7. Dulu Dan Sekarang
"Kamu bener-bener kebangetan deh, Ny."
"Misi? Aku? Hah? Terus kamu?"
"Perkara handuk doang kamu panjangin sampe kayak gini?"
"Ya kali. Aku punya banyak kerjaan lain ketimbang ngurusin handuk kamu."
"Makanya aku bilangin, kalau nggak mau ngurusin handuk aku, ya biarin aja."
"Ya makanya aku biarin. Aku biarin masuk tempat sampah."
Eros mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Geram. Teramat sangat malah. Terutama karena dilihatnya bagaimana Leony yang benar-benar membalasnya pagi itu.
"Kamu bener-bener deh, Ny," geram Eros lagi. "Timbang kamu buang tempat sampah, biarin aja di kasur."
Leony akan membalas perkataan Eros, tapi keburu cowok itu yang beranjak. Tampak akan menuju ke kamar mereka lagi. Tapi, Leony tak akan membiarkan semuanya selesai begitu saja. Karena jelas, Leony pun lantas menyusul Eros ke sana.
"Kamu pikir cuma masalah handuk doang?" tanya Leony tanpa perlu menunggu jawaban Eros. "Kamu juga ambil baju berantakan, Ros. Ya kali. Kamu nggak mikir kalau pakaian itu bisa ngerapiin diri mereka sendiri kan?"
Eros mendengkus. Berjalan menuju ke lemari. Tangannya sudah berniat akan menarik daun pintu lemari itu, akan membukanya. Tapi, Leony dengan cepat berlari. Menghalangi keinginan Eros.
Mata Eros membesar. "Kamu ngapain sih?"
"Kamu yang ngapain?" balas Leony lagi. "Mau berantakin lemari lagi?"
Eros mengembuskan napas panjang. Tampak kesal seraya menghempaskan tangannya dari pintu lemari.
"Aku mau ngambil handuk. Aku mau mandi."
Terang saja jawaban itu membuat Leony mengangkat kedua tangannya. Membentang di sepanjang lemari dalam tujuan untuk memperjelas maksudnya.
"No!" larang Leony. "Nggak boleh. Sembarangan aja kamu mau ambil handuk baru."
"Aku mau mandi, Ny. Ya ampun."
"Ya mandi cuma pake air. Nggak perlu handukan kamu mah."
Eros menatap pada mata Leony untuk beberapa saat lamanya. Tanpa mengucapka sepatah kata pun. Dan itu membuat Leony merasa sedang di atas angin. Merasa menang. Tapi, itu hanya bertahan beberapa detik saja. Karena di menit berikutnya, Eros tampak berkata seraya melenggang keluar dari kamar.
"Oke, fine. Aku mandi nggak pake handuk. Biar kamu bisa ngepel pagi-pagi."
Leony melotot. "Eros!"
*
"Ya kali, masa aku basah-basah dari kamar mandi ke kamar nggak pake handuk? Emang dasar kebangetan deh itu Leony."
Eros masih saja menggerutu siang itu. Kala ia menyempatkan waktu untuk makan siang di luar, bersama dengan Evan. Di salah satu rumah makan Tegal yang tak jauh dari toko kopi Eros berdiri. Ya ... perjalanan yang hanya butuh sekitar lima menit bila menggunakan kendaraan.
Evan tergelak. "Mungkin emang itu maunya Leony kali," katanya santai sambil mencomot sepotong tahu bacem yang tersisa. Tampak ia mencolet lauk itu dengan sambal terasi, lalu barulah ia nikmati. "Fantasi pagi hari, by the way."
"Asem!"
Eros merutuk. Tau persis maksud perkataan Evan. Tapi, ya ampun. Yang pagi tadi itu benar-benar tidak tergolong ke dalam fantasi pagi hari. Yang ada justru tragedi pagi hari. Ugh! Rasanya menyebalkan sekali.
"Loh? Eh?" Evan tampak menyeringai geli. "Yang aku bilangin benar kali, Ros. Coba deh kamu tanyain ke Leony. Kali aja dia emang pengen gitu ngeliat kamu mondar-mandir kamar ke kamar mandi berulang kali dalam keadaan bener-bener bugil kan. Hahahahaha."
Eros melihat pada piring mereka. Sial! Tapi, kedua cowok itu makan benar-benar seperti orang kelaparan. Bahkan satu potong lauk pun tidak tersisa. Benar-benar menerapkan tradisi: tidak boleh membiarkan makanan menangis. Hihihihi.
Hal yang wajar sih sebenarnya kalau melihat Eros makan dengan lahap siang itu. Bukannya apa, tapi tragedi pagi tadi adalah penyebabnya. Setelah berhasil mendapatkan handuk baru, pada akhirnya Eros mandi. Tapi, tentu saja. Emosi yang masih menyulut dirinya membuat ia memilih untuk langsung pergi saja ke toko kopinya. Alih-alih sarapan terlebih dahulu seperti biasanya. Eros yakin, saat itu mood-nya benar-benar jelek. Dan ia meragukan kalau ia bisa menikmati masakan Leony seperti biasanya.
Dan karena itulah, ketika jam di tangannya mulai menyentuh jam sebelas siang, Eros sibuk menghubungi temannya. Ya sekadar untuk menemani dirinya makan siang. Ingin makan bersama dengan Omen yang membantunya di toko kopi, eh ... ternyata cowok itu katanya punya janji dengan yang lain. Dan ... inilah akhirnya. Eros justru dengan terpaksa makan bersama dengan Evan. Nahas, tapi hanya Evan temannya yang siap sedia kalau sedang siang seperti ini. Alasannya? Karena cowok itu belum bekerja setelah tamat kuliah. Teman yang sebenarnya ... ehm, harus dengan kata apa yang Eros menjelaskannya? Yang pastinya, teman yang benar-benar tidak cocok untuk diajak membahas hal seperti ini.
Dengar kan apa yang Evan katakan tadi sebagai respon terhadap hal yang baru saja Eros katakan? Cowok itu mengatakan itu adalah fantasi Leony. Yang benar saja deh. Rasa-rasanya hal itu membuat tangan Eros gatal. Tapi, cowok itu tidak bisa melakukan apa-apa.
Akibat piring mereka yang bersih bening seperti tanpa noda, Eros tidak bisa sedikit saja melampiaskan kekesalannya pada Evan. Niatnya tadi sih mau melempar Evan dengan kepala ikan atau tulang ayam kan. Eh, ternyata saking lahapnya mereka makan, kepala ikan dan tulang ayam pun sudah tercerai-berai dalam keadaan yang benar-benar tidak tertolong lagi. Fix. Kucing oranye yang tengah mengeong-ngeong di kaki mereka berdua pasti akan menggerutu karena jatah makannya pun sudah dinikmati manusia. Hiks.
Namun, seolah tidak mendapati ekspresi keseriusan di wajah Eros, di detik selanjutnya Evan kembali berkata.
"Menurut yang aku baca, beberapa orang cewek sering berfantasi yang aneh-aneh." Pundaknya naik sekilas. "Bahkan bisa melebihi parahnya fantasi cowok. Cuma ... kebanyakan dari mereka diem-diem aja."
Wajah Eros tampak lesu. "Serius?" tanya cowok itu tak percaya. "Aku lagi suntuk gini malah kamu ajak aku bahas soal fantasi segala macam?"
"Hahahahaha." Evan tertawa. "Kamu ini bener-bener, Ros. Di mana-mana pengantin baru itu bawannya happy. Lah kamu? Malah suntuk gini."
Eros tak membalas perkataan Evan lagi. Alih-alih, ia menarik gelasnya yang berisi es teh. Meneguk isinya yang sudah tidak terlalu manis lagi dan ia pun mendesah panjang.
"Kami udah nggak tergolong pengantin baru lagi," kilah Eros kemudian. "Kami udah mau lima bulan coba."
"Astaga, Man. Yang benar-benar aja. Baru juga lima bulan. Itu mah lagi demen-demennya ngamar kali," seloroh Evan. "Lah kamu udah yang mulai keliatan kayak suami yang ditagih uang skripsi anaknya aja."
Eros tidak ingin membayangkan hal itu, tapi otaknya refleks bekerja. Membayangkan akan seperti apa kehidupan pernikahannya beberapa tahun ke depan.
"Gila!" rutuk Eros. "Lagi masalah handuk aja bisa sampe selama ini. Sepanjang ini. Ngalahin banyaknya episode sinetron coba. Apalagi masalah duit skripsi anak."
"Hahahahaha."
Evan tertawa terbahak-bahak. Dan tentu saja itu membuat Eros semakin dongkol. Terutama karena di detik selanjutnya Evan berkata.
"Eh, sekarang aja kamu ngeluh segala macam. Coba aku tanyain." Evan tampak memperbaiki duduknya. "Dulu yang ngebet mau nikah siapa sih?"
Wajah dongkol Eros seketika berubah. Membeku. Ekspresi wajahnya tampak kaku sekarang. Hal yang membuat Evan menyeringai.
"Kayaknya aku ingat banget kalau tempo hari ada yang ngomong kalau dia udah nggak sabar buat nikah dengan cewek yang paling dia cinta."
Damn!
Kali ini, Eros menemukan satu alasan pasti mengapa Evan adalah teman bicara yang buruk. Cowok itu benar-benar mengatakan segala sesuatunya tanpa berpikir terlebih dahulu.
Bisa-bisanya dia nyindir aku pas lagi kayak gini?
*
"Ny! Leony!"
Seruan itu terasa menggetarkan kubikel. Bahkan tanpa getaran pemeriah, suara Donda, kepala editor yang membawahi Leony bekerja pun sudah lebih dari cukup untuk membuat cewek langsung berdiri dari kursinya.
"Ya, Bu?"
Semula Leony bermaksud untuk menghampiri Donda di mejanya, tapi wanita yang sudah menginjak angka tiga puluh delapan tahun itu ternyata sudah menghampiri Leony di balik kubikelnya.
Donda mengembuskan napas panjang. "Sebenarnya artikel yang diliput Intan tadi udah kamu edit belum sih?" tanyanya dengan nada kesal.
"Sudah, Bu," jawab Leony gagap. "Sudah saya edit. Tentang gosip Renaldi Anthony kan, Bu?"
Mata Donda tampak membesar. "Iya. Berita tentang dia. Tapi, kenapa isinya kacau balau?!"
"Ka-ka-kacau?"
"Ya Tuhan."
Donda mendesis. Mata wanita itu tampak memejam dramatis. Lalu tangannya naik, mengusap wajahnya sekilas. Bahkan tanpa dijelaskan, semua orang di dalam ruangan itu tau bahwa Donda pasti sedang kesal.
"Typo berhamburan. Kalimat berantakan. Belum lagi tanda baca yang---" Donda memegang sisi kepalanya. "Aduh. Migrain saya kambuh."
"Ibu!"
"Ibu!"
"Ibu!"
Sontak saja karyawan di sana, tidak peduli karyawan magang atau tetap, semuanya beranjak dari kursi masing-masing. Berusaha untuk menggapai Donda sebelum wanita itu jatuh ke lantai. Mereka pun mengipasi Donda. Memberikan segelas air. Berusaha menenangkannya.
"Udah, Ny. Ini biar kami aja yang ngurus."
Leony tidak tau, apakah ia harus bersyukur atau sebaliknya. Tapi, yang pasti adalah seorang rekan kerjanya yang bernama Miska, langsung menariknya. Mengajak cewek itu untuk menyingkir ke pantry kantor.
"Udah," kata Miska seraya memberikan segelas air pula untuk Leony. "Nggak usah dipikirin. Kan Bu Donda emang sering kena migrain."
Leony meremas gelas itu. Ia tampak meringis. "Bukan migrain Bu Donda yang aku khawatirkan. Tapi ...."
Mata Leony memejam sekilas. Tampak ia menghirup udara dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan dirinya dengan kejadian tadi. Tapi, astaga. Karyawan mana yang bisa tenang setelah kejadian seperti tadi? Terutama dirinya. Yang tercatat sebagai karyawan magang.
Miska mengelus punggung Leony sekali. Berusaha menenangkannya. "Udah, nggak apa-apa. Abis ini tinggal kamu edit bentar. Terus unggah ulang. Beres deh."
Kalau memang sesederhana itu, pikir Leony di dalam hati.
Karena nyatanya memang tidak sesederhana itu. Tercatat di benak Leony, akhir-akhir ini dirinya semakin sering mendapat teguran dari Donda. Terkadang terlambat mengunggah berita atau salah menulis judul artikel. Dan yang barusan ini, Donda mengatakan bahwa artikel yang ia cek justru masih berantakan.
Astaga!
"Semua ini gara-gara Eros ...."
Tak ada hujan tak ada badai, mendadak saja Leony menyebutkan nama sang suami. Membuat Miska yang semula berniat untuk meninggalkan Leony agar menenangkan diri, menjadi mengurungkan niatan hatinya.
"Eros?"
Tanpa sadar, Miska pun menyebutkan nama cowok itu. Dan Leony mengangkat wajahnya. Memberikan satu kali anggukan pada Miska. Hingga membuat dahi Miska berkerut.
"Kok malah suami kamu yang salah?" tanya Miska polos.
Menarik napas dalam-dalam, Leony mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Seperti ia yang sedang berusaha untuk menahan agar rentetan kata-kata umpatan tidak meluncur dari bibirnya. Dan itu ... sulit.
"Eros itu akhir-akhir ini suka banget buat aku emosi."
Oke. Mata Miska mengerjap-ngerjap. Mendadak saja ia memasang sikap antisipasi untuk semua kemungkinan. Karena jelas, kalimat itu pasti tidak akan menjadi satu-satunya kalimat yang akan diucapkan oleh Leony. Yang tadi itu ... hanyalah satu kalimat pembuka.
Dan ketika Leony kembali bicara, maka Miska sontak menutup matanya. Layaknya cewek itu yang tidak ingin melihat kenyataan lagi.
"Udah dibilangin berapa kali, masih juga nggak denger. Emang apa sih susahnya jemur handuk? Kan itu untuk kebaikan dia sendiri. Emangnya dia mau pake handuk yang bau? Yang ada jamurnya? Eh, dan nggak cuma masalah handuk dong. Dia kira nyetrika dan nyusun pakaian di lemari itu gampang? Sampe dia kalau ngambil pakaian asal comot aja? Nggak tau dia kan gimana berantakannya lemari tiap dia abis ngambil pakaian? Argh! Mana abis ngambil pakaian, lemari nggak pernah ditutup lagi pintunya. Dan tadi? Dia nggak makan sarapan yang udah aku buat. Padahal jelas banget dia ngomong kalau dia itu nggak bisa kalau nggak makan nasi. Pas udah aku masakin, eh dia malah nggak makan? Maunya apa sih itu cowok?!"
Aduh!
Dahi Miska berkerut. Dalam hati, cewek itu mengeluh.
Kayaknya aku juga mendadak migrain deh.
Leony mengembuskan napas panjang, lagi. Dengan wajah yang memerah. Sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan Miska bahwa pengantin baru itu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Miska pun berusaha menenangkannya.
"Ssst .... Pamalik ngumpatin suami sendiri, Ny. Sabar sabar."
Leony kembali menggerutu. "Terus? Aku harus ngumpatin suami orang gitu?"
"Ya nggak gitu juga kali," ringis Miska. "Lagipula ... ini bukan kayak kamu aja. Mendadak ngomel tentang Eros."
Leony melirik. Ekspresi sebal masih nyata terpampang di sana. Membuat Miska jadi takut juga.
"Ma-ma-maksudnya ...," lanjut Miska hati-hati. "Kan kalian pengantin baru. Kok udah yang berantem gini sih?"
Mulut Leony terkatup rapat. Tidak mengatakan apa-apa lagi ketika pertanyaan itu mendarat di telinganya. Terutama karena di detik selanjutnya, Miska kembali berkata.
"Harusnya ... kan kalian masih adem ayem gitu. Bukan malah kayak pasutri yang udah pusing ngurus biaya nikahan anak aja."
Leony melotot. "Jadi, maksudnya aku gitu yang salah?"
"Ya nggak gitu juga," ralat Miska buru-buru. "Tapi, aku heran aja. Soalnya ... tempo hari, kamu kayak yang seneng banget pas mau nikah sama Eros. Sekarang?"
Sekarang?
Satu kata itu menggema di benak Leony.
"Sekarang kenapa kayak pasutri yang nikah terpaksa sih?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top