B4b 1 - B4g14n 14 (J0y!)
Dua hari setelah peperangan di garis depan (The Rebellion Main Camp in Hebei City)
Setelah peperangan terjadi dan suplai semakin menipis, kesatuan Ragnarok di bawah kepemimpinan Aidan Lee mundur untuk meninggalkan garis depan pertahanan. Tidak—mereka tidak menyerah, melainkan bersiap untuk ekspedisi perang pada tahap selanjutnya ketika pasokan logistik telah siap.
Jarak dari garis depan Midwest County menuju markas utama Pasukan Pemberontak terbilang cukup jauh, yakni 65 mil atau 104 kilometer. Kota bernama Hebei yang dialih fungsikan sebagai markas utama ini telah direbut oleh para pemberontak sejak tahun 2010 saat pertama kali pemimpin mereka—Solomon Wilson mendeklarasikan perang melawan pemerintahan yang korup.
Sejak saat itu, gerakan masif dari para pemberontak perlahan menelan kota-kota kecil sebagai markas. Korban jiwa yang berjatuhan cukup banyak mengingat gerakan pemberontak tak bisa mentolerir mereka yang memiliki garis keturunan atau mendukung pemerintahan. Sebenarnya, Solomon Wilson bisa memberi ampun—dengan syarat untuk membelot dan patuh di bawah panji pemberontak. Namun, sebuah gerakan yang bersifat kompulsif tidak selalu diterima dengan tangan terbuka bagi mereka yang telah terbiasa dengan sistem lama. Apalagi, belum ada kepastian yang saklek jika memang gerakan pemberontak berhasil mengambil alih pemerintahan; akankah lebih korup atau sebaliknya?
Manifestasi mereka tetaplah abstrak dan meraba-raba, tetapi yang memilih untuk patuh dan memperjuangkan pemberontakan percaya bahwa tujuan utama memulihkan perdamaian akan tercapai. Sebut saja seperti Zee Harper, salah satu pemimpin palang merah dalam kesatuan Ragnarok. Perempuan berambut kepang itu meninggalkan ayahnya demi patuh pada pemberontakan. Padahal, ayahnya adalah salah satu anggota kongres legislatif pada periode 2015-2019.
Pemberontakan memang memiliki visi untuk memulihkan perdamaian dengan menghancurkan tendensi membela kaum berada tetapi melupakan kaum yang serba kekurangan. Namun, cara ekstrem yang dilakukan oleh Solomon Wilson untuk menghapus secara total sistem lama menggunakan darah dan perang dikecam oleh banyak pihak terutama The Heaven Wrath. Sehingga, perang terhadap pemberontakan semakin melebar hingga tahun 2019.
Solomon Wilson dikenal sebagai pria berusia 75 tahun yang memiliki pola pikir tajam, pelopor bertangan dingin, visioner, dan kejam. Dia memimpin dengan cara keras, tetapi berhasil mencuri hati para pendukungnya karena dapat menerapkan keadilan sebagaimana mestinya. Salah satu kutipan paling terkenal hingga seantero Olnymp State adalah, "In order to bring peace, we have only one choice; WAR!"
***
Adrianne duduk pada ranjangnya sambil mendelik ke arah Amare yang juga memberi tatapan tajam. Keduanya tak akur sejak insiden dua hari lalu saat Adrianne tak sadarkan diri keluar dari tenda perawatan dengan darah terus mengucur dari punggung tangan karena mencabut paksa selang infus. Sejujurnya, Adrianne juga tidak sadar akan perbuatannya itu. Ia hanya mengingat pandangannya menjadi gelap kemudian merasakan otot tubuhnya berkedut hebat sehingga dengan mantap beranjak dari ranjang untuk melarikan diri. Belum lagi, pisau bedah yang dibawa olehnya, entahlah, Adrianne sangat bingung mengingat efek mengerikan itu membuat tubuh Adrianne terasa sakit lagi.
"Baiklah, ini dia sarapanmu Adrianne," ujar Zee yang baru saja masuk ke dalam kamar sambil membawa sebuah mangkok berasap dan segelas air putih. Wajahnya berseri berbeda dengan rekannya—Amare yang semakin tidak senang karena Zee berniat sekali untuk merawat Adrianne.
"Sudahlah kalian berdua, hentikan tatapan menyebalkan itu," lanjut Zee kali ini telah duduk di samping ranjang Adrianne.
Amare berdecak kesal kemudian beranjak dari tempat duduk untuk pergi dari kamar tersebut. Namun, sebelum pergi ada kata-kata yang sangat menyinggung perasaannya. Orang yang menghina tidak lain adalah Adrianne.
"The Rebel are Swine!"
Lelaki Persia itu memejamkan mata sambil menggenggam pensil kayu dengan kuat hingga patahannya mengotori lantai. Rahangnya mengatup kemudian berbalik arah dengan mantap ke arah Adrianne yang masih terduduk kaku. Melihat kejadian ini tak membuat Zee bergeming, perempuan yang selalu mengenakan emblem palang merah pada lengan kirinya dengan sigap berdiri menahan Amare agar tidak melangkah lebih dekat lagi.
"Berengsek, perempuan jahanam!" pekik Amare seraya melempar jari telunjuknya dengan kasar.
Adrianne merasakan pipinya terbakar dan napasnya memburu. Ia sebenarnya takut menghina pemberontak di markas mereka sendiri. Sama saja seperti mencuri anak harimau di dekat induknya. Adrianne menelan ludah kemudian menelan dalam-dalam rasa takutnya
"The Rebel are Swine!" ulanginya lagi.
Amare dan Zee terlibat adu dorong. Di sisi lain, Adrianne tengah menahan sakit yang mulai menggerogoti tubuhnya lagi. Amare berseru berkali-kali, menghina Adrianne dengan kata jahanam, jalang, dan sampah.
"Kau tidak bisa membelanya, Zee. Dia gila!"
Zee mendorong Amare kemudian menunjuk ke arah daun pintu—raut wajahnya terlihat kesal dan tangan kirinya telah dikepal kuat. "Enyahlah!"
Sekali lagi Amare mencoba untuk mendekati Adrianne, tetapi layaknya tembok—Zee mendorong dan mengusir Amare dengan tegas.
"Zee, apa-apaan, bung?!" hardiknya sambil melempar kedua lengan tanda tak puas.
"Kubilang enyahlah!"
Amare meremas tangannya gemas kemudian mendengus kesal dan berlalu meninggalkan kamar itu. "Jangan pernah kau meminta pertolonganku lagi untuk mengawasinya, dasar tolol!"
"Terserah," ucap Zee lirih sambil bersila tangan.
Ketika menengok ke sumber rintihan, Zee melihat pasiennya telah memegangi lengan kesakitan. Dengan sigap, ia menghampiri Adrianne kemudian mulai memeriksa sumber rasa sakit perempuan itu. Lengan Adrianne berkedut sehingga dirinya tak berhenti merintih, di sisi lain perasaan Zee mulai tidak enak karena takut perubahan mengerikan itu kembali muncul dan dia hanya sendiri di dalam kamar tanpa bantuan Amare ataupun Aidan.
"Tarik napasmu dalam-dalam lalu buang, ayo ikuti aku, Adrianne," pinta Zee seraya meragakan metode yang ia maskud.
Alih-alih mengikuti arahan Zee, Adrianne justru mendorong perempuan itu hingga menabrak nakas yang ada di belakangnya. Segelas air dan bubur pun tumpah, sebagian membasahi pundak Zee yang membuatnya sedikit terperanjat karena kepanasan.
"Sakit ... sekali," keluh Adrianne sembari memegangi kepala dan lengannya secara bergantian.
Zee dapat memerhatikan gejala-gejala aneh yang ditunjukkan oleh Adrianne; dia mengeluh lengan dan kepalanya seperti ingin meledak, urat wajah menyembul secara perlahan, napasnya terengah, dan matanya terbuka lalu tertutup cepat. Sesekali Adrianne menutup kedua telinga menggunakan tangan sehingga menarik selang infus itu untuk merobek kulit rapuhnya lagi.
Dengan sigap Zee membuka laci meja dan lemari yang ada di ujung ruangan—mencoba untuk mencari obat penenang atau apapun yang bisa digunakan olehnya. Tangan Zee bergetar, ia melempar barang-barang ke lantai sementara Adrianne terus meracau kesakitan. Namun selama dia masih kesakitan, tandanya Adrianne belum berubah wujud seperti lusa lalu.
Seketika suasana pun hening. Zee berhenti merogoh laci meja dan perlahan menengok ke tempat Adrianne telah diam. Pupil mata perempuan yang masih dililit perban itu kembali menghitam, noda darah mulai membasahi perban dan ranjang, dan tatapan kosongnya berubah menjadi tajam saat melihat Zee telah terduduk gemetar.
"Ya Tuhan, tolong aku...."
Laci meja yang dirogoh oleh Zee barusan telah berada di ujung, tak lama terjatuh karena tarikan gravitasi kemudian mengundang bunyi berdentum cukup keras. Adrianne dengan penampilannya seperti orang yang kerasukan itu perlahan mendekati Zee. Tatapan ketua palang merah terpaku menyaksikan sosok itu kembali menerornya, kali ini tak ada Amare ataupun Aidan yang datang menolong. Ia terus mundur menggunakan tangan sementara tetesan darah mulai membasahi lantai berwarna putih tersebut.
Adrianne menghentikan langkah dan geramannya saat melihat kalung kupu-kupu miliknya tersimpan di dalam laci yang baru saja terjatuh. Ia berlutut lalu mengambil kalung tersebut. Kata "ayah" terdengar lirih membuat wujud mengerikannya perlahan hilang dan mengembalikannya pada kondisi normal.
Zee tidak langsung mendekat. Ia membiarkan jantungnya berdegup normal dan ritme napasnya mengalir seperti semula. Adrianne mengangkat kalung itu dan membiarkannya menjuntai lalu berputar ke sebelah kanan seolah mengikuti gaya tarik gravitasi.
"Ayah," panggil Adrianne lagi.
***
Zee bersandar pada dinding yang dingin seraya menyesap rokok keduanya. Ia menatap Aidan yang berdiri dihadapannya mengenakan sebuah jaket kulit sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pagi yang cerah di Kota Hebei, tetapi lorong di rumah sakit terlihat sepi hanya menampilkan beberapa perawat sesekali berjalan ke ruangan yang mereka tuju.
"Sungguh kau tidak apa?" tanya Aidan terdengar ada nada kekhawatiran dari laki-laki itu.
Ia menganggukan kepala perlahan kemudian menyesap rokoknya lagi. Ada satu hal yang mencuri perhatian Aidan, yakni noda bubur yang membasahi pundak kaus lengan panjangnya. Aidan merogoh saku celana untuk mengambil sapu tangan untuk menyeka noda bubur tersebut.
"Sudah kering, tahu," kata Zee mengingatkan.
"Iya, aku hanya memastikan."
Senyum kaku terpancar dari wajah Zee. Ia bisa melihat rahang tegas Aidan dari jarak sedekat itu dan tatapannya yang tak teralih saat menyeka noda. Wajah Aidan membelakangi cahaya matahari seolah membuatnya sedikit bersinar.
"Jadi, kau hanya ingin diam saja, Zee?"
"Ah-anu."
Pekataan Aidan membuyarkan lamunannya. Zee mengulum bibir sebelum melanjutkan, "Kukira kasus Adrianne ini terlihat unik. Beberapa menit lalu, dia berubah wujud lagi menjadi—kau tahu, mutan? Lalu, dia berangsur pulih saat menemukan kalung kupu-kupu miliknya."
Aidan menahan perkataan Zee sebentar sambil terkekeh, "Kau bilang mutan?"
"Iya, aku serius," bela Zee mantap.
"Baiklah, lanjutkan."
Sekali lagi Zee menyesap rokoknya hingga kepulan asap tipis itu mengelilingi mereka, "Aku berpikir bahwa sel-sel dalam tubuhnya bermutasi dengan partikel dari radiasi bom. Kau tahu? Jika orang normal yang ada di posisi Adrianne, seharusnya dia sudah mati sejak kemarin. Namun, kasus Adrianne ini sungguh unik. Dia bisa berubah wujud, bahkan sel penyembuhan di dalam dirinya bekerja lebih aktif dan sangat—" ia menyatukan alis sembari melihat tiupan angin yang menerbangkan daun berguguran, "sangat tidak wajar, seakan sel lama dalam dirinya berganti dengan sel-sel baru."
Aidan memincingkan mata seraya menggigit bagian dalam rahangnya. "Tunggu, maksudmu dia memiliki kemampuan penyembuhan diri?"
Zee menggelengkan kepalanya, "Tiap manusia pasti memiliki kemampuan penyembuhan diri. Yang membuatku heran, kemampuannya itu bekerja sangat efektif. Ditambah indikator pemulihannya menunjukkan hasil yang signifikan. Jika dia bukan mutan, lantas apa lagi?"
Lelaki itu perlahan mencerna penjelasan Zee. Ia mengerucutkan bibir kemudian memegang kedua bahu Zee dengan lembut.
"Kau tidak ingin melakukan penelitian lebih lanjut, Zee?" tawarnya sembari menautkan sorot mata mereka.
Zee tertawa tetapi tidak terbahak lalu menginjak puntung rokoknya di atas aspal sebelum menjawab pertanyaan Aidan. "Aku adalah dokter, bukan ilmuwan, Aidan. Lagipula, masih banyak hal yang tidak kuketahui, salah satunya adalah perubahan wujudnya. Aku berpikir bahwa wujud dari Adrianne yang mengerikan muncul ketika ada sesuatu yang memancingnya untuk keluar...."
"Lanjutkan saja," ucap Aidan.
"Tadi pagi Adrianne terlibat perdebatan dengan Amare, tak lama kemudian ia mengeluh kesakitan dan aku bersumpah melihat dengan mata kepalaku sendiri, Aidan. Transformasinya benar-benar nyata seperti kepompong yang berubah menjadi ... kupu-kupu."
Zee memijat dahinya perlahan karena mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu. Hal ini mengundang pertanyaan yang terus menghantui benak Aidan. Apakah radiasi bom yang dijatuhkan di garis depan pertahanan Midwest County memiliki efek tertentu atau memang ada sesuatu yang tidak diketahuinya tentang latar belakang Adrianne?
Aidan mendengus pelan sembari memikirkan itu.
"Kukira Adrianne adalah aset," kata Zee memecah keheningan, "Kita harus menjaganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain apalagi orang-orang yang ingin memanfaatkannya. Bagaiamanpun juga dia tetaplah manusia, aku tidak sudi jika Adrianne dijadikan bahan percobaan," tegasnya.
Mendengar perkataan tegas Zee membuat Aidan harus menghela napas panjang. Padahal, baru saja terlintas dalam benaknya untuk mengajukan Adrianne sebagai salah satu spesimen uji coba agar hasilnya mungkin bisa menjadi rujukan terkait kepentingan bersama.
Seorang pria berkulit hitam dengan badan tegap besar mengenakan beanie hitam memanggil Aidan dengan wajah berseri. Aidan masih ingin mendiskusikan nasib dari Adrianne tetapi dia tak bisa menolak panggilan satu ini.
"Panglima Aidan, aku punya kabar baik untukmu," katanya terengah-engah kemudian tersenyum ke arah Zee, "Hei, Zee! Lama tak berjumpa, bagaimana kabarmu?" sapanya ramah.
"Yah, aku baik Djibril. Terima kasih."
"Djibril kau tidak perlu terlalu formal, panggil saja Aidan. Lagipula kita sedang tidak di medan tempur," tegur Aidan kepada Djibril yang juga seorang komandan perang kesatuan Ragnarok.
Lelaki bernama Djibril itu menggaruk kepala botaknya yang tidak gatal. "Maafkan aku kalau begitu. Oh iya, aku punya kabar baik untukmu, Aidan—" terlihat Djibril agak sedikit terkekeh karena tak biasa memanggil nama panglimanya dengan nama langsung sehingga membuat Aidan harus berkacak pinggang. "Ah, maafkan aku Aidan hanya saja ini sangat tidak wajar. Baik, biar kulanjutkan," Djibril sempat berhenti sebentar saat melihat ada perawat menyusuri lorong lalu berdehem sebelum melanjutkan potongan kalimatnya. "The Heaven Wrath telah meninggalkan baris depan pertahanan dan Ketua Solomon Wilson memanggilmu ke dalam pertemuan untuk memberi penghargaan," lanjutnya tak luput senyum sumringah terpancar dari wajah Djibril.
Mata Aidan membelalak tak percaya bahkan Zee menjatuhkan rokok terakhirnya setelah mendengar kabar itu. Keduanya terdiam membeku saking tidak percaya dengan kabar yang diberikan oleh Djibril.
"Apa aku salah bicara?" tanya Djibril ragu.
Sementara itu Aidan masih mencerna perkataan bawahannya.
Bagaimana bisa The Heaven Wrath mundur? Apakah ini keberuntungannya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top