59. Meja Hijau

Bernama lengkap Sony Aditya Putra, cowok itu sebenarnya tampan. Pun cukup berada. Terbukti dari kawasan apartemen yang menjadi huniannya. Bila dibandingkan dengan tempat tinggal Leony dan Eros, ehm ... jelas sekali berbeda. Dan itu belum ditambah dengan kendaraan beroda empat yang menjadi andalannya ketika bepergian. Secara logika, Sony berada di atas Eros. Untuk segala-galanya. Setidaknya, itulah yang Sony pikirkan ketika ia sedang berada di depan cermin. Memandangi dirinya sendiri.

Dirinya tampan dan lebih mapan, seharusnya bukan persoalan sulit untuk bisa menyingkirkan Eros. Benar kan?

Terutama karena ....

Sony melihat pada ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Meraihnya. Lalu menyasar pada aplikasi pengirim pesan bewarna hijau itu. Membuka salah satu riwayat pesan di sana. Dengan nama Leony.

[ Leony R. ]

[ Kamu keras kepala banget sih, Son? ]

[ Iya iya iya. ]

[ Aku maafin kamu. ]

[ Tapi, nggak gratis loh. ]

Hingga pesan Leony kala itu pun menarik balasan Sony. Lalu mereka saling berbalas kata. Untuk kemudian semuanya berujung pada satu kesepakatan. Yaitu, siang ini mereka akan bertemu di luar. Tepatnya di CC Corner, satu kafe yang lumayan tenar di kalangan anak muda. Sebagai tempat untuk bercengkerama tentunya.

Maka dari itu, jangan heran bila Sony yang biasanya bangun siang ketika hari Minggu, justru bersiap dari pagi tadi. Tak peduli walau ia harus menghabiskan banyak waktu.

Di saat jam sudah menunjukkan jam sebelas siang, Sony pun meraih kunci mobilnya. Ingin langsung pergi mengingat ia yang tidak ingin datang terlambat di kencan mereka pertama.

Kencan?

Sony tidak sesumbar mengatakan istilah yang satu itu untuk pertemuannya dengan Leonya. Karena jelas sekali pesan yang mereka saling kirimkan tadi.

[ Leony R. ]

[ Aku suntuk banget di unit. ]

[ Rasanya mau keluar gitu. ]

Di saat itulah, Sony langsung menembakkan panahnya. Langsung, tanpa basa-basi, ia bertanya.

[ Leony R. ]

[ Mau keluar nggak? ]

[ Bareng aku. ]

[ Kita makan di luar. ]

[ Anggap aja ini sebagai permintaan maaf aku. ]

Dan karena itulah mengapa Sony mengeluarkan satu kata keramat itu. Kencan. Bahwa ia dan Leony akan kencan siang itu. Lantaran satu kesimpulan yang membuat ia menyeringai lebar.

Emang semua cewek kayak gitu.

Makhluk tarik ulur.

Dideketin bentar dikit aja, pasti deh.

Bakal langsung luluh.

Apalagi kalau suaminya semacam Eros.

Ah, gampang banget itu mah.

Sony tak henti-hentinya memuji dirinya sendiri di dalam hati. Seraya bibirnya yang sesekali bergerak dalam mengikuti lantunan musik yang mengirama di sepanjang perjalanan, benak cowok itu berkeliaran. Membayangkan wajah Leony yang selalu tersenyum ketika dirinya bersama dengan Miska, tengah membicarakan Eros. Atau bahkan cara cewek itu menyambut kedatangan Eros yang menjemputnya. Sikap manjanya pada sang suami, ditambah lagi dengan perhatian yang sering ia beri, dan semuanya, itu membuat Sony pun berimajinasi. Rasanya sangat menyenangkan bila posisi Eros itu digantikan oleh dirinya. Benar kan?

Tiba di tempat yang telah dijanjikan, Sony merasakan jantungnya berdebar parah saat melewati pintu masuk. Rasanya ia sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan Leony kala itu. Sesuatu yang tentu saja membuat ia tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.

Memilih satu meja yang sedikit terlindungi dari keramaian, Sony mengusap kedua tangannya. Seperti ia yang tengah menenangkan diri dari gemuruh tak sabar itu. Dan ketika seorang pelayan datang ke mejanya, demi menanyakan pesanannya, Sony menolak dengan sopan. Berkata.

"Bentar ya, Mbak. Aku nunggu seseorang dulu."

Maka pelayan itu mengangguk dengan tak kalah sopannya. Berlalu. Meninggalkan Sony seorang diri yang langsung membawa matanya untuk menuju ke pintu. Ia menunggu. Tanpa lupa untuk mengirimkan pesan pada Leony, sekadar untuk memberi tau.

[ Leony R. ]

[ Aku udah sampe, Ny. ]

[ Duduk di meja nomor 13. ]

Melirik sekilas pada nomor meja itu, Sony merasa geli seraya geleng-geleng kepala. Bergumam rendah.

"Kali ini, tiga belas adalah angka keberuntungan. Bukan angka kesialan."

Geli dengan perkataannya sendiri, Sony lantas dibuat menganga langsung ketika matanya melihat kembali ke pintu. Tepat ketika seorang cewek masuk. Yang tampak cantik. Mengenakan gaun santai –pakaian yang tentu saja tidak mampu ia lihat di kantor.

Dan Sony langsung berdiri dari duduknya. Dengan bersemangat, ia mengangkat tangan. Berusaha menarik perhatian cewek itu, yang tentu saja adalah Leony. Hingga pada akhirnya, mata mereka bertemu.

Leony balas melambai pada Sony. Pun juga membalas senyumannya. Untuk kemudian, senyum di wajah Sony menghilang. Tepat ketika mata cowok itu melihat sosok lainnya yang menyusul Leony.

Melewati pintu, cowok itu tampak dengan penuh percaya diri membawa satu tangannya. Untuk menyelinap. Lalu mendarat di pinggang Leony. Hingga menarik perhatian cewek itu.

Leony menoleh. Tepat ketika sosok itu juga berpaling padanya. Hingga tak mampu dihindari, ada bibir yang mendarat di pelipis Leony. Menimbulkan senyum Leony untuk kemudian ia menunjuk ke meja Sony. Seolah sedang memberi tau di mana mereka akan duduk.

Dan lalu tatapan Sony berpindah. Dari Leony menuju pada ... Eros.

Sialan!

*

"Sayang, kamu mau pesan apa?"

"Suka-suka kamu aja deh."

"Oh. Kalau gitu, yang kayak biasa aja ya?"

"Boleh."

"Mbak, tolong pesan nasi goreng seafood satu porsi, sapi lada hitam satu porsi, dan es teh lemonnya dua. Ah, juga sama kentang goreng dan nugget-nya dua porsi."

"Eros, itu banyak banget."

"Kan bukan kamu sendirian yang makan, Ny. Dedek kan juga mau makan."

Dooong!

Sony melongo. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Eros dengan terang-terangan mengusap perut buncit Leony. Dengan senyum di wajahnya yang membuat Sony mendadak ingin muntah.

Pelayan selesai mencatat pesanan Leony dan Eros, lantas beralih pada Sony. Bertanya.

"Mas pesan apa?"

Kopi sianida ada?

Buat nyiram ini cowok.

Ngapain dia ada juga di sini?

Sony mengembuskan napas panjang. Sekarang, pelayan yang sama dengan yang datang tadi, tampak mengerutkan dahi. Merasa bingung lantaran mendapati perbedaan pada ekspresi wajah cowok tadi. Jelas, ia tidak akan lupa kalau beberapa waktu yang lalu, senyum lebar menyungging di wajah Sony. Sekarang? Jangankan tersenyum. Bahkan Sony terang-terangan memasang mimik gusar.

"Pesan nasi goreng seafood juga, Mbak. Sama es teh."

"Baik, Mas."

Selesai mencatat semua pesanan itu, pelayan pun langsung berlalu. Meninggalkan meja nomor tiga belas yang pada akhirnya menunjukkan kekuatan angkanya.

Lagi-lagi, Sony membuang napas panjang. Sungguh! Situasi kali ini benar-benar tidak masuk akal untuknya. Makan bertiga? Dengan Eros di depannya? Yang bahkan tidak melepaskan tangan Leony dari tadi?

Argh!

Yang benar saja.

Bukan ini yang harusnya terjadi.

Harusnya aku dan Leony aja.

Kenapa harus ada suaminya coba?

Sialan!

Rasa-rasanya Sony ingin mengumpat kala itu. Namun, adalah suara Eros yang kemudian refleks membuat matanya menatap.

"Kayaknya kapan hari waktu kamu bawa Leony ke klinik, pas pingsan," ujar Eros seraya tersenyum. "Aku belum benar-benar ngucapin terima kasih sama kamu."

"Aaah ...."

Lirihan samar itu keluar dari bibir Sony. Dengan ekspresi yang sama sekali tidak menunjukkan sikap persahabatan. Tapi, ia mengangguk. Termasuk dengan berusaha senyum di sana.

"Ya ... santai aja. Nggak ngerepotin sama sekali."

Kali ini, tampak wajah Eros yang berubah. Sekilas memang. Karena ia buru-buru menarik napas dalam. Menggeram di dalam hati.

Ya iyalah nggak ngerepotin.

Kan katanya situ yang peduli sama istri orang.

Dan sementara dua orang cowok itu saling bicara, ada Leony yang mengepalkan satu tangannya di bawah meja. Berusaha untuk menahan diri untuk tidak lari terbirit-birit dari sana. Melihat bagaimana Eros dan Sony bercakap-cakap, bukannya membuat ia tenang. Yang ada justru sebaliknya. Makin membuat ia tegang. Seperti menduga, kapan ledakan yang sebenarnya akan terjadi. Hingga membuat ia terpikir sesuatu.

Mau pake pisau atau makan siang menegangkan kayak gini, semuanya nggak ada yang aku suka.

"Syukurlah kalau begitu," ujar Eros kemudian. "Kamu emang rekan kerja yang baik. Rasa-rasanya aku lega juga kalau ada yang bisa diandalkan untuk ngejaga istri aku."

Mata Sony membesar.

"Apalagi karena dia akhir-akhir ini mudah lelah. Kamu tau sendiri kan? Bahkan Leony sering banget minta aku nemenin dia makan siang di kantor. Dan kalau malam ... dia nggak bisa tidur kalau nggak dipijat sama aku."

Sekarang, Sony benar-benar yakin. Dirinya akan muntah sebentar lagi.

Lagipula, apa maksud dia ngomong gitu?

Mau pamer?

Dan kalau Eros bermaksud pamer, maka itu belumlah seberapa. Karena di detik selanjutnya, tangannya mengangkat tangan Leony. Mengusapnya berulang kali.

"Jujur aja, aku kadang nggak tenang ngebiarin Leony kerja akhir-akhir ini. Bawaannya khawatir terus."

Perut Sony rasanya bergejolak. Mungkin dalam waktu dekat, isi di dalamnya benar-benar akan meledak.

"Tapi, untunglah ada kamu," lanjut Eros kemudian. "Seorang teee ... maaan yang bisa banget diandalkan."

Sial!

Tidak akan ada telinga yang salah menangkap nada yang beda di satu kata itu. Bahwa Eros benar-benar menekankan suaranya pada kata 'teman'. Dan kalau pun masih ada ragu, maka tatapan mata Eros yang menajam menjadi penguatnya. Bahwa ada hal yang berbeda yang sebenarnya sedang disinggung oleh cowok itu.

Hening. Untuk beberapa saat. Membuat Leony yang sedari tidak mengucapkan sepatah kata pun menarik tangannya. Lepas dari genggaman tangan Eros. Bangkit dari duduk.

"Ros, aku ke belakang bentar ya?"

Eros berpaling sejenak. Mengangguk. Dan berpesan. "Hati-hati."

Maka tak mengatakan apa-apa lagi, Leony pun langsung melarikan diri dari meja penghakiman itu. Walau tentu saja, Leony tidak benar-benar ke toilet seperti apa yang ia katakan tadi. Alih-alih, ia bersembunyi di balik dinding. Mencoba mengintip, mengamati hal yang terjadi selanjutnya.

Berdua saja di meja itu, hilang sudah senyum sok ramah di wajah kedua orang cowok itu. Mereka seperti yang kompak melepaskan topeng masing-masing. Terutama karena di detik selanjutnya, Eros terdengar bertanya.

"Kamu beneran mau deketin Leony?"

Sony syok. Tidak mengira bahwa Eros akan langsugn bertanya padanya dengan teramat gamblang.

"Leony?" tanya Eros lagi. "Cewek yang udah punya suami dan sekarang lagi hamil, itu tipe cewek kamu?"

Tidak lupa menambahkan nada cemooh di pertanyaannya, Eros mendengkus. Geleng-geleng kepala. Dan gestur itu, tentu saja membuat Sony mengeraskan rahangnya. Dengan satu pemikiran yang cepat tersimpulkan di benaknya.

Sialan!

Jadi ini maksud Leony ngajak aku keluar?

Ajaibnya, seperti Eros memiliki indra keenam, ia pun lanjut berkata.

"Kalau kamu ngira Leony sengaja ngajak kamu ketemuan, jawabannya iya. Dengan tambahan satu info. Aku yang nyuruh dia buat ngajak kamu ketemuan."

Menarik napas dalam-dalam, Sony merasakan wajahnya seperti terpanggang bara api. Panas. Sangat membakar. Hingga ia yakin otaknya bisa mendidih saat itu juga. Yang mana, melihat itu, tentu saja Eros merasa senang.

Gantian ya!

Kemaren aku yang rasanya nyemplung di kawah Gunung Merapi!

Kini giliran kamu!

Berdecak sekilas, Sony berusaha untuk menyeringai. "Kamu nyuruh dia buat ngajak aku ketemuan?" tanyanya geleng-geleng kepala. "Kayaknya kamu kurang kerjaan banget ya? Kenapa? Udah mau bangkrut itu toko kopi kamu?"

Saat itu, rasanya Eros menyesal sekali tidak membawa pisau daging kemaren. Mubazir sekali. Padahal sudah ia asah. Hingga menjadi amat tajam. Setajam silet!

Namun, sejurus kemudian, Eros tampak tersenyum. Hal yang membuat Sony waspada.

"Kurang kerjaan?" Eros balik bertanya. Dengan dahi berkerut, ia mengusap ujung dagunya. "Terus, kalau ngegoda istri orang, itu apa namanya? Banyak kerjaan?"

Tangan Sony seketika mengepal. Karena emosi sudah membuat ia tak mampu menahan diri. Dan ... begitu juga yang terjadi pada Eros. Cowok itu juga sudah tidak mampu menahan dirinya.

"Aku peringatkan," kata Eros dengan penuh penekanan. Matanya menatap lurus. Tajam. Tanpa kedip. Dan wajahnya mencetak keseriusan yang tak bisa diragukan lagi. Hanya demi memamerkan fakta yang satu itu. "Leony itu istri aku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top