9. Hamil?

"Hah?! Cerai?"

Eros sama sekali tidak heran bila itulah hal yang ia dapatkan ketika ia menceritakan niatan hatinya pada orang tuanya. Tepat ketika di malam itu, selepas menutup toko kopinya, ia berkunjung ke rumah keluarganya. Tentu saja, Pratiwi dan Rizal sama-sama terkejut mendengar apa yang putranya katakan pada mereka. Sementara itu, adik Eros –Adi- tampak berpaling sejenak dari layar televisi yang tengah ia tonton. Melihat pada kakaknya yang tampak mengembuskan napas panjang seraya duduk di satu sofa. Satu tangannya naik, memijat pelipisnya berulang kali.

Pratiwi dan Rizal saling bertukar pandang. Dan begitu pula dengan Adi, putra bungsunya itu menatap pada kedua orang tuanya. Hening sesaat. Lalu, tawa pun meledak. Membuat Eros melongo dengan ekspresi tadi percaya. Bingung? Itu sudah pasti. Bagaimana bisa kabar tentang rencana perceraiannya justru membuat kedua orang tua dan adik semata wayangnya itu tertawa terbahak-bahak? Layaknya ia baru saja mengatakan sesuatu yang lucu.

"Hahahahaha."

"Papa denger tadi yang Eros bilang? Adek denger juga?"

"Astaga. Kak Eros emang suka banget ngelawak. Hahahaha."

"Cowok yang suka ngelawak itu artinya cowok romantis, Dek."

Eros mengerjap-ngerjapkan matanya. Sekarang ia tau penyebab keluarganya tertawa. Dan itu membuat ia menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi, berusaha memperjelas niatan hatinya itu.

"Ini aku beneran loh," kata Eros kemudian. "Aku dan Leony mau pisah. Kami mau cerai."

Kembali, hening sesaat. Lalu, tawa pun meledak lagi. Membuat Eros mendesis karenanya. Antara tak percaya dan juga kesal.

"Hahahaha. Udah ah udah, Ros," kata Pratiwi dengan napas tersengal. Tampak mata wanita paruh baya itu membasah. Air mata lucu terbit tak terkira. "Jangan buat Mama capek. Datang-datang kamu langsung buat Mama ketawa mulu."

Rizal pun menarik napas dalam-dalam. Juga tampak berusaha untuk menahan desakan rasa geli yang mendorongnya untuk terus tertawa. Tapi, napasnya pun sudah terasa payah.

"Kamu itu nggak kasihan sama kami? Orang tua malah dikerjain kayak gini. Hahahaha."

"Entah ini Kakak. Sok ngomong mau cerai lagi sama Kak Leony," imbuh Adi tak ingin kalah. "Seluruh dunia tau kali kayak gimana cintanya Kakak sama Kak Leony. Hahahaha. Bisa kiamat dong dunia kalau mendadak Kakak mau cerai. Orang kemaren aja ngebet banget mau nikah."

Eros merasa tertampar dengan perkataan Adi yang tanpa tedeng aling-aling. Membuat ia mengusap wajahnya dengan kasar. Pun dengan mengembuskan napas panjangnya.

"Bentar deh bentar."

Adi kemudian tampak mengangkat satu tangannya. Memberikan satu isyarat pada kedua orang tuanya untuk berhenti tertawa. Dan di saat itu, Adi melayangkan sorot mata yang tampak menyelidik pada Eros. Beberapa saat sebelum pada akhirnya ia beralih pada kedua orang tuanya. Dengan mata yang pelan-pelan menyipit. Memberikan kesan seperti sedang menahan geli.

"Ini mau nge-prank kita bukan sih, Ma? Dan biasanya, orang nge-prank itu karena mau ngasih kejutan."

Perkataan Adi seketika membuat keheningan beberapa saat kembali tercipta. Seolah Eros, Pratiwi, dan juga Rizal sedang berpikir. Mencoba untuk menerka ke mana arah pembicaran itu akan dibawa oleh Adi. Hingga kemudian, Pratiwi dan Rizal membolakan mata mereka. Raut geli yang semula tercetak di wajah keduanya, sontak menghilang. Tergantikan oleh ekspresi syok.

"Ya Tuhan," desis Pratiwi dengan suara bergetar. "Leony hamil, Ros?"

"Bener, Ros? Papa bakal jadi Kakek?"

Eros melongo. Kali ini ia benar-benar super bingung. Bagaimana bisa kabar yang ia beritakan justru dibelokkan sejauh ini? Memangnya siapa yang sedang mengelabui mereka? Dan Leony hamil? Astaga.

"Ya Tuhan," desis Eros. "Aku bukannya lagi nge-prank." Ia beralih pada Adi. Melotot. "Kakak bukannya nge-prank. Tapi, kami berdua emang mau cerai. Beneran. Sumpah. Nggak pake nge-prank atau apalah itu."

Namun, seolah perkataan Eros hanya angin lalu. Sekarang tawa yang meledak di ruang keluarga itu berganti dengan ucapan syukur. Pun puja-puji kehadirat pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Kita bakal jadi Kakek dan Nenek, Ma."

"Ya ampun, Pa. Mama sampe gemetaran kayak gini."

"Mudah-mudahan anak Kak Leony ntar cewek deh. Aku mau punya keponakan cewek aja. Pasti cantik."

"Leony udah ngerasa ngidam belum, Ros?"

"Atau kalau kalian repot, udah. Bawa aja Leony ke rumah. Biar Mama bisa ngurus Leony."

"Apa nggak justru ntar mereka pindah ke rumah mamanya Kak Leony, Ma?"

"Ah, bener juga."

"Atau kita bisa ikut pindah bentar ke rumah Utami, Ma. Gimana? Kasihan loh. Hamil anak pertama pasti Leony belum bisa ngapa-ngapain."

"Bener-bener. Apa yang Papa bilang bener. Ntar Mama telepon Utami. Dia kan juga tinggal sendirian. Ntar Utami kewalahan lagi ngurus Leony."

Dan Eros, yang kemudian tidak terlibat dalam percakapan itu hanya bisa melongo. Benar-benar melongo seperti orang bodoh. Karena mau bagaimanapun dia mencoba menjernihkan kesalahpahaman itu, keluarganya tetap tidak percaya. Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka justru semakin meledek Eros.

"Kamu itu beneran nggak ada tampang buat jadi aktor, Ros," ujar Pratiwi geli. "Emang jadi penjual kopi emang yang paling bener deh buat kamu. Hahahaha."

Namun, Eros tetap mencoba. "Ma, please. Aku berani sumpah. Leony nggak hamil," ujarnya dengan gusar. "Astaga, Tuhan."

"Harusnya tadi itu kita pura-pura kaget loh. Liat kan sekarang? Eros ngambek."

Rizal menuding Adi. "Ini gara-gara Adek loh."

"Loh malah aku yang disalahin. Hahahaha."

Eros meringis. Kedua tangannya terangkat ke atas. Mendarat di kepala dengan begitu bingung. Harus dengan apa lagi ia berusaha untuk menjelaskan semuanya pada keluarganya.

"Ya ampun. Demi Tuhan. Aku tuh beneran mau cerai sama Leony. Dan dia nggak lagi hamil."

Hanya saja, persis seperti tadi, respon yang Eros dapatkan dari keluarganya benar-benar tidak seperti yang diharapkan. Mereka sontak kembali tertawa dengan ekspresi riang gembira.

"Mama jadi Nenek."

"Papa jadi Kakek."

"Adek jadi Om dong."

"Hahahahaha."

*

Di rumah lainnya, berjarak jauh dengan rumah keluarga Eros, ada seorang wanita paruh baya yang tampak bingung seraya melihat ke arah jam dinding. Pada jarumnya yang sudah menunjukkan jam delapan malam. Dan akhirnya, ia pun menyerah. Mengembuskan napas panjang dan bersuara.

"Kamu nggak balik, Ny?"

Leony yang tengah menyaksikan tayangan televisi dengan mata kosong, berpaling. Pada ibunya yang tampak baru saja beranjak dari dapur. Raut wajah wanita yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun itu menunjukkan kegusaran. Seperti tengah menahan rasa geregetan karena sedari tadi ia menunggu Leony berpamitan untuk pulang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Leony justru tampak berleha-leha.

Memandang satu-satunya orang tua yang masih Leony miliki, cewek itu mengembuskan napasnya.

"Balik?" tanyanya polos. "Kan ini aku balik, Ma. Ke rumah Mama."

Utami mendelik. Memilih untuk duduk di dekat Leony. Ia tampak menjitak pelan dahi putri bungsunya itu.

"Kalau kamu ke rumah Mama, itu artinya kamu datang. Balik itu ... artinya kamu ke rumah Eros. Kamu udah nikah. Jadi rumah kamu itu ya ... di mana Eros berada."

Dahi Leony tampak mengerut. "Mama udah nggak nganggap aku anak lagi?" tanyanya seraya memutar bola matanya malas. "Tega amat sama anak sendiri."

"Nggak usah manja-manjaan sama Mama ah. Kamu itu udah nikah. Kalau mau manja-manjaan, ya ... sama Eros sana!"

Leony cemberut. "Mama ini," rengeknya manyun. "Apa-apa Eros. Dikit-dikit Eros. Bosen aku denger nama Eros aja dari tadi."

"Waaah!" kesiap Utami dengan ekspresi syok. "Kamu ini beneran ya, Ny. Nggak boleh ngomong gitu. Amit-amit. Itu suami kamu sendiri. Udah! Sana! Kamu balik. Manja-manjaan sama Eros. Kamu itu udah gede. Bukan zamannya lagi manja-manjaan sama Mama."

"Ya ampun, Ma. Aku itu bukannya mau manja-manjaan."

"Ya udah. Kalau gitu, kamu pulang kini. Sebelum keburu malam," kata Utami lagi. "Ntar Eros bingung lagi kenapa kamu belum pulang. Eh? Kamu pamitan kan sama Eros kalau mau ke sini?"

Tampak ekspresi kesal di wajah Leony, cewek itu terlihat mengembuskan napas karena lagi-lagi ibu kandungnya itu menyebut nama Eros.

"Pamitan atau nggak, mana Eros peduli lagi."

Utami melotot. Meraih satu bantal sofa dan lalu memukulkannya ke wajah anaknya itu.

"Nyebut astaga, Nak. Kamu ini kenapa sih? Dari tadi bawannya kesal aja kalau Mama ngomongin Eros. Kenapa? Kamu dan Eros lagi ada masalah?"

Diam sejenak, Leony tampak mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali. Lalu ia pun memberikan jawabannya berupa anggukan samar.

"Iya," lirih Leony. "Tiap hari kami ribut. Dari bangun sampe tidur lagi, kami ribut aja. Makanya itu aku jadi males balik ke rumah. Aku dan dia mau pisah. Mau cerai."

"Hah?! Cerai? Kamu dan Eros tiap hari ribut?" tanya Utami tak percaya. "Masa? Mama nggak percaya. Kamu jangan ngomong aneh-aneh deh ya. Hati-hati kalau ngomong. Salah-salah bakal jadi doa."

Leony memutar bola matanya dengan malas. "Beneran, Ma. Jadinya aku tuh bawaannya males aja kalau ada Eros. Ngeliat wajahnya aja aku nggak mau. Apalagi kalau ketemu dan sampe ribut, ah! Beneran buat aku darah tinggi."

Tampak mengerutkan dahi, Utami lantas beringsut. Mendekati Leony dengan tatapan menyelidik. Membiarkan putrinya itu terus berbicara.

"Mama tau? Bahkan kapan hari itu kami ribut gara-gara tempe dan tahu goreng, Ma. Aku udah ngomong ke Eros, aku lagi malas masak. Eh, dia malah nggak mau makan di luar. Mau banget makan masakan aku. Dan pas aku sudah masak, dia malah ngomel-ngomel. Gara-garanya aku yang semingguan lebih masak tempe dan tahu goreng aja. Padahal aku juga lagi malas masak. Kebetulan juga aku akhir-akhir ini selera makan tempe dan tahu goreng. Buat kesel aja kan? Makanya, aku nggak mau balik. Biarin aja. Biar dia ngeliat di dalam tudung saji nggak ada apa-apa. Biar dia tau rasa deh."

Mendengar Leony berbicara panjang lebar, Utami sontak mengangkat satu tangannya. Mendarat di sisi kepala dan memijatnya berulang kali. Pada saat itu, Utami menyadari sesuatu. Sehingga ia pun bertanya.

"Ny, sejak kapan sih kamu jadi cerewet kayak gini?"

Dari sekian banyak respon yang bisa dikatakan oleh Utami pada Leony, sumpah! Cewek itu tidak pernah mengira bahwa pertanyaan itulah yang akan ia dapatkan. Maka pantas saja bila sedetik kemudian Leony tampak cemberut.

"Mama ini kenapa malah jadi kayak Eros? Malah ngomongin aku cerewet."

Utami menatap putrinya. "Ny, kamu itu anak Mama. Ya Mama taulah kamu itu gimana. Kamu nggak pernah cerewet kayak gini. Kamu dan Eggy nggak pernah dilahirkan jadi orang yang cerewet."

Leony cemberut mendengar perkataan itu. Terutama ketika Utami mulai membawa nama kakaknya. Seorang cowok yang sampai dengan usia ketiga puluh lima tahunnya itu belum memutuskan untuk menikah. Maka dari itu, walau usia Leony masih terbilang muda, Utami dengan semangat menyetujui pernikahannya dengan Eros. Jujur saja, di usianya sekarang, Utami sudah mendambakan bisa menimang cucu. Dan pada saat itu, sesuatu melintas di benak Utami.

"Tu-tu-tunggu, Ny."

Leony mendapati ekspresi wajah ibunya tampak berubah. Terutama dengan kenyataan di mana Utami menahan tangannya. Sorot di mata Utami menyiratkan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.

"Ka-kamu akhir-akhir ini suka makan tempe dan tahu?"

Leony mengangguk. "Iya. Udah dua mingguan atau lebih ya aku maunya makan tempe dan tahu aja. Bukannya lagi ngirit sih, Ma. Cuma lagi seneng aja gitu makan tempe dan tahu goreng. Dicocol sama sambal. Enak banget," jawabnya panjang lebar. "Tapi, Eros malah nggak suka. Malah nyuruh aku masak yang lainnya. Suplah, tumisanlah, atau segala macam. Padahal orang lagi mager juga."

Lagi-lagi Utami menyadari bahwa Leony sangat-sangat cerewet kali itu. Namun, sesuatu membuat ia kembali bertanya.

"Kamu mageran juga?"

Leony kembali mengangguk. "Maunya di kamar aja. Sambil nonton gitu. Ya namanya aja orang, Ma. Kadang ada rajinnya, ada malasnya. Kebetulan aja kini aku lagi malas. Harusnya Eros ngertilah. Eh, tapi yang terjadi nggak. Mana dia kayak yang sengaja aja nambah kerjaan aku. Bayangkan, Ma. Handuk basahnya itu dia tarok di atas kasur. Ya bau dong jadinya." Ia tampak bergidik. "Baunya bener-bener nggak enak banget. Buat aku enek aja."

Kali ini Utami tak lagi mampu menahan otaknya untuk liar berpikir ke sana dan kemari. Hingga menerbitkan senyum di wajahnya yang mulai tampak mengendur. Hal yang tentu saja membuat Leony bingung. Cenderung takut malah.

"Mama kenapa yang mendadak senyum-senyum nggak jelas gitu? Ngeri ah, Ma."

Mengabaikan perkataan Leony, Utami meraih tangan anaknya itu. Mengusapnya dan menimangnya, seraya menatap matanya lekat-lekat dengan berbinar-binar.

"Kamu belakangan suka makan tempe dan tahu goreng? Nggak mau makan yang lain?"

Bingung karena Leony ingat betul bahwa ia baru saja menjelaskan hal itu, namun pada akhirnya ia tetap mengangguk.

"Kamu juga mageran? Maunya di kamar aja? Istirahat aja?"

Masih bingung. Tapi, Leony tetap memutuskan untuk mengangguk.

"Penciuman kamu juga lebih sensitif? Ada bau dikit ngebuat kamu enek?"

Tambah bingung. Hanya saja Leony kembali mengangguk. Walau diakhiri oleh pertanyaan bernada rasa kesal.

"Iya, Ma, iya. Kan tadi aku udah bilangin. Emangnya kenapa?"

Sekarang, setelah yakin dengan diagnosa di benaknya, senyum lebar timbul di wajah Utami. Dan sungguh, diperlukan kekuatan baginya untuk tidak menjerit kegirangan. Alih-alih kembali bertanya. Walau kali ini dengan kesan menggoda di suaranya.

"Kamu yakin kamu lagi kesal dengan Eros?" tanya Utami dengan binar-binar di matanya. "Bukannya karena kamu lagi hamil?"

"What?!"

Leony menjerit kaget. Sampai ia terlonjak berdiri dari duduknya. Dengan horor ia menatap ibunya.

"Hah? Hamil? Aku hamil?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top