dalam misi utama—tergantung perintah yang diberikan oleh atasan. Dalam kasus ini, Sersan Mike diperintahkan oleh Robin mengisi posisi sentral untuk mengalihkan perhatian musuh. Sehingga, tactical team dapat mengevakuasi warga sipil yang masih terjebak di garis depan pertahanan atau medan utama pertempuran. Heavy infantry adalah dapur bagi kesatuan yang terjun dalam peperangan, karena mereka membawa barang bawaan berupa perbekalan dan peluru yang lebih banyak serta senjata taktis yang lebih berat ketimbang light infantry. Kesatuan Sersan Mike membawa stretcher medis, alat komunikasi radio untuk meminta bantuan, dan senjata berat seperti roket peluncur (RPG). Tentunya, heavy infantry milik Sersan Mike akan jauh lebih mematikan dengan tambahan tiga buah robot keluaran 2009 yang mereka bawa dari markas.

Terakhir tactical team atau tim taktis yang dipimpin oleh Robin memiliki tugas yang paling khusus—mengevakuasi warga sipil dari zona pertempuran menuju zona aman. Berbeda dengan pasukan yang dipimpin oleh Sersan Emily dan Mike—tactical team mengenakan seragam serba hitam yang paling mencolok adalah masker gasnya karena akan memasuki zona radiasi aktif pasca ledakan bom. Robin pun demikian, ia akan mengenakan masker gas hazmat tersebut.

Mobil mereka melewati sebuah padang gersang yang disinari rembulan. Di sana sunyi sekali, hanya ada suara gaduh dari mesin mobil dan beberapa tentara yang tergabung dalam teknisi radio militer tengah mencoba alat komunikasi radio mereka. Robin mengulum bibirnya, ia duduk di jok depan sebelah sopir. Tiga prajurit di belakangnya menunjukkan aktivitas yang berbeda—Kopral Galantine sedang sibuk mencari sinyal di radio komunikasi, Tamtama Lance tengah berdoa seraya memegangi dog tag yang mengalungi lehernya, dan Tamtama Haywood memincingkan mata dari atap—memastikan bahwa musuh tidak menyergap mereka.

Dahulu, padang gersang itu merupakan bagian kecil dari Kota Midwest County yang penuh warna. Tiap malam akhir pekan selalu ada pasar malam yang menawarkan keceriaan lewat wahana serta gulali manis. Namun semuanya tinggal cerita. Apa yang dilihat Robin sekarang seolah mewakili gambaran dari pintu masuk ke neraka. Sunyi, gelap, dan mencekam. Semua akibat perang yang berkepanjangan sehingga bagian kecil kota ini terbengkalai.

"Alpha 0-1, di sini Delta 0-2 melapor untuk memastikan komunikasi radio aman, ganti," suara lembut yang terdengar putus-putus dari seberang sana menarik perhatian Robin lalu melirik ke tempat Galantine tengah sibuk mengatur radio dari spion interior humvee, "Alpha 0-1, Delta 0-2, di sini Romeo 0-3 melaporkan suara gelombang radio terdengar jelas dan aman, ganti!" sahut Sersan Mike yang berhasil memancing senyum di wajah Robin karena intonasi suaranya terdengar lucu.

"Direktur Robin, aku belum bisa mendapatkan sinyal. Namun bisa menerima gelombang suara dari radio mereka," kata Galantine.

"Coba lagi, Kopral. Kau tidak ingin kita terjebak di medan tempur tanpa bantuan mereka, bukan?" balas Robin seraya melihat lanskap jalanan pasir di luar sana.

Semuanya benar-benar terlihat sunyi. Sejauh mata memandang, Robin melihat bangkai binatang seperti anjing, burung, dan paling mengejutkan adalah manusia. Ya, manusia. Terlihat sudah setengah membusuk dan tubuhnya perlahan terkubur pasir. Dari jauh Robin dapat membayangkan bau bacin menyengat karena pengalamannya di medan tempur sering bertemu hal seperti itu, tetapi dia tak ingin munafik kalau selalu mual saat menemukan bangkai apalagi manusia.

Oh! Apakah Robin baru saja menyamakan manusia dengan binatang? Ya, dia sengaja menyatukan dua spesies itu dalam satu kelas sama, karena pada akhirnya dua makhluk tersebut memiliki kebiasaan serupa—melakukan seks, mementingkan teritori dengan berperang, berpikir untuk menindas, dan mengedepankan nafsu sebagai senjata utama. Namun dua spesies itu tetap berbeda, bukan?

Ya, manusia dan binatang berbeda. Garis tipisnya ada pada hati nurani. Namun, bukankah hati nurani saat ini hanya sebagai kedok untuk mencapai tujuan tertentu?

Entahlah.

Robin merasa iba dengan tiap mayat yang ditemuinya—apakah anggota keluarga mereka tahu? Bagaimana nasibnya di alam sana?

Lagi-lagi jawabannya bermuara pada kata entahlah.

"Sersan Em, menurutmu taktik ini akan berhasil?" pertanyaan ketus yang terdengar dari seberang sana mencuri perhatian Robin dan melirik lagi melalui spion interior, "Entahlah, Mike. Namun, kita tidak punya opsi lain untuk mengikuti perintah Direktur," balas Sersan Emily sambil menghela napas panjang.

Ketika Galantine mencoba untuk mematikan radio, Robin menahan tangannya.

"Ta-tapi Direktur...."

Robin tersenyum hingga kelopak matanya tertutup, "Biarkan saja, aku ingin mendengarkan keluh kesah mereka," potong Robin.

Di sisi lain, laki-laki berumur 20 tahun dengan rambut cokelat gelap dan pipi tirus itu menelan ludah sambil mencuri-curi pandang ke Tamtama Lance, kemudian Lance mengangkat alisnya yang menegang seakan berkata, "Hei jangan libatkan aku dalam masalah ini, Kawan!"

"Kukira, taktik Oda jauh lebih logis mengingat operasi militer kita saat ini bukan untuk menyerang kota. Apalagi jumlah tentara kita sedikit," lanjut Mike diiringi suara mesin mobil humvee seperti dengkuran kucing, terkadang melewati jalanan yang tidak landai sehingga membuat mereka melompat sedikit, "Shh, Mike! Jaga perkataanmu. Aku telah melewati banyak pertempuran dengan Direktur Robin, kukira dia memiliki kapabilitas untuk mengambil keputusan ini," Mike berdecih sehingga membuat Kopral Galantine semakin canggung karena Robin berada di depannya. "Mike, percayalah pada Direktur Robin. Dia adalah pemimpin yang paling tepat untuk mengatasi krisis di saat-saat seperti ini," lanjutan kalimat Emily dari seberang sana berhasil menyunggingkan senyum tipis di bibir Robin—setidaknya hal ini membuat Galantine bisa bernapas lega lagi.

"Ah! Sudah aktif, sekarang kita bisa mengirim transmisi kepada mereka, Direktur!" seru Galantine menawarkan alat penerima radio untuk mengonfirmasi bahwa status Alpha 0-1 telah daring.

Sekarang aku mengerti taruhan yang kau maksud, Oda, imbuh Robin dalam hatinya kemudian mengambil mikrofon radio.

"Alpha 0-1 dalam jaringan. Kuulangi, Alpha 0-1 dalam jaringan," kata Robin disusul bunyi letusan senjata yang terdengar nyaring dari kejauhan dan percikan cahaya, "Dalam jarak dua ribu meter kita akan bertemu dengan para pemberontak. Saudaraku, sudah saatnya kita menunjukkan kemurkaan Surga. Saat berada di medan tempur nanti, jangan tinggalkan teman kita. Ingat, leave no man behind! Ho-oah?"

"Ho-oah!" sahut Emily.

"Ho-oah!" begitupun Mike dari seberang sana.

"Jangan menembak sebelum mu—" belum selesai Robin menyelesaikan kalimat di radio, konvoi humvee mereka sudah dihujani peluru. Baku tembak pun terjadi, radio dari masing-masing humvee berbunyi dengan seruan para prajurit.

Konvoi menurunkan para prajuritnya; Sersan Emily memerintahkan light infantry untuk mengisi sayap kiri, disusul Sersan Mike yang berlari dengan garang ke titik sentral. Sementara konvoi humvee milik Direktur Robin masih melaju menuju tempat warga sipil berada. Dalam pertempuran itu, sisa dari kesatuan Hamilton dan Faurlin yang terjebak di garis depan pertahanan, nampak terpecah dan bertahan dengan segenap tenaga terakhir dibantu oleh pasukan polisi setempat yang tak berdaya menghadang serangan para pemberontak.

Namun, Robin masih belum menemukan tepatnya posisi Hamilton ataupun Faurlin. Dari kaca mobil, peperangan di garis depan pecah—ledakan terjadi di mana-mana, jeritan kesengsaraan prajurit dari dua belah pihak terdengar memekakan telinga, dan mayat-mayat bergelimpangan dengan kondisi hancur hingga terbakar.

Senapan mesin di atap telah ditembakkan berkali-kali kemudian dibalas dengan ganas oleh peluru-peluru pemberontak di seberang sana. Robin mengokang senjatanya lalu memberi arahan terakhir kepada pasukan taktis untuk bersiap keluar dari humvee.

"Dalam jarak 500 meter kita akan turun. Ingatlah, jangan lakukan baku tembak di dekat warga sipil! Prioritaskan keselamatan, hindari pertempuran jarak dekat, mengerti?" seru Robin kepada para prajuritnya yang hanya mengangguk sebagai respon sepakat, "Make fifty men feels like five hundred!"

Pasukan taktis telah turun, langit malam berhasil memaksimalkan kamuflase pasukan tersebut. Mereka berlari lalu berlindung dibalik mobil yang terbakar ataupun potongan beton yang runtuh dari hujan peluru. Robin mengintip dari sela-sela beton lalu menyaksikan kesatuan pemberontak yang menembak ke arah mereka. Jumlahnya sekitar 20 orang dengan persenjataan lengkap. Dan dibalik kesatuan pemberontak itu, terdapat kerumunan warga sipil yang bersembunyi di sebuah gedung.

"Galantine, mintalah Sersan Mike untuk mengirim satu robotnya membuka jalan kita menuju zona merah!" Robin memeluk senapan laras panjang jenis MP5, sesekali menunduk ketika ada peluru mengarah ke tempatnya berlindung.

Galantine mengambil radio yang sedari tadi dicangklong kemudian menaruh dihadapannya dan mulai mengontak kesatuan Mike yang berada di titik sentral pertempuran.

"Romeo 0-3, di sini Alpha 0-1 meminta bantuan X-Mach 2009 ke kordinat yang akan kusebutkan," Galantine membuka petanya dibantu oleh Lance menerangi menggunakan senter—tangannya bergetar tak keruan kemudian Robin memegang pergelangan Lance agar prajuritnya tidak panik ataupun merasa takut lagi.

"Alpha 0-1, di sini Romeo 0-3. Konfirmasi, ganti," kata prajurit di seberang sana dengan letusan senjata dan rintihan manusia sebagai latarnya.

"Kordinat kami berada di titik 33.35. 43.45 53.55. Aku ulangi lagi, 33.35. 43.45 53.55," suara Galantine setengah menjerit. Jeda keheningan meninggalkan kesan mencekam, Robin menelan ludah sambil merasakan peluh yang jatuh membasahi pelupuk matanya.

"Konfirmasi! Satu X-Mach 2009 sedang dalam perjalanan, ganti!"

Robin langsung menyuruh para prajuritnya menunduk untuk bersiap menghadapi ledakan dari robot tersebut. Sementara di seberang sana, para pemberontak tak akan tahu bencana yang akan menimpa mereka.

Boom! Boom! Boom!

Suara ledakan besar sebanyak tiga kali menghancurkan pertahanan para pemberontak. Ledakan itu berasal dari salah satu robot The Heaven Wrath. Jalan pun terbuka, pasukan taktis langsung berlari menuju titik utama. Sementara robot yang diutus oleh Sersan Mike tadi kembali ke posisi tengah untuk mengalihkan perhatian para pemberontak.

Pertumpahan darah tak bisa terelakkan. Semua baru saja dimulai.

***

Setelah mendengar baku tembak dan ledakan, seseorang yang membopong Adrianne di dekapannya bergegas menaruhnya pada sebuah tandu agar bisa dirawat oleh tim medis. Ia dapat mencium bau keringat yang tak begitu menyengat dari jaket kulit laki-laki bernama Aidan itu. Sebelum berpisah, Aidan menaruhnya perlahan dan sangat hati-hati di sebuah tandu, "Percayalah, kau akan baik-baik saja," katanya dingin.

Mereka semua mengenakan masker hazmat lalu mendorong tandu keluar dari lapangan. Kepala Adrianne seperti ingin pecah, organ dalam tubuhnya mulai bereaksi dengan rasa sakit akibat ledakan bom. Ia membuang wajahnya ke arah lantai lalu memuntahkan sisa makanannya—dua kali. Setelah muntah, Adrianne kembali menaruh kepalanya di tandu. Tubuhnya seperti terbakar. Ia meringis kesakitan. Air matanya meleleh dari ekor mata, rasa sakitnya bermuara pada nasib Max di luar sana yang belum ditemukan.

"M-Max...." bibir Adrianne yang kering bergetar, suara lirihnya pun tak terdengar jelas. Ia hanya bisa berharap untuk bertemu lagi dengan Max.

Sementara lapangan itu telah dipenuhi oleh pasukan pemberontak dengan obor dan senjata laras panjang yang ditenteng pada bahu ataupun tangan. Aidan berdiri di hadapan mereka, sementara suara letusan senjata mulai terdengar jelas. Ia sempat menengok ke belakang kemudian melihat pasukannya lagi.

"Kalian dengar itu?" tanya Aidan seraya menunjuk percikan seperti kembang api yang ada di belakangnya, "Mereka mengira bahwa bom yang diledakan beberapa jam lalu adalah perbuatan kita. Semakin lama, mereka akan menggunakan pemberontakan sebagai kambing hitam. Kalian sadar hal terburuk yang akan terjadi?" Aidan mengambil sebuah panah yang sedari tadi dikalungi di dada, "Tirani akan subur jika tidak ada yang menghentikannya. Dan orang-orang yang mati di sekitar kita!" suara beratnya itu bagaikan petir yang bergemuruh, Aidan menunjuk mayat-mayat bergelimpangan termasuk balita yang kehilangan anggota tubuhnya dan perut wanita hamil yang terburai mengeluarkan janin, "Mereka akan tetap mati tanpa ada yang memperjuangkannya. Pilihan kita hanya satu, Saudaraku...."

Kata-katanya terpotong setelah dua orang pemberontak melempar dua perwira The Heaven Wrath ke hadapan Aidan. Dari balik masker gasnya, ia melihat satu laki-laki veteran dengan rambut tipis keabuan dan wajah lebam karena luka pukul tengah meringis kesakitan. Perwira satu lagi terlihat lebih muda dengan seragam penuh dengan noda darah mengering serta mata membiru bekas pukulan benda tumpul.

"Perwira, ya?" tanya Aidan sambil berjongkok di hadapan kedua perwira yang tergeletak di bawahnya. Aidan mengambil dog tag keduanya untuk mengetahui nama mereka, "Hamilton," panggil Aidan seraya melihat ke arah laki-laki yang lebih tua, "Faurlin," kali ini ia menatap laki-laki yang muda. Namun, satu hal yang mencolok perhatiannya adalah noda darah di seragam biru gelap laki-laki bernama Faurlin itu. Aidan memeriksa noda tersebut.

"Darahmu?" tanyanya singkat.

Laki-laki bernama Faurlin dengan berewok tipis dan alis tebal itu meludahi wajah Aidan, "Darah para pemberontak yang kubantai seperti babi!" kemudian ia tertawa menghina ketua dari para pemberontak.

Tanpa sebuah aba-aba, sebilah pisau telah menggorok leher Faurlin. Ia menggelepar merasakan kerongkongannya mengucurkan darah seperti air selang. Kali ini, giliran Aidan yang bermandikan darah musuhnya. Para pemberontak bersorak di hadapannya, seperti parade kematian yang datang untuk merenggut nyawa.

Kapten Hamilton bergidik ngeri menyaksikan pertunjukkan horor ini. Rekannya—Letnan Faurlin meringis kesakitan, tetapi semakin dia bereaksi semakin banyak pula darah memuncrat dari kerongkongannya yang bolong.

"Aku akan mengampunimu, pergilah sebelum aku berubah pikiran," usirnya kemudian berdiri untuk bersiap menyerang pasukan perdamaian di seberang sana.

"To the death!" seru Aidan lalu mengangkat panahnya ke arah langit yang telah dipenuhi asap dari bom.

"Death!" sahut pasukannya serentak.

Setelah sahutan terakhir, Aidan bersama pasukan pemberontak mulai membantu rekan yang tengah baku tembak di garis depan. Pertempuan terbesar di Midwest County baru saja terjadi. Mereka—para pemberontak dan The Heaven Wrath memiliki visi sama untuk menolong warga sipil. Namun, cita-cita terpuji itu pudar karena perbedaan idealisme—mereka pun harus membunuh satu sama lain.

***

A/n:
Ini akan menjadi catatan penulis pertama yang akan memberikan visual terkait light infantry, heavy infantry, dan tactical unit/team. Sekaligus Humvee dan beberapa senjata yang digunakan dalam kisah di atas. 

(Visual ini hanya sebagai referensi. Jika pembaca memiliki visual tersendiri, tidak masalah)

(Humvee Jeep that used by Robin's The Heaven Wrath army to led them storm the front line)

(The Light Infantry Unit/Team that led by Sergeant Emily. It has black vest and light carrier)

(The Heavy Infantry Unit/Team who led by Sergeant Mike. They carry more tools and logistic also heavier weapon for certain tactics)

(The Tactical Unit/Team who led by Director Robin for the spesific mission to save the civilians)


Weapons:

(.50 Browning Machine Gun; the weapon who used as turret in Robin's Humvee convoy)

(MP5 the weapon who used by Robin's Tactical Units/Team)

(CAR-15 the weapon who used by Sgt. Emily's light infantry unit)

(M16 the weapon who used by Sgt. Mike's heavy infantry unit)

(This is long range sniper; Zastava M76 who used by The Rebellion's sharp shooter)

(AK15 the weapon who used by the Rebels Army against The Heaven Wrath army)

(Barret 50 cal the sniper rifle for long range that used by heavy infantry unit)

Thank you!
Hope you have a great time tho.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top