63. Sekarang ... Gimana?

Adalah rasa dingin yang kemudian perlahan membuat Eros dan Leony menggigil ketika pada akhirnya mereka sama-sama membuka mata. Tanpa komando, mereka sama berpaling. Saling menatap. Dan lalu keduanya tertawa dengan kompak.

"Sebenarnya aku nggak terlalu suka di atas," kata Leony seraya menyamankan posisi kepalanya di atas tangan Eros. "Tapi, ehm .... Yang tadi itu aku suka."

Eros kembali tertawa. "Kenapa kamu nggak suka? Capek?"

"Hahahaha. Iya. Buat kaki aku pegal aja," jawab Leony tanpa malu-malu. "Mending aku di bawah deh. Tinggal diem doang."

"Astaga! Hahahaha."

"Tapi, ya kayak yang aku bilang tadi. Ehm ... yang tadi itu aku suka. Apa karena tadi kamu udah mijit aku dulu ya?" Leony bertanya dengan ekspresi bingung. Ia menoleh, memperlihatkan kerutan di dahinya. "Makanya aku nggak terlalu capek sekarang?"

Tak menjawab, Eros kembali tertawa mendengar pertanyaan itu. Merasa lucu dan geli. Tidak habis pikir. Dan benaknya bertanya-tanya, apakah pasangan suami istri lainnya juga seperti ini? Membahas percintaan mereka yang baru saja selesai?

"Kamu ini ada-ada aja sih," kekeh Eros kemudian. "Yang kayak gitu malah ditanyain ke aku. Ya aku mana tau. Kan kamu yang ngerasainnya."

Mendehem pelan dengan penuh irama dalam beberapa detik, Leony manggut-manggut. Untuk kemudian, rasa penasarannya menyublim. Berubah bentuk.

"Kalau kamu sendiri gimana? Suka aku di atas? Atau suka aku di bawah?"

Lagi, Eros tertawa. "Hahahaha. Ampun deh, Ny. Mau kamu di atas, mau kamu di bawah, mau kamu duduk, mau kamu berdiri, mau kita duduk sama rendah atau berdiri sama tinggi, aku suka semua. Hahahaha."

"Ah, kamu ini."

Malu-malu, Leony melayangkan pukulan kecil di dada Eros. Tampak mengerucutkan bibirnya dengan gemas.

"Aku tuh nanya serius loh, Ros. Kamu suka yang mana?"

Geleng-geleng kepala, Eros menyadari bahwa bibirnya sekarang tak bisa berhenti untuk tersenyum lebar. Ia menoleh dan menatap pada istrinya.

"Serius deh. Aku suka semua. Tinggal diganti-ganti aja, biar nggak monoton. Hahahaha."

"Hahahaha. Aku tuh cuma nggak mau aja kamu diem-diem kalau semisalnya kamu nggak suka. Ntar kamu nggak puas lagi. Soalnya kan nama kamu Eros."

"Kalau aku nggak puas, ya ... aku nggak mungkin keluar dong, Ny. Kamu ini gimana sih? Ini nih. Dedek Maliki nggak mungkin ada kalau aku nggak puas. Menurut kamu kenapa coba aku baca buku panduan kehamilan? Ya itu kan biar aku tau cara yang aman. Biar bisa sering-sering jenguk Dedek. Dan itu nggak mungkin banget aku lakukan kalau aku nggak suka. Hahahaha."

Rasa-rasanya, Leony merasa panas lagi. Walau tentu saja, kali ini bukan karena api gairah. Melainkan karena rasa jengah. Yang membuat kedua pipinya memerah.

Dan Eros masih tertawa-tawa, hingga kemudian mendadak satu hal melintas di benaknya.

"Eh? Ngomong-ngomong," lanjut Eros sedikit bingung. "Apa hubungannya nama aku dengan puas atau nggaknya aku?"

Mata Leony mengerjap. "Aaah," lirihnya beberapa detik. "Itu kan ... nama kamu, Eros, artinya dewa cinta dan kesuburan kan? Dalam mitologi Yunani. Jadi ya---"

"Hahahaha."

Tawa Eros memutus perkataan Leony. Hingga membuat istrinya itu mesem-mesem dan kali ini memutuskan bahwa tak hanya pukulan ringan yang ia berikan. Alih-alih satu cubitan kecil yang mendarat di perut Eros.

Eros mengusap perutnya yang terasa sedikit nyeri. "Jadi, kamu kepikiran aku beneran puas atau nggak? Gara-gara nama aku? Gitu? Hahahaha. Leony Leony. Kamu ini ada-ada aja."

"Ya nggak gitu juga. Tapi, kan ... wajar sih kadang istri kepikiran kayak gitu."

Menundukkan wajahnya, Eros bisa melihat bagaimana Leony yang tampak cemberut. Membuat bibirnya mengerucut. Hingga ia tak mampu menahan diri untuk menarik sekilas bagian itu. Gemas.

"Harusnya kamu nggak perlu kepikiran," kata Eros kemudian. "Toh, kayaknya level kita sama kok."

"Level?" Leony mengangkat wajahnya. "Level apa?"

Semakin menundukkan kepalanya, Eros mendekati wajah Leony dengan satu seringai yang membuat Leony bergidik. Walau ada kesan geli juga sih.

"Soalnya ... dewa cinta ini cuma bisa dipuaskan sama singa betina."

Kemudian, Eros mengaum.

"Aaaum!"

Dan tawa Leony pun pecah.

"Hahahaha."

*

Mengusap lehernya yang terasa agak letih saat itu, nyatanya ada senyum lebar yang menghiasi wajah Leony. Menjadi satu bukti. Bahwa betapa pun tubuhnya lelah, namun ada perasaan yang sedang bahagia yang tengah dirasakan oleh cewek itu. Hal yang disadari oleh Miska. Dan maka dari itu, tidak mengherankan sama sekali bila rekan kerja Leony yang satu itu tidak fokus dengan pekerjaannya. Alih-alih, menunggu waktu. Yang tepat. Agar itu bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Leony. Demi menuntaskan rasa penasarannya yang masih tersisa. Dan itu pasti, tentang Sony.

Berbicara mengenai tragedi pebinor itu, sebenarnya Miska sudah ingin bertanya mengenai kejadian lengkapnya di hari Senin kemarin. Namun, ia tidak mendapatkan waktu yang tepat. Karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Dan begitu pun dengan Leony. Maka dari itu, beberapa hari ini Miska harus cukup puas dengan menjadi pengamat tanpa kata-kata akan di situasi di sekitar dirinya. Bahwa Sony tidak lagi menghampiri Leony. Bahkan ia tidak lagi bergabung di meja yang sama ketika makan siang. Cukup memberi sedikit keyakinan padanya kalau memang telah terjadi pertemuan yang pada akhirnya memukul mundur cowok itu.

Ehm ....

Miska mengusap ujung dagunya. Memindahkan fokus matanya dari meja Leony ke meja Sony. Lalu pindah lagi ke meja Leony. Berulang kali.

Hingga lalu, kesempatan itu pun datang. Ketika Miska sudah menyelesaikan pekerjaannya sementara Leony tampak berdiri dari kursinya. Berniat untuk ke pantry.

Miska langsung menyusul Leony. Terburu-buru hingga membuat cewek itu nyaris kaget dengan kedatangan Miska yang tiba-tiba. Dan tangannya ditarik.

"Eh, apaan sih?"

Membawa Leony untuk duduk di kursi pantry, Miska berkata cepat. Setelah memastikan situasi kala itu aman terkendali. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali mereka berdua.

"Ssst," desis Miska. "Aku cuma mau tau. Soalnya kamu kemaren ceritanya nggak jelas sih. Itu, tentang pertemuan kamu, Eros, dan juga Sony."

Perkataan Miska tentu saja membuat Leony mengembuskan napas panjang. Diam sejenak. Dan ia geleng-geleng kepala.

"Intinya kan udah," kata Leony. "Ya ... Eros ngomong gitu ke Sony. Terus udah deh."

Tidak cukup. Itu belum bisa memuaskan rasa penasaraan Miska.

"Apa aja yang dibilangin Eros? Masa Sony dengan sukarela mundur? Nggak kayak pebinor lainnya deh."

Mata Leony melotot. "Bukannya syukur tuh orang udah mundur. Eh, malah ngomong gitu?"

"He he he he. Bukan gitu maksudnya. Tapi ...." Miska mengerjap sekali. "Beneran. Apa sih yang dibilangin sama Eros?"

Menatap Miska untuk beberapa saat, Leony justru mengawali jawabannya dengan kalimat yang membuat rekan kerjanya melongo.

"Jangankan kamu, orang aku aja nggak tau apa yang dibilangin Eros ke Sony."

Maka tentu saja Miska melongo. Mata membesar dan mulut menganga. "Hah?!"

Pada akhirnya, Leony hanya bisa menceritakan apa yang ia tau. Bahwa ia meninggalkan Eros dan Sony berdua saja di meja. Sementara ia? Jelas, mengintip di balik dinding seraya berusaha menahan pelayan yang ingin mengantarkan pesanan mereka. Dan ditutup oleh Sony yang kemudian langsung pergi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada mereka. Hanya itu.

Mengembuskan napas panjang, Miska manggut-manggut. Tak bisa berharap lebih lantaran Leony sendiri nyaris tidak tau dengan apa yang terjadi. Namun, yang pasti adalah Miska merasa lega.

"Syukur deh kalau gitu. Seenggaknya sekarang Sony benar-benar udah nggak deketin kamu lagi. Kayaknya yang diomongin Eros berhasil ngebuat mental dia kena."

Mengulum senyum, Leony mengangguk. "Iya. Itu yang pasti. Dan aku harap sih cuma ketemu modelan Sony sekali ini aja. Amit-amit, jangan sampe ketemu lagi. Kasian juga aku ngeliat Eros."

Leony menarik napas. Untuk sesaat, benaknya diisi oleh wajah Eros. Di mana menampilkan ekspresi lesu dan murung lantaran pertemuan dengan Sony. Dan ketika ia ingin mengusir bayangan yang membuat perasaannya tidak nyaman itu, ia justru dibuat bingung oleh Miska. Lantaran satu senyum bersahabat yang menyungging di bibirnya.

Dahi Leony mengerut. "Kenapa? Mendadak senyum gitu ngebuat aku ngeri aja."

Senyum Miska berubah seketika. Menjadi kekehan. Namun, tidak membuat sorot lembut di matanya menghilang.

"Nggak sih," kata Miska kemudian. "Tapi, aku lega aja. Ngerasa bersyukur."

Leony mengerjapkan matanya. Pun menelengkan wajahnya ke satu sisi. Bingung. "Ngerasa bersyukur? Ehm ... bersyukur kenapa?"

Menatap Leony untuk beberapa saat, Miska seperti ingin mencari kata-kata yang tepat untuk temannya itu. Lalu, barulah ia menjawab.

"Bersyukur karena kamu dan Eros udah happy-happy lagi kayak gini. Nggak kayak tempo hari. Pas kamu bilang kamu ribut terus dengan dia, ngomelin dia, dan apalah itu."

Astaga. Tapi, perkataan Miska membuat Leony tertegun.

"Sekarang ... kamu keliatan bahagia banget sama Eros," lanjut Miska. "Persis kayak istri kebanyakan. Istri yang pengennya nempel terus sama suaminya." Miska tersenyum geli. "Nggak mau pisah. Walau cuma bentar."

*

"Eh?! Yang bener?"

Eros sama sekali tidak heran kalau Evan akan terkesiap ketika selesai mendengar cerita darinya. Tentu saja, tentang pertemuannya dengan Sony tempo hari.

"Terus terus, gimana?" tanya Evan seraya menyingkirkan piring kosongnya. "Kamu kasih bonus bogem mentah nggak?"

Meringis, Eros menggeleng. "Nggak, walau ... sebenarnya kapan hari aku malah udah siap buat cincang-cincang itu cowok. Ck."

"Kenapa nggak?"

"Nggak tau deh," kata Eros kemudian. "Ya yang pasti aku cuma berusaha untuk waras aja. Aku nggak mau kalau aku salah bertindak, justru ngebuat aku yang salah dan dia yang benar."

Evan tak mengatakan apa-apa. Seperti tengah mencerna maksud perkataan Eros. Dan cowok itu pun menjelaskan.

"Sony salah. Siapa pun tau kalau Sony itu salah. Tapi, kalau aku sampe ninju dia duluan sementara dia nggak ninju aku, itu kan artinya aku duluan yang cari perkara kekerasan sama dia," jelas Eros. "Kalau sampe kayak gitu, aku lah yang jadi penjahatnya di sini. Dan aku yakin, Leony nggak mau ngeliat aku masuk penjara gara-gara mukulin orang. Aku nggak mau dia stres. Dia lagi hamil."

"Aaah ...."

Evan manggut-manggut. Sekarang ia sepenuhnya paham. Bahwa setidaknya pertimbangan Eros memang tepat. Rasa-rasanya tidak ada istri yang bisa menerima kenyataan kalau suaminya masuk penjara.

"Jadi, selagi masih bisa pake omongan, ya mending diselesaikan kayak gini deh," sambung Eros. Ia tampak mengembuskan napas panjang sebanyak dua kali. "Tapi, kalau dia macem-macem lagi, apalagi sampe ngapa-ngapain Leony, ya awas aja. Aku kan bukan nabi yang sabarnya tidak terkira."

Evan meringis. Paham betul maksud Eros. "Yah ... bagus deh kalau gitu," katanya selepas menikmati satu tegukan air putihnya. "Soalnya bukan apa. Tadi, pas kamu chat ngajak aku makan siang, aku udah nebak. Kamu pasti lagi ada masalah."

Seringai Eros terbit.

"Heran ya? Tiap ada masalah, kamu pasti ngubungin aku. Kayak yang jadi Papah Dedeh aja aku. Tempat kamu curhat."

Seringai Eros hilang. Tergantikan oleh kekehan gelinya. Namun, ia tidak menampik hal itu sama sekali.

"Bukannya apa sih," dalih Eros. "Di antara kita, yang paling banyak pengalamannya soal cewek dan semua hubungan yang menyertainya, ya ... cuma kamu. Jadi, wajar kan aku ceritanya ke kamu?"

"Preeet!" sembur Evan. "Soal cewek iya, tapi bukan soal istri."

"Eh, istri aku cewek ya!"

"Hahahaha!"

Evan sontak tertawa. Begitu pun dengan Eros. Hingga untuk beberapa saat, di antara kedua cowok dewasa itu tidak ada lagi percakapan yang berarti.

Mengembuskan napas panjang, pada akhirnya Evan menghentikan tawanya. Sekarang, ia mengganti ekspresinya dengan satu senyuman lebar.

"Tapi, terlepas dari Leony itu cewek atau bukan---"

"Asem!"

"Aku cuma mau ngomong kalau ya ... aku senang ngeliat kamu sekarang," ujar Evan. "Udah lama sih kamu nggak ngajak aku cerita. Dan sekalinya kamu ngajak aku cerita, ternyata itu tentang cowok lain. Bukan tentang Leony."

Kali ini, Eros juga turut menghentikan tawanya. Namun, justru tampak kerutan di dahinya. Tak mengerti.

"Maksudnya?"

"Ehm ... maksud aku," lirih Evan menjawab, menarik napasnya sekilas. "Tempo hari kalau kamu cerita ke aku, itu pasti tentang Leony yang cerewetlah atau apalah."

Kerutan di dahi Eros menghilang. Sekarang, ekspresi wajahnya tampak membeku.

"Sekarang kan nggak. Dan jujur aja, jadi buat aku lega. Ngeliat kamu udah happy lagi dengan Leony, aku bisa jamin. Nggak bakal pernah ada lagi ide cerai di otak kamu."

Rasa dingin seketika menyelimuti Eros. Terutama karena Evan menuntaskan perkataannya dengan satu pertanyaan.

"Benar kan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top