B4b 1 - B4g14n 15 (R0b1n)

PERINGATAN!

CHAPTER INI TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK PEMBACA DI BAWAH 21 TAHUN

________________________________________________________________________________

Dua hari setelah peperangan di garis depan (Abraham State, The Heaven Wrath Main Camp)

Begitu jelas langit senja menunjukkan batang hidungnya. Burung-burung terbang di angkasa melakukan manuver terakhir sebelum kembali ke dalam sangkar, bau makanan kaleng yang direbus dalam porsi besar tercium dari tenda pengungsi, dan perlahan kesengsaraan itu berubah menjadi ketenangan-semua berkat The Heaven Wrath yang hadir menolong mereka di saat tepat atau "tepat?".

Angkatan Darat dan Angkatan Udara yang masing-masing dipimpin oleh Jenderal Bradley dan Jenderal Sylvia telah mengemasi perlengkapan untuk kembali menuju Kota Harbington Bay, di mana pangkalan mereka berada untuk memperkuat pertahanan di sebuah perbatasan menghadapi ancaman eksternal. Konflik eksternal dengan Negara Rytomn tentunya menjadi persoalan serius mengingat pemberontakan dalam negeri sendiri bukan satu-satunya masalah yang harus diselesaikan oleh Olnymp State.

Rytomn dan Olnymp State, bagaikan dua raksasa yang terus bersaing dari waktu ke waktu. Entah persaingan politik, kepentingan ekonomi, dan idealisme selalu menjadi sorotan utama bahkan sesederhana pengakuan oleh dunia sebagai negara paling berjasa untuk menjaga keseimbangan pasti dipermasalahkan. Kedua negara ini memiliki peran penting terkait stabilisasi perdamaian dunia, dalam artian jika salah satu negara mendeklarasikan perang terbuka maka negara sekutu dari masing-masing kubu akan terjun untuk saling membahu. Sebut saja sekutu Rytomn seperti Republic of Arcobion yang memiliki sejarah mengerikan bagi Olnymp State karena pada periode 1965-1970 atau dikenal juga sebagai Slaughter The Giant (Membantai Negara Besar-yang mana negara besar di sini memiliki konotasi Olnymp State), Republic of Arcobion berhasil mengalahkan invasi besar-besaran Olnymp State dan mempertahankan keutuhan republik negara kecil tersebut. Di sisi lain, Olnymp State juga memiliki tiga sekutu hebat yang tak segan menunjukkan taringnya.

Kedua negara ini telah saling gesek pada perbatasan Rytomn sejak awal tahun 2000. Pemerintahan Olnymp State yang dikenal tidak tegas, kerap kali kecolongan bahkan tak mampu untuk mempertahankan pulau-pulau kecil yang perlahan dicaplok oleh Rytomn. Padahal, semakin dekat Rytomn menaruh pangkalan militer dengan teritori Olnymp State, makin terancam juga kedaulatan mereka. Ketidakmampuan pemerintahan dalam menangkal konflik eksternal menjadi salah satu faktor utama bagi pemberontak untuk mengibarkan panji dan mendeklarasikan perang pada tahun 2010. Sehingga, beban yang harus ditanggung oleh pemerintahan dua kali lebih berat mengingat konflik ini telah berubah menjadi krisis yang menelan banyak korban jiwa. Namun, perang terbuka bukanlah solusi utama karena kubu Rytomn ataupun Olnymp State akan terpancing untuk menggunakan senjata pemusnah massal yang telah mereka simpan dari waktu ke waktu. Jika senjata ini terlanjur digunakan, tak hanya perang dunia yang meletus-mereka akan membuka pintu masuk bagi kehancuran dunia atau singkatnya: kiamat.

***

Sebuah ruangan berbentuk persegi menjadi tempat berkumpul sekaligus reuni tak terduga oleh Robin, Oda, Bradley, dan Sylvia. Ruangan itu tak lain adalah kamar dinas Robin di markas utama The Heaven Wrath. Konsep suasana barak dengan ranjang susun yang terdapat di dekat jendela, Robin sudah terlanjur nyaman dengan ranjang susun padahal dia hanya tidur sendiri di kamar tersebut. Papan tulis dengan bekas spidol yang tidak terhapus sempurna berdiri ditopang besi penyangga, di sebelah meja kayu tempat Robin biasa menulis atau mengetik berkas yang perlu dikerjakan. Bradley memutuskan untuk duduk di pinggiran jendela yang sengaja dibuka sehingga keempat perwira itu dapat melihat tenda-tenda berdiri di lapangan luas tempat evakuasi berada. Jenderal Angkatan Darat dengan dog tag dan kaus hijau polos lengan pendek bermandikan peluh itu menyesap rokok marlboro sementara alas bootsnya menempel pada dinding.

Mereka sudah diperbolehkan untuk menjenguk Robin atas izin dokter pribadinya. Setelah kejadian lusa lalu, Robin tak sadarkan diri selama 5 menit. Perempuan dengan netra hijau gelap itu harus beristirahat total mengingat luka bekas anak panahnya masih cukup parah. Selain itu, dokter juga menegaskan bahwa perbincangan seputar kepentingan politik dan militer harus ditunda untuk sementara waktu demi menghindari syok yang bisa menyerangnya kapan saja. Peringatan itulah yang dikhawatirkan oleh Oda, karena dia tahu betul sifat Robin yang benci jika ada sesuatu disembunyikan di belakangnya.

Oda duduk pada sebuah bangku di sebelah ranjang-atau lebih tepatnya di sebelah Robin. Ia lega bisa melihat pemimpinnya dapat mengukir bulan sabit pada bibir tipisnya lagi. Segelas teh setengah habis berada pada pangkuan Oda, netra sipitnya menatap Robin dengan segala arti-kagum dan khawatir. Kagum karena dibalik luka memar menghiasi bibir bawah dan rambut pirangnya yang berantakan, ia masih tetap menawan dan menutupi semua rasa sakitnya dengan tawa tetapi tidak terbahak, karena Robin bukanlah tipe yang seperti itu. Khawatir karena cepat atau lambat Oda tahu kalau Robin akan membuka topik mengenai politik, militer, dan Midwest County. Oda meneguk tehnya perlahan lalu melonggarkan kerah kemeja putihnya yang mulai terasa mencekik.

Di sisi lain, Robin sedang bertukar kelakar dengan Sylvia di atas ranjangnya. Perempuan berusia 25 tahun itu memang terlihat sayu, ia mengenakan tank top hitam dan rambut di atas bahu yang dibiarkan terurai-berantakan. Sesekali ia mengulum bibir yang kering kemudian menautkan sorot mata sebentar ke tempat Oda sedang memerhatikannya saat terdapat jeda dalam percakapannya dengan Sylvia. Hidup Oda bagaikan halimbubu yang terus berputar dalam benaknya sendiri karena tak bisa berhenti memikirkan Robin. Sorot mata mereka teralih saat Sylvia mengajak Robin untuk kembali ke dalam topik. Disusul Oda sambil membuang wajah yang dihiasi senyum kaku.

"Aku tak bisa berhenti memikirkan Faurlin, Hamilton, dan Mike," aku Robin membuat Sylvia harus menghentikan kalimatnya dan Oda hampir memuncratkan teh yang sedang diminum.

Mendengar jawaban itu membuat Sylvia melepas topi beret lalu menyisir poni rambut bob-nya yang terlempar ke depan menggunakan jemari tangan. Ketiga perwira itu saling menatap karena sepakat untuk tidak menjawab.

"Kekalahannya melawan si Malaikat Maut bisa kutebak bahkan saat Mike turun ke dalam arena. Yang tidak membuatku habis pikir, jasad Mike dipermalukan seperti ..." Robin membetulkan posisi kacamatanya sebelum melanjutkan. "Entahlah, aku tidak tahu harus menjelaskan apa kepada istrinya Mike."

"Dia hanya melakukan tugasnya, Robin. Bagaimanapun juga, Mike telah merelakan nyawanya untuk The Heaven Wrath," sahut Bradley dari bibir jendela seraya memerhatikan bara yang perlahan membakar rokoknya. "Ketika kau melakukan duel hidup dan mati, kau hanya memiliki dua pilihan: 1. Mengampuni nyawa lawanmu ketika dia sudah kalah, 2. Mengeksekusi lawanmu saat dia mengaku kalah. Aku telah ikut berpartisipasi dalam duel maut seperti itu berkali-kali, terakhir aku menghadapi Clint sebelum akhirnya dia menyerah kepada pemberontak," nada suaranya-ya, Robin bisa mendengar penyesalan dari nada suara Bradley.

Lelaki itu melemaskan pundak tegapnya lalu mengeluarkan asap tipis dari bibir seakan pikiran negatif dan kenangan buruk terbang bersama asap menuju langit-langit atap. Pertarungan yang dimaksud oleh Bradley melawan Clint Ulysses dua dua tahun lalu memang sangat pilu jika diingat-ingat lagi. Saat itu, Bradley masih menjabat sebagai Sersan dari kesatuan heavy infantry, posisinya digantikan oleh Sersan Mike setelah direkrut oleh Presiden Winston untuk menjadi Jenderal Angkatan Darat Olnymp State. Namun, kepergiannya harus dibayar pahit karena Bradley terpaksa melihat rekan seperjuangannya-saudaranya-Clint Ulysses, membelot kepada pihak pemberontak karena merasa dengki dengan keputusan presiden yang tidak merekomendasikannya sebagai Jenderal Angkatan Laut. Berbeda dengan nasib Bradley dan Sylvia yang direkrut oleh presiden untuk mengisi jabatan ideal menjadi Jenderal Angkatan Udara dan Angkatan Darat Olnymp State.

Saat itu Clint merasa bahwa Presiden Winston (sebelum resmi dilantik sebagai kepala negara, dia merupakan Direktur Jenderal The Heaven Wrath sekaligus ayah angkat Robin), pilih kasih dengan orang-orang yang direkrut untuk mengisi jabatan penting pada pemerintahan Olnymp State. Clint adalah salah satu yang tidak diikutsertakan, "karena Presiden Winston sangat mempercayai kapabilitas dan kemampuannya yang lebih hebat dibandingkan aku dan Sylvia. Maka dari itu, ia memutuskan untuk membiarkan Clint tetap memegang jabatan sebagai Sersan untuk kesatuan Tactical di bawah pengawasanmu, Robin," lanjut Bradley yang kali ini terdengar lebih santai sementara Robin mendengarkan dengan saksama.

"Jika Clint lebih baik dari kalian berdua, mengapa Presiden Winston tidak merekrut Clint menjadi salah satu Jenderal di bawah pengawasan Lyndonn?" tanya Robin yang terlihat mengernyitkan dahi.

Sylvia terkekeh kemudian menjawab dengan suaranya yang terdengar lirih tetapi tajam. "Presiden telah merencanakan ini, Robin. Dia meninggalkan orang-orang hebat dan berpengalaman untuk tinggal di The Heaven Wrath, sementara yang dibawa olehnya untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan adalah para murid dari orang-orang hebat itu."

Terdengar suara terbatuk dari tempat Oda duduk. Robin memincingkan mata untuk mengorek informasi lebih dalam lagi. Sementara Oda menyeka mulutnya dengan sapu tangan seraya membiarkan Robin bebas menatapnya dengan tatapan interogasi tersebut.

"Baiklah, kalian berhasil menjerumuskanku," kata Oda lalu melepas kacamata dan melekatkan sorot matanya ke arah Robin. "Aku yang mengusulkan ide ini kepada Presiden. Aku yang memintanya untuk merekrut Bradley dan Sylvia karena mereka berdua adalah murid Hamilton. Aku juga bertanggung jawab mengusulkan nama Juno Chang sebagai penasihat pribadinya karena Juno adalah muridku yang memiliki potensi hebat terutama untuk persoalan administrasi dan militer."

Mendengar penjelasan Oda membuat mulut Robin mengatup rapat dan alisnya menyatu. Oda mengusap berewok tipisnya sebelum melanjutkan. "Bagaimanapun juga, Presiden Winston adalah Ayahmu ... dia-"

"Dia masih menganggapku sebagai anak kecil, bukan begitu?"

Ketiga orang itu sepakat untuk bisu sementara keheningan mulai menyelimuti. Robin berdecap saat berlalu menuju jendela untuk menutupnya rapat, sontak Bradley langsung menyingkir dan tak lupa membuang rokoknya yang masih setengah tepat sebelum jendela tertutup.

"Bukan, Robin. Ayahmu melakukan itu demi keutuhan The Heaven Wrath," koreksi Oda seraya mendekat ke arah Robin.

"Tidak, tidak, tidak. Kau hanya mencoba untuk membuatku tenang, Oda. Jika kenyataannya Presiden memang percaya denganku, lantas mengapa dia mengirim kesatuan utama Angkatan Udara dan Angkatan Darat untuk membantu garis depan, padahal mereka punya konflik lebih penting untuk mengawasi Rytomn di perbatasan negara?" Robin mengusap dahinya kasar kemudian menarik napas panjang. "Bukankah aku mengirimmu sebagai delegasi untuk meminta bala bantuan QRF* saja? Atau memang kau sengaja meminta Presiden untuk mengirim pasukan militer utama demi menolong The Heaven Wrath?" suara Robin meninggi membuat Bradley dan Sylvia hanya bertukar tatapan. Di sis lain, Oda mulai hilang kesabaran.

"Memang! Aku memang memohon bala bantuan QRF kepada Jenderal Lyndonn dan Presiden Winston. Kau lihat sendiri kan malam itu?" baru kali ini Oda meninggikan suaranya dihadapan Robin, dia membuang wajah kecewa seraya berkacak pinggang, "Kau ingat perhitunganku pada sore hari sebelum ledakan terjadi? Kita berdiri di ujung bukit dan kau mendapat panggilan dari Sekretaris Presiden untuk menghadiri rapat?" Oda mengulum bibirnya, tetapi Robin tak merespon. "Ya Tuhan, Robin! Aku tidak pernah berpikir untuk meminta bala bantuan utama tanpa seizin Jenderal Lyndonn. Sore itu aku memperhitungkan pertahanan kita di garis depan, tetapi sudah terlanjur runtuh bahkan sebelum rapat digelar. Aku sungguh tak habis pikir dengan semua ini."

"Lantas siapa yang mengirim Bradley dan Sylvia ke garis depan dengan pasukan utama mereka?!" pekik Robin yang berhasil membuat Oda membisu.

Sylvia berdiri di belakang Robin kemudian menjawab pertanyaan yang seharusnya ditujukan kepada Oda. "Aku," kata Sylvia yang berhasil mencuri pandangan Robin, "Akulah orang yang bertanggung jawab membawa pasukan utama dari Ibukota menuju Midwest County."

Jenderal Angkatan Udara itu berdiri dengan tegap, sorot mata hitamnya mantap seperti seekor burung gagak yang siap melindungi sarangnya. Robin memincingkan matanya heran, "Sylvia, kau-" panggil Robin tak percaya.

Melihat situasi memanas membuat Bradley tak bergeming, dia berdiri di samping Sylvia untuk membela argumennya. "Sylvia tidak sendiri, aku juga terlibat dalam ide ini."

"Ini tidak ada hubungannya dengan Bradley atau Oda. Semua ini adalah pilihanku," tegas Sylvia tak sepakat dengan Bradley.

"Tapi, Sylvia-"

"Cukup, Bradley. Biarkan aku menjelaskan ini kepada Robin."

Robin mengangkat tangan kanannya yang dikepal meminta agar para perwira untuk diam karena dirinya harus mencerna situasi ini secara hati-hati. Oda mengenakan kacamatanya lagi lalu berdiri tepat di sebelah Robin. Mereka pun diam mengikuti arahan ketua.

"Penasihat Oda, dengarkan tugasmu," pinta Robin, nada suaranya merendah. "Persiapkan data dan argumen kita untuk rapat terbatas dengan Presiden beserta kongres yang sempat ditunda. Aku ingin semuanya kronologis dan cari tahu agenda yang akan dibahas pada rapat tersebut."

"Baik Direktur," jawab Oda tegas.

"Oh satu lagi, tolong antarkan Jenderal Bradley untuk mempersiapkan dirinya kembali ke perbatasan Rytomn. Aku segera menyusul ke sana, Penasihat Oda," lanjut Robin kemudian meminta Oda untuk pergi mengantarkan Bradley.

Namun, Oda tidak langsung mengikuti arahan itu. Dia masih bertanya-tanya soal Sylvia, mungkinkah Robin bermaksud membiarkan Sylvia tinggal karena ada hukuman yang akan diberikan olehnya ...atau jangan-jangan Robin memiliki maksud....

"Penasihat Oda, kau dengar perintahku, bukan?" ujar Robin berhasil membuyarkan lamunan Oda.

Ia menuruti kemudian mengantar Bradley untuk keluar dari kamar Robin. Tentunya diikuti salam hormat oleh kedua perwira tersebut. Bunyi pintu berderit menyisakan Robin dan Sylvia di dalam kamar tersebut. Swastamita meninggalkan warna oranye kemerahan di ufuk barat-warna merahnya seakan menekankan bahwa pertumpahan darah di Midwest County belum selesai.

Kali ini Robin menatap Sylvia tak percaya, terdengar napasnya masih memburu imbas perdebatan dengan Oda beberapa saat lalu. Namun, Sylvia telah menyiapkan argumen kelas tinggi agar Robin bisa memahami maksud kehadirannya untuk menolong bahkan tanpa seizin Jenderal Lyndonn.

"Kau harus punya alasan yang bagus terkait semua ini, Sylvia Jade Harrison," kata Robin ketus seraya memanggil nama rekannya dengan nama lengkap. Sebuah pertanda tak baik bagi Sylvia.

Perempuan berambut bob itu tak langsung menjawab. Ia berkacak pinggang seraya menunduk dan membiarkan jeda kurang lebih delapan detik untuk memastikan semua pernyataannya telah terorganisir dengan rapih sehingga meminimalisir kesalah pahaman yang mungkin bisa terjadi.

"Bukankah semua sudah jelas, Robin? Aku dan Bradley adalah mantan anggota The Heaven Wrath! Tidak pernah sedetik pun dalam hidupku untuk menelantarkan kalian di medan tempur apalagi dalam keadaan kalah telak. Kau tahu? Setelah menerima kabar ledakan bom pada pukul 2200, aku yang sedang berada di perbatasan Rytomn bersama Bradley langsung menyusun strategi untuk pengiriman QRF, tetapi apa? Lyndonn menolaknya. Ia berdalih jika QRF yang bermarkas di Ibukota lebih baik disimpan untuk kebutuhan eksternal. Jika saja kau tidak mengirim Oda untuk bertemu Presiden malam itu," Sylvia menarik napas panjang mengingat kalimat selanjutnya akan terdengar tajam bagi Robin. "Dalam seminggu ke depan, Olnymp State akan berduka dengan kabar 160 prajurit The Heaven Wrath gugur dan tak tersisa satupun." Robin mengepal tangannya kuat-kuat, mencoba untuk tidak meledak mendengar fakta yang ada. "Aku berangkat dari perbatasan Rytomn bersama Bradley pukul 0000, setelah Presiden mengirim dekret darurat terkait pengiriman QRF. Namun, aku mengira QRF tak akan cukup...."

"Lantas kau membawa pasukan elitmu dari pangkalan Ibukota hanya untuk menolong kami?" timpal Robin mantap. Sylvia tak bisa membalas apa-apa selain anggukan kepala.

Selanjutnya, Robin diam membeku, mulutnya terperangah, matanya tertutup lemas. Ia merasakan ritme jantungnya terdengar pelan dan keringat dingin mulai membasahi kulitnya yang penuh luka memar. Robin menghela napas sebelum melanjutkan.

"Kau sadar, Sylvia? Kau baru saja memberontak perintah Jenderal Lyndonn dan membawa pasukan tanpa seizinnya. Kau tahu mereka akan melabelmu dan Bradley sebagai apa?" tanya Robin-pelan tetapi mengintimidasi.

"Penjahat perang," jawabnya singkat.

Robin kembali duduk pada pinggiran ranjang, merenungkan pengakuan Sylvia bagaikan kesempatan yang tak akan bisa terulang kembali. Ia memainkan jari-jari tangan-gelisah akan nasib kedua sahabatnya karena kejadian ini. Netranya mulai terasa hangat, tetapi Robin mencoba untuk menahan semampunya.

"Jika kau sadar dengan perbuatanmu itu, mengapa kau tetap datang untuk membantu?"

Sylvia berdehem kemudian mendekati Robin yang masih menunduk, "Tentu untuk menolong kesatuan yang telah aku anggap sebagai saudara sendiri. Lagipula warga sipil juga sangat membutuhkan bantuan, kau harus mengingat kata-kataku Robin: 'Tindakanmu saat ini akan menentukan nasib masa depan.'"

"Aku akan mengingatnya, tetapi apa benar kau melakukan ini hanya untuk semua prinsip dan idealisme itu?"

Kali ini Sylvia tersenyum getir mendengar pertanyaan Robin. Ia berlutut di depan Robin kemudian mengangkat dagu mantan ketuanya. Netra mereka mengikat satu sama lain, memberikan arti ganda akan kekhawatiran dan sebuah rasa yang telah lama dipendam oleh keduanya.

"Soal itu," kata Sylvia lirih, "Aku tak bisa melihatmu menderita, karena perasaanku masih sama seperti dua tahun lalu-aku mencintaimu, Robin."

***

Abraham State (18 Juni 2017)

Sebuah bar dengan konsep western menjadi destinasi Robin untuk melakukan pelarian dari tugasnya yang mulai menusuk kepala sebagai Kapten Elit dari kesatuan The Heaven Wrath. Lampu-lampu redup, sebuah band dengan aliran rock/alternative bermain diiringi suara keras dari speaker yang ada di sisi panggung, dan tentu saja-bau alkohol dan asap rokok yang menyatu dalam ruangan ber-AC menyapa saat Robin menghidu tempat tersebut.

Ia memilih untuk duduk pada barstool besi yang berada di ujung sebelah kiri, tempat biasa menghabiskan waktu sendiri sambil mabuk dan melepas penat. Sepatu boots coklatnya berderap di atas lantai kayu dari kulit ek, kemudian melipat lengan jaket kulitnya sebagai luaran dari kaus hitam polos lengan pendek. Robin membungkukkan badan lebih dekat ke arah bartender agar bisa mendengar dengan jelas pesanan yang dimaksud olehnya.

"Double stoli with orange juice, please," kata Robin seraya mengangkat kedua sikutnya dari meja panjang yang juga terbuat dari kayu tersebut.

Band yang berada sepuluh kaki dari tempatnya duduk tengah memainkan lagu-lagu buatan The Doors lalu berganti dengan Pink Floyd di atas panggung berbentuk bulat. Robin mengetuk jemarinya di atas paha yang dibungkus rok hitam selutut dan ujung sepatu bootsnya menghentak pelan lantai kayu untuk mengikuti irama lagu yang sedang bermain. Orang yang ditunggu olehnya masih belum tiba, sesekali Robin menengok ke arah jam tangan memastikan bahwa orang tersebut belum terlambat.

"Masih 5 menit lagi," batin Robin kembali terlarut dengan alunan musik.

Tak lama, seorang perempuan dengan rambut sehitam bulu burung gagak terurai memanggil namanya dengan penuh antusias. Lipstick berwarna merah jambu menghiasi bibir tebalnya membuat aura perempuan itu dua kali lebih menarik. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan dua kancing atas dibiarkan terbuka, celana ripped jeans yang menutup kaki jenjangnya, dan fench heel hitam mempermanis bagian bawahnya.

"Dry Martini with green olive, please," ujarnya lembut kemudian duduk di sebelah Robin.

"Kau sudah dari tadi, huh?" tanyanya seraya menautkan sorot mata mereka.

"Tidak, aku baru tiba 5 menit lalu, Sylvia," jawab Robin seraya menyesap minumannya yang sudah datang terlebih dahulu. Ia mengulum bibirnya untuk membersihkan sisa minuman yang masih menempel di bibir dengan sensasi rasa asam berasal dari jus jeruk.

"Oh syukurlah, aku mengira akan terlambat. Kau tahu, taksiku harus dialihkan karena ada kecelakaan di Great Avenue jadi terpaksa kami memutar untuk menghindari macet," lanjut Sylvia ramah.

Robin mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk untuk membiarkan Sylvia meneruskan ceritanya. Kali ini dry martini pesanannya telah tiba, mereka pun bersulang untuk merayakan keputusan ketua mereka, yakni Wisnton Carpenters karena berani melaju pada pemilu presiden untuk periode 2019-2023.

"Untuk kemenangan Ayahmu, bersulang!" ajak Sylvia gembira.

"Bersulang!"

Berbeda dengan Robin yang langsung menyesap minumannya dari gelas, Sylvia menggunakan sedotan yang meninggalkan noda lipstik pada pipetnya. Mereka kembali bercengkerama, membahas segala hal di luar militer dan politik. Faktanya, hal itu yang sangat dirindukan oleh Robin. Ia mungkin dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan tak kenal ampun, apalagi untuk merealisasikan ambisi dalam memulihkan perdamaian. Akan tetapi, Robin tetaplah manusia biasa. Dan saat-saat seperti ini sangat berharga bagi dirinya, di samping memperjuangkan keadilan orang banyak.

Sebatang rokok telah menempel pada bibir Sylvia, selanjutnya perempuan itu merogoh ke saku celana dan tas dompetnya untuk mencari pemantik api, tetapi hasilnya nihil. Robin berinisiatif untuk mengambil pemantik api miliknya yang bergambar bunga mawar kemudian membantu Sylvia untuk menyalakan bara api di ujung rokoknya.

"Ah, terima kasih, Robin. Aku kira pemantikku tertinggal di dalam taksi, entahlah, nanti aku beli lagi saja," ucap Sylvia, gerak bibirnya terganggu karena rokok itu, disusul kepulan asap tipis pertama yang muncul mengelilingi wajahnya.

Penyanyi laki-laki dengan rambut sebahu memanggil seorang perempuan untuk naik ke atas panggung. Orang-orang di dalam bar bertepuk tangan setelah mengetahui latar belakang perempuan tersebut merupakan adik kandung dari penyanyi utama. Vokalis dengan suara berat nan menawan itu menjelaskan bahwa adiknya menginginkan sesuatu di hari ulang tahunnya, yakni bernyanyi di hadapan penonton. Rasa penasaran mulai mencuat dari dalam benak Robin akan lagu yang dibawakan oleh perempuan itu. Robin bisa melihat kakak dari si perempuan telah duduk di depan piano besar berwarna hitam, sementara adiknya yang mengenakan pakaian kasual berwarna gelap dan sebuah syal mengalungi bagian lehernya telah berdiri di depan mikrofon.

Sylvia bertepuk tangan begitupun Robin, tak lama setelahnya lampu panggung perlahan meredup dan menyisakan sebuah cahaya dari lampu-lampu kecil di bagian bawah panggung. Ketika lagu masuk pada bagian pertama, lampu kembali menyala mengikuti alunan nada. Robin sangat kenal lagu yang tengah dinyanyikan. Hatinya menjadi hangat dan tubuhnya seolah melayang saat suara merdu itu mulai menyanyikan lagu berjudul Ain't no Sunshine. Ia beranjak dari barstool kemudian mengunci jemarinya dengan Sylvia. Keduanya bergabung menuju lantai dansa bersama beberapa orang yang tak dikenal. Namun sebelum sampai di lantai dansa, Sylvia menaruh batang rokoknya pada sembarang asbak.

"Kau tahu harus berbuat apa, bukan?" tantang Robin seraya menatapnya tajam lalu menaruh telapak tangannya pada pinggul Sylvia. Di sisi lain, Sylvia merasakan aliran darah perlahan mengalir cepat menuju otak lalu merespon tantangan Robin dengan menaruh lengan di sekitar tengkuk pasangannya.

Lampu dengan warna neon berganti teratur mengikuti alunan nada yang manja. Kali ini, Robin menempelkan dahinya yang dingin. Kaki mereka bergerak perlahan ke depan, belakang, dan samping. Keduanya membisu, larut dalam sebuah lagu dan pesta dansa yang tak terduga. Robin menelan ludah ketika mendengar bagian reff, jantungnya berdetak sangat cepat senada dengan aliran darah yang melaju menuju otak. Dari jarak sedekat itu, Robin bisa melihat netra hazel milik Sylvia yang bersinar indah berpadu dengan lampu panggung, pipinya merona dan nampak halus seperti susu.

Sewaktu lampu redup kembali, menyisakan jeda kegelepan dalam waktu sepersekian detik. Robin mengecup dengan hati-hati bagian atas dari bibir Sylvia. Namun, perempuan itu tak langsung membalas kecupan Robin. Ia perlu beradaptasi dengan anak panah yang ditembak oleh cupid karena tepat mengenai hatinya. Sylvia terperangah lalu memegang bibirnya yang baru saja bertemu dengan bibir Robin. Di satu sisi, Robin berhenti menggerakan kakinya mengingat pasangan dansanya bergeming.

"Terlalu cepat, ya? Kita bisa melu-" belum sempat Robin menyudahi kalimatnya, Sylvia dengan cepat mencium Robin hingga tak berkutik.

Keduanya memejamkan mata, membiarkan napsu mereka larut dalam permainan. Kali ini, Robin membiarkan pasangannya untuk memegang kendali. Ia dapat merasakan lidah Sylvia mencoba untuk meraih lidahnya. Sementara Sylvia bisa mengecap rasa jeruk yang menempel pada bibirnya. Robin menyudahi ciuman itu kemudian menarik tangan Sylvia untuk pergi dari lantai dansa. Mereka memilih sebuah lorong di ujung bar. Nyanyian merdu menggema di dalam lorong tersebut.

Robin bersandar pada dinding lalu membiarkan Sylvia untuk meraba lekuk tubuhnya. Ia dapat merasakan napas Sylvia yang mengembus bagian tengkuk kemudian meremas payudara Robin hingga membuatnya mendesah pelan. Saliva Robin mendarat dari ujung bibir, melihat pasangannya menikmati permainan membuat pikiran Sylvia buncah. Ia memutuskan untuk mencium Robin lagi. Sesekali jari Sylvia bermain nakal pada bagian bawah, Robin tak mampu berkata kecuali merintih seraya menggigit bagian bawah bibirnya.

"Do you like it? Say it louder, don't you?" kata Robin sambil meremas rambut hitam Sylvia yang kala itu masih panjang.

"I like it."

"Say it fucking louder, Bitch!"

"I fucking LIKE IT!"

"LOUDER!"

"I FUCKING LIKE IT!"

Robin mendorong Sylvia hingga perempuan itu terlempar beberapa senti. Ia menyeka bibirnya yang bernodakan lipstik merah muda. Napas keduanya masih memburu kemudian Sylvia memutuskan untuk menghampiri Robin yang sedang memegangi bagian perutnya.

"Kau tidak apa?"

"Tidak, jackpot...." jawab Robin sedang menahan empedu pahit yang sudah berada di ujung tenggorokannya. Ia pun berlari menuju toilet dan meninggalkan Sylvia sendiri di lorong tersebut dengan rambut dan kemeja yang terlihat berantakan.

Sebelum menyusul Robin ke toilet, Sylvia menyisir rambutnya dengan jari tak lupa mengancing kancing kemejanya yang lepas setelah bercumbu dengan kekasihnya. Namun sedikit yang mereka tahu, Takeshi Oda memantau perbuatan keduanya dari lantai atas. Ia telah menunggu sejak sore-bahkan sebelum Robin tiba. Tiga buah botol bir dan asbak yang penuh dengan puntung rokok menghiasi meja tempat duduknya bersama seorang perempuan yang setia menemani sejak awal.

Oda terlihat berantakan-kemejanya tidak terkancing rapih, matanya sudah mulai sayu, dan wajahnya memerah efek dari alkohol. Namun sela-sela jari tangan kanannya masih sibuk memegang sebatang rokok yang baru saja dinyalakan.

"Ah, Juno. Kau lihat mereka, bukan? Perbuatannya sungguh memalukan The Heaven Wrath di muka umum, dasar berengsek," racau Oda sesekali terkekeh untuk mempermanis sarkasnya.

Perempuan bernama Juno itu memiliki rambut hitam sebahu dengan poni menjuntai. Ia mengenakan jaket lengan buntung berwarna putih salju yang didobel turtle neck merah gelap. Lensa tipis melindungi iris mata hitam pekatnya yang bersinar layaknya langit malam bertabur bintang. Juno menghela napas panjang lalu menyesap minumannya yang berwarna coklat keemasan sebelum merespon pertanyaan Oda.

"Ya, Mr. Oda, aku sangat setuju dengan itu," jawabnya singkat sembari menaruh gelas lowball yang hanya menyisakan es batu.

Oda menunjuk Juno berkali-kali dengan rokoknya. Ia terlihat sangat berantakan bahkan cara duduknya pun tak seimbang. "Nah, nah, nah! Sudah kukatakan berulang kali jangan panggil aku Mr. Oda di luar kantor, kau ini aneh sekali, Juno," tukasnya.

"Baik, maafkan aku, Oda," jawab Juno lagi-lagi singkat dan terdengar kaku.

Riuh tepuk tangan menandakan lagu yang dinyanyikan oleh adik dari vokalis telah usai. Oda ikut bertepuk tangan tanpa arti, sementara Juno diam membisu seraya memerhatikan dua orang itu keluar dari toilet. Terlihat Sylvia sedang memapah Robin yang nampak kacau.

Sudah pergi rupanya, batin Juno kembali menautkan sorot matanya yang dingin ke arah Oda.

***

Ingatan itu bagaikan siang bolong-sangat jelas di mata Robin. Ia mencoba untuk mendekatkan bibirnya, tetapi Sylvia menjauh. Dia menolak ciuman mereka.

"Maafkan aku, Robin. Namun, kita sudah selesai," sesal Sylvia sambil berdiri menjauhi Robin.

"Maksudmu apa? Kau baru saja mengutarakan perasaanmu, Sylvia."

Perempuan yang sudah memotong rambut panjang indahnya itu terkekeh. "Aku memang mencintaimu bahkan aku berani bertaruh kau merasa demikian. Namun, sejauh apapun kita mencoba untuk memperjuangkan hubungan ini. Hasilnya akan sia-sia."

Mendengar kata-kata itu membuat Robin menyatukan alisnya. "Sia-sia?" ulang Robin tak percaya.

Helaan napas panjang terdengar dari tempatnya berdiri. Sylvia menoleh ke arah Robin seraya mengulas senyum tipis dibalik matanya yang berkaca-kaca.

"Kau akan segera mengetahuinya, memang bukan saat ini, tetapi segera."

***

(Ain't no Sunshine)

Footnote
*QRF: Quick Reaction Force (Pasukan cepat tanggap, dalam militer bertugas untuk membantu garis depan atau menolong prajurit yang menemui titik buntu dalam misinya)

A/n

Hai! Aduh gak kerasa chapter akhir di bab 1 ini panjang banget ehehe tapi gapapa semoga bisa membuka jawaban akan pertanyaan yang telah lama kalian simpan. Anyway, gimana kabar kalian? Semoga selalu diberi kesehatan dan berkah yang melimpah, ya. Oiya, mau mengulang aja kalo BAB 1 akhirnya selesai, YES! Tapi perjalanan masih panjang karena pemicu-pemicu konflik utama baru muncul.

Sekali lagi gw mau bilang terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pembaca yang udah setia ngikutin sampe ujung bab 1. Terutama bagi kalian yang rela meluangkan waktu untuk memberi vote dan meninggalkan komen, apalagi sampe share ke temen. Wah! You are my hero.

Dukungan itu membuat gw terus semangat untuk tetap berkarya dengan cara menulis. Gw harap cerita ini berkesan karena tujuan gw saat membuat cerita ini gak cuman sekadar nulis aja, tapi punya nilai moral yang semoga bisa menjadi bahan renungan untuk kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, sampai ketemu pada bab selanjutnya! Jaga kesehatan, ya. Gw mau nonton Money Heist dulu soalnya huhu. Rela gak nonton series kesukaan gw demi menyelesaikan bab 1 ini, padahal spoiler udah bertebaran di mana-mana. See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top