8. Bercerai?
Malam itu, Eros langsung menuju ke dapur ketika ia baru tiba di unit apartemennya. Melewati pintu kamar, ia bisa mendapati suara televisi yang terdengar samar.
Ya pasti itu Leony dengan kebiasaannya.
Malam-malam selalu aja nonton drama.
Kayak nggak ada kerjaan lain aja.
Langsung menuju ke dapur, Eros lantas membuka pintu kulkas. Meraih sebotol air dan menuangkannya ke gelas. Meneguk isinya dengan rakus lantaran cuaca panas yang saat itu tengah melanda membuat ia kehausan.
Menutup kembali pintu kulkas, Eros lantas tertarik untuk duduk di meja makan. Hanya untuk membuka tudung saji. Lantas mendapati ada sepiring tempe dan tahu goreng, serta dua buah telur ceplok yang berada di dalam satu piring yang sama. Di mangkok kecil, ada sambal kecap andalan Leony kalau cewek itu terserang rasa malasnya. Dan yah ... Eros tau bahwa akhir-akhir ini Leony memang tengah malas.
Udah berapa hari sih dia masak tempe tahu goreng?
Perasaan aku dari ribut soal bakso dan handuk, dia masaknya gini terus.
Ya aku emang mau makan nasi, tapi nggak gini juga kali.
Dia masak cuma sekadar masak aja.
Beneran nggak ada niatnya sama sekali.
Melihat pada telur ceplok, kusut di wajah Eros semakin menjadi-jadi.
Ya ... seenggaknya kali ini telur ceploknya nggak gosong kayak kemaren.
Hanya saja ... sejujurnya sulit bagi Eros untuk mencoba berpikir positif. Dari hari ke hari, pikiran cowok itu benar-benar dipenuhi oleh rasa kesal. Makin lama makin membuat emosinya bertumpak dan mengancam akan meledak sebentar lagi.
"Mana dia nggak ada masakin sayur gitu?" tanya Eros kemudian. "Kalau nggak mau masak sop ya ... dia kan bisa masak tumisan aja. Ah! Bahkan rebusan kol aja nggak ada."
Menarik napas dalam-dalam, Eros pun lantas meraih piring. Setidaknya cowok itu tau bahwa untuk tetap waras dibutuhkan tenaga. Dan tenaga hanya bisa didapatkan dari makan. Ya ... walau hanya makan goreng-gorengan sih.
Berusaha untuk menikmati makan malamnya seorang diri, mau tak mau pikiran Eros melayang ke belakang. Dulu ... di saat ia dan Leony masih berpacaran.
Ehm ....
Kala itu Leony bahkan bisa diberi predikat sebagai ahli gizi lulusan universitas internasional. Saking perhatiannya cewek itu pada setiap makanan yang ia makan.
Leony tidak pernah lupa untuk menanyakan makannya dalam satu hari. Dan kalau mereka kuliah, tak jarang juga Leony membawa bekal untuk mereka berdua. Ya ... memang sih budaya membawa bekal sepertinya tidak terlalu menjamur di kalangan mahasiswa –di beberapa universitas, namun terbukti beberapa universitas lainnya justru akrab dengan budaya ini. Tapi, itu tidak menghalangi keduanya untuk sering menikmati makan siang bersama di kelas. Terkesan ... romantis kan?
Eros mengembuskan napas panjang. Mengambil sepotong tempe goreng yang sudah tidak terlalu garing lagi, ia berusaha untuk menyingkirkan kenangan itu dari benaknya. Tapi, sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Suara Leony justru seperti mengiang di benaknya.
"Kamu itu harus banyak makan sayur, Ros. Sayur itu bagus untuk kesehatan."
Lagi-lagi, Eros lantas mengembuskan napas panjangnya. Kali ini, mau tak mau ia pun merutuk seraya menggigit tahu gorengnya.
"Sekarang boro-boro bermanis mulut nyuruh aku makan sayur, lah masak aja mujur dia mau."
Dengan geram Eros mengunyah tahu gorengnya. Menelannya dengan kasar. Hanya untuk melampiaskan kekesalannya pada gigitannya yang selanjutnya.
"Mana masaknya ginian lagi. Dikiranya rumah ini gerobak gorengan kali ya? Sampe udah berapa hari makan aku tuh gorengan terus. Untung ini tenggorokan aku nggak sakit dikasih makan makanan berminyak tiap hari."
Dan mungkin karena makan dengan menahan kesal yang berkecamuk di dadanya, pada akhirnya Eros mendapati dirinya tidak bernafsu lagi. Maka dari itu ia memutuskan untuk menyudahi makan malamnya walau jelas, lebih dari separuh nasi yang ia ambil masih tersisa di piring.
Eros bangkit. Akan menaruh piring itu di dekat wastafel. Tapi, ia justru tak mengira bahwa Leony datang dan melihat hal tersebut.
"Nggak kamu abisin?" tanya Leony seraya menghentikan langkah kakinya. Melihat sekilas pada piring itu dan lalu berpaling pada Eros. "Sebanyak itu nasi mau dibuang?"
Eros mengembuskan napas panjang. Meletakkan piring itu di dekat wastafel dan lalu ia mencuci tangan. Lirih, ia berkata.
"Nggak nafsu aku makan. Berapa hari ini makan tahu tempe goreng terus. Emangnya kamu nggak mau makan yang lain apa?"
Leony berdecak sekilas. "Sumpah ya, Ros. Kamu beneran rewel jadi cowok. Timbang tinggal makan aja banyak banget permintaannya."
"Astaga, Ny," ujar Eros tak percaya. "Ya kali aja. Udah berapa hari kita makan tahu tempe goreng? Kayaknya udah ada semingguan lebih deh. Normal dong kalau aku bosan. Emangnya kamu nggak bosan?"
Polos, dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada, Leony tampak menggeleng.
"Nggak," jawabnya enteng. "Aku nggak bosan kok. Malah rasanya enak menurut aku. Ini aja aku mau ngemilin tempe dan tahu goreng sambil nonton drama."
Astaga.
Eros melongo.
"Beneran?" tanyanya tak percaya. "Semingguan kamu makan tempe tahu goreng dan kamu nggak bosan sedikit pun?"
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Leony justru mengambil satu piring. Mengisinya dengan tempe dan tahu goreng itu. Lalu menyiramnya dengan sambal kecap. Beranjak ke depan Eros, Leony memamerkan piring di tangannya itu.
"Lihat?" tanyanya balik. "Aku beneran mau ngemilin ini sambil nonton drama. Dan itu lebih dari cukup untuk membuktikan kalau aku tuh nggak bosan makan ginian."
"Ya Tuhan," kesiap Eros. "Tapi, walau kamu nggak bosan ya ... seenggaknya kamu pikirinlah aku, Ny. Aku tuh bosan makan tempe tahu goreng terus tiap malam."
Semula Leony sudah akan beranjak dari dapur. Berniat untuk kembali lagi ke kamar demi drama yang sempat ia jeda. Tapi, perkataan Eros membuat ia mengurungkan niatnya.
"Kamu ini sumpah deh, Ros," ujar Leony dengan kerutan kesal yang mencetak di dahinya. "Kapan hari kamu bilang kalau malam itu kamu harus makan nasi. Terus kamu juga nggak nyuruh aku beli makanan di luar. Nah, giliran aku masak tempe tahu goreng doang, kamu malah nyolot."
"Ya kamu pikirin aja deh, Ny. Masa tiap hari makannya ini mulu? Kamu kan bisa masak yang lainnya."
Leony tampak mengembuskan napas lelahnya. "Aku emang bisa masak yang lain, tapi aku males. Kalau kamu emang mau makan yang lain dan kebetulan kamu lagi rajin, ya kamu aja deh yang masak."
"Kamu ...."
Eros sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Sekarang cowok itu justru terlihat tak ubahnya seperti ikan kekurangan air. Mulutnya membuka, hanya untuk menutup. Lalu membuka lagi dan setelahnya menutup lagi. Mengap-mengap.
"Lagian ya, Ros. Kamu itu ngerasa nggak sih kalau kamu itu nggak punya perasaan," kata Leony lagi. "Kita sama-sama kerja, Ros. Tapi, bukan berarti kamu lepas tangan gitu dong. Ya aku tau jadi istri itu kudu ngerawat rumah, cuma ya nggak berarti kamu lepas tangan juga."
"Emang apa sih kerjaan rumah yang bener-bener kamu kerjain? Pagi juga kamu cuma siapin makan dan nyapu dikit. Balik kerja, jelas kamu duluan yang sampe. Kamu lebih punya waktu istirahat ketimbang aku, Ny."
Menarik napas dalam-dalam, pada titik itu Leony menyadari bahwa sepertinya lebih baik ia mengulang menonton episode dramanya nanti di lain waktu. Sekarang ... jelas ia tidak akan mampu menikmati tayangan itu dalam waktu dekat. Karena sepertinya keributan dengan Eros benar-benar tidak bisa untuk dihindari.
"Ros," lirih Leony menyebut nama suaminya itu. "Kalau kamu kerjanya sampe malam, itu mah emang kodrat kamu. Emang seharusnya cowok itu kerja keras. Emangnya mau kamu itu ngeliat aku yang kerja sampe malam sementara kamu nyantai di rumah?"
"Nah, kalau kamu tau soal kodrat, seharusnya kamu nyiapin makan aku yang benerlah. Ini asal nyiapin aja. Harusnya kamu masakin aku makanan yang aku suka. Bukannya malah nurutin rasa malas kamu aja, Ny."
Leony mendengkus. "Astaga, Ros. Aku tuh bukannya malas. Aku cuma lagi nggak nafsu buat ngapa-ngapain. Aku tuh mager."
"Hahahahaha. Mager?"
Tampak sekali kesan menyindir di wajah Eros. Lagipula, cowok itu memang berniat untuk menumpahkan semua rasa kesal yang memenuhi dadanya selama beberapa hari belakangan ini. Dan melihat situasi yang tengah terjadi di antara mereka, otomatis saja Eros berencana untuk memanfaatkannya.
Kepalang deh kepalang.
Ribut aja sekalian.
"Kamu tuh bukannya cewek jomlo, Ny," ingat Eros demi menyinggung perkataan Leony tadi. "Mager? Ya ampun. Kamu belum juga jadi seorang ibu, eh ... udah mager aja bawaan kamu. Gimana kalau kamu udah punya anak? Kali lebih dari ini lagi."
"Ya kalau kita punya anak, itu artinya tugas kamu buat ngasuh kalau aku lagi mager," kata Leony membalas. "Enak aja ngomong kalau kamu udah punya anak. Emangnya ntar kalau ada anak, itu anak cuma anak aku seorang? Ya ... nggaklah. Itu anak kita berdua. Kalau aku mager ya itu artinya kamu yang harus rajin."
"Kamu makin lama makin ngeselin ya, Ny. Sumpah. Aku beneran nggak kebayang kalau nanti kita udah punya anak ..."
Leony mencibir. Jelas mendengar ada perubahan pada perkataan Eros ketika menyangkut soal anak tadi.
"... dan sikap kamu kayak gini. Entah bakal jadi apa anak kita ntar."
Dan cibiran Leony pun menghilang. Tergantikan oleh raut tak senang di wajahnya. Jelas, cewek itu merasa tersinggung.
"Sikap aku, Ros? Sikap aku?" tanya Leony seraya meringis. "Kamu pikir sikap kamu kayak gimana? Aku siapin kamu makan malam nggak kamu makan. Aku suruh kamu jaga kebersihan, nggak kamu dengarkan. Terus aku harus apa lagi?"
Mata Eros membesar. Sekilas ia menyadari apa yang dikatakan oleh Leony benar. Ya ..., tapi kan makanan yang disediakan oleh Leony itu benar-benar tidak seperti yang ia harapkan. Maka jelas sekali mengapa pada akhirnya Eros berpikir bahwa Leony menyiapkan makannya hanya seperti menunaikan kewajiban saja. Tidak lebih dan tidak kurang.
"Sementara kamu gimana?" Leony bertanya lagi. Bahkan kali ini tidak segan-segan untuk mengangkat wajahnya. Menantang pada cowok itu. "Kamu itu udah nikah. Bukan bujangan lagi. Emang masuk akal gitu kamu ninggalin istri kamu sendirian? Malam-malam di unit? Dan kamu malah enak-enakan nongkrong bareng teman kamu? Masuk akal? Kalau ada apa-apa dengan aku, gimana? Siapa yang mau disalahkan?!"
Kata demi kata yang Leony lontarkan padanya membuat Eros merasakan kelu di lidahnya. Sesaat, mata cowok itu hanya bisa membalas tatapan Leony yang tampak tak gentar melihat pada dirinya. Hingga kemudian, setelah beberapa detik berlalu, Eros merasakan kegeraman yang tak lagi mampu untuk ia redam. Lantas, satu kalimat itu pun meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Aku beneran nggak ngira kamu kayak gini, Ny. Asli. Selama pacaran, aku beneran nggak tau kalau kamu itu cewek yang egois kayak gini. Ngelakuin apa pun sesuka kamu aja."
Leony mendengkus. Membalas dengan hal yang serupa. "Sama dong. Aku juga. Selama kita pacaran aku juga nggak ngira kalau kamu itu cowok yang benar-benar keras kepala. Mau menang sendiri."
"Sumpah. Kalau tau kayak gini, aku nggak bakal mau nikahi kamu cepet-cepet."
"Hello! Aku juga, Ros. Kalau tau kejadian kayak gini, mending aku nggak nikah sama kamu. Beneran. Nyesal aku nikah sama kamu."
Lantas, ketika lidah Leony selesai mengatakan hal itu, sontak keduanya terdiam. Sama-sama tak mengatakan apa-apa lagi. Seperti keduanya yang baru saja menyadari apa yang telah mereka katakan.
"Aku nggak bakal mau nikahi kamu cepet-cepet."
"Nyesal aku nikah sama kamu."
Hening.
Memang, tak ada suara. Tapi, entah mengapa Eros dan Leony sama-sama bergeming di tempat mereka berdiri. Dengan mata yang saling menatap. Seolah sedang meyakinkan diri masing-masing. Layaknya mereka yang tengah menimbang satu hal yang melintas di benak mereka.
Bercerai?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top