B4b 1 - B4g14n 3 (Th3 N3ws)

"D-direktur Robin, gawat, gawat sekali! Kota diserang!" jerit seorang tentara berpangkat tamtama dari luar kamar ketuanya. Tamtama bertubuh kurus dengan seragam loreng biru gelap itu tak berhenti menjatuhkan peluh, lutunya juga bergetar hebat, "D-direktur, gaw—" belum selesai ia melengkapi kalimatnya, Robin muncul dengan tergesa seraya memasukkan lengan ke dalam jaket kulit berwarna coklat yang di lengannya terdapat lambang pisau serta sayap malaikat bertuliskan "The Heaven Wrath".

Dari penampilannya dapat disimpulkan kalau Robin ketiduran dan belum sempat membenahi diri setelah di antar pulang ke pos militer oleh Oda. Matanya terlihat sayu dan jalannya sempoyongan bahkan luka di dahinya masih basah. Tamtama tadi langsung menghampiri Robin dan memapah agar tidak jatuh.

"Direktur, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Robin menyandarkan tubuhnya ke dinding yang dingin, menarik napas panjang hingga dirinya benar-benar sadar. Sebelum tamtama itu hadir, Robin merasakan getaran hebat disusul suara bergemuruh yang berhasil membangunkannya dari meja tempat Robin menyusun strategi. Ia tidak mengira hal buruk seperti ini akan terjadi, Robin memegangi keningnya yang tiba-tiba terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum.

"Panggilkan Penasihat Oda, Kapten Hamilton, dan Letnan Faurlin untuk berkumpul di ruang briefing segera," pinta Robin napasnya tersekal, "Aku akan menunggu di sana. Jangan tunda lagi, cepat!" Robin menyingkirkan tangan pengawalnya dengan kasar, prajurit tadi langsung mengambil langkah seribu untuk menuruti perintah Robin.

Apakah ini ulahmu, Surga? batin Robin masih bersandar pada dinding tua itu. Jendela di hadapannya menampilkan garisun yang sedang berbaris, lampu-lampu mobil Jeep Humvee yang menusuk terpaksa memincingkan matanya, dan seruan beberapa sersan terdengar memekakan telinga diiringi sirine yang meraung-raung tanda bahaya di depan mata.

"Robin, kau tidak apa?" suara itu membuyarkan lamunan Robin.

"Katakan padaku, Oda. Katakan bahwa ini hanyalah mimpi."

Laki-laki itu memegangi kedua bahu Robin sehinga mereka bisa menautkan sorot mata. Ia terlihat masih mengenakan setelan sama ketika mengantarnya pulang—kemeja putih dengan suspender belt yang mengikat sepucuk Pistol P226 di samping perut sebelah kiri.

"Ledakan terjadi 20 mil dari markas. Kita harus mendiskusikan ini sekarang," ujar Oda dari air mukanya menyiratkan kekhawatiran.

Robin hanya mengangguk tetapi dia menolak saat Oda ingin memapahnya.

"Hamilton dan Faurlin, apakah mereka sudah ada di ruang briefing?"

Oda mengulum bibirnya yang kering kemudian menjawab dengan nada yang rendah tetapi tegas, sebuah nada yang tidak disukai oleh Robin, "Belum ada laporan dari patroli mereka terkait inspeksi terhadap garisun berjumlah 110 tentara perdamaian di garis depan pertahanan."

Langkah mereka terhenti setelah jawaban itu keluar dari mulut Oda. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa nyawa dua perwira andalannya sedang terancam bahkan belum ada kepastian hidup atau mati. Mata Robin membelalak dan jantungnya berdegup cepat. Dia tak hanya kehilangan para prajuritnya, tetapi juga orang-orang yang menetap di kota kecil itu.

"Me-mereka belum kembali?!" Robin ragu menanyakan ini kepada Oda.

Benar saja. Jawaban yang terlontar dari mulut Oda makin menyakitkan, "Untuk saat ini belum ada kabar dari kesatuan Hamilton," kata Oda lalu menggigit bagian dalam rahangnya.

Beberapa sersan dan kopral bawahan Kapten Hamilton dan Letnan Faurlin telah menunggu di ruang briefing. Sementara Robin masih harus menyesuaikan diri setelah menerima kabar buruk yang datang bertubi-tubi. Namun, seperti penasihat yang setia, Oda mencoba untuk menenangkan Robin dan memintanya tetap fokus terhadap misi mereka.

"You have to snap out of it, Robin," hibur Oda.

"Berapa sisa prajurit yang tersisa di markas?"

"Robin...."

"Sebut saja!" sergah Robin.

Oda menelan ludah lalu membuang tatapannya sebelum melanjutkan, "Tersisa 50."

Deg!

Jantungnya seperti dipukul dengan besi. Dari 160 prajurit yang dimiliki Robin, tersisa hanya 50, artinya separuh lebih kesatuan elit tentara perdamaian pemberian presiden telah gugur. Belum lagi nyawa warga sipil yang terkena ledakan bom.

"Tidak bisa dimaafkan, kita harus bertindak!"

Oda menahan tangan Robin yang hendak masuk ke ruang briefing. Seseorang yang emosinya tengah meletup-letup akan membuat keputusan fatal kemudian laki-laki itu memincingkan matanya. Robin mencoba untuk melepaskan genggaman Oda, tetapi percuma.

"Jika kau masuk ke sana dengan keadaan seperti ini. Kau hanya akan memperkeruh situasi," tegurnya lalu melepaskan tangan Robin, "Mereka takut dan bingung, kau tidak bisa memberikan arahan dalam kondisi tak sadar. Amarahmu akan mengambil alih, kau akan kehilangan lebih banyak lagi."

Para prajurit yang ada di luar kantor sudah berbaris rapih dan siap menunggu perintah dari Robin. Di sisi lain, pemimpin mereka tengah menghadapi musuh terberat dalam hidupnya—amarah. Perempuan itu menunduk karena mulai mencerna perkataan Oda.

"Kau tidak bisa selalu menuruti amarahmu. Lebih bahaya lagi kalau kau mencoba untuk menyulut api dengan minyak," jelas Oda yang memberi jeda sebentar sehingga Robin bisa menangkapnya dengan hati-hati, "Kau harus menjadi angin untuk para prajuritmu, Robin. Semangat mereka mungkin terlihat membara demi membalaskan dendam, tetapi secara psikolgis; mental mereka hancur berantakan," Robin melipat lengan jaket kulitnya, begitupun Oda—melipat lengan kemejanya, "Di sinilah peranmu sebagai pemimpin dibutuhkan. Mereka tidak hanya membutuhkan suntikan moral, tetapi arahanmu juga."

Robin berdiri dengan tegap. Alisnya menyatu dan sorot matanya memancarkan kemantapan untuk mencari titik balik dari kekalahan ini. Oda mengangguk lalu membiarkan pemimpinnya untuk berjalan terlebih dahulu.

"Direktur Robin, lapor!" tamtama yang juga pengawal Robin tadi kembali lalu berlutut di hadapannya.

"Laporkan," sahut Robin tegas.

"Sekretaris Presiden baru saja menghubungi kantor pusat terkait rapat mendesak di Gedung Suci. Presiden meminta agar pejabat militer, perwakilan kongres, dan penasihatnya untuk hadir segera."

"Kirim balasan bahwa aku akan segera sampai di sana dalam 30 menit."

Selanjutnya Robin menengok ke tempat Oda berdiri. Dari tatapan mereka yang saling bertemu, ada sebuah kode tersirat di dalamnya dan hanya keduanya yang tahu; argot.

"Sepertinya rapat ini dijadwalkan lebih cepat," kata Robin kemudian masuk ke dalam ruang briefing.

Oda tidak langsung ikut ke dalam. Dia berpikir sejenak akan persoalan yang sekiranya dibahas oleh presiden selain tragedi bom ini mengingat tentara perdamaian ditaruh pada pos terdepan pertahanan negara mereka.

Apa jangan-jangan mereka akan...

"Oda, aku akan memulai arahan sebentar lagi, kau tidak bisa absen," seru Robin dari dalam ruangan diikuti Oda yang bergegas masuk mengikuti perintah pemimpinnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top