64. Rintik Pengungkapan
Entah sudah berapa lama berlalu. Mungkin tiga bulan atau mungkin ... lebih? Tapi, nyatanya Leony nyaris melupakan hal yang satu itu. Hal yang justru tanpa sadar diungkit oleh Miska. Ketika temannya itu merasa bahagia. Lantaran hubungan dirinya dan Eros yang sudah membaik lagi. Tapi ....
"Pokoknya aku beneran nggak mau cerai sekarang, Ros. Ya kali aku jadi janda dengan perut buncit. Lagian ini anak kamu. Mau nggak mau, kamu harus tanggung jawab."
"Ya pastilah. Kalaupun kita bermasalah, seenggaknya bayi yang kamu kandung itu anak aku. Mana mungkin juga aku menelantarkan darah daging aku sendiri. Aku ini masih manusia kali."
"Makasih. Seenggaknya, dengan hal ini mau nggak mau kita terpaksa menunda perceraian kita."
"Paling nggak sampe dia lahir."
Ketika suara-suara itu mengiang di benaknya, Leony sontak menunduk. Melihat pada perutnya yang makin hari makin membuncit. Mengusapnya dengan kaku.
Karena pada saat itu, semua bayangan semua hal yang terjadi di antara mereka, muncul di ingatan Leony. Menampilkan Eros yang selalu memijat tekuknya ketika ia muntah. Yang selalu dengan senang hati masak untuk dirinya. Yang selalu tak keberatan memijat kaki. Yang selalu memberikan perhatian padanya. Melindunginya.
Dan apakah kalau nanti bayi mereka lahir, itu menjadi tanda bahwa sudah saatnya Leony dan Eros berpisah? Hingga tak akan ada lagi kehadiran cowok itu di kehidupannya. Pun dengan bayinya yang mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang Eros.
Lalu, tubuh Leony terasa bergetar. Lantaran satu pertanyaan yang segera muncul.
Ce-ce-cerai?
A-a-apa aku dan Dedek ... bakal kehilangan Eros?
*
"Sekarang kan nggak. Dan jujur aja, jadi buat aku lega. Ngeliat kamu udah happy lagi dengan Leony, aku bisa jamin. Nggak bakal pernah ada lagi ide cerai di otak kamu. Benar kan?"
Eros tertegun. Dengan satu cangkir yang ia pegang di satu tangannya. Ketika itu, rencananya ia akan membuat pesanan pelanggan yang masuk. Tapi, sepertinya ia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya kali ini. Lantaran perkataan Evan tadi.
Menarik napas dalam-dalam, Eros tau pasti bahwa Evan bukan bermaksud untuk menyindir dirinya. Alih-alih meyakinkan dirinya bahwa kehidupannya dan Leony baik-baik saja. Lantas, mengapa harus bercerai? Tapi ....
"Perut aku mual banget rasanya. Ya ampun, Ros. Aku beneran nggak mau kita pisah sekarang, Ros. Aku nggak mungkin bisa bertahan kayak gini seorang diri. Pokoknya aku nggak mau kita cerai. Kamu nggak boleh lepas tanggung jawab, Ros. Ini anak kamu juga."
"Tenang, Ny. Aku juga manusia. Lagi hewan aja nggak mungkin ninggalin anaknya. Masa aku bakal ninggalin anak aku? Apalagi ...."
"Kita lupakan dulu soal perceraian itu. Karena kalaupun kita tetap bersikeras buat bercerai, ada dua keluarga yang pasti bakal menentang keputusan kita."
Menatap cangkir di tangannya, Eros lantas tertegun. Membiarkan bagaimana benaknya berulah. Seperti ingin mengingatkan dirinya ... seperti apa hari-hari yang ia lalui selama ini.
Ada Leony yang selalu menyiapkan sarapannya. Selalu memastikan kerapian pakaiannya. Selalu menyambut ia dengan antusiasnya. Selalu manja padanya. Dan selalu bersemangat ketika membicarakan soal kandungannya.
Lantas ... bila pada akhirnya bayi mereka lahir ke dunia, apakah rencana mereka harus tetap terlaksana? Seperti keinginan mereka dulu? Karena saat ini Eros sadar bahwa hal itu mengganggu pikirannya. Dengan satu pertanyaan ....
Ce-ce-cerai?
A-a-apa aku ... bakal kehilangan Leony dan Dedek?
*
Ketika Eros menjemput Leony pulang sore itu, ia bisa melihat bagaimana Leony yang tampak murung. Ia menanyakan keadaan sang istri, namun Leony mengatakan bahwa dirinya hanya lelah. Dan Eros, yang saat itu kebetulan dalam suasana yang tidak terlalu bagus, hanya mengembuskan napas. Hingga perjalanan pulang mereka kemudian diwarnai oleh kesunyian. Tak ada satu suara pun yang terdengar di antara keduanya.
Harusnya ... pada saat itu Leony merasa heran. Karena tak pernah sekali pun Eros abai terhadap keadaan dirinya, selama belakangan ini. Jangankan merajuk, bahkan ketika ia tampak lesu pun Eros akan mati-matian bertanya padanya. Tapi, sepertinya saat ini Leony pun mengabaikan hal yang sama. Seperti mereka yang kala itu tidak peduli satu sama lain. Bukan. Bukan tidak peduli. Melainkan terlalu fokus pada alam pikiran masing-masing.
Hingga malam harinya, tampak tidak seperti yang sudah-sudah, keheninganlah yang tercipta ketika Eros dan Leony menikmati makan malam. Nyaris tak ada percakapan yang berarti. Sekadar basa-basi. Lalu hanya ada helaan dan tarikan napas yang terdengar silih berganti.
Leony bangkit, nyaris bersamaan dengan Eros yang juga berdiri dari duduknya. Dengan membawa tumpukan piring mereka. Seperti biasa, akan langsung menunaikan rutinitas tanpa sadarnya untuk segera mencuci perkakas kotor itu.
Melihat itu, pada akhirnya Leony seperti terlupakan oleh keinginannya semula. Yang ingin langsung merebahkan tubuh di kasur. Beristirahat. Sekarang, ia justru terpaku di tempatnya berdiri. Dalam diam, mengamati bagaimana Eros yang langsung bekerja. Mencuci piring dengan sigap. Pun termasuk dengan menatanya di rak peniris. Untuk kemudian, ketika ia akan merapikan meja makan, Eros mengerjapkan matanya. Sedikit kaget karena tidak mengira bahwa Leony masih berada di sana.
Menarik napas sekilas, Eros berencana untuk bicara. Mungkin sekadar untuk menanyakan apa istrinya itu butuh sesuatu atau apa. Tapi, tanpa ia duga, Leony lebih dahulu angkat suara. Dan tak hanya sekadar berucap, Leony bahkan melayangkan satu pertanyaan yang membuat ia seketika tertegun.
"Apa kamu jadi mau ceraikan aku, Ros?"
Untuk beberapa saat, pertanyaan itu seperti tidak menjamah indra pendengaran Eros. Atau ... mungkin Eros sebenarnya mendengar, namun ia seperti bingung. Layaknya orang linglung. Hingga Leony, yang tak kunjung mendapatkan jawabannya, kembali bertanya. Seraya memegang perutnya.
"Setelah Dedek lahir, apa kamu bakal langsung ceraikan aku?"
Tak hanya itu, Eros lantas mendapati pertanyaan Leony yang selanjutnya.
"Kamu bakal langsung ninggalin aku dan Dedek?"
Mata Eros mengerjap. Ingin bersuara, tapi ia merasa seperti ada bongkahan yang menyumpal pangkal tenggorokannya.
"Iya?" tanya Leony lagi. Kali ini terdengar suaranya bergetar. "Kamu bakal langsung ninggalin kami?"
Meninggalkan Leony dan anak mereka?
Sekarang, sesuatu yang menggumpal di pangkal tenggorokannya itu seperti menguarkan rasa pahit. Menyiksa dirinya.
"Ninggalin kamu dan Dedek?"
Pada akhirnya, Eros mampu juga untuk bicara. Walau ... amat samar. Seperti pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri. Alih-alih pada Leony.
Eros mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. "Bukannya kamu yang bakal ninggalin aku?"
"Aku ...? Bakal ninggalin kamu?" tanya Leony kaku. "Kamu, Ros. Kamu yang nggak tahan hidup sama aku. Makanya kamu mau ninggalin aku dan Dedek. Kamu lupa? Kamu mau ninggalin aku. Tepat setelah Dedek lahir."
Leony merasa dadanya seperti terhimpit tekanan tak kasat mata. Ketika kata-kata itu meluncur dari lidahnya, ia seperti tak lagi mampu menarik udara. Rasanya sesak.
Sementara itu, mendengar perkataan Leony, wajah Eros tampak berubah. Ekspresi di sana menunjukkan rasa perih. Ia meringis.
"Ny .... Kamu yang selalu nggak suka aku. Kamu yang nggak betah hidup sama aku. Dan ... bukannya itu juga kemauan kamu? Untuk pisah sama aku? Setelah Dedek lahir ntar? Kamu kan yang ngomong kalau kamu nyesal nikah sama aku?"
"Terus ... kamu gimana? Bukannya kamu juga ngomong kalau kamu nyesal nikahi aku cepat-cepat? Iya kan?"
Yang mana pada kenyataannya adalah ... itu keputusan mereka berdua. Kala itu, baik Eros mau pun Leony memang sama-sama menginginkan hal itu. Dan ketika masing-masing dari mereka mengatakannya sekarang, keduanya seperti tertampar oleh kenyataan masa lalu.
Hingga hal itu lantas menimbulkan keheningan mendadak. Seperti waktu yang sedang memberikan beberapa detik miliknya untuk membiarkan Eros dan Leony sama mengingat. Bahwa itulah yang pernah mereka inginkan.
"Eros ...."
Leony menggigit bibir bawahnya. Berusaha untuk tetap bernapas ketika tubuhnya terasa bergetar oleh rasa ketakutan. Bayangan gelap yang mungkin saja akan menjadi masa depannya. Amat kelam hingga membuat Leony ingin mengenyahkannya. Sama sekali tidak ingin tenggelam dalam kehidupan yang seperti itu.
"A-aku tau aku cerewet. A-aku kadang suka marah. Aku ... aku ... sering buat kamu repot. Ta-ta-tapi, apa separah itu sampai kamu mau ceraikan aku? Sa-sampai kamu mau ninggalin aku dan Dedek?"
Dan Eros butuh mengangkat wajahnya sejenak. Mengerjap pada langit-langit di atas sana. Untuk kemudian ia menggeleng sekali dengan ringisan perih.
"Terus aku apa?" tanya Eros dengan suara serak. "Aku cuek sama kamu. Nggak peduli sama keadaan kamu. A-aku nggak guna banget kan jadi suami? Iya? Dan ... karena itu kamu mau bawa Dedek pergi? Ninggalin aku sendirian?"
Seharusnya ... mereka hidup bersama. Ada sang ayah, sang ibu, dan seorang bayi imut yang bahagia. Namun, bayangan tersebutkan terenyahkan oleh satu kemungkinan menakutkan. Itu adalah bila mereka berpisah.
Menahan napas, Leony berusaha untuk mengendalikan gejolak emosinya. Namun, itu benar-benar tidak berguna. Karena dari tadi, ada genangan kaca yang ia coba bendung. Lalu, semua buyar lantaran satu gelengan yang ia lakukan.
Satu tetes air mata Leony jatuh. Wajahnya tampak sengsara.
"Ros, aku nggak mungkin ninggalin kamu," lirih Leony dengan suara terbata. Terdengar begitu payah. "Gimana bisa aku ninggalin kamu?" Ia menggeleng lagi. "Aku butuh kamu. Dan ... dan Dedek juga."
Bahkan Eros bisa melihat. Bagaimana kedua tangan Leony bergetar ketika ia memegang perutnya sendiri.
"Apa kamu mikirin ini, Ros? Siapa yang bakal jagain Dedek kalau kamu ninggalin kami? Kamu ... kamu nggak kepikiran kalau tugas kamu cuma ngasih Dedek duit tiap bulan kan? Nggak kan?"
Leony menggeleng berulang kali. Hingga air matanya jatuh berderai-derai. Membuat basah kedua pipinya. Mendorong Eros untuk segera melangkah. Mengikis jarak.
"Ny, nggak. Aku nggak pernah mikir gitu."
Kedua tangan Leony langsung naik. Meninggalkan perutnya demi meremas kaus yang dikenakan oleh sang suami. Mencengkeramnya.
"Jadi ayah bukan berarti kamu cuma harus ngirim duit untuk keperluan Dedek. Nggak," geleng Leony berulang kali. "Ka-ka-kamu ... kamu juga harus ngerawat dia. Nge-ngedidik dia. Ka-kamu juga harus ngejaga dia. Kamu ..." Leony mengiba. "... harus ngelindungi dia."
Eros seketika merasa kacau. Hingga ia merasa payah. "Aku tau. Aku tau. Ya Tuhan, aku tau, Ny."
"Kalau kamu tau, kenapa kamu mau ninggalin kami?" sambar Leony. Tampak garang di balik air matanya. Seketika saja wajahnya berubah merah. "Kalau kamu nggak ada, siapa yang bakal jagain Dedek? Kamu ingat kan? Dedek ini cewek, Ros. Ka-kalau dia digangguin cowok-cowok, siapa yang bakal ngelindungi dia? Siapa yang bakal jemput dia kalau dia balik telat? Siapa?!"
Dan di saat Leony melayangkan tiap pertanyaan itu, kedua tangannya menghentak. Berulang kali semakin kuat meremas kaus cowok itu. Memberikan guncangan. Layaknya ia yang ingin menyadarkan Eros akan tanggung jawab yang harus ia jalani.
Sejenak, Eros tertunduk. Menarik napas berulang kali. Hingga hanya ada isakan Leony yang terdengar di sana. Tepat sebelum pada akhirnya, suara cowok itu terdengar kembali. Dengan lirih.
"Kalau aku janji ... bahwa aku bakal pelan-pelan berubah, apa kamu bakal maafin aku? Untuk semua salah aku selama ini?"
Menanyakan hal tersebut, Eros menahan tubuh Leony. Memegang kedua lengan atasnya. Menunduk. Membawa tatapannya untuk lurus menusuk pada manik Leony yang mengabur. Eros meringis dengan pengakuan yang kemudian ia lakukan.
"A-aku ... nggak mungkin jadi cowok yang sempurna, Ny. Tapi, aku bakal nyoba. A-aku bakal jadi suami yang berusaha untuk ngerti kamu. Yang jadiin kamu sebagai prioritas aku. Dan ... aku bakal nyoba sekuat yang aku bisa untuk jadi ayah yang seharusnya. A-aku bakal ngejaga Dedek. Jadi ...," lanjut Eros kemudian. "Maafin aku. Dan jangan pergi dari hidup aku."
Ada sebulir air mata yang kembali terjadi di pipi Leony. Ketika kata-kata yang Eros ucapkan menjamah indra pendengarannya.
"Aku ... nggak mau pergi," yakin Leony. Menggeleng dengan kacau. "Aku nggak mau pergi dari kamu. Aku bakal berusaha jadi istri yang baik untuk kamu. Selamanya hidup dengan kamu."
"Dan aku juga nggak bakal pernah ninggalin kamu. Nggak bakal pernah."
Untuk hal yang satu itu, Eros lantas merasakan bagaimana pengakuan yang ia ucapkan menimbulkan dorongan yang tak mampu ia tahan. Hingga ia menarik tubuh Leony. Agar tenggelam di dalam pelukannya.
Dan Leony langsung merengkuh Eros. Langsung melingkarkan kedua tangannya dengan erat di tubuh suaminya. Menenggelemkan wajahnya yang basah di dada Eros. Membiarkan air matanya meninggalkan jejak di sana.
Mata Eros memejam. Wajahnya terangkat. Menarik udara dalam-dalam. Cowok itu berusaha meredakan gejolak emosi yang membuat ia merasa begitu tak terkira. Berusaha mengusir bayangan Leony dan anak mereka yang meninggalkan dirinya sendirian.
Tidak.
Itu tidak akan terjadi.
Leony membutuhkannya. Begitu pun dengan dirinya.
Namun, ketika Eros masih berusaha untuk meredakan gelombang itu, mendadak saja ia merasakan tubuh Leony yang menegang di pelukannya. Diiringi oleh rintihan sakit cewek itu.
"E-Eros ...."
Eros melepaskan pelukannya. Langsung melihat pada Leony yang memegang perutnya. Wajahnya yang basah, seketika tampak memucat.
"Pe-perut aku sakit, Ros."
Mata Eros membesar. Mendadak rasa dingin menjalari setiap saraf tubuhnya. Dengan satu bayangan ketakutan.
Bayi mereka.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top