66. Cinta Kita

Ketika mendapati kabar bahwa Leony sudah dibawa ke klinik lantaran kontraksi yang terus-menerus terjadi, otomatis saja keluarga Eros dan Leony segera bergegas. Meninggalkan semua aktivitas mereka. Dan melesat menuju ke klinik. Mencoba untuk tiba secepat mungkin dalam arus jalan yang selalu padat ketika menjelang malam.

Hingga pada akhirnya Utami, Pratiwi, Rizal, dan Adi tiba di Klinik Bunda, mereka mencegat seorang perawat. Bertanya pada siapa saja. Dan lalu mereka semua berakhir di kursi tunggu satu lorong. Di mana ada satu pintu di sana. Yang di dalamnya, ada Leony yang tengah berjuang. Bersama dengan Eros.

Seumur hidup, Eros tidak pernah menduga bahwa Leony bisa mengeluarkan tenaga sebesar itu. Lihat saja. Tangannya sudah memucat ketika sang istri menggenggamnya dengan teramat kuat. Wajahnya tampak memerah dan napasnya menggebu.

"Ros! Perut aku sakit. Ya Tuhan. Sakit, Ros!"

Tak peduli walau bahkan tulang jarinya bisa patah, Eros justru balas menggenggam Leony. Berusaha menenangkannya.

"Sabar ya. Bentar lagi Dedek mau ketemu sama kamu."

Di titik ini, Eros tidak tau harus mengatakan apa untuk bisa membantu Leony. Ia tidak pernah merasakan sakitnya. Namun, di wajah Leony tercetak dengan jelas penderitaan itu. Hingga membuat ia merasa tidak tega. Bagaimana bisa makhluk yang dikatakan lemah harus menanggung rasa sakit sedemikian rupa?

Eros berpaling. Pada tim medis yang sudah bersiap. "Dok, istri saya kesakitan."

"Sebentar ya, Pak," kata Yusnida. "Saya cek dulu."

Yusnida mendekat. Memperbaiki sarung tangan medis di kedua tangannya. Lalu ia menyingkap daster Leony. Memasukkan satu tangannya. Memeriksa pembukaan di kewanitaan cewek itu.

"Masih bukaan lima, Pak. Ditunggu dulu ya. Bawa istrinya udah lebih santai. Usahakan jangan teriak-teriak. Simpan tenaganya untuk nanti."

Kalau bisa, Eros yakin, Leony pasti akan bersantai. Tapi, nyatanya kan tidak?

Leony menggigit bibir bawahnya. Tampak semakin tak berdaya ketika terpaan kontraksi itu makin lama makin sering terjadi. Menimbulkan rasa sakit yang membuat ia makin tak berdaya lagi.

Eros berusaha menenangkan Leony. Mengusap peluh yang sudah bercucuran di sekitar wajahnya. Mengucapkan berbagai kata-kata manis.

"Sabar, Sayang. Bentar lagi kita bakal ketemu Dedek. Tahan bentar ya?"

Mungkin salah satu hal yang paling menyentuh di saat persalinan terjadi, bukanlah ketika suara tangis bayi yang pecah di udara. Melainkan ketika mata melihat pemandangan di mana ada suami yang menemani perjuangan istrinya. Tak peduli bahwa ada orang lain di sana, ia berusaha melakukan apa yang ia bisa untuk menenangkan sang istri. Mengeluarkan kata-kata manisnya, kata-kata penyemangatnya, atau apa pun itu. Hanya untuk meyakini istrinya bahwa ia akan selalu ada. Walau tidak merasakan sakitnya, namun ia tetap ada untuk mendampingi.

Hingga kemudian, ketika Yusnida dan seorang perawat sudah bersiap, Eros mengelus kepala Leony.

"Bu, atur napasnya. Usahakan jangan teriak. Jangan buang-buang tenaganya ya?"

Yusnida menundukkan pandangannya. Sudah bisa melihat bagaimana ada kepala bayi yang menyembul di ambang kewanitaan Leony.

"Pinggulnya jangan diangkat, Bu. Biar nggak robek. Iya ... iya .... Persis kayak yang sudah kita pelajari dulu. Nah, ibunya pinter."

Meremas tangan Eros, sungguh rasa sakit itu membuat Leony nyaris gelap mata. Tapi, ia berusaha untuk tetap waras. Berusaha untuk tetap tenang.

"Tarik napasnya dengan hidung. Keluarkan pelan-pelan lewat mulut, Bu. Iya, benar. Aduh, beruntungnya Dedek punya Mama yang pinter."

Melakukan apa yang diintruksikan oleh dokter, Leony mengembuskan napasnya pelan-pelan. Berulang kali. Hingga kemudian, datang masanya di mana rasa mulas yang ia rasakan menjadi sesuatu yang tak tertahankan lagi. Menimbulkan gerak refleks yang langsung disambut oleh Leony. Berupa satu dorongan yang membuat ia memejamkan matanya rapat-rapat. Dan lalu, satu tangisan itu pun pecah.

Eros tertegun. Seketika langsung menoleh ketika suara khas itu mendarat di indra pendengarannya. Ia membeku. Melihat Yusnida menyerahkan seorang bayi pada perawatnya. Dan berkata.

"Silakan, Pak, dampingin Dedeknya mandi dulu."

Eros beralih pada Leony. Yang tampak lemas. Menatap pada Yusnida. Bertanya dengan suara yang teramat lirih.

"Ini udah selesai, Dok?"

Yusnida tersenyum. "Sebentar. Kita urus ari-arinya dulu."

Dan Leony yang semula sudah bernapas lega, mendadak merasa ngeri lagi. Tau dengan pasti bahwa persalinan belum benar-benar selesai.

Sekitar setengah jam kemudian, proses persalinan telah selesai seutuhnya. Dengan Leony yang berhasil melewati semuanya tanpa perlu berhadapan dengan jahitan yang mengerikan. Sekarang, ia benar-benar bisa bernapas dengan lega.

Pindah ke kamar perawatan, Leony langsung menyambut bayinya. Yang telah bersih dan tampak menggemaskan. Dan ia menangis.

Kala itu perasaan Leony benar-benar tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Ia hanya bisa meneteskan air mata. Perasaannya benar-benar membuncah. Dan ketika itu, Leony merasakan ada satu kecupan yang jatuh di puncak kepalanya.

Ternyata Eros sama seperti dirinya. Mata cowok itu tampak basah. Walau tentu ada senyum di wajahnya.

"Aku nggak bisa ngomong apa-apa, Ny," kata Eros serak. "Tapi, makasih."

Kata terima kasih memang tidak akan cukup untuk Eros berikan pada Leony. Seharusnya manusia menciptakan kata yang lebih dari itu. Tapi, Leony tau. Ia bisa merasakan ungkapan itu. Ketulusan dan kasih yang menyertainya.

Hingga Eros pun terkadang masih merasa gamang dengan semua yang terjadi kala itu. Melihat perjuangan Leony yang bersimbah keringat, darah, dan air mata. Demi melahirkan putri mereka ke dunia. Dan sekarang, melihat istri dan anaknya dalam keadaan yang sehat, Eros hanya bisa bersyukur pada Tuhan.

Eros melabuhkan ciuman berkali-kali pada Leony. Pada kepalanya, dahinya, pipinya, atau bahkan tangannya. Hanya demi melegakan perasaannya. Karena rasa itu teramat membuncah. Terutama ketika ia melihat makhluk kecil itu. Yang tampak puas menikmati susu pertamanya. Hingga terlelap dalam gendongan Leony.

Memang sengaja, ketika Leony pindah ke kamar perawatan, dokter tidak serta merta memperbolehkan keluarga untuk langsung masuk. Demi memberikan waktu sejenak bagi ibu untuk bisa menyusui bayinya dengan nyaman. Termasuk untuk beristirahat sejenak. Dan ketika pada akhirnya diperbolehkan, maka keluarga mereka pun langsung masuk.

Semua mata terpana. Melihat pada bayi itu. Dengan rambutnya yang hitam, dengan hidungnya yang mancung, dengan bulu matanya yang panjang, dan dengan pipinya yang berisi. Dan sang bayi yang mungkin merasa bahwa dirinya adalah pusat perhatian kala itu, memutuskan untuk bangun. Demi memamerkan tangisannya ke penjuru ruangan.

Ajaib!

Ketika ada bayi yang menangis, maka justru tawalah yang meledak di sana. Walau tetap saja. Ada beberapa bulir air mata kebahagiaan yang menyertainya.

"Ya Tuhan, Ny. Anak Mama. Kamu hebat, Ny."

Karena walau Leony telah resmi menjadi seorang ibu, nyatanya ia tetap menjadi seorang anak bagi Utami. Hingga ibunya itu mencium dahinya dengan penuh kasih.

"Aku nggak ngira. Aku beneran jadi Om. Ya Tuhan. Dedek imut banget."

Setiap orang mengambil kesempatan. Untuk bisa melihat bayi itu dari dekat. Dan ketika tiba giliran Pratiwi, wanita paruh baya itu tersenyum lebar.

"Lihat ini. Rambut Eros, hidung Eros, bulu mata Eros. Untung pipi Eros nggak tembeb kayak gini."

Rizal tergelak. "Astaga. Ini benar-benar anak Eros."

Semua mata melihat. Membandingkan bayi di gendongan Leony dan wajah Eros. Dan mereka lantas tertawa dengan kompak.

"Ih, Dedek jahat ah," ujar Leony gemas. Mencolek ujung hidungnya. "Masa sama Mama cuma numpang bobok aja. Semuanya kok mirip Papa sih?"

Dan Eros menyadarinya. Bagaimana benar yang dikatakan oleh ibunya. Ia nyaris bisa melihat dirinya seperti tengah becermin saat itu.

"Kan Papa yang tiap hari masak biar Dedek bisa mamam ya?"

Semua orang benar-benar diselimuti oleh suka cita yang tiada tara. Yang nyaris membuat bingung. Entah bagaimana bisa, tapi nyatanya makhluk kecil itu mampu menghadirkan kebahagiaan yang teramat besar. Bagi orang tuanya dan bagi semua orang yang mencintainya.

Hingga kemudian, kebahagiaan itu nyaris saja membuat semua orang lupa akan satu hal yang penting. Sampai Adi bertanya.

"Nama Dedek siapa, Kak?"

Pada saat itu, semua orang tampak menatap pada Eros dan Leony. Sementara mereka berdua justru saling pandang untuk beberapa detik lamanya. Untuk kemudian, mereka beralih pada keluarga mereka. Dengan kompak menjawab.

"Diacita Pralista."

Sepertinya ada kesan sedikit unik di sana. Terutama ketika Eros dan Leony lanjut berkata.

"Dan panggilannya ... Cita."

*

Sepertinya hari memang terasa lebih cepat berlalu ketika kita menjalaninya dengan hati penuh suka cita. Pun begitu juga dengan yang dialami oleh Eros dan Leony. Mereka menyadari itu dengan pasti.

Dulu, ketika mereka sering ribut, keduanya merasakan bagaimana hari-hari terasa begitu lama berjalan. Bahkan untuk sekadar tidur pun mereka sama berharap agar hari cepat berganti. Agar mereka memiliki alasan untuk pergi. Kembali beraktivitas. Demi dalih tidak ingin saling melihat.

Sekarang? Semua berbeda. Bahkan bisa dikatakan bagaimana waktu seperti kilat. Yang begitu cepat meninggalkan mereka.

Rasanya, baru semalam Eros mendampingi Leony melahirkan. Baru semalam ia harus terjaga sepanjang malam demi menggendong bayi mereka agar Leony bisa beristirahat sejenak. Baru semalam ia sibuk mengganti popok. Mencuci bedong yang penuh dengan kotoran bayi. Atau bahkan ketika ia harus membuat nasi tim untuk makan sang buah hati. Rasanya ... seperti baru semalam.

Namun, lihatlah kini. Waktu dengan cepat meninggalkan kenangan itu di belakang. Demi mengantarkan dirinya pada pemandangan lainnya. Yaitu, beberapa boneka yang memenuhi tempat tidur mereka. Di antara dua sosok perempuan yang terbaring lelap di sana.

Perlahan mendaratkan bokongnya di tepi tempat tidur, Eros memastikan bahwa ia tidak menimbulkan suara apa pun yang bisa membangunkan istri dan anaknya. Mereka berdua tampak lelah. Terutama balita berusia tiga tahun itu. Rambutnya terlihat lengket akibat keringat.

Menikmati pemandangan itu untuk beberapa saat lamanya, Eros kemudian bangkit. Beranjak keluar dan menuju ke dapur. Berencana untuk mengisi perutnya yang terasa lapar.

Ada sayur sup di atas kompor. Ayam goreng dan sambal di atas meja makan. Dan ketika ia baru akan mengambil piring, ada suara langkah yang mendekatinya. Diiringi oleh suara lembut itu yang bertanya.

"Kapan kamu balik, Ros?"

Eros berbalik. Refleks kedua tangannya mengembang saat Leony serta merta menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.

"Barusan aja," jawab Eros. "Kamu ... kenapa bangun? Tidur aja lagi."

Sedikit menarik diri, Leony mengangkat wajahnya. Demi bisa melihat wajah Eros. "Aku laper. Makanya bangun. Hihihihi. Kamu mau makan juga kan? Biar aku siapin dulu."

Eros tak menolak. Alih-alih, ia pun duduk menunggu di meja makan. Menunggu seraya mengamati Leony.

Selang waktu berganti, Eros menyadari bahwa mungkin memang alamiah bila untuk waktu-waktu tertentu Leony menjadi lebih cerewet. Ehm ... hal yang menjadi penyebab keributan yang sering terjadi di antara mereka dulu. Namun, Eros mencoba menerima hal itu. Karena dibandingkan dengan mengesalkannya kecerewetan Leony, ada banyak hal menakjubkan dari istrinya itu.

Leony memang cerewet. Tapi, itu demi kerapian dan kebersihan mereka bersama. Lebih dari itu, Leony cerewet karena memerhatikan ia dan juga anak mereka.

Leony tidak akan pernah lalai menyiapkan masakan yang enak. Menyiapkan pakaian yang rapi. Dan merawat mereka di kala sakit.

Menyadari itu, Eros pun mengesampingkan cerewetnya Leony. Namun, melihat betapa banyaknya hal yang telah sang istri korbankan. Lantas ia pun bertanya pada dirinya sendiri.

Aku beruntung banget kan?

Hingga kemudian, ketika mereka berdua duduk di meja makan yang sama. Menikmati makan malam yang terlalu cepat itu, Leony pun bisa melihat saksi bisu di wajah suaminya itu. Untuk semua hal yang telah Eros lakukan untuknya.

Eros memang terkadang menyebalkan. Terkadang susah untuk diingatkan akan hal-hal tertentu. Namun, bukan berarti cowok itu abai. Lebih dari itu, Eros bahkan sangat perhatian padanya.

Selama kehamilannya, Eros tidak pernah sedikit pun meninggalkannya. Cowok itu bahkan dengan begitu teliti dan perhatian, menjaga dirinya. Dan juga anak mereka. Tidak pernah menolak ketika ia meminta Eros untuk melakukan sesuatu. Mencari camilan di tengah malam atau bahkan harus begadang ketika dirinya sudah terlalu lelah sementara anak mereka belum mengantuk.

Dan Leony yakin, tidak semua cewek bisa mendapatkan cowok seperti Eros. Yang bahkan tidak merasa jijik sama sekali ketika harus mencuci semua pakaian kotor lahirannya dulu. Untuk itu, Leony pun lantas mengenyahkan fakta betapa Eros terkadang masih tebal telinga bila itu menyangkut handuk basah atau lemari yang sedikit berantakan.

Leony menerimanya. Karena ia tau, kurangnya Eros tidak akan mampu menutupi semua kelebihan yang ia miliki. Karena ia yakin akan sesuatu.

Aku beruntung banget kan?

Hingga kemudian, ketika malam beranjak, Eros dan Leony yang menghabiskan waktu untuk melihat betapa damainya wajah imut itu tertidur, sadar. Bahwa ada beberapa hal yang sepertinya keliru dimaknai oleh orang-orang.

Anak adalah buah cinta?

Oh, tidak. Sebaliknya, bagi Eros dan Leony, anak adalah pohon cinta. Karena dari sanalah kemudian tumbuh akar yang kuat di antara mereka. Yang kemudian bunga-bunganya menerbitkan banyak cinta untuk mereka.

Hingga membuat Eros dan Leony sadar akan sesuatu. Ternyata ... anak adalah bukti. Bukti jelas bawah ada perasaan yang teramat kuat yang telah menyatukan mereka. Bukti jelas bahwa mereka tidak akan pernah mengenal kata pisah lagi untuk selama-lamanya.

Mereka bersama.

Karena satu rasa.

Yang ketika Eros dan Leony saling menatap, semuanya pun terpampang nyata. Tanpa kata. Namun, penuh dengan aneka warna. Yang terungkap dalam satu suara.

Cinta kita.

*Tamat*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top