65. Bentuk Kelegaan
"Eros, please. Jangan tinggalin aku dan Dedek. Jang--- argh!"
Eros memucat. Entah itu di wajahnya atau pun di tangannya yang diremas amat kuat oleh Leony. Ketika cewek itu berusaha untuk tetap bertahan. Dari rasa nyeri dan sakit yang mendera perutnya dari tadi.
"Ssst. Ny, jangan mikir itu lagi. Aku nggak bakal ke mana-mana. Oke?"
Memburu napas, wajah Leony yang sekarang basah karena keringat, meringis. Tapi, ia berusaha mengangguk.
"Tenang ya? Tenang. Bentar lagi kita sampe."
Perut Leony terasa sakit. Di waktu yang tepat ketika sepasang suami istri itu menyelesaikan masalah di antara mereka. Dan Eros tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa istrinya. Hingga ia langsung memesan taksi. Menuju ke klinik.
"Jangan mikir yang aneh-aneh, Ny. Aku nggak bakal ninggalin kalian."
Demi satu kata itu –kalian, sedikit rasa sakit yang Leony rasakan seperti menghilang. Membuat senyum samar mengembang di wajahnya. Walau itu sulit sekali untuk mampu ia lakukan.
Tiba di Klinik Bunda, Eros langsung membiarkan Leony mendarat di ranjang perawatan. Dengan terpaksa menahan diri untuk tetap sabar dan tenang ketika pada akhirnya ada pintu yang memisahkan ia dan Leony. Dokter dengan cekatan berusaha menangani Leony dan kehamilannya. Dan itu, membuat Eros tiada henti berdoa. Agar kandungan Leony yang baru berusia lima bulan itu berada dalam keadaan yang baik-baik saja.
Menunggu di lorong klinik, Eros mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dengan segera menghubungi orang tuanya.
"Ma," lirih Eros ketika panggilannya diangkat. "Aku dan Leony lagi di klinik. Perut dia sakit."
Eros bisa mendengar bagaimana paniknya jeritan Pratiwi yang histeris di seberang sana. Tidak perlu ditanyakan, karena itu juga yang Eros rasakan dari tadi. Perasaan khawatir sudah berputar-putar mengisi benaknya tepat ketika Leony mengeluhkan nyeri untuk pertama kalinya.
Menyudahi panggilan itu, Eros berusaha menenangkan dirinya selagi menunggu kedatangan keluarganya. Di saat seperti ini, cowok itu berpikir bahwa ia tidak bisa bertahan seorang diri. Ia butuh keluarganya untuk membuat ia tetap waras. Karena rasa khawatir dan panik yang menderanya, seolah-olah semakin kuat membelenggunya.
Mengusap kasar wajahnya sekali, Eros melihat pada jam. Merasakan ketidaksabaran saat mengetahui bahwa sudah lumayan banyak waktu yang berlalu sementara ia belum tau bagaimana keadaan Leony di dalam sana. Sungguh! Sulit sekali untuk ia tetap mengendalikan diri. Alih-alih menerobos masuk ke kamar itu. Dengan satu pemikiran dramatis di benaknya.
Leony kesakitan.
Dia butuh aku.
Hingga pada akhirnya, penantian yang lebih terasa seperti penyiksaan itu, berakhir pula. Tepat ketika pintu itu terbuka, menampilkan Yusnida yang keluar. Eros pun segera bangkit dari duduknya. Menghampiri sang dokter.
"Gimana keadaan Leony, Dok?" tanya Eros langsung. "Bayi kami?"
Yusnida tersenyum. "Semuanya dalam keadaan baik," jawabnya tenang. "Tapi, mari ikut saya sebentar, Pak."
Eros mengembuskan napas leganya. Bahkan ketika ia harus menahan keinginannya untuk langsung menemui Leony, cowok itu merasa tak mengapa. Ia bisa bersama dengan Leony nanti. Tapi, sekarang ada mendengar penjelasan dokter.
"Kram selama kehamilan memang sering terjadi. Tapi, untunglah. Yang baru terjadi pada Ibu Leony tidak membahayakan mereka berdua."
Di dalam hati, Eros mengucapkan berbagai kata syukurnya. Tidak terkira lagi bagaimana ia berterima kasih pada Tuhan.
"Tapi ...."
Kata itu membuat fokus Eros kembali teralihkan. Dari rasa leganya menuju pada penjelasan medis sang dokter.
"Bukan berarti itu adalah hal yang remeh, Pak," lanjut Yusnida lagi. "Penting sekali untuk membuat Ibu Leony tenang. Hindari semua hal yang bisa membuat ia stres. Tekanan bisa membuat kram terjadi lagi. Dan mungkin saja akan membahayakan mereka berdua."
Tak perlu ditanyakan, penjelasan Yusnida membuat Eros merasa bersalah. Lantaran pertengkaran mereka tadi, bisa saja Leony dan bayi mereka mengalami hal yang buruk. Kali ini, ia beruntung. Namun, siapa yang bisa menjamin untuk yang akan datang? Dan karena itulah, Eros bertekad bahwa ini adalah kejadian pertama dan terakhir yang menimpa Leony.
Tak lupa mengucapkan rasa terima kasihnya, Eros kemudian dipersilakan untuk melihat keadaan Leony. Cewek itu menyambut kedatangan sang suami dengan ekspresi lelah di wajahnya.
"Ny ...."
Eros langsung duduk di kursi yang tersedia di sana, tepat di sisi ranjang pasien itu. Dan tangannya langsung menyambar tangan Leony. Yang terbebas dari jarum infus.
"Kamu nggak apa-apa?"
Lemah, Leony mengangguk. "Aku nggak apa-apa," jawabnya pelan. Dengan tangan yang lainnya mengusap perutnya. "Dedek juga udah nggak marah lagi."
Mata Eros memanas. Tanpa melepaskan tangan Leony dari genggamannya, ia beralih pada perut Leony. Memberikan kecupan kelegaan di sana. Dengan mata yang memejam. Seolah sedang berusaha menenangkan dirinya. Bahwa anak mereka baik-baik saja.
"Maafkan Papa ya, Dek. Maafkan Papa," lirih Eros. "Papa janji nggak bakal buat Mama sedih lagi. Jadi, jangan marah ya? Yang tenang ya di dalam sana?"
Selesai mengatakan itu, Eros kembali melabuhkan ciumannya. Dengan begitu penuh perasaan. Untuk kemudian, ia kembali menatap pada Leony. Sedikit beranjak demi melabuhkan sentuhan yang sama di dahi cewek itu.
"Oh, Tuhan. Makasih, Ny, makasih. Aku lega banget kamu nggak kenapa-napa. Makasih."
Karena rasanya menakutkan sekali bagi Eros ketika ia melihat Leony tampak begitu tersiksa dengan rasa sakitnya. Sungguh. Bila sesuatu yang buruk terjadi tadi, maka bisa dipastikan bahwa ia akan sangat terpukul.
Begitu juga dengan Leony. Ketika Eros teramat panik melihat keadaannya, itu menghadirkan rasa bersalah di dalam hatinya.
"Maaf, Ros. Udah buat kamu panik."
Namun, Eros langsung menggeleng. "Aku nggak bakal buat kamu gitu lagi, Ny," katanya cepat. "Kamu harus tenang. Nggak boleh stres. Nggak boleh marah-marah. Kamu ... dan Dedek harus baik-baik aja."
Rasanya amat membahagiakan ketika Leony mendengar kata-kata itu Eros ucapkan. Terlebih lagi, karena ia bisa melihat dengan pasti ketulusan yang memancar di sorot mata sang suami. Menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa cowok itu benar-benar mengkhawatirkan keadaannya.
Leony merasa tersentuh. Hingga merasakan pelan-pelan kesan hangat itu timbul di matanya. Membuat kelegaan Eros seketika menghilang. Tergantikan oleh ekspresi penuh antisipasi. Namun, ketika kekhawatiran kembali berusaha untuk menguasai Eros, maka Leony berkata.
"Aku cinta kamu, Ros. Aku cinta kamu."
Pada akhirnya, Eros tau untuk apa kaca-kaca itu kembali muncul di mata Leony. Bukan karena ia tengah bersedih kembali. Namun, sebaliknya.
Dan Eros pun tidak akan mempertanyakannya. Karena jelas sekali. Ia pun merasakan hal yang sama.
Eros mengangkat tangan Leony yang berada di genggamannya. Membawanya ke depan bibirnya. Menciumnya dengan mata yang memejam. Dengan penuh perasaan.
Hingga ketika mata mereka berdua bertemu. Eros pun tidak memiliki pilihan yang lebih tepat lagi selain mengatakan hal yang serupa.
"Aku juga cinta kamu, Ny. Cinta banget."
Ungkapan perasaan itu membuat air mata mereka kembali merebak. Walau kali ini bukan karena kesedihan. Alih-alih karena kebahagiaan. Hingga keduanya tidak sadar, bahwa sedari tadi ada beberapa pasang mata yang menatap mereka. Dengan rasa lega yang tidak berbeda jauh dengan yang dirasakan suami istri itu.
*
Leony tidak butuh waktu lama untuk menjalani istirahat di klinik. Praktis hanya butuh semalam baginya untuk menginap di sana. Keesokan harinya, ketika sudah melewati jam makan siang, Yusnida pun memperbolehkan Leony untuk pulang.
Merasa lega dengan keadaan Leony, Eros tidak lalai untuk mencatat di benaknya setiap nasihat yang Yusnida berikan padanya. Yang mana, akan ia lakukan. Yaitu menjaga istri dan anaknya dengan sebaik-baiknya.
Memendam permasalahan yang menjadi pemicu kram pada kandungan Leony, sepasang suami istri itu satu suara untuk mengatakan bahwa cewek itu hanya merasa lelah. Bukan karena mereka ingin berbohong atau tidak percaya pada keluarganya. Namun, keduanya tidak ingin membuat mereka semua khawatir. Lebih dari itu, Eros dan Leony pun sama sepakat. Untuk menjaga semua permasalahan mereka dan memperbaikinya bersama. Karena terbukti, mereka bisa.
Meninggalkan pertengkaran mereka di belakang, Eros dan Leony sekarang nyaris merasakan bahwa mereka seperti yang baru terlahir kembali. Hingga keduanya menatap ke depan dengan perasaan dan kesan yang berbeda. Maka jangan salah bila tidak ada lagi percikan kemarahan di antara mereka berdua. Alih-alih justru selalu tawa yang ada.
Selalu mengingat di benaknya, Eros akan mencatat di benaknya bahwa sebagai suami bukan hanya uang yang menjadi tanggung jawabnya. Alih-alih semua hal yang terjadi pada keluarganya. Dan maka dari itu, ia pun tidak akan lalai dalam menjaga Leony. Pun termasuk di dalamnya dengan selalu mendampingi sang istri. Ketika konsultasi bulanan atau pun di saat menghadiri kelas ibu hamilnya. Juga dengan kesukaan baru Leony. Yaitu berbelanja barang-barang untuk calon anak mereka, walau jelas keluarga mereka sudah memberikan begitu banyak benda yang keduanya butuhkan.
Dan mungkin ... karena sekarang tidak ada lagi sekat yang memisahkan Eros dan Leony atau tidak ada lagi kerikil yang menghadang keduanya, sepasang suami istri itu mendapati bahwa lolos dari pertengkaran tempo hari, membuat hubungan mereka terasa lebih melegakan. Seperti keduanya yang bisa berjalan walau tanpa menginjak tanah. Rasanya begitu ringan.
Hingga kemudian hari-hari pun berganti. Berlalu dengan tanpa terasa. Mengantarkan keduanya pada satu hari penantian. Itu adalah ketika pada akhirnya Leony mendapati kontraksi yang terjadi pada perutnya telah terjadi berulang kali. Dengan jarak yang singkat. Dan semua diperkuat oleh cairan yang kemudian merembes keluar. Yaitu ... air ketuban.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top