B4b 1 - B4g14n 2 (Th3 Shckw4ve)

Tribun yang melingkari lapangan bisbol tidak begitu dipadati penonton. Padahal malam itu menjadi partai besar dari pertandingan antara dua tim bisbol SMA lokal di Midwest County. SMA East Tampa County sang juara bertahan, menghadapi SMA Lincoln County si kambing hitam sekaligus tim yang dibela oleh Max. Biasanya, tak peduli sekecil apapun tim yang bermain bisbol dari kategori SD, SMP, apalagi tingkat nasional (SMA) bertanding. Para penonton pasti meramaikan tribun lalu menikmati waktu berkualitas bersama orang-orang yang mereka sayangi dan mendukung rekan ataupun anggota keluarga yang bertanding membela tim mereka.

Setelah pecahnya peperangan dan aksi militer dilancarkan oleh pemerintahan, semua itu berubah drastis. Bagaikan salju yang meleleh menjadi air, lambat laun orang-orang mulai meningalkan kebiasaan yang mereka lakukan dan terpaksa mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan kecil demi menyelamatkan nyawa—singkatnya, mereka mulai menghilang dan menutup diri dari interaksi sosial.

Semua orang menjadi takut—takut untuk mati, tetapi segan menghadapi hidup. Layaknya salju yang meleleh menjadi air.

Adrianne berdiri di pinggiran besi tribun sebagai pembatas antara penonton dengan para pemain. Ketika adiknya sudah keluar dari lorong untuk masuk ke dalam lapangan, mata Adrianne berbinar disusul dengan senyum manis mewarnai wajah tirusnya. Ia melambai ke arah Max seraya mengepalkan tinju ke depan, sebuah tanda universal untuk memberi semangat kepada seseorang.

Melihat kakaknya yang mendukung dari atas sana menambah suntikan semangat dalam dirinya. Dahulu, ketika ibu masih sehat, Max mendapat dukungan ganda dari Adrianne dan ibunya. Memang, Max bukanlah pemain yang hebat ataupun memiliki peran krusial di timnya, tetapi kehadiran Max seolah melengkapi tim. Dia mempelajari ini dari ibu. Ada satu pesan yang selalu diingat oleh Max ketika dirinya merasa tak berguna.

"Kau tidak perlu takut untuk membuktikan kau bisa melakukan sesuatu. Namun, sebelum menunjukannya, kau harus mempersiapkan dirimu dan mengenal siapa dirimu. Lakukan tiga hal ini, Max: kau harus jujur; tanpa kejujuran kau akan terjebak dalam lingkar kepalsuan, rendah hati; agar kau tidak menjadi budak kesombongan, dan beretika; karena kecerdasan tanpa etika akan mengantarmu pada kesengsaraan. Aku yakin kau akan menjadi orang hebat suatu saat nanti, Max."

Bulan sabit terukir di bibir Max. Ia mengingat pesan itu sambil membayangkan suara ibunya yang sedikit serak. Dia rindu ibu.

"Ingat hutangmu, Maximillian Doyle!" seruan itu berhasil mencuri perhatian Max.

Aku akan melakukannya untukmu, Adrianne, kata Max dalam hatinya. Sekelabat ia mengira Adrianne adalah ibu, sosok mereka mirip dan fisiknya pun tidak begitu berbeda.

Peluit telah dibunyikan para pemain dari kedua tim menyebar menuju posisi masing-masing di lapangan tanah itu. Adrianne kembali duduk di tribun penonton sambil menunggu giliran adiknya memukul bola. Ketika melihat sekeliling, Adrianne menyaksikan para orang tua hadir untuk mendukung anaknya yang bermain di sana. Mereka melambai, berseru, dan memberikan dukungan yang mungkin tidak akan pernah didapatkan oleh Max—setidaknya untuk saat ini.

Langit malam itu tidak nampak cerah dan tidak juga terlihat mendung. Udara di sana berbau asam, sehingga keringat lebih cepat berproduksi. Kebanyakan dari mereka mengenakan masker, tetapi untuk Adrianne dan Max yang tidak memiliki cukup uang terpaksa menyiasati bau itu dengan menutup hidung menggunakan telapak tangan. Kalau ibu ada di sana, Adrianne dan Max tak perlu takut menghadapi udara yang buruk.

Adrianne duduk sendirian sambil berandai, apakah dia telah menjadi kakak yang baik? atau bagaimana kabar ibu sekarang?. Ia merasakan hatinya seperti diiris dengan pisau tajam ketika memikirkan nasib kedua orang yang dia sayang itu. Manusia memang lucu, begitupun Adrianne. Dia terlalu keras memikirkan orang lain, tetapi lupa dengan kabarnya sendiri.

Giliran Max memukul, Adrianne lalu berdiri dan berseru untuk menyemangati Max. Seruan ambigu yang dikeluarkan oleh Adrianne. Orang-orang mungkin berpikir kalau perempuan berusia 19 tahun itu sedang mendukung Max, padahal jauh di lubuk hatinya, Adrianne tengah meluapkan emosinya dengan cara berteriak. Dia tak tahu harus bagaimana lagi, dia hanya ingin berteriak hingga suaranya habis. Setidaknya kesempatan ini bisa dimaksimalkan olehnya sebagai pelampiasan emosi.

Dari arah lapangan, Max dapat mendengar dukungan kakaknya. Ia melihat musuh yang ada dihadapannya siap melempar bola. Sementara konsentrasi Max layaknya batu karang yang tidak goyah ketika ditempa ombak. Bola itu melaju cepat ke arahnya, Max menahan napas sehingga tenaganya terfokus pada lengan dan tongkat kayunya.

Home run!

Adrianne terduduk dan merasakan embun telah membasahi pelupuk matanya.

Dia berhasil, Bu. Dia mencetak home run, batin Adrianne sambil menyeka air matanya menggunakan lengan. Max berlari memutari base untuk kembali ke tempat awal sehingga timnya mendapat satu poin. Dari bawah sana, Max melihat Adrianne menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.

Adrianne? panggil Max dalam hati berharap kakaknya bisa mendengar. Namun, tatapanya teralih ketika ada benda asing bergerak cepat sekali di langit gelap. Benda asing itu menjatuhkan sebuah benda yang cahanya berkedip-kedip, semua orang di tribun mendongak seraya melempar asumsi. Benda apa yang hendak mendarat tersebut?

Peluh sebesar biji jagung mendarat dari dagu Max, tatapannya masih terfokus ke tempat di mana Adrianne tengah menangis. Max belum pernah melihat kakaknya bersedih separah itu apalagi menunjukannya di muka umum, kemudian Max berlari ke arahnya.

Namun, suara alarm darurat di kota meraung-raung bagaikan sirine kematian. Orang-orang dan para pemain berlari meinggalkan lapangan. Titik cahaya yang berkedip semakin jelas menampakkan diri, bentuknya seperti tabung yang memiliki ujung runcing. Kegaduhan pun pecah ditandakan melalui teriakan panik dan orang-orang berlari tak berarah—layaknya kawanan domba tanpa penggembala. Max terus berlari. Perasaannya sangat tidak enak, sirine darurat semakin nyata mengintimidasi rasa takutnya.

"ADRIANNE!" seru Max.

Angin menerpa wajahnya dan menerbangkan air mata yang tumpah. Adrianne menengok ke sumber suara, matanya sembap tetapi keduanya tidak menghiraukan kepanikan yang terjadi di sana. Sorot mata mereka bertautan dari kejauhan—Adrianne menampilkan sorot mata cemas—dan Max menunjukkan rasa takut.

"M-Max?" kata Adrianne lirih.

Orang-orang saling menyikut dan berdesakkan untuk menyelamatkan diri masing-masing dengan menjauhi benda asing yang mendarat di atas mereka. Sebelum Max berhasil menghampiri Adrianne, sebuah cahaya muncul sangat terang hingga membutakan mata. Mereka membatu karena syok, tetapi Max tetap berlari. Tak lama setelah cahaya muncul, kali ini suara gemuruh seperti gunung merapi yang meletus terdengar di dekat telinga mereka. Puncaknya, gelombang kejut pun muncul dan berhasil membuat orang-orang terpental tak berdaya, bagaikan kertas yang ditiup oleh angin.

"ADRIANNE!"

Boom!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top